Menjelang sore, Marren mendapatkan kabar mengenai hasil tes darah Madya yang menyatakan normal, tanpa ada tanda-tanda gejala sakit fatal yang di derita. Namun, sang Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh di rumah sakit. "Baik Dok, nanti saya akan berbicara dengan Mommy saya, ya. Terima kasih. Dokter," ujar Marren mengakhiri pembicaraannya.Wanita cantik itu menutup telepon milik sang Mommy yang menungguinya di atas ranjang. "Ada apa, Marren? Memangnya Dokter Brian bilang apa, kenapa kamu begitu murung?" tanya Madya menatap putri semata wayangnya itu. ''Sebaiknya Mommy melakukan general check up, Mom. Karena tes darah Mommy tidak memperlihatkan ada gejala sakit apa pun. Ya, maksud Marren, Marren sangat bersyukur Mommy tidak sakit seperti yang Marren takutkan. Tetapi tetap saja untuk memastikannya 'kan kita harus ke rumah sakit," papar Marren dengan nada lembut seraya duduk di samping ranjan
"Saya tanya sekali lagi apanya yang belum selesai?" ulang Arsan dengan wajah memerah menahan marah, apalagi melihat Arland berdiri tidak jauh di belakang Marren, dan memperlihatkan Marren sedang berlari dari kejaran Arland. "Arsan, kami hanya sedang berbicara. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan," ucap Marren dengan gugup. Suasana pun terlihat semakin canggung. "Memangnya, kamu tahu apa yang sedang saya pikirkan?" sela Arsan tisak menutupi kemarahannya. Mendengar jawaban sarkasme Arsan membuat Marren sangat kesal. "Kalian berdua kakak beradik sama saja! Sini kalian! Saya sedang bingung tentang Mommy, tapi ada saja sikap kalian yang selalu seperti ini! Benar-benar menyebalkan!" Pekikkan Marren sangat kesal, lalu bergegas meninggalkan kedua pria kakak beradik yang bersitegang itu kini saling pandang karena terkejut dengan sikap Marren yang tidak biasanya dan begitu lepas kendali.Arsan segera mengejar Marren yang berlari menuju taman belakang tanpa menghiraukan Arland yang ha
"Arsan, sudah, ini... ini di taman......" pekik Marren dengan terengah. Arsan merengkuh pundak ramping Marren agar mendekat dalam pelukannya dan menempelkan keningnya pada kening Marren yang menyisakan engahnya."Saya ingin menyentuhmu lebih dari ini," bisik Arsan dengan tatapan yang dalam pada Marren. Marren mengecup bibir suaminya sepintas, "Saya tahu, tapi tidak sekarang," sahut Marren seraya menjauhkan wajahnya. Namun dengan cepat, Arsan membalas kecupan Marren dengan ciuman yang kuat dan menggebu-gebu, bahkan begitu dalam dan menuntut. Baru saja Arsan ingin menjelajahi leher dan kedua puncak Marren, mereka di kejutkan oleh deringan ponsel dari saku celana Arsan. Dengan terengah mereka menghentikan kegiatan itu dan Arsan segera membuka saluran telepon dengan kesal saat melihat nama Arland terpampang di layar ponselnya. Namun, rasa amarahnya berubah menjadi kaget setelah mendengar alasan Arland menelepon. ''Ada apa Arsan?" tanya Marren seraya merapikan blusnya walau tidak te
Marren jatuh dalam pelukan Arsan. Pria tampan berbadan tinggi tegap itu segera menggendong Marren dan membawanya duduk di kursi ruang tunggu terdekat dengan posisi mereka berdiri. "Kamu pusing?" tanya Arsan dengan lembut. "lya, maafkan Saya," sahut Marren masih memejamkan matanya rapat-rapat dalam pelukan Arsan.Mendengar itu, Arsan segera menelepon sopir dan memerintahkannya untuk membeli makan malam untuk mereka berdua. "Bukan Saya tidak mau mendengarkanmu, Arsan. Tetapi Saya benar-benar tidak bisa berpikir lagi dengan tenang melihat kondisi Mommy. Saya benar-benar takut kalau terjadi sesuatu pada Mommy," ujar Marren dengan tatapan lesu. "lya, Saya mengerti. Sekarang kamu tetap harus kuat. Demi Saya, demi Mommy dan demi dirimu sendiri, Sayang," bisik Arsan seraya mengeratkan pelukannya pada Marren.Marren pun membalas pelukan Arsan dengan sayang, "lya, Sayang, iya....." sahutnya seraya tersenyum menerima kecupan lembut dari Arsan di puncak kepalanya. Tidak berapa lama menunggu
"James bunuh diri di dalam sel tahanan," ulang Arsan dengan wajah terpukul. "Apa? Tidak! Bagaimana mungkin? Bukankah dia baru dipindahkan ke sel tahanan?" sela Marren ikut terkejut bukan main. "Itulah. Ini benar benar aneh. Seharusnya James tidak perlu bunuh diri. Toh dia hanya di dakwa sebuah penculikan dan hanya beberapa tahun dalam penjara.Bahkan Kakek tidak seserius itu mendakwa dia. Kecuali Kakek mendakwa dia dengan perencanaan pembunuhan terhadap cucu dan keluarganya, bisa saja James akan mendapatkan hukuman lebih berat atau bahkan hukuman mati. Tapi ini benar-benar aneh," ujar Arsan dengan wajah mengernyit bingung. "Aneh kenapa, Arsan?" tanya Marren dengan tatapan bingung."Apa kamu berpikir James tidak bunuh diri tetapi dibunuh oleh seseorang?" Ucap Marren beropini. Arsan menatap Marren dengan tatapan tajam, ''Semua kemungkinan itu ada, karena sejak James di tangkap, bukti-bukti dalam laptop itu telah sirna, hanya bukti yang ada pada ponselmu dan surat perjanjian itu. I
Setelah dua hari menunggu, akhirnya Jadwal endoskopi untuk Madya pun dilakukan. Marren menunggui di luar ruangan bersama Arsan. la idtak diizinkan masuk untuk melihat karena dikhawatirkan mengganggu jalannya proses penglihatan dalam lambung Madya.Selama hampir empat puluh lima menit berlalu, akhirnya Madya telah selesai endoskopi. Mereka diperbolehkan masuk ke ruangan untuk melihat hasil foto endoskopi tersebut dan mendengarkan hasil dari pemeriksaan itu. Dengan saksama serta penuh perhatian, Arsan dan Marren mendengarkan penjelasan dokter Hans sehubungan dengan apa yang dialami oleh Madya.Bahwa Madya menderita luka lambung yang cukup serius dan jika tidak segera di tangani dengan cepat akan mengakibatkan sakit komplikasi di lambung dan sekitar pencernaannya. Setelah perbincangan itu mereka kembali diantarkan ke ruang rawat inap. Marren dan Arsan yang terus mendampingi serta mendorong kursi roda Madya, terlihat lega sekaligus khawatir setelah mendengarkan hasil yang disampaikan
'Apa maksudnya? Apa maksud Arsan? Kenapa Arsan begitu meluap-luap seperti itu? Padahal itu adalah Arland, kakak kandungnya sendiri dan satu-satunya!' pekik Marren dalam benaknya. Marren mendekap mulutnya untuk menahan rasa terkejutnya. Dengan menahan gemetar di tubuhnya, ia mencoba untuk tetap tenang dan berpura-pura tidak mendengar apa pun. Walaupun kini otaknya bergerak dengan cepat mencoba merangkai semua yang ia dengar. Namun, Marren harus menyerah, karena ia tidak bisa menemukan relasinya dan hati kecilnya terus menolak untuk mencari tahu lebih jauh. Tiba-tiba terselip rasa takut yang terus melesak dan mendesaknya semakin kuat terlintas apa yang paling terburuk yang mungkin terjadi. "Aku tidak mengancammu, Arland. Kau yang memulai semuanya, aku hanya menjaga milikku dan seharusnya kau tahu batas!" Suara adzan mulai melunak walaupun begitu ia menggeram menandakan emosi yang terpendam. "Seingatku, sejak dulu aku tak pernah mengusikmu dalam hal sekecil apa pun. Lalu kenapa ka
Melihat langkah Arsan menjauhinya, Marren segera menghalangi pintu dan bersandar pada benda itu, "Jangan pergi seenaknya, pembicaraan kita belum selesai," ucap Marren dengan nada menantang. Marren berusaha mencairkan suasana dan menciptakan pengalihan pikiran Arsan tentang dirinya. Arsan bersedekap, "Apalagi? Bukankah semua sudah selesai? Dan bukankah Nyonya sedang sibuk mengurusi Mommy?" sindir Arsan mengangkat alisnya. "Hei, dengar ya, Tuan Muda, kamu sudah menuduh Saya seenaknya dan sekarang kamu mau pergi begitu saja? Enak saja! Kalau kamu ingin bukti saya berkencan dengan siapa, lihat sendiri dan buktikan Saya akan pergi ke mana dan berkencan dengan siapa!" ucap Marren dengan ketus seraya mendorong tubuh Arsan menjauh. Arsan menahan senyumnya, ''Jadi saya harus bagaimana untuk membuktikannya, Nyonya?" pancing Arsan menjebak Marren. "Ya... Tunggu saja, siapa yang akan menjemput Saya," elak Marren terlihat mulai panik, menjauh dari pintu dan menuju meja riasnya yang ada di t