Ivy mencoba memastikan sekali lagi. Ia memiringkan kepala, menatap lama inisial samar di pojok halaman itu.Huruf pertama tampak seperti ... huruf A? Tapi bagian lainnya tertutup tinta hitam tebal. Dari sisa guratan di bawahnya, samar-samar seperti membentuk nama.“... Voss?” gumam Ivy pelan, hampir tidak yakin dengan dugaannya sendiri.Ia mencoba menggeser kertas lain di bawahnya, berharap ada tembusan tulisan dari tekanan pena, tapi nihil.Dan anehnya, catatan itu seperti sengaja disembunyikan di antara berkas lama—bukan dokumen utama, melainkan salinan yang terlipat di balik map.Ivy menggigit bibir, memandangi catatan kecil itu sekali lagi.Ia tahu Ethan tidak akan melewatkan detail sekecil ini. Perlahan ia memahami cara kerja pria itu. Dan kalau pun Ethan berniat menyembunyikan darinya, tidak akan mungkin mudah ditemukan seperti ini di ruang kerja.Berarti, tulisan ini masih tersisa. Yang artinya memang ada sesuatu yang Ethan simpan untuk sementara waktu.Bukan karena Ethan tidak
Ivy memajukan wajah dengan spontan, dan bibir mengecup bibir Ethan. “Ya, aku puas. Sangat puas, Sayang. Terima kasih,” bisiknya, setengah terengah.Ethan kembali menatap sang istri dalam-dalam. “Kau menikmatinya?”“Sangat,” angguk Ivy. “Bagaimana denganmu?”Ethan tersenyum. Senyum yang membuat Ivy terpana. Dalam situasi seperti apa pun, Ethan tetap selalu terlihat sempurna, tanpa cela.“Aku juga, Sayang ...” Lalu ujung jarinya mencolek hidung Ivy. “Justru aku nyaris kewalahan menghadapimu yang sangat ‘lapar’ hari ini.”Ivy tertawa, tanpa rasa canggung, tapi tetap saja tersipu.Mereka mulai mengenakan pakaian secara bergantian. Ivy dibantu oleh Ethan, begitu pun sebaliknya.Saat mereka sudah berpakaian lengkap kembali, Ivy menawarkan bantuan, ketika melihat segaris lelah di raut Ethan. “Mau aku yang menyetir kali ini?”Sedetik hening, lalu Ivy tersentak begitu ia sadar bahwa dirinya masihlah ‘Isla’ di mata semua orang, termasuk pria di sampingnya itu.“Kau ... bisa menyetir—”“Hahaha,
Tangan Ethan mencengkeram bokong Ivy, mengangkat dari pangkuannya dengan mudah. “Pergilah ke belakang, sekarang.” Ia segera membantu Ivy memanjat ke kursi belakang.Rok Ivy yang nyaris tersingkap, ditarik oleh Ethan dengan sengaja.“Aww!” Ivy memekik pelan, lalu tertawa bersama Ethan saat menyadari bahwa roknya sudah terjatuh ke lantai mobil.Hanya blus terbuka kancing depan seluruhnya dan celana dalamnya yang tertinggal di tubuh. Dan Ivy tidak merasa khawatir sama sekali, karena jendela mobil Ethan sepenuhnya berkaca gelap, tidak tembus keluar.Ivy langsung berbaring di kursi belakang, kulit hitam kursi terasa dingin di punggungnya, mengantarkan sensasi sampai membuat putingnya mengeras lebih jelas.Ia membuka kakinya lebar-lebar. Seketika vaginanya berkilau dari kelembapan, dan matanya terkunci pada Ethan yang mengikuti. Tubuh pria itu kini telanjang. Memamerkan tubuh yang berotot. Terlihat kuat dan gagah di bawah cahaya senja yang redup.“Ayo, Ethan, bercintalah denganku,” desah Iv
Ethan mengangguk, menarik Ivy lebih erat ke dalam dekapannya, “Itu sudah jadi tugasku, Sayang.” Lalu ia mencium bibir Ivy lembut, kontras dengan apa yang sudah terjadi di antara mereka tadi. “Aku akan bercinta denganmu seperti ini kapan pun kau menginginkannya.” Ivy terkekeh, kepalanya bersandar ke dada Ethan, mendengarkan detak jantung pria itu yang perlahan melambat. “Aku baru sadar sekarang, kalau tadi rasanya ... aku terlalu agresif,” balasnya, bukan malu, malah bernada nakal berbalut kehangatan. Ethan tersenyum, mencium kening Ivy. “Jadi kau tidak ingin bersikap seperti itu lagi saat kita bercinta nanti?” Ia bertanya dengan tangan yang masih melingkari pinggang wanita itu. Ivy terkekeh lagi. Mendongak sesaat untuk melihat ekspresi Ethan saat bertanya, lalu menjawab tanpa keraguan. “Keagresifanku pasti akan muncul saat bersamamu, Ethan.” Tawa berat dan pelan Ethan menggema mendengar suara penuh keyakinan istrinya, membuat hasratnya perlahan bangkit kembali. Namun ia menekan
Ethan tidak membuang waktu. Tangannya dengan cepat membuka ikat pinggang dan ritsleting celananya, menurunkannya sebatas bisa keluar dari desakan sebelumnya. Sekarang kejantanannya terbebas, keras dan berdenyut di antara paha Ivy. “Lihat ini, Sayang,” katanya serak, tangannya menggenggam batangnya, menggosokkan ke celana dalam Ivy, merasakan kelembapan yang membasahi kain. “Ini semua untukmu. Kau mau aku masuk sekarang?” “Ya, Ethan, masuklah ...” desah Ivy, suaranya nyaris frustrasi. Lalu tangannya menarik tepian celana dalamnya sendiri ke samping, memperlihatkan kewanitaannya yang basah dan siap. Ia pun menggeser pinggulnya, memposisikan diri tepat di atas batang Ethan, kepala kejantanan pria itu menyentuh pintu masuknya. “Aku ingin merasakan milikmu itu dalam-dalam,” racaunya, matanya terkunci pada Ethan, penuh hasrat. Ivy benar-benar terdesak oleh dorongan gairah yang membuatnya ingin bergerak secara brutal dan berucap terlewat vulgar. Dorongan itu semakin menghantam. Mem
Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu di mata Ivy. Campuran letih, lega, tapi juga dorongan yang sulit dijelaskan. Ethan tidak banyak bertanya lagi. Ia menepikan mobil ke sisi jalan, membiarkan mesin perlahan berhenti. Sudah ia persiapkan hal ini sebelumnya sebagai antisipasi situasi, sehingga para bawahannya mengerti apa yang harus dilakukan, tanpa menunggu perintahnya lagi secara langsung. Mereka paham untuk membuat jarak. Dan di dalam mobil, suasana hening menyelimuti kedua insan itu. Ivy memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti itu—sebuah dorongan yang begitu kuat dan agak mengganggu. Namun satu hal yang pasti ... di tengah semua kekacauan hari ini, yang ia butuhkan hanyalah Ethan. Ethan memiringkan tubuhnya, menatap wajah Ivy dari samping. “Kau baik-baik saja, Istriku?” tanyanya lembut. Alih-alih menjawab, Ivy membuka matanya dan menatap Ethan. Ada senyum samar di sudut bibirnya. Bukan senyum lega, tapi semacam sinyal bahw