Share

Hilangnya Kepercayaan

"Aku akan bertanggung jawab atas kehamilan Sintia. Maafin aku Melati, aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengkhianati kamu tapi malam kejadian itu membuat aku tidak sadarkan diri!" jujur Rifaldi yang membuat ayah melati mengalami sesak nafas secara tiba-tiba

"Ayah!" teriak Melati yang merasa panik.

"Pak, bapa kenapa jadi begini?" Pak bangun pak!" pinta Bu Sukma sambil menangis.

Pak Rian pun segera dibawa ke kamarnya untuk dibaringkan.

"Bu, apa yang terjadi dengan ayah?" tanya Melati pada ibunya.

"Kita berdoa saja agar ayah kamu baik-baik saja yah, Sayang!" sahut Bu sukma menenangkan putrinya meski dirinya pun panik.

Sementara itu, ayah Rifaldi yang merasa bersalah, segera menelpon seorang dokter--meninggalkan Melati dan keluarganya berada di dalam kamar.

Sidang  Rifaldi masih berlanjut.

Kedua orang tuanya tampak kecewa padanya.

"Rifaldi, kamu lihat karena ulah kamu ini pak Rian sampai jatuh sakit seperti itu!" marah sang ayah, "sekarang, siapa yang harus disalahkan atas kejadian ini?"

"Maafin aku pah, aku benar-benar terjebak!" sahut Rifaldi mulai menangis juga.

"Sekarang kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan terhadap Sintia. Dia saat ini sedang mengandung anak kamu, darah daging kamu!"

Rifaldi hanya bisa menunduk, sementara ayah Sintia menghela napas lega. "Terima kasih pak Hardi, karena pak Hardi sudah melakukan hal yang benar dengan meminta Rifaldi menikahi anak saya!" ucapnya sambil melipatkan tangannya.

"Justru, harusnya saya yang merasa malu, Pak. Tolong jangan seperti itu. Saya akan pastikan kalau pernikahan Rifaldi dan Sintia akan dilakukan hari ini juga!"

"Baik pak, kalau begitu saya akan mempersiapkan semuanya."

Sintia dan orang tuanya lalu keluar dari ruangan itu.

Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Rifaldi kembali berbicara, "Pah, kalau aku menikahi Sintia lalu bagaimana dengan pernikahanku dan Melati?"

"Aku sangat mencintai Melati, Pa!" tambahnya.

"Kamu masih bertanya tentang pernikahan kamu dan Melati?" murka sang ayah cepat, "sudah jelas, pernikahan kamu dan Melati tidak akan pernah terjadi karena ulahmu sendiri!" 

Nada bicara pria itu meninggi.

Ia tak habis pikir anak bungsunya yang biasanya menurut ternyata lebih parah dibanding Devan yang biasanya melawan.

Menghamili anak orang?

Lalu, ingin menikahi wanita yang dicintai?

Yang benar saja!

"Papa jangan hanya menyalahkan Rifaldi seperti ini pah, bisa saja gadis itu memang sengaja melakukan itu semua atau bahkan dia yang menggoda anak kita terlebih dulu!"

Kini, Bu Ranti mencoba membela anak kesayangannya itu. Meski dia tak suka Melati, tetapi ia jelas tak suka cara Sintia mempermalukan putranya.

Melihat itu, Pak Hardi hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. "Mama ini selalu saja membela Rifaldi. Sekarang, papa minta mama untuk tidak membelanya lagi. Dia harus bertanggung jawab untuk menikahi Sintia," ucapnya lalu menatap tajam putranya, "sekarang, pergi ke rumah Sintia dan menikah dengannya!"

"Papa tidak bisa meminta Rifaldi ke sana hanya seorang diri saja, papa juga harus ikut!" ucap Bu Ranti cepat.

Pria itu menggelengkan kepala tak setuju. "Papa akan tetap di sini. Papa tidak bisa pergi dengan kondisi pak Rian yang sedang jatuh sakit. Lagi pula, Papa juga perlu menunggu Devan dan ibu datang ke sini!"

"Jadi, kamu saja yang menemani putra kesayanganmu ini pergi ke rumah calon istrinya!" pinta Pak Hardi pada sang istri.

Wanita itu syok sekali. Ia hendak membantah, tetapi Rifaldi tampak mendekatinya sembari menunduk pasrah. "Ayoh, Ma!" ajaknya.

Keduanya pun terpaksa melangkah pergi ke rumahnya Sintia untuk melangsungkan pernikahan yang diperintahkan Pak Hardi.

Hal ini membuat orang-orang bertanya apa yang sedang terjadi, termasuk Oma Laksmi yang datang tak lama kemudian.

Nenek Rifaldi itu tampak sekali bingung dengan akad cucunya.

"Ada apa ini, Hardi? Di mana Rifaldi? Kenapa suasananya terlihat tegang seperti ini? Bukankah harusnya akad pernikahan sudah dilangsungkan?" cecar wanita itu cepat.

Pak Hardi hanya bisa menghela napas panjang.

Digelengkan kepalanya lemah, lalu bicara, "Semuanya sudah berantakan!" 

"Kenapa bisa? Apa yang sudah terjadi?" tanya Oma Laksmi yang masih merasa penasaran.

Perlahan, Pak Hardi pun menceritakan semua yang telah terjadi pada wanita itu.

Oma Laksmi jelas terkejut. Ia bahkan menggeleng tak percaya. "Kenapa jadi seperti ini? Cucuku melakukan hal seperti itu?!"

"Tapi, Rifaldi sendiri sudah mengakuinya Bu. Sekarang, dia sedang berada di rumah Sintia bersama ibunya untuk melangsungkan pernikahan," sahut ayah Rifaldi itu cepat.

"Lalu bagaimana dengan nasib Melati? Sungguh malang nasibnya ditinggal menikah di hari pernikahannya sendiri. Aku sudah sangat merasa senang sekali karena akhirnya Melati akan menjadi menantu di rumah kita, tapi semua harapan ku hancur karena ulah cucuku sendiri!" ucap Oma Laksmi sambil menangis.

Hardi hanya bisa menenangkan ibunya itu. 

Hanya saja, ia tiba-tiba teringat anak sulungnya.

Tak hanya itu, sebuah ide pun muncul di kepalanya.

"Di mana Devan, Bu?" tanyanya cepat.

"Devan ada di depan, dia memilih untuk menunggu di mobil!" sahut Oma Laksmi.

"Tolong ibu ajak Devan untuk masuk ke dalam, sementara itu aku akan melihat kondisi pak Rian dulu," pinta pak Hardi.

"Memang apa yang akan kamu lakukan sekarang, Nak? Keluarga kita sudah membuat malu Melati dan keluarganya, bahkan kita sudah membuat mereka kecewa Hardi," bingung Oma Laksmi.

"Justru itu Bu, aku tidak ingin Keluarga ini menanggung malu dan beban seperti ini. Maka dari itu, aku meminta ibu untuk mengajak Devan masuk ke dalam, karena aku ingin pernikahan Melati tetap berjalan!"

"Apa kamu akan menikahkan Melati dengan Devan?" tanya Oma Laksmi mulai mengerti arah pembicaraan anaknya.

Hardi mengangguk cepat. "Tidak ada pilihan lain lagi selain meminta Devan menggantikan Rifaldi menikah, demi kehormatan kedua keluarga!" 

"Baiklah, ibu setuju dengan kamu. Ibu akan meminta Devan untuk masuk ke dalam," ucap Ibu Laksmi pada akhirnya.

Sementara itu, dokter yang ditelpon Hardi sudah datang.

Ia sedang memeriksakan kondisi Pak Rian yang masih terbaring lemah.

"Bagaimana dok dengan keadaan suami saya?" tanya Bu Sukma khawatir.

"Suami ibu mengalami shock berat, untung saja tidak membahayakan dirinya!" sahut dokter tersebut.

"Tapi, suami saya akan sembuh seperti semula kan dok?"

"Tentu saja, tapi saat ini kondisinya belum stabil. Jadi tolong untuk tidak membiarkan pak Rian mengalami stres berlebihan agar kondisinya cepat pulih!"

"Iyah baik dok, terima kasih!" sahut Bu Sukma.

Sesuai perkataan dokter, tak lama Pak Rian tampak membuka matanya kembali.

"Ayah?"

"Melati...." panggil lirih Pak Rian yang masih terbaring lemah, " Kemarilah nak!"

"Iya, Ayah!" sahut melati lebih dekat lagi dengan ayahnya.

"Ayah tidak tahu apa yang harus ayah lakukan saat ini. Ayah hanya takut karena pernikahan kamu yang gagal ini, membuat tidak akan ada laki-laki yang mau menikahi kamu ke depannya. Ayah takut kalau kamu tidak akan punya masa depan nak!" lirih Pak Rian sedih.

Melati menggeleng cepat. "Ayah tolong jangan bicara seperti itu. Melati tidak masalah sama sekali kalau memang Melati tidak akan pernah menikah seumur hidup. Yang terpenting untuk Melati, ibu dan ayah selalu di samping Melati!"

Gadis itu memeluk ayahnya. Ia merasa sedih membuat ayahnya sampai terbaring lemah seperti ini.

"Ayah hanya tidak ingin kamu jadi bahan pembicaraan orang lain nak, pasti para tetangga akan membicarakan kamu karena sudah gagal menikah!" Pak Rian terlihat menangisi nasib putrinya itu.

Sayangnya, suasana haru itu terhenti begitu Pak Hardi masuk mendadak.

"Maaf mengganggu, Pak Rian. Melati akan tetap menikah hari ini," ucap pria itu cepat, "Tidak usah khawatir karena Melati juga tetap akan menjadi menantu saya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status