Share

Bab 7. Awal Rencana Zerlina

Setelah mendapatkan taksi online, Christy segera menghubungi Raymond dan memberikan telepon genggamnya pada Zerlina.

["Selamat malam, kenapa Christy tidak pulang bersama dengan Daffa, sahabat saya,"] tegur Raymond sebelum Zerlina mengatakan apapun.

["Maaf, jika keputusan saya untuk turun dari mobil Pak Daffa membuat Anda marah. Saya mengambil keputusan itu demi keselamatan saya, termasuk Christy,"] jelas Zerlina.

["Saya akan menjelaskan semuanya setelah saya sampai di rumah."]

Sebelum menutup pembicaraan mereka, Zerlina meminta ijin agar Christy diperbolehkan untuk menginap di rumahnya malam ini.

Raymond tidak memberikan ijin. Dia justru menyuruh Zerlina untuk langsung membawa pulang Christy.

"Gak boleh ya, Kak?" tanya Christy dengan berwajah muram.

Zerlina hanya menganggukkan kepala dan menyerahkan telepon genggam Christy.

"Udah, kamu tenang aja. Kakak nanti ngomong lagi ke papa kamu." Zerlina mengamati Christy yang tampak sedang memendam permasalahan. "Kalau boleh kakak tahu, kamu takut ya, ketemu dengan teman papa kamu itu?" 

"Em–gak kok, Kak. Aku biasa-biasa aja kok." Kebohongan Christy tampak jelas di mata Zerlina, tetapi dia tidak memaksa Christy untuk menceritakan saat ini.

Akhir perjalanan mereka diwarnai dengan keheningan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri.

'Gue yakin ada yang gak beres di antara Christy dengan Daffa, tapi apa ya? Keliatan banget perubahan ekspresi Christy tadi. Gimana caranya biar dia mau cerita?' gumam Zerlina dalam hati sambil sesekali mengamati Christy.

Sedangkan Christy berusaha untuk menenangkan pikiran dan hatinya. 'Kapan dia datang? Bukannya masih enam bulan lagi kata papa? Aku harus bagaimana? Papa, Christy takut.' Mata Christy mulai berkaca-kaca, dia menahan air matanya agar tidak turun saat ini. 

"Kak, kita sudah sampai," ucap sopir dari taksi online.

"Baik. Pembayaran sudah melalui e-money, Pak. Terima kasih atas bantuannya." Ucap Zerlina sambil bergegas mengambil barang belanjaan mereka dan membantu Christy turun.

"Sama-sama, Kak," sahut sopir online itu.

Mobil yang tadi dikendarai oleh Daffa tampak sudah ada di halaman rumah Christy. Lampu di ruang tamu rumah itu juga tampak menyala. Samar-samar terlihat bayangan orang berada di sana.

Sebelum Christy menekan bel rumah, pintu rumah sudah terbuka. Terlihat pria berumur sekitar tiga puluh lima tahun membukakan pintu.

"Papa," sapa Christy sambil memeluk lengan Raymond. "Pa, Ini Kak Zerlina. Kak Zerlin, ini papa." 

Zerlina masih tertegun sambil menatap wajah Raymond. 'Kenapa wajahnya mirip sekali.' 

"Kak. Kak Zerlin," panggil Christy dengan suara yang lebih keras.

"Eh, iya," sahut Zerlina gugup.

"Raymond," sapa Raymond memperkenalkan diri.

"Anastasya," balas Zerlina.

"Bukannya Zerlina?" tanya Raymond.

"Em–iya Zerlina juga bisa." Zerlina masih berusaha untuk mengendalikan dirinya.

'Tenang Zerlin, banyak wajah yang mirip di muka bumi ini. Jadi, tenangkan dirimu. Fokus apa yang ada di depanmu,' ucap Zerlina dalam hati.

"Maaf sebelumnya, saya terpaksa memilih untuk turun dari mobil Pak Daffa karena saya mencium bau alkohol. Itu yang pertama dan yang kedua, saat tadi Pak Daffa mengemudikan mobilnya sempat oleng dan hampir menabrak mobil dari arah berlawanan." Penjelasan Zerlina diutarakan setelah mereka duduk bersama di ruang tamu. 

"Eh! Gue gak mabuk ya!" seru Daffa yang mendengar penjelasan Zerlina.

"Saya tidak mengatakan bahwa Anda mabuk. Bukankah apa yang saya katakan itu benar? Anda jelas baru mengkonsumsi minuman beralkohol. Apakah perlu kita tes tingkat kadar alkohol Anda saat ini? Bukankah, tadi mobil yang Anda bawa hampir mengalami kecelakaan, apakah Anda menyangkalnya?" 

"Sok tahu! Gue minum cuma sedikit dan gue nggak mabuk," geram Daffa.

"Sudah! Sudah. Saya tahu siapa sahabat seperti apa. Dia tidak mungkin membuat Christy celaka. Mau bagaimana juga, dia ikut merawat Christy dari kecil." Pembelaan Raymond pada Daffa membuat hati Christy makin berduka.

Christy menatap Raymond dengan kecewa dan sedih, tapi tidak mampu menyanggah kata-kata papanya. Mau bagaimana juga, apa yang dikatakan oleh papanya itu suatu kebenaran. Sayang, orang yang ikut andil atas kelahirannya itu tidak tahu apa yang telah diperbuat oleh seorang yang sudah dianggap keluarga itu.

Jika, Christy tampak kecewa, tapi tidak pada Daffa. Dia tersenyum tipis sambil melihat ke arah Christy lalu beralih ke Zerlina. Dalam hati dia bersorak gembira karena kebodohan sahabatnya itu. Entah apa yang akan dilakukan seorang ayah jika tahu anak gadisnya dalam bahaya ancaman.

Zerlina yang melihat senyum tipis Daffa mengerutkan keningnya. 'Aneh, kenapa dia tersenyum seperti itu? Christy, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dari papa kamu?' Pertanyaan yang hanya ada dalam benak Zerlina tak dapat diungkapkan saat itu.

"Baik, jika itu yang menjadi pendapat Anda tentang SAHABAT Anda," ujar Zerlina yang sengaja menekankan kata sahabat.

Daffa menyeringai menatap Zerlina, seakan-akan berkata, kasihan deh lo.

"Christy, kamu jadi minta diajarin soal matematika gak?" tanya Zerlina sambil mengedipkan mata. 

"Jadi, Kak. Tolong ya, Kak. Pa, Om, aku sama Kak Zerlin ke atas dulu ya," pamit Christy.

"Kak, bisa gak, Kakak menginap di sini?" tanya Christy ragu-ragu setelah masuk ke dalam kamar.

"Maaf, kakak gak bisa. Sebenarnya ada apa? Kenapa tadi kamu mau menginap di rumah kakak, sekarang kamu mau kakak menginap di sini?"

"A–Aku takut, tapi aku gak berani untuk cerita, Kak."

"Sekarang begini saja, kamu jawab saja pertanyaan yang kakak ajukan. Jika kamu tidak nyaman untuk menjawab, nggak apa-apa. Nanti kakak ganti pertanyaannya. Bagaimana?"

"Baik, Kak. Aku coba."

Zerlina mulai bertanya pada Christy. Dengan sesekali menghela nafas dan terdengar ragu-ragu saat menjawab. Gadis remaja itu tidak ada niatan untuk berbohong,, tetapi dia berusaha untuk menguatkan diri dan melepas rasa tidak nyaman yang dia rasakan. 

Perlahan, tapi pasti Zerlina terus mengorek informasi dari Christy. Tidak lupa selama pembicaraan mereka sudah direkam oleh Zerlina atas seijin Christy.

Hingga akhirnya, Christy mulai meneteskan air matanya sambil menceritakan kronologis kejadian yang menimpanya tanpa ada pertanyaan lagi.

Zerlina membiarkan gadis itu meluapkan emosi yang sudah lama terpendam. Cukup sulit bagi gadis itu menceritakan peristiwa apa yang telah terjadi pada dirinya.

"Kamu harus kuat dan lebih berani sekarang. Ini kakak kasih alat pertahanan jika sampai terjadi lagi. Simpan di tempat yang tidak terduga, tapi gampang dijangkau," ujar Zerlina sambil menyerahkan alat kejut listrik. "Kalau ini, kamu bisa taruh di mana saja." Sambil menyerahkan sebotol hand sanitizer yang berbentuk semprotan. Sekarang benda itu merupakan benda wajib dibawa kemanapun. 

"Nanti malam, tidurlah dengan papamu. Jika kamu sudah siap, bicarakan hal itu pada papa," saran Zerlina. 

"Sepertinya itu nggak mungkin, Kak. Kakak tadi dengar sendiri apa yang papa katanya tentang dia." Ucapan Christy benar adanya, Raymond sangat percaya pada Daffa. 

Sebelum Zerlina beranjak pulang, dia memastikan tentang apa yang menjadi keinginan Christy untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Dia juga berjanji akan memberikan bantuan untuk itu. 

Zerlina sadar jika dia tidak dapat melakukan apapun jika tidak ada permintaan dari Christy. Dia hanya bisa berjaga-jaga jangan sampai hal itu terjadi kembali dan berakibat lebih fatal seperti dirinya dulu. 

Wanita muda itu, sangat berharap tidak ada penyesalan di kemudian hari pada Christy setelah melakukan keinginannya.  

Zerlina berpamitan pada Christy, Raymond, dan Daffa karena malam semakin larut. Sebelum dia beranjak pulang, Zerlina telah meninggalkan alat penyadap di kamar Christy. Dia meletakkannya di dekat kasur Christy tanpa Christy sadari. Hanya untuk berjaga-jaga saja. 

"Apa? Malam-malam begini gangguin gue." Terdengar suara Edo yang menggerutu dan sesekali menguap karena terbangun di tengah malam karena menerima telepon dari Zerlina.

Zerlina memutuskan untuk segera meminta bantuan pada Edo. Agar besok pagi bisa langsung diselesaikan.

"Sorry. Gue terdesak waktu dan keadaan," jelas Zerlina di atas kasur, bersiap untuk tidur. "Gue ada kasus baru, gue minta tolong lo pasang CCTV dan alat pelacak di mobil seseorang."

"Kasus apa?"

Zerlina menceritakan secara garis besar pada Edo. Serta beberapa rencana yang butuh pertolongan sahabat satu-satunya itu. 

"Coba lo kirim foto orang itu. Nanti gue bantu cari tahu siapa lawan kita kali ini."

"Hati-hati dan jangan gegabah."

"Hai! Siapa ya yang seperti itu? Ngaca buruan sono!" sembur Edo.

Zerlina tertawa mendengar kemarahan Edo. Dia hanya bercanda, tapi juga serius pada kata-katanya.

"Maksud gue, hati-hati jangan sampai ketahuan kalau kamu lagi menyelidiki Daffa."

"Iya, gue tahu. Gue akan berhati-hati, percaya lah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status