“Fir, bapak pulang duluan ya. Kamu kenapa belum pulang? Emang lagi ngerjain apa?” tanya seorang lelaki berseragam putih-putih khas seorang kepala desa pada seorang staf wanita yang masih duduk serius depan layar komputernya.
“Eh iya, Pak. Sebentar lagi saya juga mau pulang. Ini baru selesai nginput RAB CV Mandiri, Pak,” jawab wanita yang berkerudung warna senada dengan pakaian seragam ASN-nya itu penuh rasa hormat.
“Kamu kok betah amat tinggal di kantor, Fir. Proyeknya masih lama, mendingan istirahat dulu. Orang-orang udah pada pulang dari tadi.” Pak Mukhsin atau yang biasa disapa Pak Kades kembali mengingatkan anak buahnya.
“Iya, Pak. ini juga sedang shoot down komputernya. Silakan Bapak duluan aja.” Firda sedikit membungkukkan badan serta menganggukkan kepala pertanda hormat kepada atasan yang sudah dianggapnya sebagai bapak kandungnya sendiri.
“Oh iya Fir, lusa Bapak sama Yulia ada kegiatan di kecamatan, tolong disiapkan semuanya!” Lelaki berusia enam puluh tiga tahun itu memberikan instruksi tambahan.
“Insya Allah, Pak,” balas Firda antusias.
“Ya udah, bapak pulang duluan. Kalau udah beres kerjanya, segera pulang. Hati-hati bawa motor, assalamualaikum!” pungkas Pak Kades, sesaat sebelum membalikan badannya dan berlalu pergi meninggalkan Firda.
“Waalaikumsalam.” Firda menjawab sambil menatap punggung Pak Kades yang keluar dari ruangan kantor.
Sore yang cerah, waktu telah menunjukan pukul tiga lebih beberapa menit. Kantor Desa Mekar Wangi sudah sangat sepi dan beberapa menit kemudian Firda keluar dari ruangan kantor setelah menyelesaikan sebagian tugasnya. Sesuai pesan atasannya, walau belum seluruh tugasnya terselesaikan, Firda memutuskan untuk pulang. Dia pun tak enak hati ada Pak Hasan yang sejak tadi bolak baik keluar masuk kantor.
Pak Hasan, hansip desa yang juga merangkap ob, segera memeriksa kembali setiap sudut kantor untuk memastikan tidak ada jendela atau pintu yang belum terkunci. Dia juga memastikan tidak ada saluran listrik yang tidak sepatutnya tersambung, atau ada barang-barang elektronik yang belum off. Setelah itu dia pun menyalakan lampu luar untuk penerangan.
“Tumben lampu luar udah dinyalain, Pak,” ucap Firda ketika melihat Pak Hasan keluar dari ruangan.
“Iya, Neng, soalnya bapak mau langsung ke acara tahlilan di rumah ponakan. Takutnya pulang malam atau malah nginep lagi di sana. Jadi gak usah balik lagi ke kantor buat nyalain lampu,” jawab Pak Hasan seraya mengunci pintu.
“Tahlilan? Memangnya siapa yang meninggal, Pak?” Firda bertanya serius sambil mengernyitkan dahinya.
“Dek Arman, anaknya ponakan saya yang waktu itu PKL di sini. Neng Firda juga sangat kenal dengan dia.” Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu pun menjawab dengan nada yang lesu raut wajahnya pun mendaadak mendung.
“Arman? Memangnya dia sakit apa, Pak?” tanya Firda dengan nada yang sangat terperanjat. Kedua matanya sontak terbelalak dan sebelah tangannya refleks menutup mulutnya yang menganga.
“Neng masih inget kan sama Arman yang anaknya putih-putih, ganteng, yang kata Neng mirip artis siapa gitu, Iqbal atau Dilan?” Pak Hasan balik nanya pada Firda.
“Bukan inget lagi Pak. Arman Wahyudin yang suka pake jaket Dilan itu kan….?”
“Iya Neng,” jawab Pak Hasan pelan. Dia sudah menduga Firda akan berekspresi seperti itu dan seketika dia pun merasa bersalah karena baru sempat memberitahu Firda, itu pun karena kebetulan saja Firda bertanya.
“Kapan meninggalnya, Pak?” tanya Firda dengan nada tak percaya, kedua matanya masih terbelalak menatap Pak Hasan.
“Tiga hari yang lalu, bapak mohon maaf karena telat nyampeinnya. Bapak bahkan menduga Pak Asrul atau Pak Akmal sudah ngasih tahu sama Neng Firda.” Pak Hasan menempelkan kedua tangannya yang menyatu di depan daadanya, “Mohon dimaafkan segala kesalahan almarhum, dan mohon doanya semoga dia ditempatkan di sisi Allah Yang Maha Mulia,“ lanjut Pak Hasan mewakili keluarga almarhum.
“Inna Lilahi waina Ilaihi rojiun.” Nyaris tak sadar Firda berucap.
Untuk beberapa saat Firda tertegun seraya mengenang kembali sosok Arman Wahyudin yang sudah cukup lama tidak bertemu dengannya. Dua tahun yang lalu ada enam siswa SMK yang PKL di kantor desa. Tiga perempuan dan tiga lagi laki-laki, salah satunya Arman.
Selama PKL, Arman dan Firda cukup dekat karena Arman sebagai ketua kelompoknya sementara Firda sebagai pembimbing dari pihak desa. Firda kerap memanggil Arman dengan Dilan karena hampir setiap hari dia memakai jaket jeans anak muda yang sedang trend yang biasa disebut jaket dilan.
Di antara teman-temannya Arman paling ganteng, paling kalem dan dewasa. Seingat Firda, usia Arman tidak jauh berbeda dengan Rangga, anak tirinya. Jika dilanjutkan kuliah, Arman satu angkatan dengan Rangga, semester dua. Setelah selesai melaksanakan PKL, Firda tidak pernah bertemu dengan dia atau bahkan sekedar mendengarnya. Arman tinggal di desa dan kecamatan yang berbeda.
“Memangnya Arman sakit apa, Pak?” Firda kembali bertanya tentang penyakit yang menyebabkan Arman meninggal dunia.
“Itulah Neng…” Pak Hasan tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah menatap mata Firda dengan seksama seolah mencari sesuatu yang hilang atas kebimbangan ucapannya.
“Kami juga tidak tahu. Arman meninggal secara ngedaadak waktu dia sedang tidur di kamarnya. Kata dokter sih serangan jantung, tapi masa sih masih muda jantungan? Dia sama sekali tidak mengeluh sakit apa-apa sebelum tidurnya.” Pak Hasan menjelaskan panjang lebar dengan raut wajah yang semakin mendung.
“Astagfirullah. Namanya usia bener-bener rahasia Allah ya, Pak. Mudah-mudahan saja almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Dia anak baik, santun dan cerdas. Semoga keluarga yang ditinggalkannya pun ikhlas dan tabah. Insya Allah besok atau lusa saya ngelayat ke sana, Pak. Kebetulan saya juga kenal ibunya. Memangnya kapan meninggalnya, Pak?” tanya Firda setelah bicara panjang lebar.
“Tiga hari yang lalu. Bapak udah dua malam nginep di rumah orang tuanya. Setiap malam bapaknya Arman masih ngamuk-ngamuk dan ibunya juga gak berhenti-berenti nangis.” Pak Hasan melanjutkan ceritanya.
“Oh ya? Wajarlah Pak, kalau gak salah, Arman kan anak satu-satunya ya? Pasti keluarganya sangat kehilangan,” ucap Firda berempati.
“Iya Neng. Bukan hanya kehilangan, tapi yang ngebuat bapaknya ngamuk itu, sakit hati. Banyak tetangga yang menyebarkan fitnah kalau Arman meninggal karena dijadiin wadal atau tumbal pesugihan oleh bapaknya sendiri.” Wajah Pak Hasan yang polos dan jujur terlihat makin mendung dan keruh.
“Astagfirullah! masa setega itu tetangganya, Pak?” Firda kembali terperanjat. Matanya pun kembali terbelalak dikejutkan dengan berita yang sangat memprihatinkan itu.
Sejatinya Firda bukan orang yang mudah percaya dengan hal ghaib semacam pesugihan, pelet dan sejenisnya. Namun yang membuatnya tidak mengerti sekaligus prihatin adalah masih adanya orang-orang yang tak berakhlak dan kehilangan empatinya terhadap sesama tetangga yang sedang berduka.
Dimana rasa kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong yang katanya menjadi ciri khas masyarakat perkampungan.
“Yang paling mengherankan lagi, justru yang pertama memfitnah itu Pak Ujer.”
“Siapakah Pak Ujer itu?” tanya Firda penasaran.
“Kakeknya Arman atau mertuanya Arnadi, bapaknya Arman. Dia menuduh menantunya melakukan pesugihan. Padahal dia tahu Arnadi usaha jelas adanya, sudah maju dari dulu juga. Tidak mungkin Arnadi tega menumbalkan anak semata wayangnya untuk ….”
Pak Hasan menghentikan ucapannya. Dia menatap wajah Firda yang tiba-tiba melongo, tegang dan pucat seperti melihat sesuatu yang menakutkannya.
“Neng. Neng Firda kenapa? Kok bengong begitu, Neng? Neng… Neng Firda!” Pak Hasan bicara sambil mengibas-ibaskan tangannya tepat depan mata Firda yang memandang jauh namun tampak kosong.
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa