Share

Bab 2

Penulis: Sarisha
Setelah berjuang cukup lama, aku memaksakan diri untuk berdiri.

Ketika menuruni tangga, kakiku keseleo dan rasanya sangat sakit.

Aku melihat sepatuku, ternyata tumitku sudah berdarah.

Ternyata bukan hanya gaun pengantinnya yang tidak muat dengan ukuranku, sepatu hak tingginya juga tidak muat dengan kakiku.

Aku sempat berpikir bahwa itu karena Bimo terlalu sibuk dan tidak cukup teliti dalam memperhatikan hal-hal yang berhubungan denganku, jadi dia salah memilih.

Aku melihat ke arah mawar putih dan violet yang diletakkan di taman, yang juga merupakan bunga favorit Riani.

Ternyata, semua itu bukan untukku.

Ketika aku berjalan melewati jalan setapak di taman menuju lokasi pernikahan sebelumnya, kakiku sudah lelah karena tumitku terluka.

Sekarang, kakiku keseleo. Saat menginjak jalan berkerikil, setiap langkah yang aku ayunkan terasa sangat menyakitkan.

Semua pelayan menundukkan kepala saat mereka melewatiku. Mereka tidak menatapku, hanya bergegas menuju ruang perjamuan dengan makanan di tangan mereka.

Tidak ada yang mau membantuku karena Bimo sudah mengatakan kepada semua orang untuk tidak mengurusiku dan membiarkanku pergi semauku.

Aku langsung melepas sepatu hak tinggiku dan melemparkannya dengan asal. Aku tidak menginginkan sesuatu yang bukan milikku.

Kakiku menginjak kerikil, menimbulkan memar-memar kecil di permukaan. Aku berjalan dengan susah payah sampai ke depan pintu.

Aku mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi ke rumah sakit. Saat akan membayar, aku tiba-tiba menyadari bahwa uangku tidak cukup.

Langit tiba-tiba menjadi gelap, awan hitam bergulung di kejauhan. Aku tidak tahu kapan hujan deras akan turun.

Bagaimana mungkin saldonya tidak mencukupi? Jelas-jelas aku mendapatkan gaji enam puluh juta setiap bulan.

Aku keluar dari aplikasi bank, masuk, lalu memeriksa isi saldo di dalamnya.

Sopir taksi yang sudah berhenti menatapku dengan pandangan menghina. "Kalau nggak punya uang jangan naik taksi. Ganggu saja!"

Aku berpikir untuk waktu yang sangat lama, yang terlintas dalam benakku adalah keluargaku yang mata duitan.

Pada saat seperti ini, ketika aku sangat membutuhkan dukungan keluargaku, mereka sudah sejak lama menyembunyikan pisau di belakang punggung mereka, menunggu untuk memberikan pukulan fatal ketika aku berada pada titik yang paling rentan.

Aku duduk di tepi jalan sambil memeluk lutut. Tiba-tiba, dering ponselku berdering memecah lamunanku.

Suara Bimo terdengar sangat murah hati, seperti sedang membujuk anak kucing.

"Acara sudah selesai. Kembalilah, kamu bisa foto sama kami, jadi nanti ada yang dilihat saat hari perayaan.

"Nggak perlu." Aku menyeka air dari wajahku dan menyadari bahwa hujan telah turun selama satu jam, membasahi tubuhku.

"Erika, aku sudah mengalah, tapi kamu nggak mau memanfaatkannya dengan baik. Apa maumu sebenarnya?"

"Kamu nggak punya uang sepeser pun saat ini. Kalau kamu masih bersikap nggak tahu diri, aku nggak keberatan membuatmu merasakan bagaimana pahitnya hidup di jalanan."

"Dari mana kamu tahu aku nggak punya uang?" tanyaku sangat terkejut.

"Heh, itu karena orang tua dan adikmu yang nggak pernah puas." Katanya dengan nada meremehkan, "Mereka selalu minta uang, memperlakukanku seperti ATM mereka. Menjengkelkan sekali, jadi aku kasih tahu mereka kata sandi kartu bank milikmu."

"Tapi tenang saja, aku punya lebih dari cukup uang buat menghidupimu. Aku nggak punya kewajiban buat menghidupi keluargamu."

Ternyata seperti itu. Uang yang selama bertahun-tahun aku kumpulkan dengan susah payah sudah dihabiskan oleh mereka, bahkan tidak menyisakan satu sen pun.

"Keluargamu mata duitan semua yang dikit-dikit minta uang. Riani nggak pernah menggangguku karena masalah seperti ini."

Dia mengoceh tentang keluargaku, memuji Riani yang begitu lembut, murah hati dan sopan.

Tidak pernah mengganggunya?

Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali hamil dan orang tuaku datang ke rumah untuk meminta uang. Aku tidak memberikan uang yang mereka mau, karena aku memikirkan biaya cuti melahirkan yang harus aku ambil setelahnya.

Adikku menjadi kesal dan mengatakan bahwa aku jadi berani karena sudah menikah. Setelah itu, dia mendorongku hingga jatuh dari tangga.

Aku hampir saja kehilangan bayi dalam kandunganku. Namun, lenganku terkilir karena tanganku melindungi perutku saat jatuh dari tangga.

Ketika aku menelepon Bimo, dia sedang bersama Riani, yang kabur dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya.

Mendengar penjelasanku, Bimo hanya mengatakan bahwa ini masalah keluargaku. Lalu, dia melemparkan ponselnya begitu saja.

Kemudian, dia melanjutkan membujuk Riani, mengatakan bahwa jika orang tua Riani berani pilih lagi, dia akan membuat bisnis mereka merugi.

Aku memegangi lenganku yang terkilir dan meneleponnya berkali-kali. Ketika panggilan diangkat, dia hanya mengatakan bahwa aku harus menyelesaikan masalah ini sendiri.

Dia bahkan tega memberitahukan kata sandi kartu bank milikku kepada keluargaku, demi memperbaiki keadaan untuk yang terakhir kalinya.

Telepon masih tersambung, tetapi dari dalam terdengar suara cemberut Riani, "Kak Bimo, Kak Erika nggak balik dan cuma kita yang berdiri di tengah. Dia cemburu nggak, ya?"

"Nggak apa-apa, dia yang bikin situasinya jadi begini. Kalaupun dia nggak datang buat foto, dia tetap harus minta maaf sama kamu." Bimo mengatakan hal ini pada Riani, tetapi jelas sekali perkataan itu ditujukan untukku.

Aku menutup telepon tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meminjam uang dari seorang teman, lalu pergi ke bagian kebidanan dan kandungan rumah sakit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rna 1122
bagus jangan perna bertahan sama laki" brengsek itu ... buat laki" bajingan itu menyesal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 17

    Setahun kemudian, aku kembali ke rumah. Dengan dorongan dari teman pengacaraku, aku melaporkan ibu, ayah dan adikku ke pengadilan untuk mendapatkan kembali uang yang pernah mereka ambil dari rekeningku.Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain mengumpat.Kata-kata buruk itu bagaikan angin sepoi-sepoi di telingaku, berlalu, kemudian menghilang.Mereka tidak punya rumah dan uang di kota, jadi mereka terpaksa harus kembali ke kampung halaman mereka di pedesaan. Dengan begini, mereka akan makin jauh dengan duniaku.Aku tidak perlu membuang-buang waktu dengan mereka.Ketika aku mengajukan diri untuk bekerja di luar negeri, rekan kerjaku mengajakku bergosip."Mantan suamimu sekarang nggak bisa lagi."Melihat ekspresi menggodanya, aku memutuskan untuk mendengarkan.Karena sadar aku tidak akan luluh, Bimo memutuskan untuk kembali. Dia kembali dalam jeratan Riani dan mereka pun hidup bersama.Riani ingin memanfaatkan kehamilannya untuk menaikkan statusnya. Namun, Bimo teringat saat aku menggugu

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 16

    Semuanya berjalan lancar di luar negeri. Pimpinan perusahaanku berjanji akan membuatku bertanggung jawab pada ulasan utama untuk kuartal berikutnya.Bimo mengejarku hingga keluar negeri. Dia mengirimkan bunga mawar segar setiap hari. Saat aku melewati toko dan tanpa sengaja melirik perhiasan, dia akan membeli perhiasan itu dan memberikannya kepadaku.Beberapa rekan kerjaku di luar negeri menggodaku, mengatakan bahwa daya tarikku sangat luar biasa. Mereka sampai menebak-nebak apa yang akan dia berikan untukku besok.Namun, aku mengembalikan barang-barang tersebut tanpa dibuka, lengkap dengan pesan tambahan. "Barang-barang ini sama seperti perasaanmu, murah dan nggak berarti."Mungkin karena perkataan ini, dia mulai melakukan hal-hal yang menurutnya bermakna.Pada suatu malam Natal yang bersalju, dia berlutut di depan pintu apartemenku dan mengatakan, "Aku akan menanggung semua kesedihan yang pernah kamu tanggung selama ini."Dia terlihat jauh lebih kuyu dari sebelumnya. Penampilannya ba

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 15

    Setelah bercerai, aku mendaftar ke program perusahaan untuk belajar di luar negeri.Sejak dulu, aku selalu melepaskan begitu banyak kesempatan demi Bimo. Para pimpinan selalu menyayangkan hal ini karena aku berasal dari sekolah yang bergengsi.Aku menyewa apartemen di dekat perusahaan dan tinggal di sana. Panggilan telepon yang mengganggu dari orang tuaku terus terdengar. Mereka bahkan mengancam akan datang ke perusahaan untuk mengungkapkan sikapku yang mengabaikan orang tua kandung sendiri.Aku sudah bersiap untuk menuntut mereka, tetapi aku tidak menyangka bahwa Bimo sudah menuntut mereka terlebih dahulu.Ketika Bimo datang ke rumah untuk memberitahuku, aku sedang terburu-buru karena sedang mengemasi barang bawaan dan bersiap-siap untuk naik pesawat ke luar negeri malamnya.Aku sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi berat badanku turun. Apalagi, ditambah beban penyesalan dan sakit hati yang saling menjerat."Erika, aku tahu kita sudah cerai, tapi aku tetap merindukanmu.""Aku sudah baca

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 14

    Bimo pun ditangkap untuk diselidiki dan harga saham perusahaan turun untuk sementara waktu.Ketika aku diselamatkan dari vila oleh polisi, aku berdiri di halaman dan menghirup udara segar yang telah lama hilang.Polisi menghubungi keluargaku. Mereka datang, tetapi bukan untuk peduli padaku, melainkan menyalahkanku."Kamu mau mati, bikin suamimu masuk penjara!""Kak, kenapa kamu kejam sekali. Kak Bimo sudah sebaik itu sama kamu, tapi kamu malah membalas kebaikannya dengan permusuhan."Aku mencoba untuk tersenyum. "Ya, aku memang kejam, apa kalian baru sadar?""Oh ya, mulai hari ini dan seterusnya, aku memutuskan hubunganku dengan kalian."Ayah menghela napas dan hendak memukulku. Aku menghindar ke belakang polisi. "Eh, jangan kesal dulu. Beberapa tahun ini pasti kalian sudah dapat banyak uang Bimo. Ini harta bersama dan aku berhak untuk mendapatkannya kembali.""Selain itu, kalian juga mengambil uang di rekeningku tanpa izin. Kalian melakukan kejahatan penyelewengan. Kalau kalian nggak

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 13

    Bimo mengusap pundakku. "Aku akan carikan wartawan. Lakukan saja apa yang aku katakan."Aku mengangguk setuju, tidak bergerak untuk menghindari pelukannya.Benar saja, wartawan yang dimaksud Bimo datang keesokan harinya.Dia benar-benar tidak sabar, tidak bisa membiarkan wanita kesayangannya menjadi bulan-bulanan gosip.Berdasarkan kalimat-kalimat yang telah dituliskan Bimo untukku sebelumnya, yang harus aku lakukan adalah mengatakan semua yang ada di sana dan menanggung semua kesalahan Riani.Wawancara itu disiarkan secara langsung. Ini adalah sesuatu yang sudah sering aku alami di tempat kerja, jadi aku tidak merasa terintimidasi sedikit pun.Dua lampu sorot menerpa wajahku dan siaran langsung pun dimulai.Dalam sekejap, siaran langsung itu dipenuhi dengan berbagai umpatan, yang sangat tidak mengenakkan untuk didengar.Aku menutup mata. Saat wartawan bersiap untuk melakukan wawancara, aku mengeluarkan beberapa tangkapan layar yang sudah dicetak dari bawah tumpukan tulisan yang disiap

  • Prahara Orang Ketiga   Bab 12

    Keesokan harinya, Bimo kembali. Bagian bawah matanya berwarna hitam, sekilas terlihat seperti dia kurang tidur.Dia mengusap alisnya dan langsung mengatakan, "Erika, aku sudah paham mengenai apa yang terjadi kemarin. Begini saja, aku ingin kamu menerima status selingkuhan dulu untuk sementara."Aku menatapnya dengan tenang. Dia menghindari tatapanku dan menambahkan, "Riani belum nikah, jadi jangan sampai reputasinya tercoreng."Meskipun aku tahu dia akan membela Riani tanpa syarat, aku masih merasa konyol dengan bertanya kepadanya, "Reputasiku nggak penting? Aku pantas buat dihujat dan dimaki di dunia maya?"Bimo hanya tertawa, seolah-olah dia tidak menganggap hal itu sebagai masalah."Kamu 'kan sudah menikah denganku, reputasi dan segala macamnya bukan masalah.""Lagi pula, bukankah itu yang biasa kamu hadapi dalam pekerjaanmu? Kalau hal itu benar-benar mempengaruhi pekerjaanmu dan kamu dipecat, aku masih bisa menghidupimu."Memang benar bahwa aku bekerja di perusahaan media, seorang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status