Terima kasih sudah membaca.. Selamat beristirahat đź’•
"Ini lumah aku, Bunda. Ayah membelikan untukku."Rachel melipat tangan di depan dada dan dagunya sedikit mendongak, terlihat sekali dia sedang menyombongkan hadiah dari ayahnya. Jika tak sedang bersama Rangga, Vina pasti sudah tertawa oleh sikap Rachel. Vina mengecup kening Rachel guna menutupi bibirnya yang hampir terbuka karena tawa.Rachel telah bertekad agar terus bisa bersama ayahnya. Dia tak ingin melihat Rangga tenggelam atau pergi ke surga. Dengan sedikit bujukan tak langsung dari Rangga juga tentunya.'Ayah tidak akan tenggelam atau pergi ke surga asalkan Rachel mau menemani Ayah selamanya.' Satu kalimat yang dilontarkan Rangga itu, mungkin akan tercetak jelas dalam ingatan Rachel dalam waktu yang lama.Di seberang ruangan, Rangga duduk di kursi pijat sambil sesekali melirik mereka dari celah pintu. Dia tersenyum tipis karena bangga oleh kecerdasan putrinya."Rumah Rachel 'kan bersama Bunda. Masa Rachel tega mau meninggalkan Bunda dan Nenek. Nanti, kalau Bunda sama Nenek sedi
"Apa kamu tega membiarkan anak kita hidup tanpa kasih sayang orang tua lengkap?" Rangga bertanya setengah sadar.Setelah semalam tak bisa menjawab pertanyaan Rachel, Rangga terus memikirkan apa yang putri kecilnya inginkan. Dan pagi-pagi buta, Vina telah berada di depan pintu depan. Pertanyaan impulsif itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Rangga mengira jika Vina datang untuk membawa Rachel dan kembali melarang dirinya bertemu dengan sang putri."Apa Anda mengigau?" Vina menatap Rangga dari atas sampai bawah bolak-balik dua kali.Rangga yang biasanya terlihat berwibawa dan berkarisma, kini hanya mengenakan celana kain selutut dan kaos tipis. Rambutnya pun masih acak-acakan. 'Mungkin dia habis mimpi buruk,' batin Vina."Jangan melarangku bertemu dengan Rachel lagi. Rachel sangat membutuhkan ayahnya," tegas Rangga."Saya barusan bilang, lain kali, Anda harus minta izin kepada saya atau Ibu saya jika mau mengajak Rachel pergi. Saya tidak melarang Anda. Dilarang pun percuma ... karena
"Mulai sekarang, Rachel tidak boleh menginap lagi," tegas Vina.Vina datang ke rumah Rangga setelah terlambat menjemput dan Rachel sudah tidak ada di playgroup. Dia sangat marah walau hanya dengan melihat wajah Rangga.Vina sudah tak melarang Rangga bertemu dengan Rachel. Hanya saja, Rangga tak pernah minta izin atau sekedar memberi tahu jika mau mengajak Rachel pergi."Dia sendiri yang ingin tinggal di sini." Rangga bersedekap dan mengangkat bahu."Ibu saya belum bertemu Rachel dari kemarin. Ibu pasti akan melaporkan ke polisi kalau sampai tahu Rachel tidak pulang semalam dan hari ini."Vina tak menunggu jawaban Rangga. Dia menyenggol lengan Rangga supaya menyingkir dari pintu, kemudian masuk ke kamar Rachel.Rachel masih sibuk bermain-main sendirian. Vina lantas menggendong Rachel tanpa aba-aba. Mainan yang tadinya dibawa Rachel sampai terjatuh dan hancur berkeping-keping."Bunda ... mainanku tatuh ...." Rachel meronta-ronta ingin turun."Nanti Bunda belikan. Kita pulang sekarang, Sa
"Jangan menjanjikan sesuatu pada anak kecil kalau Anda tidak bisa melakukannya. Rachel cepat mengingat sesuatu. Saya tidak mau Rachel menagih ucapan Anda terus."Rangga hanya menghela napas panjang, lalu kembali ke kamar. Dia mengira, Vina akan membicarakan masalah penting, ternyata hanya itu.Tak perlu diberi tahu pun Rangga cukup mengerti apa yang dia katakan. Jika hanya tidur bertiga seperti itu, Rangga tak akan keberatan. Asalkan Rachel tetap bahagia."Bunda di mana? Kenapa lama cekali?" rengek Rachel.Vina lantas kembali ke dalam, berbaring di posisi yang sama seperti tadi. Sampai Rachel terlelap, Vina juga ikut memasuki dunia mimpi. Sedangkan Rangga masih terjaga.Manik hitam Rangga berpindah dari wajah Rachel menuju wajah Vina. Entah apa yang tengah dia pikirkan sampai memandangi Vina cukup lama.***"Minggir ..." rintih suara serak wanita.Rangga menggeliat dan mempererat pelukan. Rachel selalu membuat Rangga merasa tenang.Sudah berapa lama Rangga tak tidur nyenyak seperti sek
"Pergi ...." Martha menurunkan volume suaranya agar Rachel tak terbangun.Rangga tercengang dan diam di tempat. Otaknya masih mencerna satu kata itu ... memperkosa? Jadi, selama ini, Vina menganggap dirinya telah memperkosanya?!Satu jawaban dari berbagai pertanyaan yang masih ada di benak Rangga akhirnya terjawab. Alasan mengapa Vina melarikan diri dan menyembunyikan kehamilannya. Jadi, Vina berpikir jika Rangga telah memperkosanya!Rangga menggeleng-geleng kepala pelan tak habis pikir. Kenapa Vina tak menuntut tanggung jawab darinya saja? Itu lebih baik daripada dianggap sebagai pemerkosa.Harga diri Rangga sangat terluka karena dituduh seperti itu. Rangga bahkan tak sadar dengan apa yang dia lakukan kepada Vina ketika semua itu terjadi. Meskipun beberapa hari setelahnya, dia samar-samar mengingat perbuatannya.Ya, Rangga pun mengaku bahwa tindakannya sangat bejat dan tak bermoral. Tetapi, Rangga tak merasa dirinya sepenuhnya bersalah. Karena ada orang yang sengaja menjebak dirinya.
"I-ibu ... i-ni tidak-""Cepat bangun!" bentak Martha.Martha menyeret Vina agar menjauh dari Rangga. Vina tak bisa berdiri dengan benar sampai dia maju setengah merangkak.Rangga tiba-tiba saja melepaskan tangan Martha dari Vina. Kedua wanita itu memandang Rangga dengan dua tatapan berbeda makna.Martha merasa Rangga sedang berusaha mengambil hati Vina dengan membelanya. Sementara Vina terheran-heran karena tak pernah melihat Rangga peduli dengan orang lain.'Apa dia baru saja membantuku?' tanya Vina dalam hati."Jangan kurang ajar! Cepat pergi dari sini!" Telunjuk Martha mengacung ke arah pintu."Anda harus mendengar apa yang akan saya katakan," ucap Rangga tenang.Vina melotot padanya. Bagaimana bisa Rangga bicara dengan ibunya seperti bicara dengan karyawan? Walaupun kata-kata Rangga lebih sopan, tapi nada bicaranya sungguh kaku dan menekan."Kamu memerintahku?!" bentak Martha.Kemarahan Martha kian menjadi-jadi. Meskipun demikian, Martha dan Vina ikut duduk. Karena Rangga terlihat
"Pulanglah ...." Martha menghela napas panjang. "Selama Rachel masih sakit, aku akan mengizinkanmu datang. Hanya selama Rachel sakit, paham?""Baik."Hanya itu saja yang Rangga ucapkan. Rangga tak menjawab pertanyaan Martha, tidak menolak maupun menerima persyaratan itu.Vina merasa tercekik dalam diam. Dia menahan kekecewaan dengan sebuah senyuman.Seharusnya, Rangga bisa melakukannya demi Rachel. Rachel saja rupanya tak cukup untuk membuat Vina menjadi bagian dari hidup Rangga. Vina bukannya ingin menikah dengan Rangga. Tidak. Vina juga tak pernah mengharap kasih sayang dari Rangga karena dirinya pun tak memiliki perasaan itu. Hanya saja, Vina ingin dianggap. Setidaknya, diakui dan dihargai sebagai wanita yang telah melahirkan anaknya.Lalu, apa yang akan terjadi jika Rangga hanya menginginkan Rachel saja? Berbagai skenario mulai bermunculan dalam benak Vina.Bagaimana jika setelah menikah dengan Belinda, Rangga tetap ingin menemui Rachel? Bagaimana jika Belinda juga ikut mengingin
"Siapa yang bilang begitu, Rachel?" tegur Vina. Dia merasa tak pernah mengajari kata-kata itu kepada Rachel."Nenek yang bilang ... kata Nenek ... aku tidak boleh cayang Ayah." Mulut Rachel mengerucut tanda tak suka.Vina tak menyangka Martha akan meracuni pikiran Rachel. Biarpun semua yang dikatakan Martha adalah fakta, tetapi Rachel belum sepatutnya tahu tentang masalah mereka.Rangga pun tampak gusar setelah mendengarnya. Dia mengendurkan dasi secara kasar dan membuangnya ke atas jas. Dia juga membuka kancing paling atas, lalu menggulung lengan kemeja sampai siku."Apa Ayah tidak menyayangi aku?" Rachel bergumam sangat lirih hingga terdengar seperti bisikan. Tangan kecilnya berusaha membuka kancing kemeja Rangga lainnya."Ayah sayang Rachel," ucap Rangga datar. Dia masih merasa marah kepada Martha yang berusaha membuat anaknya menjauh darinya."Tapi ... ayah mau menikah ... Ayah mau punya anak lagi ...."Para orang dewasa di dalam mobil itu terdiam sepanjang perjalanan. Hanya terden