Marren menggeliat dengan manja dan merentangkan tangannya dengan bebas. Namun, ia merasakan tubuhnya terasa sangat berat seolah ada batu besar yang menimpanya. Perlahan gadis itu membuka lentik kedua matanya. Marren tersentak dari tidurnya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Dengan panik, ia membungkus diri dalam selimut dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja samping ranjang. Gadis itu menahan gusar karena ia tak mengingat apa pun yang terjadi. ''Oh tidak! Apa yang sudah terjadi? Apa aku dan Arsan sudah...?" Marren menggigit bibir menahan isaknya, ia mencoba menenangkan diri untuk mengingat apa yang terjadi, namun ia tak bisa mengingat apa pun. Marren memaksakan untuk bangkit dan membasuh dirinya, ia berendam cukup lama untuk menenangkan diri jika saja hal terburuk yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengingat apa pun di malam pertama setelah pernikahannya. Apalagi ia m
🥀🥀🥀 Makan malam telah terhidang di meja makan. Namun, hanya Marren yang sedang asyik menikmati makan malam itu. Dua piring yang telah disediakan di atas meja masih dalam keadaan tertelungkup, karena Sang Empunya belum menampakkan batang hidungnya. Untuk itulah Marren sengaja makan lebih awal karena ingin buru-buru menyelesaikan aktivitasnya agar bisa menghindari kedua Kakak Beradik itu. Walaupun para asisten rumah tangga itu memandangnya aneh karena terlihat sangat jelas ingin menghindari makan malam bersama dengan para Tuan Muda, Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman malam bersama dengan para Tuan Muda. Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman dengan situasi yang ada. Belum sempat ia bisa hidup tenang karena sikap Arsan, kini Arland pun tiba-tiba hadir di antara mereka dan Marren merasakan perasaan yang aneh dan menekannya saat menatap sosok Arland. Dengan perasaan lega Marren meneguk air putih di tangannya, lalu b
"Maafkan Saya Pak Vano, Saya harus melakukan itu di hadapan Bapak, agar Bapak bisa segera melupakan Saya dengan rasa sakit yang Bapak terima hari ini. Tidak apa-apa jika saja Bapak memandang Saya seperti wanita ja***g atau bahkan pela**r yang menjual diri pada konglomerat! Tidak apa-apa, asal Bapak selamat!" jerit batin Marren yang berkecamuk tak karuan. Sambil menyisakan tangisnya, ia memasuki sebuah kamar kosong yang ada di lantai dua, la sengaja memilih kamar dengan posisi terjauh di rumah itu, agar ia bisa menenangkan dirinya tanpa gangguan siapa pun, terutama Arsan. Hatinya benar-benar remuk redam. Marren yang dulu memang sempat jatuh cinta pada Vano yang tampan, dewasa dan sangat bertanggung jawab itu kini harus mengubur rasa cintanya dalam-dalam. Walaupun begitu ia sangat tahu diri bahwa umur mereka yang terpaut cukup jauh membuatnya lebih memilih mundur, apalagi ia melihat teman kerjanya juga sangat menyukai manajernya itu dengan sepenuh
Siang itu Marren terbangun dengan keadaan yang masih tanpa sehelai benang pun. Tubuh polosnya tertutup selimut tebal yang hangat karena udara yang dingin dari AC menembus kulitnya. Marren menutup wajahnya dengan malu setelah teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. la memeluk tubuhnya erat-erat dan segera berlari membilas diri di kamar mandi dengan selimut yang melilit tubuhnya. 'Tidak apa-apa. Toh dia suamimu Marren! Tidak apa-apa! Lagi pula ini demi menyelamatkan Pak Vano. Dan lagi, Saya selalu meminum pil KB itu terus, jadi Saya tidak akan hamil, sekiranya Arsan tidak memakai pengaman pun kurasa tidak akan apa-apa. Tapi si brengsek itu sepertinya tidak pernah pakai pengaman? Aku tidak sempat memperhatikannya! Boro-boro! Yang penting dengan begini Pak Vano terlepas dari cengkeraman Arsan!' Marren mendumel dalam hati dan mencoba membuang ingatan semua tingkah binalnya demi meredam amarah Arsan. Namun semakin ia membuang semakin jelas gambar
"Ya, mana Saya tahu, Arsan? Saya juga baru selesai telepon video dengan Mommy. Kamu bilang Saya tidak boleh keluar kamar, ya sudah Saya hanya telepon Mommy!" jawab Marren dengan nada jengkel. Arsan terdiam beberapa saat, "oke, tunggu aku pulang." Arsan menutup telepon dengan seenaknya. Marren menggeram jengkel bukan main. "Oh astaga! Apa-apaan sih dia itu? Benar-benar menjengkelkan! Menyebalkan! Huh!" Marren melempar ponselnya ke sofa di sebelahnya. Haura yang menyaksikan itu hanya bisa membeku tanpa bergerak sedikit pun. Marren menatap gadis itu dengan penuh iba. la terlupa akan keberadaan. Haura yang telah membawa buku-bukunya. "Oh Haura, maafkan Saya. Letakkan saja buku-buku itu di sana dan kamu boleh pergi." Marren menatap gadis itu dengan tersenyum penuh pengertian. "Tap... Tapi Nyonya, saya... saya sudah berjanji akan menemani Nyonya sepanjang waktu! Pasti Nyonya butuh teman bicara." Haura menawarkan dir
"Marren, Saya menunggu jawabanmu!" Arsan menatap Marren yang makin terlihat pucat pasi. Wanita muda itu menelan kebingungannya dalam matanya yang berkaca-kaca. "Ti... dak Arsan. Saya, Saya memang tadi sempat bermimpi buruk, tapi entah kenapa Saya, ehm di mimpi Saya ada Kakak ipar dan, dan entah kenapa setiap ada dia membuat Saya tidak nyaman. Entahlah Saya hanya aneh dan takut" papar Marren dengan perkataan yang terbata-bata. Hening sesaat. Arsan hanya memandang Marren beberapa saat lalu pergi meninggalkannya tanpa kata-kata atau pun sikap kemarahannya yang sering meledak-ledak jika ia merasa cemburu dengan setiap Pria yang dekat dengan Marren. Hal itu membuat Marren bertanya-tanya dan kebingungan seketika menderanya. 'Arsan pergi begitu saja? Dia tidak marah? Tidak mungkin! Apa dia bisa meredam kemarahannya kali ini atau.... Atau... la... Oh tidak! Apa jangan-jangan ia langsung pergi menemui Arland? Oh tidak, bagaimana
Malam telah larut, namun Marren tetap tidak bisa memejamkan kelopak matanya. Dia hanya membolak-balikkan badannya dengan gelisah, apalagi Arsan tidak ada di sampingnya. Sejak pria itu meninggalkannya dengan sikap yang aneh, ia tidak lagi menemui Marren. 'Aneh sekali dia hari ini, tapi dengan diamnya ini Saya jadi semakin takut dengan apa yang akan diperbuatnya. Ya, walaupun kami memang tidak selalu setiap saat bersama, tapi baru kali ini Saya merasa sendirian. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Lebih baik dia mencak-mencak seperti biasanya saja, kalau begini Saya jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana" keluh Marren dalam hati. Wanita itu memaksakan dirinya untuk memejamkan matanya. Hingga hari menjelang siang, Marren tidak juga melihat sosok Arsan yang berkeliaran di dalam rumah, ponselnya pun tidak ada pemberitahuan apa pun tentang Arsan yang biasanya selalu meramaikan suara benda pintar itu. Bahkan Marren tidak melihat pria yang menjaga kamar
''Siapa...!" pekik Marren tertahan karena memdadak Pria itu mencium lehernya dengan lembut sambil memainkan jari-jarinya di perut Marren dan membuat wanita itu bukannya bergairah namun malah memekik seperti kesetanan. ''BRENGSEK! SIAPA KAMU! KURANG AJAR! LEPAS!'' Marren mulai memaki dan berusaha memberontak dengan menendangkan kakinya serta mengayunkan sikunya membabi buta. Pria itu melepaskan pelukannya dengan kaget. "Wow! Wow! Hei! Tenang Sayang, ini Saya." ''SAYA SIAPA! BRE***EK! LEPASKAN SAYA! SAYA SUDAH PUNYA SUAMI!" Bentakan Marren membuat Pria itu menahan tawanya, Marren mengernyit diam seolah berusaha mengenali suara tersebut. ''Sayang, jangan seperti itu! Masa kamu lupa dengan suara saya?" ''Arsan? Arsan lepaskan Saya! Jangan main-main..." Tawa laki-laki itu menghentikan ucapan Marren dan membuat Marren beringsut menjauh ingin menutupi dirinya dengan bantal. ''Arland? Apa kamu, Kakak Ipar?" Suara Marren berubah menjadi getar ketakutan. "Kenapa? Ap