Share

3) Tumbal Pesugihan

“Fir, bapak pulang duluan ya. Kamu kenapa belum pulang? Emang lagi ngerjain apa?” tanya seorang lelaki berseragam putih-putih khas seorang kepala desa pada seorang staf wanita yang masih duduk serius depan layar komputernya.

“Eh iya, Pak. Sebentar lagi saya juga mau pulang. Ini baru selesai nginput RAB CV Mandiri, Pak,” jawab wanita yang berkerudung warna senada dengan pakaian seragam ASN-nya itu penuh rasa hormat.

“Kamu kok betah amat tinggal di kantor, Fir. Proyeknya masih lama, mendingan istirahat dulu. Orang-orang udah pada pulang dari tadi.” Pak Mukhsin atau yang biasa disapa Pak Kades kembali mengingatkan anak buahnya.

“Iya, Pak. ini juga sedang shoot down komputernya. Silakan Bapak duluan aja.” Firda sedikit membungkukkan badan serta menganggukkan kepala pertanda hormat kepada atasan yang sudah dianggapnya sebagai bapak kandungnya sendiri.

“Oh iya Fir, lusa Bapak sama Yulia ada kegiatan di kecamatan, tolong disiapkan semuanya!” Lelaki berusia enam puluh tiga tahun itu memberikan instruksi tambahan.

“Insya Allah, Pak,” balas Firda antusias.

“Ya udah, bapak pulang duluan. Kalau udah beres kerjanya, segera pulang. Hati-hati bawa motor, assalamualaikum!” pungkas Pak Kades, sesaat sebelum membalikan badannya dan berlalu pergi meninggalkan Firda.

“Waalaikumsalam.” Firda menjawab sambil menatap punggung Pak Kades yang keluar dari ruangan kantor.

Sore yang cerah, waktu telah menunjukan pukul tiga lebih beberapa menit. Kantor Desa Mekar Wangi sudah sangat sepi dan beberapa menit kemudian Firda keluar dari ruangan kantor setelah menyelesaikan sebagian tugasnya. Sesuai pesan atasannya, walau belum seluruh tugasnya terselesaikan, Firda memutuskan untuk pulang. Dia pun tak enak hati ada Pak Hasan yang sejak tadi bolak baik keluar masuk kantor.

Pak Hasan, hansip desa yang juga merangkap ob, segera memeriksa kembali setiap sudut kantor untuk memastikan tidak ada jendela atau pintu yang belum terkunci. Dia juga memastikan tidak ada saluran listrik yang tidak sepatutnya tersambung, atau ada barang-barang elektronik yang belum off. Setelah itu dia pun menyalakan lampu luar untuk penerangan.

“Tumben lampu luar udah dinyalain, Pak,” ucap Firda ketika melihat Pak Hasan keluar dari ruangan.

“Iya, Neng, soalnya bapak mau langsung ke acara tahlilan di rumah ponakan. Takutnya pulang malam atau malah nginep lagi di sana. Jadi gak usah balik lagi ke kantor buat nyalain lampu,” jawab Pak Hasan seraya mengunci pintu.

“Tahlilan? Memangnya siapa yang meninggal, Pak?” Firda bertanya serius sambil mengernyitkan dahinya.

“Dek Arman, anaknya ponakan saya yang waktu itu PKL di sini. Neng Firda juga sangat kenal dengan dia.” Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu pun menjawab dengan nada yang lesu raut wajahnya pun mendaadak mendung.

“Arman? Memangnya dia sakit apa, Pak?” tanya Firda dengan nada yang sangat terperanjat. Kedua matanya sontak terbelalak dan sebelah tangannya refleks menutup mulutnya yang menganga.

“Neng masih inget kan sama Arman yang anaknya putih-putih, ganteng, yang kata Neng mirip artis siapa gitu, Iqbal atau Dilan?” Pak Hasan balik nanya pada Firda.

“Bukan inget lagi Pak. Arman Wahyudin yang suka pake jaket Dilan itu kan….?”

“Iya Neng,” jawab Pak Hasan pelan. Dia sudah menduga Firda akan berekspresi seperti itu dan seketika dia pun merasa bersalah karena baru sempat memberitahu Firda, itu pun karena kebetulan saja Firda bertanya.

“Kapan meninggalnya, Pak?” tanya Firda dengan nada tak percaya, kedua matanya masih terbelalak menatap Pak Hasan.

“Tiga hari yang lalu, bapak mohon maaf karena telat nyampeinnya. Bapak bahkan menduga Pak Asrul atau Pak Akmal sudah ngasih tahu sama Neng Firda.” Pak Hasan menempelkan kedua tangannya yang menyatu di depan daadanya, “Mohon dimaafkan segala kesalahan almarhum, dan mohon doanya semoga dia ditempatkan di sisi Allah Yang Maha Mulia,“ lanjut Pak Hasan mewakili keluarga almarhum.

“Inna Lilahi waina Ilaihi rojiun.” Nyaris tak sadar Firda berucap. 

Untuk beberapa saat Firda tertegun seraya mengenang kembali sosok Arman Wahyudin yang sudah cukup lama tidak bertemu dengannya. Dua tahun yang lalu ada enam siswa SMK yang PKL di kantor desa. Tiga perempuan dan tiga lagi laki-laki, salah satunya Arman.

Selama PKL, Arman dan Firda cukup dekat karena Arman sebagai ketua kelompoknya sementara Firda sebagai pembimbing dari pihak desa. Firda kerap memanggil Arman dengan Dilan karena hampir setiap hari dia memakai jaket jeans anak muda yang sedang trend yang biasa disebut jaket dilan.

Di antara teman-temannya Arman paling ganteng, paling kalem dan dewasa. Seingat Firda, usia Arman tidak jauh berbeda dengan Rangga, anak tirinya. Jika dilanjutkan kuliah, Arman satu angkatan dengan Rangga, semester dua. Setelah selesai melaksanakan PKL, Firda tidak pernah bertemu dengan dia atau bahkan sekedar mendengarnya. Arman tinggal di desa dan kecamatan yang berbeda.

“Memangnya Arman sakit apa, Pak?” Firda kembali bertanya tentang penyakit yang menyebabkan Arman meninggal dunia.

“Itulah Neng…” Pak Hasan tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah menatap mata Firda dengan seksama seolah mencari sesuatu yang hilang atas kebimbangan ucapannya.

“Kami juga tidak tahu. Arman meninggal secara ngedaadak waktu dia sedang tidur di kamarnya. Kata dokter sih serangan jantung, tapi masa sih masih muda jantungan? Dia sama sekali tidak mengeluh sakit apa-apa sebelum tidurnya.” Pak Hasan menjelaskan panjang lebar dengan raut wajah yang semakin mendung.

“Astagfirullah. Namanya usia bener-bener rahasia Allah ya, Pak.  Mudah-mudahan saja almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Dia anak baik, santun dan cerdas. Semoga keluarga yang ditinggalkannya pun ikhlas dan tabah. Insya Allah besok atau lusa saya ngelayat ke sana, Pak. Kebetulan saya juga kenal ibunya. Memangnya kapan meninggalnya, Pak?” tanya Firda setelah bicara panjang lebar.

“Tiga hari yang lalu. Bapak udah dua malam nginep di rumah orang tuanya. Setiap malam bapaknya Arman masih ngamuk-ngamuk dan ibunya juga gak berhenti-berenti nangis.” Pak Hasan melanjutkan ceritanya.

“Oh ya? Wajarlah Pak, kalau gak salah, Arman kan anak satu-satunya ya? Pasti keluarganya sangat kehilangan,” ucap Firda berempati.

“Iya Neng. Bukan hanya kehilangan, tapi yang ngebuat bapaknya ngamuk itu, sakit hati. Banyak tetangga yang menyebarkan fitnah kalau Arman meninggal karena dijadiin wadal atau tumbal pesugihan oleh bapaknya sendiri.” Wajah Pak Hasan yang polos dan jujur terlihat makin mendung dan keruh.

“Astagfirullah! masa setega itu tetangganya, Pak?” Firda kembali terperanjat. Matanya pun kembali terbelalak dikejutkan dengan berita yang sangat memprihatinkan itu.

Sejatinya Firda bukan orang yang mudah percaya dengan hal ghaib semacam pesugihan, pelet dan sejenisnya. Namun yang membuatnya tidak mengerti sekaligus prihatin adalah masih adanya orang-orang yang tak berakhlak dan kehilangan empatinya terhadap sesama tetangga yang sedang berduka.

Dimana rasa kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong yang katanya menjadi ciri khas masyarakat perkampungan.  

“Yang paling mengherankan lagi, justru yang pertama memfitnah itu Pak Ujer.”

“Siapakah Pak Ujer itu?” tanya Firda penasaran.

“Kakeknya Arman atau mertuanya Arnadi, bapaknya Arman. Dia menuduh menantunya melakukan pesugihan. Padahal dia tahu Arnadi usaha jelas adanya, sudah maju dari dulu juga. Tidak mungkin Arnadi tega menumbalkan anak semata wayangnya untuk ….”

Pak Hasan menghentikan ucapannya. Dia menatap wajah Firda yang tiba-tiba melongo, tegang dan pucat seperti melihat sesuatu yang menakutkannya.

“Neng. Neng Firda kenapa? Kok bengong begitu, Neng? Neng… Neng Firda!” Pak Hasan bicara sambil mengibas-ibaskan tangannya tepat depan mata Firda yang memandang jauh namun tampak kosong.

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Falling Leaves
kalau bukan suaminya firda, siapa yaa......
goodnovel comment avatar
Nona_happy
entah kenapa, aku suka angga.
goodnovel comment avatar
Ar_key
hati-hati Asrul itu laki-laki, gak baik wanita curhat hal pribadi sama orang lain cam kan itu Firda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status