LOGIN“Apa maksudmu tidak jadi bercerai?! Kenapa?!” seru Ivy dengan emosi yang agak memuncak.
Jelas-jelas pria ini yang mengajukan perceraian, tapi begitu Ivy mengajukan persyaratannya, pria itu membatalkan niatannya?
Bukankah pria ini calon pewaris keluarga Winchester yang terhormat, tidak mungkin dia merasa keberatan dengan persyaratan Ivy, bukan!?
Masih terlihat tenang, Ethan pun menjawab, “Karena memenuhi persyaratan itu berarti membiarkanmu mencapai tujuanmu.”
Ivy mematung.
Apa maksud ucapan pria itu?
Apa Ethan menyadari bahwa dirinya bukan Isla?
Di saat itu, Ethan angkat bicara. “Dua tahun lalu, kau menjebakku untuk menjadi Nyonya Winchester. Sekarang, kau ingin melepas status itu selagi tetap mendapatkan keuntungan? Apa kau kira aku akan mengabulkannya begitu saja?”
Kalimat Ethan membuat jantung Ivy berdebar keras, entah apakah karena dia merasa terintimidasi atau karena kebencian semakin menumpuk dalam hatinya terhadap pria picik tersebut.
Yang jelas, Ivy tahu … Ethan sangat membencinya, membenci Isla.
Tepat di saat Ivy ingin angkat bicara, mendadak ponsel Ethan bergetar. Tulisan ‘Kakek’ tertera di layar.
Tanpa menjauh dari sana, Ethan langsung menjawab panggilan telepon sang kakek. “Halo, Kek—”
“Apa-apaan perbuatanmu itu, hah?” Di seberang, Leonard Winchester terdengar meninggikan suaranya. “Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan.”
Ethan tidak menjawab, tapi melirik Ivy sekilas.
“Bagaimana kondisi istrimu sekarang?” Leonard langsung bertanya tanpa jeda.
“Sudah jauh lebih baik.” Tanpa nada berarti, tanpa ekspresi.
“Bawa dia kemari. Aku ingin bertemu dengannya.”
Ethan tidak langsung mengiyakan, melainkan kembali melirik Ivy yang ternyata sedang menatapnya.
“Ethan? Kau dengar aku?” Leonard di seberang mulai kehilangan kesabaran.
“Baiklah.” Tanpa menunggu, Ethan langsung mengakhiri panggilan telepon dan menatap Ivy. “Bersiaplah. Kita pulang. Kakek ingin bertemu denganmu.”
Tidak perlu waktu lama, Ethan dan Ivy pun tiba di kediaman Winchester. Terlihat di ruang tamu, kakek beserta kedua orang tua Ethan telah duduk di sana.
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah, dan Anastasia—ibu Ethan, terlihat cantik dengan senyuman lembut dan hangat. Sesuatu yang Ivy tahu adalah sebuah kepalsuan berdasarkan cerita dari Mara.
Leonard menatap kesal pada cucunya. “Aku hanya pergi sementara untuk perjalanan bisnis, tetapi kau!” Mencengkeram tongkatnya erat sambil melotot. “Kau malah menggunakan kesempatan itu untuk menceraikan Isla? Dasar cucu kurang ajar!”
Tidak ada perubahan pada wajah Ethan. Tidak ada ketegangan di rahangnya, tidak ada gerakan kecil yang menandakan perlawanan atau pembelaan. Dia tetap diam, membiarkan kata-kata itu bergema tanpa terburu-buru menanggapinya.
Ivy tidak habis pikir kenapa Isla mau berusaha menjadi istri yang baik untuk pria dingin, arogan, dan kurang ajar seperti Ethan.
Ivy sungguh membencinya. Dan kalau sampai Ivy temukan bukti bahwa pria ini, maupun keluarganya, terlibat dengan penderitaan yang Isla alami, Ivy akan pastikan untuk membereskan mereka semua!
Leonard mengangkat tongkatnya, sampai ujungnya menunjuk langsung ke dada Ethan. Matanya dipenuhi kemarahan. “Kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu, hah? Kau menunggu sampai aku pergi untuk melakukan ini? Benar-benar kurang ajar!”
Semua yang ada di sana, diam. Tidak ada yang berniat buka suara, termasuk Ethan. Tidak ada tanda-tanda dia akan mengambil tindakan, apalagi membuka mulutnya untuk bicara.
Sementara kedua orang tua Ethan tetap tenang, Ivy merasa agak canggung berada di situasi ini.
“Kau akan diam saja?” Leonard mendengus kesal. Amarahnya sudah agak terkontrol, meski belum sepenuhnya reda.
Ethan menatap kakeknya. Tidak ada yang bisa menebak apa sebenarnya yang diinginkan Ethan, apalagi apa yang ada di pikiran pria itu. Walau Leonard sekalipun, tidak akan mudah ‘menundukkan’ Ethan.
“Dia berselingkuh. Mencoreng nama baik keluarga kita. Bukankah wajar bila aku mengajukan perceraian?” Dengan tenang, Ethan menjawab.
Brak!
Leonard memukul meja kayu ek di hadapannya dengan ujung tongkatnya. Nadinya terlihat menegang. “Omong kosong!”
Ayah dan ibunya Ethan cuma saling pandang. Mereka tidak mau ikut campur, karena paham betul Leonard seperti apa dan sadar kalau Ethan memang tidak butuh pertolongan.
“Kakek—”
“Tutup mulutmu, Ethan!” hardik Leonard pada si cucu yang memang langsung menutup mulutnya, walau tanpa ekspresi.
“Aku tahu kebenarannya. Istrimu tidak selingkuh.” Pria tua itu kemudian melemparkan setumpuk foto ke atas meja, tepat di hadapan Ethan dan Ivy. “Istrimu dijebak, foto-foto ini adalah rekayasa. Dan kamu…” Pandangan Leonard menggelap. “…sudah menjadi suami tidak berguna, yang membiarkan reputasi istrimu rusak begitu saja. Kau bahkan tidak memercayainya!”
Ethan menautkan alis, tapi makna ekspresinya tidak terbaca. Entah apakah dia marah karena dihina sang kakek … atau merasa bersalah karena sudah salah sangka terhadap Isla.
Dari pemahaman Ivy terhadap sifat pria tersebut, dia lebih percaya pria itu marah karena dihina.
Di saat Ivy berpikiran seperti itu, dia mendapati Ethan tiba-tiba meliriknya, membuat wanita itu terkejut dan bertanya-tanya, kenapa Ethan menatapnya?
Melihat Ivy dan Ethan saling bersitatap penuh ketegangan, Leonard bersandar di kursinya dan menghela napas dalam. Lalu, dengan nada santai tapi menusuk, dia berkata, “Kalau kalian tetap ingin bercerai, aku tidak akan menjalani operasi itu!”
Seketika, Ivy dan Ethan memecah tatapan mereka dan beralih memandang Leonard. Begitu pula dengan Anastasia dan Frederick.
“Ayah! Jangan mengancam seperti itu! Kesehatan Ayah sangat penting!” seru Anastasia dengan wajah khawatir, sebuah kepalsuan karena hal yang Ivy yakini wanita itu inginkan adalah perceraiannya dengan Ethan.
Leonard mendengus, matanya menyipit tajam. “Aku tidak mengancam. Aku hanya memberitahumu konsekuensi dari keputusan bodoh putramu itu.” Dia mengetuk ujung tongkatnya lagi ke lantai, suaranya bergema di ruangan. “Kalian pikir aku takut mati? Kalau Ethan tetap berakhir menceraikan Isla, aku tidak akan menjalani operasi itu, dan kalian yang harus menanggung akibatnya!”
Frederick dan Anastasia tahu Leonard bukan hanya bicara omong kosong. Kondisi jantung pria tua itu sudah memburuk dalam beberapa bulan terakhir, dan dokter sudah menyarankan operasi sebelum terlambat. Tapi Leonard, dengan keras kepalanya, terus menunda. Sekarang dia justru menggunakannya sebagai senjata untuk mengendalikan Ethan!
“Kami memang tidak jadi bercerai.”
Kalimat itu membuat seisi ruangan hening.
Bukan hanya Ivy, tapi Frederick, Anastasia, dan Leonard menoleh cepat ke arah Ethan.
“Kau bilang apa?” tanya Anastasia, sedikit tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Ethan menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu mengulangi kalimatnya dengan santai, “Aku dan Isla, kami sudah sepakat untuk tidak jadi bercerai.”
Tatapannya kini sepenuhnya berada pada Ivy. “Aku tidak memutuskannya karena terpaksa. Aku ingin memulai hidup yang baru, di tempat di mana tidak ada ekspektasiku sendiri yang menghimpitku setiap hari.”Ivy masih terlihat keberatan dan tidak percaya. Ia merasa curiga, namun tidak punya bukti untuk mengungkapkan apa pun di sini sekarang. Sehingga ia memilih diam, mencoba memahami keputusan sang adik.Lalu ia melirik Adrian yang menurut penilaiannya, terlihat tegang. Orang kepercayaannya itu bahkan sesekali tertangkap basah menatap Isla nyaris tidak berkedip.Sekarang ia menoleh menatap suaminya. Berharap Ethan mengatakan sesuatu. Pria itu malah tersenyum tipis padanya. Tidak mengucapkan apa pun, tapi menenangkannya tanpa berhenti dengan mengusap semakin intens di perut sampingnya.Karena hening yang terasa lebih dari lima menit, seakan semua orang yang duduk melingkari meja makan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing, Arthur mengambil alih.Arthur yang seolah memvalidasi kejujuran
“Bukan begitu,” sanggah Adrian. Membalas pelukan erat Isla, sambil mengelus, menelusuri punggung telanjang wanita itu dengan ujung-ujung jemarinya. “Aku hanya ingin kau tetap nyaman. Tapi kalau kau tetap mau tidur dalam keadaan kita yang seperti ini, aku tidak keberatan sama sekali.”Isla menghela napas. Lelah dan pasrah yang tidak karuan. Mencoba memejamkan mata di pelukan pria yang sangat ia dambakan itu.Berselang beberapa menit, ia berhasil menutup mata dan tidur dengan nyaman.Sebelum pagi tiba, Adrian terbangun lebih dulu. Ia memindahkan Isla perlahan dari atas tubuhnya, lalu menyelimuti dengan rapat.Ia berniat mengecup bibir dan kening wanita itu sebelum menyelinap pergi, tapi batal ia lakukan karena tidak ingin membangunkan Isla yang terlihat lelah.“Sampai nanti, Isla.” Ia bergumam pelan, lalu berbalik, melangkah meninggalkan kamar Isla dengan hati-hati.Beberapa jam kemudian.Isla turun ke ruang makan dengan gaun sutra yang tertutup rapat hingga ke leher, menyembunyikan s
Adrian terdiam sejenak. Bukan sedang memikirkan jawaban, namun memastikan bahwa jawabannya tidak memberi efek yang tidak diinginkan terhadap Isla yang rentan.“Ya, aku menikmatinya. Dan kuharap, kau pun begitu.”Isla tidak membalas, ia cuma memberi reaksi dengan semakin menempelkan telinganya ke dada Adrian.Suara detak jantung Adrian yang liar di telinganya menjadi satu-satunya kenyataan yang ia percayai. Bahwa pria itu jujur mengenai apa yang dirasakan—menikmati seks mereka sampai sejauh ini.Mereka terus bergerak. Gerakan Adrian memang pelan, tapi sentakannya sangat dalam, menghadirkan gelombang menuju ke puncak yang kali ini datang dengan perlahan.“Haaaa ...” Isla merintih lembut, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Adrian saat kepuasan itu menjalar pelan namun dalam.Adrian pun tidak lama kemudian menyusul, ia membenamkan wajahnya di rambut Isla, menghirup aromanya, lalu mendekap wanita itu seerat mungkin seolah-olah jika ia melepaskan, Isla akan benar-benar pergi dan tidak
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia justru menarik tengkuk Adrian dan menciumnya dengan sisa tenaganya, sebuah jawaban bisu yang penuh kepasrahan. Dengan satu dorongan yang dalam dan mantap, Adrian masuk sepenuhnya. Ia merasakan hambatan fisik yang nyata. Sebuah konfirmasi final atas kemurnian Isla yang sebelumnya hanya ia rasakan lewat ujung jari dan mulutnya. Adrian menggeram pelan saat merasakan sensasi ketat yang luar biasa, seolah tubuh Isla menjepitnya dari segala arah, menolak sekaligus memuja kehadirannya. Isla tersentak, tubuhnya menegang hebat dan kuku-kukunya mencengkeram bahu Adrian hingga meninggalkan bekas. Sekali, dua kali, sampai berkali-kali ia memberi tanda garis kasar memerah di punggung Adrian untuk melampiaskan segalanya. Ia memejamkan mata rapat-rapat saat rasa sakit yang tajam, namun panas menyebar di perut bawahnya. Air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh begitu saja. Tidak. Ini bukan air mata kesedihan, apalagi penyesalan. Lebih tepat jik
Isla terpaku. Tertegun mendapati keberanian Kairos yang sangat kontras dengan keragu-raguan Adrian.Kairos melangkah satu tindak lebih dekat, tidak sampai melewati ambang pintu, menghormati privasi Isla namun tetap terasa mendominasi.“Kau terlihat lelah, Isla,” lanjut Kairos. Ia menyebut namanya tanpa embel-embel apa pun, menciptakan keintiman instan yang membuat Isla merinding. “Keluarga Harrington adalah tempat yang keras. Aku tidak datang untuk menambah bebanmu. Aku datang untuk menawarkan jalan keluar.”Isla menelan ludah. “Jalan keluar?” “Kebebasan. Perlindungan yang tidak mengharuskanmu bersembunyi atau belajar menjadi orang lain ...” Kairos tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa sangat hangat dan dewasa. “Aku mendengar kau banyak belajar mengenai perusahaan. Jika kau bersamaku, kau tidak perlu menggantikan Ivy. Kau cukup menjadi Isla.”Tepat saat itu, Isla melihat siluet di ujung koridor. Adrian.Pria itu berdiri di kegelapan, membeku melihat Kairos berada di depan k
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Adrian dengan lapar. Lidahnya menyusup masuk dengan berani, menari liar dengan lidah Adrian yang segera membalas dengan keintiman yang sama.Tubuh mereka menekan erat. Payudara telanjang Isla menempel pada dada Adrian, sementara putingnya yang mengeras bergesekan dengan kain kemeja pria itu, membuatnya mendesah di sela ciuman.“Adrian ...” Isla memutus tautan bibir mereka sejenak, napasnya tersengal dan matanya menggenang karena gairah. “Sentuh aku lagi. Aku masih basah untukmu ... aku ingin merasakan jari-jarimu di dalam diriku lagi, sekarang.”“Isla ...” Adrian menggeram pelan, sisa kendali dirinya terbakar habis. Ia membalikkan tubuh Isla hingga gadis itu terlentang di bawahnya. Selimut yang tersingkap memperlihatkan kulit Isla yang merona di bawah cahaya pagi.Tatapan Adrian menyapu setiap inci tubuh di bawahnya—dari dada yang naik-turun cepat hingga bagian intim yang sudah berkilau karena cairan alami







