Marren meremas jari-jemarinya untuk menahan diri, Wira yang melihat bahasa tubuh Marren yang sedang cemas, segera meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya untuk menguatkan dirinya. Kini mereka saling bergenggap tangan. "Memangnya apa yang Bapak tahu sampai Bapak merasa seperti itu?" tanya Arland sedikit mendesak. "Menurut orang saya, Bapak sendiri yang menemui saya karena mendengar saya sedang mencari orang yang bisa membantu saya menguak kecelakaan pesawat terbang waktu itu," imbuh Arland dengan tatapan mata menyelidik. "Iya benar, Tuan. Saya memang ingin bertemu karena sebenarnya saya sudah sangat takut, saya benar-benar tidak menyangka kalau apa yang saya lakukan saat itu bisa berakibat fatal" sahut orang itu seraya mengusap peluhnya yang mulai bermunculan di dalam ruangan berpendingin itu. "Maksudnya?" desak Arland dengan singkat. Pria itu terlihat tampak gelisah dan ketakutan, namun ia juga berusaha menguasai dirinya dan bertekad cukup kuat terlihat dari sorot matanya ya
"Baiklah. Mulai sekarang Bapak akan bekerja dengan orang-orang saya dan Bapak harus membantu semua penelusuran saya. Saya yang akan menjamin hidup Bapak. Tapi ingat satu hal, rahasiakan pertemuan ini. Dan untuk masalah anak dan istri Bapak, akan menjadi tanggung jawab saya," ucap Arland mengambil keputusan."Apa itu benar, Tuan? Kalau begitu apa yang bisa saya bantu? Saya akan membantu Tuan sekuat tenaga saya. Bagi saya cukup anak dan istri saya tahu bahwa saya tidak bersalah itu sudah cukup. Karena sejak saya di vonis anak dan istri saya terusir dari rumah kami. Apalagi sejak diberitakan pesawat itu telah disabotase dan saya dianggap sebagai kaki tangan pembunuhan berencana. Mereka sangat terpukul, dan harus terusir dari Jakarta," papar Rojer lagi-lagi tanpa bisa menahan air mata dendamnya. Arland saling berpandangan dengan Marren dan Wira. Mereka sengaja membiarkan pria itu meluapkan emosinya yang tertahan dan mendengar semua keluh kesah Rojer yang meluncur begitu saja bak bendunga
"Halo kak? Ini Marren, Saya memakai ponsel Wira," ucap Marren membuka pembicaraan setelah Arland menjawab lebih dulu. "Ada apa Marren? Apa ada masalah?" tanya Arland terdengar terkejut. "Tidak, bukan itu. Ada sedikit yang mengganjal perasaan Saya. Tadi Saya lupa menanyakan siapa pria itu, yang ada dalam foto Kakak? Dan kenapa Kakak punya fotonya?" papar Marren yang membuat Arland terdengar menghembuskan napasnya dengan berat. "Kamu yakin mau tahu siapa dia?" jawab Arland balik bertanya terdengar seperti berteka-teki. "Kalau Kak Arland seperti ini Saya jadi semakin yakın ingin tahu," sela Marren cepat dan membuat Arland terkekeh. "Baiklah, saya tidak akan bohong padamu, dan lagi pula kamu memang harus tahu siapa orang itu," sahut Marren seraya menyisakan tawanya."Pria itu adalah Willson, Marvin Wilson. Dia adalah penasihat Arsan...." imbuh Arland dengan ucapan menggantung."Apa?" sela Marren dengan terkejut. "Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa datang ke kantomya. Biasanya dia
Karena perbuatan Marren sebagai akibatnya, pertemuan Arsan pun mundur hingga tiga jam ke belakang dari jadwal.Waktu menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit sore hari. Dan kini Marren benar-benar telah duduk bersebelahan dengan Arsan berhadapan dengan Marvin Wilson yang sesaat lalu di perkenalkan oleh Arsan padanya. Seperti yang ia rencanakan. "Sayang, entah kenapa Saya seperti tidak asing melihat wajah beliau ini?" bisik Marren pada Arsan yang menikmati kopinya, sementara Wilson sedang berbicara dengan pramusaji untuk memesan makanan dan minuman. "Tentu saja, waktu itu Tuan Wilson datang ke pesta pernikahan kita, kamu pasti lupa ya?" sahut Arsan merangkul pinggang Marren yang menatapnya dengan terkejut , la benar-benar terkejut."Benarkah? Saya tidak ingat? Ya... hanya samar-samar saja. Mungkin karena terlalu banyak orang asing dalam sehari dan, entah bagaimana mengatakannya...." ucapan Marren menggantung karena ia tidak begitu yakin akan sesuatu."Bisa jadi karena saat itu
"Ah, dia sudah datang," ucap Arsan seraya bangkit dari duduknya dan menyambut Marren lalu menggandengnya mendekat dan berdiri di sampingnya. Terdengar ucapan pujian dari tamu asing Arsan dengan aksen Spanyol yang sangat kental. Pria berambut coklat gelap dan lebih muda menerjemahkannya dengan wajah yang tidak kalah berbinar-binar. "Istri Anda adalah wanita yang sangat sempurna Tuan Muda Ryzadrd," sahut pria yang akhirnya menjabat tangan Marren dan memperkenalkan namanya sebagai Antonio Fargas dan Juan Morales. Maren menampilkan senyumnya yang sangat cerah pada kedua pria asing tersebut, menandakan ia menyukai pertemuan itu sekaligus lega dengan apa yang terjadi. Tidak lupa ia mengucapkan Terima kasih untuk kedua pria tersebut. "Tetaplah di sini bersama Saya, sebentar lagi kita akan selesai," ucap Arsan menggandeng tangan Marren dan memaksanya duduk dengan halus. Kini Marren duduk kembali di sebelah Arsan dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan kami, Nyonya, jika k
"Wira? Kamu di sini juga?" pekik Marren selangkah mendahului Arsan agar mimik wajahnya yang menatap keduanya dengan ngeri sekaligus terkejut tidak terlihat oleh Arsan yang beberapa langkah di belakangnya. Dermikian halnya Wira membelalakkan matanya dengan terkejut menatap kedatangan Marren dan Arsan. "Marren?" pekik Wira dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu benar-benar terkejut. Dan kedua sama-sama terkejut bukan kepalang."Wah sungguh kebetulan yang luar biasa. Bagaimana bisa pas sekali, di antara sekian banyaknya tempat perbelanjaan di seluruh Jakarta. tetapi kita bisa bertemu di tempat yang sama? Wow! Benar-benar mengejutkan," sahut Arsan dengan senyum manis menyelipkan nada sindiran kepada Arland yang tersenyum dengan senangnya. "Ya mungkin karena kita memang punya ikatan batin yang sangat kuat, Arsan. Karena kau adalah adikku satu-satunya," balas Arland dengan senyum mengembang seperti tidak mau kalah mengimbangi sindiran Arsan. Marren segera menarik tangan Wira a
Dengan kesal, Arland memukul wajah tampan Arsan, "Sialan kau, Arsan! Jaga sikapmu!" hardik Arland membalas pukulan Arsan.Karena tidak terima, spontan Arsan membalas pukulan Arland dan mendarat dengan telak. "Oh, tidak! Apa yang kalian lakukan! Kenapa malah begini? Arsan? Kak?" ujar Marren dengan panik mencoba melerai.Marren dan Wira berusaha memisahkan keduanya dengan sekuat tenaga karena perkelahian mereka menjadi tontonan orang-orang yang ada di gedung bioskop dan pengunjung sekitarnya. Marren segera memeluk tubuh Arsan dan mendorongnya menjauh. Sementara Wira menarik lengan Arland menjauh.Akhirnya adu jotos itu pun benar-benar harus terhenti karena di datangi oleh petugas keamanan setempat yang menginginkan mereka berdamai dan mempersilakan mereka keluar dari dalam gedung, karena telah mengganggu kenyamanan para pengunjung. Dengan anggukan kepala Marren menyuruh Wira menyeret Arland pergi. Walau masih memandang dendam pada Arsan, Arland mengalah dan patuh saat Wira menarik p
"Marren, kenapa Saya merasa kamu sedang menuduh?" tanya Arsan menatap Marren dengan tajam. "Tidak Arsan, Saya sedang bertanya. Saya hanya bertanya kenapa kamu harus begitu marah pada hal itu? Hanya itu," sahut Marren dengan nada ketus seraya bersedekap dan membuang muka pada Arsan. "Dulu Saya juga pernah memanfaatkan Wira untuk mencari informasi tentangmu, bukannya Saya pernah cerita? Dan hanya sebatas itu, karena kebetulan perusahaan Papanya ada di bawah naungan Kakek. Saya hanya bertemu dua kali dengannya itu pun juga kami makan bersama keluarganya dan Kakek. Tidak ada kami jalan berdua, seperti Arland sekarang. Saya menghormatinya karena dia teman baikmu Marren, tidak lebih," papar Arsan menjelaskan dengan nada tegas dan menghela napas dengan berat. Hening"Tapi Arsan, apa kamu tahu, kenapa Wira tadi canggung? Karena dia memang pernah menyukaimu, dulu dia selalu menceritakan tentangmu dengan bangga, dia tahu segala sesuatu tentangmu yang bahkan Saya tidak mengenalimu...." ucap