Share

Melamar kerja

Rendi mulai uring-uringan dengan dirinya sendiri. Dia merasa benar-benar bukan manusia berguna selama ini. Tak salah ucapan Mouza saat di telepon dulu, dia tak lebih baik dari seekor monyet. Dia malu mengakui dirinya sebagai laki-laki sekarang. Mouza yang wanita saja bekerja memenuhi keinginan dan kebutuhan keluarganya. Dia sejak lahir hingga berusia 24 tahun tetap bersandar pada penghasilan orang tua. 

Tiba-tiba timbul keinginan Rendi untuk bekerja. Meskipun dia tidak tau harus memulai dari mana. Dia membongkar lemari tempat menyimpan buku dan beberapa berkas penting dan mencari kertas yang berisi hasil nilai akhir saat dia kuliah dulu.

Sejak lulus kuliah hingga dua tahun sejak itu, Rendi tak sekalipun melihat ijazah itu, dia tidak pernah tau dan tidak pernah ingin tau apa saja yang tertulis disana. Baginya lulus kuliah sesuai kemauan orang tuanya sudah cukup itupun hasil sogokan dan mengancam teman membuatkannya skiripsi. 

Kertas yang dicari pun kelihatan juga, dia mengeryitkan dahi membaca nilai yang tertera disana."Memang betul-betul paok kau Rendi!" makinya pada diri sendiri. 

G****e adalah satu-satunya sumber yang bisa membantunya membuat lamaran kerja. Tapi memang dasar otak Rendi yang tak bisa nyambung, dia benar-benar kesulitan mempelajari hanya membuat lamaran. Saat ke dapur hendak mengambil minum, dia melihat Ayahnya sedang bersantai di Ruang keluarga. Dia berniat meminta bantuan Ayahnya perihal membuat lamaran.

Aneh memang, lulusan sarjana tidak bisa menulis lamaran, tapi memang begitulah adanya, selain menyusahkan dan menakut-nakuti orang sepertinya Rendi belum menemukan potensi lain dari dirinya. 

"Yak!" panggil Rendi pada lelaki tua yang duduk santai menikmati koran di depan wajah. Pak Dame melirik sebentar ke arah anaknya dan menjawab

"Hem! " fokusnya kembali pada sumber media cetak di tangannya. 

"Ayak, bantu dulu aku" ujar Rendi memohon. 

Pak Dame menurunkan kacamata yang dikenakannya setengah batang hidung bangirnya, lalu menatap Rendi serius. 

"Kenapa kau lagi, berantam, hum?" tanya Pak Dame penuh selidik. Rendi menggeleng cepat. 

"Bukan, Yak!"

Pak Dame mengeryitkan dahinya heran. 

"Trus?"

"Aku pengen kerja," jawab Rendi mantap. 

Ayahnya, Pak Dame yang sedang menyeruput kopi, tiba-tiba tersendak mendengar penuturan anaknya. 

"Uhhuk! uhhuk!" 

Rendi berlari kalang kabut menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk Pak Dame. 

Sungguh aneh menurut Pak Dame tiba-tiba anaknya ingin bekerja, sampai-sampai dia tidak bisa menetralkan nafasnya karena keterkejutannya. 

Rendi menyerahkan gelas berisi air putih kepada Ayahnya yang langsung diminum sampai tandas oleh Pak Dame. 

Pak Dame mengatur sedikit nafasnya agar bisa netral kembali. 

"Kau, mau kerja?" tanya Pak Dame meyakinkan dirinya kalau saja dia salah dengar tadi. 

"Iya, lho, Yak!" jawab Rendi yakin. 

Pak Dame benar-benar sulit mempercayai apa yang dia dengar kali ini. Dia menatap Rendi dari ujung kaki ke ujung kepala. 

"Apa kepala anak ini terbentur apa cemmana?" tanya-nya dalam hati. Pak Dame mengatur nafasnya sekali lagi. 

Ini lebih mengejutkan dari pada saat Rendi terlibat tawuran antar kampung atau ketahuan memukuli anak orang.

Rendi kesal melihat ekspresi Ayahnya yang terlihat tidak mempercayainya. 

"Betulan loh, Yak! aku pengen kerja, pengen punya uang sendiri" ujar Rendi memberi alasan. 

"Apa yang bisa Ayak bantu?" tanya Pak Dame, dia mencoba mempercayai yang dia dengar kali ini bukan prank. 

"Ajari aku buat lamaran kerja" kata Rendi memelas. 

"Bubbrr...  Huahahha!" tawa Ayah Rendi menggelegar. "Bagaimana bisa lulusan sarjana ekonomi tapi nggak tau buat lamaran" ejek Pak Dame pada anaknya. 

"Alaaahh, Ayak ini, bukannya mau bantu malah ketawa," kata Rendi jengkel. 

Pak Dame masih tetap tertawa terbahak-bahak, benar-benar lelucon yang sangat lucu. Bahkan mungkin dia juga sudah menertawakan nasibnya sendiri, memiliki anak yang otaknya nggak berguna sama sekali. Bu Fatma yang sedari tadi sibuk dengan tamannya di halaman rumah penasaran dengan apa yang sedang ditertawakan suaminya. 

Bu Fatmah berjalan tergopoh-gopoh menuju sumber suara itu. Dia melihat dua generasi berbeda duduk dalam satu ruangan, yang satu cemberut, yang satunya terpingkal-pingkal. 

Bu Fatma penasaran dengan apa yang sedang terjadi dengan ayah dan anak itu. 

"Kalian membahas apa?" tanya Bu Fatma yang sudah menjatuhkan bobotnya di Sofa. 

"Entah, Ayak ini" jawab Rendi kesal. 

Pak Dame tetap tak bisa menghentikan tawanya, sampai kerongkongannya terasa kering. 

"Kenapa, Abang? Apa yang lucu?" Bu fatma kini menanyai suaminya. 

"Itu ... Si Rendi, mau melamar kerja, tapi nggak bisa buat lamaran, 'kan paok," jawab Pak Dame memegangi perutnya yang sakit akibat kebanyakan tertawa. 

Bu Fatma hanya menghela nafas, tersenyum lalu beranjak duduk disamping anaknya. 

"Betul kau mau kerja?" Bu Fatma mengelus tangan Rendi. Rendi pun mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan Ibunya. Bu Fatma wanita yang penuh senyum itu kembali tersenyum manis menatap anaknya. Ada yang hangat menjalar di dada Bu Fatma. Dia mengucap syukur pada Tuhan dalam hatinya. 

"Ayakmu itu nggak bisa buat lamaran" kata Bu Fatma menjelaskan. Rendi seperti dapat senjata membalas kekesalannya pada Ayahnya. 

"Pantaslah! sok ngetawai, dia pun nggak 'nya bisa" ejek Rendi pada Ayahnya. 

"Ya, jelas nggak bisa, Ayak mana pernah jadi karyawan siapapun, Ayak 'kan bosnya," Ucap Pak Dame menyombongkan diri. 

"Ellehh" Rendi mencebik. 

"Sudah! sudah! biar Mamak yang ngajari buat lamaran," ujar Bu Fatma menengahi. 

Rendi bersorak senang, lalu memeluk Bu Fatma dan berterima kasih. Ada rasa haru menghinggapi hatinya. 

Sejak Rendi menginjak usia remaja, Bu Fatma tak pernah lagi bisa memeluk anak semata wayangnya ini. Terkadang ada Rindu yang bergejolak di dadanya, tapi dia tak bisa memaksakan kehendak. Rendi selalu menolak perhatian Ibunya. Bahkan jarang pulang ke rumah dan bercengkrama bersama seperti hari ini. 

Sungguh, apapun yang membuat anaknya berubah saat ini merupakan mujizat besar yang Bu Fatma terima untuk kedua kali dalam hidupnya, setelah kehadiran Rendi dalam rahimnya. 

Bu Fatma tak pernah lalai membawa Rendi dalam doanya, agar kelak menjadi anak yang baik, bisa bertanggung jawab dalam hidupnya sendiri.

Ribuan malam telah di Lalui Bu fatma dalam isakan tangis dan doa. Kembali mengemis kepada Sang Maha Kuasa, agar menuntun Rendi kembali menuju jalan yang benar. Sungguh manusia tempatnya segala keluh kesah. 

Bu Fatma percaya tak ada doa yang di langitkan yang tak di dengar Tuhan. Hanya butuh waktu yang tepat dan mungkin saat ini waktunya Tuhan menunjukkan kembali betapa Tuhan mencintainya.

Kini Dunia Rendi di sibukkan mencari lowongan kerja baik dari media cetak, info dari teman-teman Ayahnya, dan internet. 

Setiap hari dia tetap mengantar Mouza bekerja seperti kesepakatan mereka. 

Pulang mengantar Mouza Rendi bergegas menyusuri setiap alamat yang tertera pada info lowongan yang dia ketahui. 

Lamaran melalui internet pun sudah puluhan ia kirimkan, namun sampai detik ini belum satu pun yang membuahkan hasil. 

Ada beberapa yang memanggilnya interviw namun jejak kriminalnya menjadi penghalang. Dia hampir saja frustasi, tapi Bu Fatma setia mendukung dan memberikan energi positif untuk Rendi. 

Senyuman dan omelan Mouza adalah suntikan energi utama untuknya. 

Hari ini dia punya waktu luang untuk menjemput dan mengajak jalan Mouza. Kali ini uang yang di pakainya mentraktir Mouza adalah hasil jerih payahnya membantu Ayahnya mengantar buah-buahan ke pasar. 

Ayah Rendi memintanya membantu mengurus usaha mereka sebelum Rendi benar-benar dapat kerjaan. Walaupun Rendi berulang kali menolak tapi akhirnya dia luluh juga. Tidak ingin selalu mengecewakan orang tua yang selama ini dia susahkan. 

Rendi sudah standby di parkiran karyawan SPBU menunggu Mouza pulang. Tidak terasa waktu mereka bersama semakin menipis. Rendi tidak tau bagaimana caranya lagi mendekati Mouza nanti. Hanya secerca harapan yang tetap dia agungkan, semoga Mouza tetap mengizinkannya tetap dekat dengannya. 

Hal yang sama dirasakan Mouza. Hari-harinya terbiasa dengan hadir Rendi, membuatnya khawatir akan merasa kekosongan dalam harinya tanpa Rendi nanti. Seperti kata pepatah, cinta tumbuh karena terbiasa bersama. Mungkin itu yang dirasakan Mouza sekarang.

Keras kepala Rendi, sikapnya yang selalu menyebalkan,menjadi warna tersendiri untuk hari yang dilalui Mouza. Rendi tidak seburuk omongan orang-orang bagi Mouza. 

Ada sikap manis Rendi yang mungkin tak semua orang tau. Dia perhatian, dia tak pernah ingkar janji. 

Rini yang melihat sahabatnya sejak tadi termenung menjadi gusar. Apa gerangan yang mengganggu hati sahabatnya itu. Saat waktu pulang tiba, Rini menghampiri Mouza, ingin menanyakan perihal berat apa yang menimpa pikiran Mouza hingga membuat perempuan yang terkenal dengan kosakata yang ramai itu mendadak diam. 

"Woi!" panggil Rini kepada Mouza. 

Mouza hanya menoleh sebentar lalu melanjutkan berjalan menuju kantor.

"Mak, Jang! dicueki aku Bah!  kenapa 'kah kau wahai kisanak, apakah engkau salah nelan obat?" tanya Rini bercanda. Mouza bergeming, tetap berjalan mengacuhkan sahabatnya yang mulai kehabisan akal. 

"Kenapa kau, Za?" tanya Rini kembali, kali ini dengan nada serius. Rini berpikiran kalau Mouza begini berarti urusannya serius. 

"Nantilah kuceritakan," jawab Mouza singkat. 

Rini mengerti sekarang, ini adalah masalah darurat dan terrahasia. Rini mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Mereka melangkah bersama menuju kantor untuk setoran ke kasir dalam diam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status