Share

Chapter 7

Dengan perasaan malu, Marren mengamati dirinya di cermin kamar mandi, la benar-benar melihat tanda bekas ciuman seseorang.

Bukan hanya satu, ada beberapa di leher, pundak dan dadanya.

Marren merabanya, ada getaran aneh yang ia rasakan. la juga meraba bibirnya yang terasa lebih tebal dan bengkak.

'Itu kamar siapa? Tapi tak ada siapa pun di sana?' batin Marren penasaran, lalu segera memakai baju yang ia dapatkan dari Haura.

'Oh tidak! Apalagi ini? Kenapa pagi begini harus memakai gaun resmi seperti ini?" Marren menggerutu dalam hati.

Lebih-lebih potongan baju yang agak rendah itu tak bisa menutupi tanda merah di leher dan pundaknya.

'Sial! Sepertinya aku harus memakai syal tinggi untuk menutupinya. Ah tapi pasti akan terlihat aneh, kan? Ini masih terlalu pagi!' gerutunya dalam hati.

Tok! Tok! Tok!

"Nona, apa Anda baik-baik saja?" panggil Haura dari balik pintu kamar mandi.

"I... lya, sebentar lagi aku selesai," Marren menjawab dengan gugup, karena terlalu lama diam di kamar mandi.

'Kurasa Haura harus menolongku.'

"Haura, boleh kan aku memanggilmu begitu?'' Marren mendekati Haura yang disambut wajah cerah gadis itu.

"lya Nona, dengan senang hati!" jawabnya merasa lebih dekat dengan majikan barunya itu.

"Ini, apa ada syal? Aku butuh syal, gaun ini membuatku tak nyaman dengan potongan rendah begini."

Haura bergegas membuka lemari pakaian yang ada di sebuah ruangan sebelah kamar mandi.

"Di sini Nona, Anda bisa memilih syal, atau Nona ingin mengganti baju? Maaf itu tadi atas pilihan Bu Aira."

"Kalau begitu syal saja. Aku tak ingin mengecewakan Bu Aira yang telah repot-repot memilihkan baju ini untukku" sahut Marren yang langsung menambah kekaguman Haura yang terpancar dari tatapan dan sikapnya.

Selama bekerja sebagai asisten rumah tangga di beberapa orang kaya, ia baru kali ini menemukan majikan. yang begitu pengertian dan baik hati. Apalagi pemilik rumah ini adalah orang-orang dari golongan orang-orang yang kelewat kaya.

"Haura, semalam itu kamar siapa?'' tanya Marren setelah mengenakan syal pilihannya dengan warna pastel yang senada dengan gaun berleher sabrina yang ia kenakan.

Haura kini sedang menyisir rambut panjang dan ikal Marren yang lembut dan cantik.

"Itu, Kamar Tuan Arland, Nona'' Haura menjawab sambil melihat rambut Marren yang bergulung-gulung indah di bawah dengan alami.

'Arland? Apa dia calon suamiku? Apa jangan-jangan dia pelakunya semalam?' Pikiran Marren bekerja dengan cepat.

"Apa dia ada di sini?" tanya Marren takut-takut.

"Tidak, Nona, Tuan Arland sedang ada di Jerman dan belum pulang kembali sejak setahun terakhir" lanjut Haura dengan memasangkan jepitan rambut di pinggiran rambut Marren.

'Lalu bagaimana dengan kiss mark ini?' pikir Marren.

"Apa kamar itu berhantu?"

"Ah, Nona! Itu, itu... Saya, saya tidak tahu tapi, tapi kenapa Nona berpikir demikian?" Hanura tiba-tiba tergagap ketakutan, spontan membuatnya celangak-celinguk memandang sekitarnya.

Marren tergelak melihat pantulan diri Haura yang ketakutan di cermin.

"Jadi kamar itu tak berpenghuni?" tanya Marren dan membuat Haura langsung mengangguk dengan gugup.

"Oke, ya sudah kalau begitu."

"Nona Anda cantik sekali" puji Aira bersungguh-sungguh dari balik pintu kamar yang terbuka.

Ia datang untuk menjemput Marren agar segera sarapan pagi karena waktu untuk sarapan pagi telah lewat, begitu juga vitamin yang harus diminum gadis itu.

"Terima kasih Bu Aira" jawab Marren tersenyum sekedarnya, walaupun begitu tetap tak bisa menutupi aura kecantikannya.

"Mari Nona sudah waktunya Anda harus sarapan. Anda tak boleh melewatkan sarapan pagi. Mari ikuti saya."

Aira berjalan mendahului Marren menuju ruang makan yang cukup besar dan menyediakan kursi untuk lima orang.

Setelah selesai sarapan, kini Marren sedang berdiri menyongsong kedatangan Pria berusia lanjut dengan tubuh tambun dan perutnya yang agak buncit. Namun aura pria paruh baya itu terlihat sangat mendominasi dan kuat.

"Oh... Marren Sayang! Cucuku Marren!" pekik pria paruh baya berambut putih itu dengan senyum mengembang langsung memeluk Marren dengan sikap bangga.

'Cucu?' Marren terbelalak dengan apa yang ia dengar.

Pria tua itu terkekeh. Gurat ketampanan yang menghiasi wajah keriput itu masih terlihat jelas di mata Marren yang berdiri sangat dekat dengannya.

"Kenapa kau begitu terkejut? Sebentar lagi kau akan menikahi cucuku, tentu saja kau akan menjadi cucuku juga, kan?" Pria tua itu merebahkan dirinya di atas kursi besar di ruangan besar itu.

"lya, Kakek benar" sahut Marren tersenyum canggung.

"Melihatmu yang seperti ini rasanya waktu berlalu sangat cepat. Aku jadi merasa tua. Orang tua ini sepertinya sudah sangat lelah. Kau pasti lupa dengan Kakekmu ini, Marren" ujarnya terbahak-bahak.

Marren menahan tawanya. Aira datang dengan seorang pelayan yang membawa nampan dengan teko teh dan dua cangkir berserta tatakannya. Lalu wanita itu dengan anggun meletakkannya di atas meja yang ada di hadapan mereka.

"Ah terima kasih Aira. Aku memang sangat haus. Tapi aku ingin tanpa gula"

"Baik Tuan Besar, sahut Aira dengan senyum khasnya.

Lalu ia juga menuangkan air teh ke cangkir Marren dan meletakkan gula dengan potongan balok mungil itu di sebuah stoples kecil. Marren pun mengucapkan terima kasih kepada kedua wanita itu yang kembali ke dapur.

"Maksud Kakek, kita pernah bertemu?" Marren bertanya dengan antusias.

"Oh bukan hanya bertemu Nak, tapi keluarga kita memang sangat dekat. Aku ini, Si Tua Ryzadrd adalah teman baik Kakekmu, Azer. Dan melihatmu yang seperti ini aku jadi teringat padanya," kenang kakek tua itu dengan menatap Marren penuh arti.

"Oh, Anda Kakek Ryzadrd? Kakek yang dulu sering datang ke rumah?" Marren mencoba mengingat.

"Ya, kau masih mengingatnya?"

"Marren ingat seorang Kakek yang selalu datang dan membawakan permen dan manisan yang membuat gigi saya jadi sakit!" Mendengar ucapan mart keduanya tertawa berderai.

Keduanya terlihat saling berebut bercerita dengan antusias hingga para pelayan melihat keakraban mereka yang benar-benar seperti seorang Cucu dan Kakek. Namun, tak berapa lama tawa itu terhenti berganti suasana tegang yang tiba-tiba menyeruak di seluruh ruangan.

Pak Tua Ryzadrd menyeruput teh tanpa gula yang masih hangat. Pria tua itu melirh dengan berat.

"Marren, apa kau tahu alasan kenapa kamu harus di bawa kemari? Maaf, Kakek harus menggunakan cara seperti ini. Karena kau terus melarikan diri."

Marren menegakkan punggungnya dan mulai merasakan aura ketegangan yang ada. la diam menunggu.

"Ya, mungkin itu yang terbaik melihat mereka juga menginginkanmu."

'Mereka?' tanya marren didalam batin.

"Tapi Kakek lebih berhak mendapatkanmu karena semua ini Kakek lakukan untukmu Nak dan juga untuk Madya, Mamamu. Karena ini merupakan wasiat dan perjanjian Kakekmu Azer pada Kakek."

"Perjanjian?" ulang Marren tanpa sadar.

"Ya, benar! Kakek berdua sahabat baik sejak masih Sekolah sampai membuat usaha bersama. Dan karena itulah kami berdua membuat kesepakatan untuk saling mengikat persaudaraan dengan menikahkan anak-anak kami."

"Tapi Daddy?"

"Ya. Karena kami berdua hanya punya satu anak laki-laki saja. Akhirnya kami batal merencanakan itu hingga kau lahir. Kelahiranmu benar-benar membawa kebahagiaan tersendiri buat kami. Kau tahu itu?"

Marren menganga dengan wajah haru bercampur senang. Pria tua itu menatap Marren dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Lalu dibuatlah perjanjian itu kembali."

"Eeemm... tapi Kakek tidak ada di pemakaman Kakek dan Daddy mu? Maaf maksud Marren...." tanya Marren dengan tak enak hati.

Kakek Ryzadrd menepiskan tangannya memaklumi. "Saat itu Kakek juga mengalami kesedihan luar biasa yang membuat Kakek jatuh sakit. Apa kau tak tahu, Anak dan Menantu Kakek ada dalam satu pesawat itu?" Kakek Ryzadrd mulai terkekeh walau masih berkaca-kaca.

"Apa kau tahu? Kalau saja sekarang Kakekmu ada di sini dia pasti sedang menertawai Kakek. Heh, Devan kau ini pria atau wanita? Pakai rok sana!' Begitu pasti" pria tua itu tertawa berderai diikuti tawa Marren yang menatap lucu Kakek tua itu mengikuti gaya Kakeknya.

"Jadi kau menerima pernikahan ini, kan?" Kakek Ryzadrd tiba-tiba berkata langsung ke inti permasalahan.

"Itu... Itu yang Marren mau tanya, Kek. Apa setelah Marren menikah, Mommy Marren akan dibebaskan?" tanyanya dengan terus terang.

"Dibebaskan? Memangnya siapa yang menculik Mommy-mu, Nak?" sahut Pria tua itu. Marren melongo bengong.

'Hah? Jadi?' Lagi-lagi Kakek itu terkekeh.

"Ini pasti ulah bocah itu. Mana dia? Felix, Panggil dia! Bukannya dia sudah datang lebih dulu? Panggil dia Felix!" perintah Kakek Ryzadrd setengah berteriak.

Felix yang berdiri tak jauh dari ruangan itu bergegas melaksanakan perintah tuannya.

'Dia?'

"Maksud Kakek tadi apa?" Marren mengulangi.

"lya, Kakek datang dan berbicara panjang lebar dengan Mommy kamu. Kakek sangat merindukannya. Apa kau tahu berapa tahun Kakek mencari kalian? Maafkan Kakek yang tak datang tepat waktu saat kalian dalam masalah itu, tapi Kakek akan mendapatkan rumah itu kembali nanti." Marren menggeleng sedih.

"Tidak apa-apa Kek."

"Lalu Mommy mu setuju untuk ikut kami, dan Kakek mengirim Felix untuk menjemputmu setelah kau pulang ke rumah. Memangnya apa yang terjadi?"

Dengan wajah bersungut-sungut Marren menceritakan menemukan tulisan ancaman penculikan Mommy-nya di balik pintu hingga ia harus berdebat dengan Felix, karena merasa terancam akan keselamatan sang Mommy.

Bahkan karena itu pulalah yang membuat Marren pingsan. Kakek Ryzadrd tergelak tak percaya saat mendengar semua penuturan Marren.

"Dasar bocah kurang ajar! Dia itu nakal sekali! Mana dia!"

"Aku di sini, Kek." Marren menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangnya, langsung terkejut dengan sosok itu sampai membuatnya berdiri.

"Kamu!"

"lya, Marren. Dia inilah calon suamimu!"

"Apa? Arsan calon suami saya, kek?"

Arsan tersenyum miring dengan angkuhnya, sementara Marren menatap tak percaya.

'Yang benar saja!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status