Ivy pulih dengan cepat. Karena tekadnya kuat, dia sudah merasa lebih baik di hari kedua, walau sesekali ada yang terasa nyeri di bagian tubuhnya.
Setelah mendengar cerita Isla dari Mara, Ivy memutuskan akan tetap ada di Alden dan menjadi Isla untuk membalaskan penderitaan Isla dan mencari keberadaan ibunya.
Jadi, Ivy berencana untuk memindahkan Isla ke Norwick dan menukar identitasnya dengan Isla. Agar orang-orang di Norwick dan keluarganya mengetahui bahwa wanita yang terbaring lemah dan wajahnya yang dibalut perban itu adalah Ivy yang mengalami kecelakaan di Alden.
Ivy mengambil ponselnya yang kemarin mati total, hari ini sudah diisi penuh daya baterai.
Begitu ponselnya menyala, ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab, salah satunya dari Adrian—orang kepercayaannya di Norwick yang selalu bisa diandalkan.
Selang semenit, ponsel Ivy bergetar. Panggilan telepon dari Adrian.
“Halo, Nona Ivy?” Suara panik Adrian terdengar di seberang. “Akhirnya, Anda bisa dihubungi.”
“Ya, sesuatu terjadi padaku, Adrian.”
“Apa yang terjadi, Nona?”
“Nanti saja kita bicara. Kau cepat kemari,” perintah Ivy. “Aku di rumah sakit Capital di Alden.”
“Rumah sakit? Apa yang terjadi pada Anda, Nona? Apa Anda baik-baik saja? Ayah dan kakek Anda—”
“Jangan beritahu mereka dulu,” sela Ivy. “Aku sudah baik-baik saja. Untuk sementara ini, rahasiakan dari mereka berdua, mengerti?”
“Baik, Nona. Kalau begitu saya akan segera ke sana.”
Tidak lama, ketika pintu ruang rawatnya diketuk dua kali, lalu terbuka perlahan.
Akhirnya Adrian datang. Pria itu melangkah masuk dengan setelan abu-abunya, rapi seperti biasa.
Dan Ivy mulai menceritakan apa yang terjadi. Tentang bagaimana secara tidak sengaja dia kembali bertemu dengan saudara kembarnya, sampai kecelakaan terjadi pada mereka berdua dan bagaimana kehidupan Isla selama ini. Tentu juga perihal Ethan yang menuntut cerai Isla karena perselingkuhan.
“Jadi, apa yang akan Anda lakukan, Nona?” tanya Adrian setelah mendengar cerita Ivy.
“Pertama-tama, lakukan pemindahan segera, Adrian. Aku mau Isla mendapatkan perawatan terbaik di Norwick, dan katakan pada mereka bahwa Isla adalah aku yang kecelakaan di Alden. Jadi, aku akan menjadi Isla di Alden.”
Ada keraguan di mata Adrian. “Tetapi, Nona—”
“Jangan tunda, segera lakukan.” Ivy mulai terlihat tidak sabar.
Adrian hanya bisa mengangguk patuh. “Segera setelah saya keluar dari sini, akan saya laksanakan." Namun Adrian tidak bisa tidak bertanya. “Tapi Nona, apa Anda yakin dengan rencana Anda? Ini bisa jadi berbahaya—”
“Aku tidak peduli,” potong Ivy. “Isla tidak pantas menderita seperti ini. Dan mengenai keluarga Winchester. Cari tahu, Adrian. Apa pun yang kau temukan, aku harus tahu.”
Adrian terdiam sejenak, lalu menjawab. “Baik, Nona. Tapi sepertinya akan membutuhkan waktu. Tidak mudah menggali informasi yang sangat pribadi dari keluarga berpengaruh seperti Winchester.”
“Tidak masalah. Cari tahu saja pelan-pelan, tapi pasti.”
Setelahnya mengiyakan perintah Ivy, Adrian menunduk pamit dari hadapannya.
Baru saja pintu kamar tertutup, pintu itu terbuka lagi dengan perlahan dan muncul sesosok pria.
Ethan Winchester berdiri di sana, tersirat ekspresi kemarahan samar di wajahnya. “Saatnya kita membicarakan masalah perceraian.”
Ekspresi Ivy dingin ketika melihat suami Isla muncul di sana. “Sebegitu bencinya kau padaku sampai bersikeras menceraikanku sekarang juga?”
Ethan tertegun melihat Ivy saat ini. Lalu, dengan dingin dia membalas, “Sikapmu itu yang membuatku menjadi seperti ini.”
Ivy tersenyum sinis mendengar jawaban Ethan. “Oke, kalau begitu mari kita bercerai, Ethan. Aku setuju. Tapi sebelum itu, aku mau kau penuhi syarat dariku terlebih dulu.”
Ethan terdiam sejenak, matanya menyipit menatap Ivy. “Katakan. Apa maumu?”
Ivy mendengus samar. Bahkan ketika Ivy mengajukan syarat perceraian, begitu santainya Ethan menanggapi. Ethan mungkin menganggapnya cuma menggertak, tetapi Ivy akan serius.
“Aku tidak butuh hal lain darimu, hanya 50% saham, semua properti utama, dan kompensasi 100 juta dolar.” Santai dan dengan senyum tidak mencapai mata, Ivy menatap Ethan, menunggu reaksi pria itu.
Ivy jelas tidak membutuhkan uang tunjangan apa pun. Sebagai CEO Harrington, kekayaannya sudah jauh melampaui batas kebutuhan. Keluarganya, para Harrington, telah hidup dengan kemewahan sejak beberapa generasi terdahulu. Tapi ini bukan soal uang. Ini tentang keseimbangan.
Jika Ethan keberatan, maka setidaknya kali ini, Ivy berhasil membuat pria itu merasa kehilangan sesuatu.
Dan ini cuma satu dari sekian banyak rencana balas dendamnya terhadap Ethan.
Tidak tersentak, tidak mengernyit, cuma menatap lekat. Reaksi Ethan hanya itu selama beberapa detik, sampai akhirnya dia membuka mulut.
“Kalau begitu, kita batalkan saja perceraiannya.”
Mata Ivy membola.
Pria ini bilang apa?
Ethan mengangguk, menarik Ivy lebih erat ke dalam dekapannya, “Itu sudah jadi tugasku, Sayang.” Lalu ia mencium bibir Ivy lembut, kontras dengan apa yang sudah terjadi di antara mereka tadi. “Aku akan bercinta denganmu seperti ini kapan pun kau menginginkannya.” Ivy terkekeh, kepalanya bersandar ke dada Ethan, mendengarkan detak jantung pria itu yang perlahan melambat. “Aku baru sadar sekarang, kalau tadi rasanya ... aku terlalu agresif,” balasnya, bukan malu, malah bernada nakal berbalut kehangatan. Ethan tersenyum, mencium kening Ivy. “Jadi kau tidak ingin bersikap seperti itu lagi saat kita bercinta nanti?” Ia bertanya dengan tangan yang masih melingkari pinggang wanita itu. Ivy terkekeh lagi. Mendongak sesaat untuk melihat ekspresi Ethan saat bertanya, lalu menjawab tanpa keraguan. “Keagresifanku pasti akan muncul saat bersamamu, Ethan.” Tawa berat dan pelan Ethan menggema mendengar suara penuh keyakinan istrinya, membuat hasratnya perlahan bangkit kembali. Namun ia menekan
Ethan tidak membuang waktu. Tangannya dengan cepat membuka ikat pinggang dan ritsleting celananya, menurunkannya sebatas bisa keluar dari desakan sebelumnya. Sekarang kejantanannya terbebas, keras dan berdenyut di antara paha Ivy. “Lihat ini, Sayang,” katanya serak, tangannya menggenggam batangnya, menggosokkan ke celana dalam Ivy, merasakan kelembapan yang membasahi kain. “Ini semua untukmu. Kau mau aku masuk sekarang?” “Ya, Ethan, masuklah ...” desah Ivy, suaranya nyaris frustrasi. Lalu tangannya menarik tepian celana dalamnya sendiri ke samping, memperlihatkan kewanitaannya yang basah dan siap. Ia pun menggeser pinggulnya, memposisikan diri tepat di atas batang Ethan, kepala kejantanan pria itu menyentuh pintu masuknya. “Aku ingin merasakan milikmu itu dalam-dalam,” racaunya, matanya terkunci pada Ethan, penuh hasrat. Ivy benar-benar terdesak oleh dorongan gairah yang membuatnya ingin bergerak secara brutal dan berucap terlewat vulgar. Dorongan itu semakin menghantam. Mem
Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu di mata Ivy. Campuran letih, lega, tapi juga dorongan yang sulit dijelaskan. Ethan tidak banyak bertanya lagi. Ia menepikan mobil ke sisi jalan, membiarkan mesin perlahan berhenti. Sudah ia persiapkan hal ini sebelumnya sebagai antisipasi situasi, sehingga para bawahannya mengerti apa yang harus dilakukan, tanpa menunggu perintahnya lagi secara langsung. Mereka paham untuk membuat jarak. Dan di dalam mobil, suasana hening menyelimuti kedua insan itu. Ivy memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti itu—sebuah dorongan yang begitu kuat dan agak mengganggu. Namun satu hal yang pasti ... di tengah semua kekacauan hari ini, yang ia butuhkan hanyalah Ethan. Ethan memiringkan tubuhnya, menatap wajah Ivy dari samping. “Kau baik-baik saja, Istriku?” tanyanya lembut. Alih-alih menjawab, Ivy membuka matanya dan menatap Ethan. Ada senyum samar di sudut bibirnya. Bukan senyum lega, tapi semacam sinyal bahw
Langkah Ivy baru sampai di ambang pintu ketika suara Stella meledak di belakangnya. “Kau pikir kau siapa, hah?!” teriaknya. “Kau cuma sampah yang kebetulan dilindungi Ethan! Tidak tahu malu! Tanpa dia, kau bukan siapa-siapa!” Ivy berhenti. Ia tidak menoleh. Stella semakin marah karena sikap tenang dan acuh Ivy. “Jangan berlagak tenang! Aku tahu kau bukan Isla! Aku tahu kau cuma perempuan murahan yang—” Suaranya terhenti begitu Ivy berbalik cepat. Tatapan Ivy tajam, cukup untuk membuat Stella menelan ludah tanpa sadar. Tapi rasa marahnya menutup rasa takut itu. Sehingga ia melangkah maju dan mengayunkan tangan ke arah Ivy. Gerakan Stella cepat, tapi Ivy lebih cepat lagi. Tangan Ivy menahan pergelangan Stella di udara, cengkeramannya kuat dan terkendali. Dalam sekejap, suara desis keluar dari bibir Stella. Antara terkejut dan kesakitan. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu,” ucap Ivy datar, dingin, nyaris berbisik tapi bernada tegas. Ia mendorong tangan Stella menjauh, l
Ivy hanya mendengarkan. Tidak satu pun perubahan di wajahnya, karena ia menyadari kalau itu cuma asumsi Stella semata. “Hmm ... kau juga licik dalam menilai.”Stella mendengus. “Jadi kau mengakui bahwa dirimu bukan Isla?”Ivy tersenyum tipis. Semakin yakin Stella hanya tahu sebatas itu dan terus bicara menurut pendapat pribadi, menduga tanpa bukti. Tapi agar lebih yakin, ia harus mendorong jalang licik itu lebih jauh lagi. “Aku tidak perlu mengakui sesuatu yang tidak bisa kau buktikan.”Langkahnya maju dua langkah, semakin dekat ke Stella. “Justru kau yang perlu menjawab pertanyaanku.”Tatapan Stella berubah waspada. Mendengus, sambil menyeringai. “Untuk apa aku harus menjawab pertanyaanmu?”Ivy menaikkan kedua alis, melipat tangan di depan dada, lalu mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Sudah kuduga saat kau bilang akan menunjukkan bukti padaku soal identitas itu, rupanya hanya bualanmu saja, ya Stella?”Ekspresi Stella berubah. Tubuhnya menegang,
Ethan mengangguk pelan, tapi saat Ivy akhirnya menarik tangannya perlahan, genggaman pria itu ikut melemah, namun masih menahan dengan satu hal kecil—ujung jari kelingking Ivy yang tetap ia tahan sampai dilepas oleh wanita itu pada akhirnya.Sebelum berbalik, Ivy melambai sekilas. Ethan membalas, menatap lurus ke arah wanitanya yang sudah berbalik pergi.Di halaman mansion, mobil hitam sudah menunggu. Martin berpakaian kasual pagi ini. Pria itu menunduk hormat begitu Ivy naik ke kursi belakang.Tidak ada tanda-tanda pengawalan mencolok, tapi dua kendaraan lain tampak berjarak di depan dan belakang mobil itu.Sudah jelas orang-orangnya Ethan menjaga perjalanannya, bahkan sampai di tempat tujuan.Mereka bukan pengawal berseragam. Hanya memantau yang selalu ada di radius pandang, memastikan Ivy tidak benar-benar sendirian, tapi juga tidak membatasi ruang geraknya.Sesuai permintaannya pada Ethan.Perjalanan menuju ke tempat persembunyian Stella memakan waktu hampir dua jam. Jalanan semak