Home / Romansa / Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1 / Bab 1. Ingin Pergi! Mimpi Saja!

Share

Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1
Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1
Author: C.K.A Axio

Bab 1. Ingin Pergi! Mimpi Saja!

Author: C.K.A Axio
last update Huling Na-update: 2025-06-17 10:30:28

"Apa kita bisa melakukannya sekali lagi? Aku tidak mau rugi. Aku sudah membayarmu mahal, bukan?”

Avenna mengucapkannya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan yang mengalir pelan dari bibir yang masih basah, sensual.

Jemarinya mengukir perlahan di sepanjang garis otot pria yang menjadi sandaran tubuhnya, keras, kokoh, dan terasa hangat di bawah kulitnya.

Pria itu hanya melirik, dan senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang tahu betul bagaimana caranya menyalakan kembali bara di tubuh wanita yang tengah bersandar padanya.

“Baiklah,” ucapnya, tenang. “Kita lakukan.”

Dengan satu gerakan luwes, pria itu membalikkan tubuhnya, kini hampir menindih Avenna. Napasnya hangat, matanya pekat seperti malam yang tak mengenal cahaya. Ia menunduk, bersiap membenamkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu.

Tapi Avenna menahan dadanya, mendorong sedikit, memaksa mata mereka bertemu. Avenna selalu suka sorot mata hitam yang sekelam malam itu.

“Sudah hampir satu tahun... tapi aku bahkan belum tahu bagaimana wajahmu.”

Ucapannya pelan, tapi jelas. Tangannya terangkat, hendak menjangkau topeng hitam yang selalu menutupi wajah pria itu setiap kali mereka bertemu. Tapi belum sempat menyentuh, tangan besar itu menggenggam pergelangan tangannya—lembut, tapi kuat. Hangat.

“Kita sudah sepakat, Nona. Aku tidak ingin identitasku terbuka.”

Senyumnya seperti biasa, manis dengan sentuhan rahasia. Ada sesuatu di baliknya yang selalu membuat Avenna lupa diri—tapi malam ini, tidak.

“Tapi—”

“Yang perlu kau tahu,” potongnya, “bukan siapa aku. Tapi bagaimana caraku membuatmu lupa siapa dirimu sendiri.”

Dan sebelum ia bisa menjawab, pria itu langsung menunduk dan mengecup bahunya. Lembut, dalam, membuat tubuh Avenna bergidik ringan, menggeliat pelan.

Kringg!

Nada dering ponsel tiba-tiba membelah keheningan yang membara. Memutus sejenak desir gelora malam itu.

“Sebentar!” Avenna mendorongnya menjauh. “Tunggu dulu.”

Pria itu hanya diam. Ia menyandarkan diri kembali ke bantal dengan ekspresi kecewa yang disembunyikan setengah hati, tatapan frustasi. Tangannya mengusap bibirnya sendiri, seolah menghapus jejak keintiman yang belum selesai.

Ugh! Begitu saja sudah menggoda, gumam Avenna.

Kringg!

Nada itu kembali meraung. Avenna menatap layar. Sebuah nama terpampang.

Helen.

Hatinya langsung mengejang.

Jarang sekali Helen menelepon, terlebih larut malam seperti ini. Ada sesuatu. Sesuatu yang penting.

Ia menggeser layar dan menjawab. “Ya, Helen? Ada apa malam begini?”

Belum sempat Helen menjawab panjang, Avenna tersentak. Pria di sampingnya sudah kembali menciumi sisi lehernya, dan untuk sesaat, ia masih berusaha menahan erangan.

Namun...

“Apa?! Pria brengsek itu pulang?! Besok!” Pekiknya nyaring, membuat pria itu berhenti dan menegakkan badan.

Avenna langsung turun dari ranjang, bergerak panik. Ia mulai memunguti pakaiannya yang berceceran, sebagian bahkan tergulung di bawah meja.

“Aku pulang sekarang,” katanya tanpa menunggu balasan.

Pria itu hanya memperhatikan. Diam. Matanya mengawasi tiap gerak cepat wanita itu, setiap kali tangannya menarik kain, mengenakan pakaian , menyisir rambut dengan jari. Panik. Terburu-buru. Terjingkat ke kamar mandi. Tak seperti biasanya.

Tiga puluh menit kemudian, Avenna keluar dari kamar mandi. Gaunnya sudah rapi, meski rambutnya masih belum sepenuhnya tertata.

Matanya bertemu dengan mata pria itu, yang kini telah mengenakan celana panjang, tetapi bagian atas tubuhnya masih dia biarkan terbuka, menampilkan proporsi yang tak pantas disebut milik pria biasa.

Semua orang pasti akan setuju, bahwa pria ini lebih cocok menjadi seorang model dari pada pria bayaran. Tapi … dia sendiri yang mengaku dia tidak bisa berpose dan harus mendapatkan uang cepat demi kuliahnya.

“Aku harus pulang.”

Pria itu bangkit. “Tapi... kau akan rugi?”

Suara itu datar, tapi tidak kehilangan tajamnya. Dia berjalan perlahan seperti singa yang sudah menentukan mangsanya. Melihat itu saja, Avenna langsung tak bisa bernapas.

“Ya, aku tahu,” Avenna menjawab. Ia menatap pria itu sekilas yang sekarang sudah ada di depannya. Auranya, wanginya, kemaskulinan yang menggelitik sisi kewanitaannya. “Tapi aku tidak bisa tinggal. Bukan malam ini. Dan bukan lagi setelah malam ini.”

“Apa maksudmu?”

“Kita tidak bisa bertemu lagi,” ucapnya tegas. “Malam ini... adalah yang terakhir. Suamiku akan pulang. Dan dia akan menetap.”

Dia berkata seolah semua itu tak berdampak, tapi dalam hatinya ada gejolak yang sulit diredam. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang ia tancapkan sendiri ke dadanya. Tentu saja, kehangatan pria ini sudah menemani malam-malamnya.

“Selamanya?”

Avenna mengangguk. “Ya. Selamanya.”

Hening menggantung.

Tapi tatapan pria itu sulit untuk dia baca. Antara tak rela, tak percaya tapi juga marah yang tersimpan.

Untuk apa marah? Tanya Avenna dalam hati. Dari awal hubungan mereka hanya sebatas bisnis belaka, bukan?

Ia membuka tas kecilnya, menarik sebuah kartu ATM yang selama ini disimpan untuk alasan yang tak ia pahami juga. Ia mengulurkannya.

“Ini. Lebih dari seratus ribu dolar. Cukup untuk biaya kuliahmu. Aku harap, kau berhenti menjual tubuhmu. Belajar lah yang serius dan jadi orang sukses ya!”

Pria itu tak langsung mengambilnya. “Kau kasihan padaku?”

“Tidak.” Avenna menggeleng. “Kau tahu itu. Aku hanya... sudah selesai. Dan kupikir kau juga harus mulai sesuatu yang baru.”

Avenna menyodorkan kartu itu kembali. Tepatnya menjejalkannya pada tangan pria itu. “PIN-nya bulan dan tahun di mana Kita bertemu. Kau pasti ingat.” Senyuman manis itu tersungging indah di bibir tipis Avenna.

Setelah itu, ia berjalan terburu menggapai pintu. Tak membiarkan pria itu membantah atau memberikan jawaban.

“Tapi... Nona...”

“You’re welcome.” Avenna melempar senyuman terakhir. “Dan pastikan kita tidak bertemu lagi. Percayalah, aku akan merindukanmu!”

Ceklek.

Pintu tertutup.

Sunyi menyergap.

Pria itu menatap kartu ATM di tangannya. Jemarinya mengepal perlahan, membengkokkan kartu itu dengan mudah. Lalu, tanpa berkata apa pun, ia melangkah ke tepi ranjang, meraih topeng yang menutupi wajahnya, dan melemparkannya begitu saja ke atas kasur yang berantakan, hasil mahakarya mereka berdua beberapa jam yang lalu.

Wajah di balik topeng itu kini terlihat, luar biasa tampan, tegas, dengan rahang yang menegang dan mata yang menyala.

Ia meraih ponsel. Menekan cepat satu nomor.

“Lakukan sesuatu untukku. Cari tahu siapa suami Avenna. Kapan dan di mana dia akan kembali.”

“Siap, Tuan,” suara di seberang menjawab cepat.

Hening menggambang di sekitar.

“Dan … umumkan kedatanganku kembali bersamaan dengan kedatangan pria itu.”

“Eh? Benarkah Anda … tapi?”

“Kau berani mempertanyakan keputusanku?” Suara itu dingin bahkan membuat pria di ujung telepon itu seketika ciut.

“Maaf Tuan, Saya akan laksanakan.”

Tut … tut … tut …

Nada pemutusan panggilan terdengar nyaring.

Lalu, pria itu menatap pintu sekali lagi, seolah bisa menembusnya, menembus malam dan menembus semua batas yang tadi dikatakan wanita itu.

Dengan suara rendah yang dingin seperti besi, ia bergumam,

“Ingin berpisah, hah? Mimpi saja. Karena aku tidak akan pernah melepaskanmu, Vena ….”

Gumaman itu beriringan dengan senyuman yang menyeringai licik.

“Tidak lagi.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (7)
goodnovel comment avatar
Eka Kartika
Aduh Abang bikin eneng deg degan .........
goodnovel comment avatar
Sweet Candy🍭
cwoknya gak rela, udah sayang dan enak kali yaa sama vena
goodnovel comment avatar
Sweet Candy🍭
dikasih 2M sama Vena ya ampunnn
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 87. Musuh dalam selimut.

    Ia segera membuka laptop yang memang dia bawa di ranselnya dan menghubungkan flash drive itu segera. "Bukankah kita ingin menghancurkannya?" tanya Avenna langsung saja. Ia melihat pergerakan Raina yang tidak sesuai rencana. Kenapa terlihat Raina malah seolah ingin mengaktifkannya? "Ya, tapi aku hanya..." Raina terdiam sesaat, mencari port untuk menyambungkannya. "Aku hanya ingin menghancurkannya secara keseluruhan dari laptopku. Kakak tidak akan mengerti." "Oh, baiklah.” Avenna menyipitkan matanya kala Raina membuka isi Flash Drive itu. Benar sekali, di sana tertulis Laviathan. “Benar ini dia!” Gadis itu langsung membukanya. “Raina! maaf, ponselku lupa dicas, jadi lowbat dan aku pinjam port USB-mu untuk mengisi daya. Aku ingin mengirimkan pesan pada Leander bahwa kita sudah menemukannya." Avenna tanpa persetujuan menyambungkan kabel datanya ke port USB laptop Raina, dia juga menunjukkan ponselnya, menampilkan layar chat online-nya. Raina tersenyum miring lalu mengangguk. Denga

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 86. Akhirnya Menemukannya!

    Keheningan hutan pinus kini hanya diisi oleh lengkingan pilu yang teredam dari balik kaca. Kematian mereka tidak datang dengan drama, melainkan dengan kelelahan yang mematikan. Wajah-wajah yang tadi penuh arogansi kini memucat, terdistorsi oleh sesak napas yang tak terlihat. Gandrio masih berdiri, tangannya mencengkeram rahang, batuk keras, menatap keluar dengan mata penuh kobaran kebencian. Para tetua yang lain sudah ambruk, tubuh mereka kejang-kejang di lantai baja. Bagi Leander dan Varnell, pemandangan itu terasa seperti tontonan yang harus mereka saksikan, sebuah akhir yang harus disajikan. Varnell tersenyum puas, menyeka sudut matanya seolah ada debu yang masuk. "Tontonan yang membosankan. Mereka mati terlalu cepat," desisnya, suaranya tajam. Leander tidak menjawab. Matanya yang dingin menatap Gandrio yang terus terbatuk. Kepuasan itu hanya sekejap, karena di balik dinding kaca yang tak tertembus itu, ada bayangan masa lalu yang terbunuh, dan ada pula masa depan yang harus dia

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 85. Flashback : Pengaturan Rencana.

    BEBERAPA JAM SEBELUM RENCANA PEMUSNAHAN DI HUTAN PINUS, TORONTO. Ruang pertemuan di kediaman Leander dipenuhi oleh ketegangan yang memadat, kaku, dan dingin. Udara terasa tipis, seolah setiap napas yang diambil adalah pertaruhan. Varnell masih duduk di seberang, mengulum cerutu sebelum cerutu itu dia jejalkan ke asbak di depannya. "Jadi, lebih baik kita memancing mereka semua." Suara berat Varnell memecah keheningan kembali, matanya menyapu wajah setiap orang, menilai reaksi mereka. Ia baru saja menjelaskan siapa saja yang menjadi target utama mereka, Gandrio dan para sesepuh keluarga Ramdone juga Vazinni. Avenna, dengan dahinya berkerut dalam, menyuarakan keraguannya. "Mereka tidak mungkin semudah itu masuk perangkap." Pikirannya berpacu, mencari celah dalam rencana yang terdengar terlalu sederhana. Ia tahu musuh mereka licik dan cerdas. "Karena itu, pancingannya harus meyakinkan," Leander menyambung, suaranya tenang, tetapi penuh otoritas. Matanya yang tajam menatap kosong ke

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 84. Kepuasan yang mereka impikan.

    Gandrio tersenyum remeh. "Tenang saja, orang pertama yang akan aku kendalikan adalah dirimu. Kau akan lupa dengan segalanya, dan aku akan membuatmu menjadi keturunanku yang baru." Gandrio dan keenam pria itu langsung masuk, menyerbu ke dalam ruangan itu seperti semut yang menemukan gula. Mereka bersemangat, mata mereka hanya melihat pada kotak yang berisi teknologi yang selama ini mereka buru. Hanya Varnell yang tetap tinggal di luar, bersama dengan Leander dan beberapa penjaganya. Pria itu melirik ke arah Leander, menaikkan kedua alisnya. Seolah berkata, 'Giliranmu.' Setelah itu, Leander yang tadinya terlihat sangat lemah, seketika berdiri tegak. Wajahnya masih pucat, tetapi langkahnya tegas. Aura dingin dan mematikan darinya kembali muncul, seolah ia tak pernah terluka. Meskipun darah membasahi tangannya, dia seolah tidak merasakan apa-apa. Dengan gerakan mantap, dia segera menekan tombol merah yang mencolok di dekat pintu utama. Dan seketika, dinding kaca anti peluru turun dar

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 83. Seharusnya aku yang menjadi pemimpin

    "Akhirnya kalian datang juga." Suara melengking Gandrio penuh keceriaan, bergema di antara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Kehadirannya seperti badai yang membawa kekuasaan dan kengerian. Dia mengulurkan tangannya, menjabat satu per satu enam pria yang baru saja tiba. Mereka bergerak dalam formasi, aura kekuasaan yang kental menyelimuti setiap langkah mereka. Hawa dingin pagi seolah tak mampu menembus mantel mahal yang mereka kenakan. Leander berdiri di sana, mengamati mereka. Dua pria adalah anggota keluarganya, keturunan Vazinni yang paling setia pada Gandrio. Empat lainnya adalah tetua dari keluarga Ramdone, yang selama ini menjadi sekutu terdekat klan mereka dalam perburuan gila ini. Mereka semua memancarkan aura arogansi yang sama, seolah dunia berada di bawah telapak tangan mereka, dan kehadiran Leander hanya sekadar formalitas yang tak berarti. "Akhirnya kau mendapatkannya juga. Aku bahkan sudah ingin merelakannya karena aku rasa kita sulit untuk mendapatkannya," kat

  • Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1   Bab 82. Pengkhianatan yang kental.

    Gandrio menyeringai, senyumnya seperti retakan di wajah yang sudah tua, seolah dia menikmati setiap detik penderitaan Leander. Dia berjalan mendekati pria yang seharusnya dia panggil cucu. Setiap langkahnya terasa seperti gemuruh petir yang mendekat, menggetarkan tanah di bawah kaki Leander. "Bahkan putraku sendiri bisa aku bunuh," desisnya, suaranya seperti bisikan iblis, "kenapa tidak dengan wanita yang bukan siapa-siapa?!" Kata-kata itu menghantam Leander seperti palu godam, menghancurkan sisa-sisa akal sehatnya. Wajahnya langsung merah padam, urat di pelipisnya menonjol, dan matanya penuh dengan kebencian yang membara. Amarahnya menguasai dirinya, seperti api yang melahap habis semua yang ada di jalannya. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah cepat, tangannya terangkat, ingin mencengkeram leher Gandrio yang keriput dan penuh dosa. Duarr! Suara tembakan memecah keheningan, menggetarkan pohon-pohon pinus hingga daunnya berguguran. Leander langsung merasakan sesuatu yang panas, l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status