Avenna memanyunkan bibirnya. Sesekali menarik tangannya yang digenggam erat oleh Leander. Dia sama sekali tidak diizinkan beranjak. Ke mana pun pria itu pergi, Avenna akan ada selalu di sampingnya.“Kau tidak akan melepaskanku?” lirik Avenna dengan wajah kesalnya. Seperti yang dia duga, Avenna cukup tidak bisa menikmati acara ini, karena begitu banyak orang yang ingin berbicara dengan Leander.Pria itu bergeming. Bibirnya pun sama sekali tidak bergerak seolah ucapan tadi tak masuk ke dalam telinganya.“Aku ingin ke kamar kecil.” Avenna sekali lagi berusaha untuk melepaskan dirinya dari cengkraman pria ini.Leander menarik napasnya. Dia menggerakan tangannya sebagai isyarat memanggil dua orang pelayan wanita yang segera mendekati mereka. “Bawa Nona Vena ke kamar kecil. Jaga sampai dia keluar. Jika dia kabur, kalian yang akan mendapatkan akibatnya.” Suara Leander terdengar begitu tegas. Seolah perintah itu tidak bisa dibantah apalagi dianggap candaan semata.Kedua pelayan itu tampak kag
Randy semakin memperhatikan wanita yang sekarang mulai sulit dia lihat karena beberapa orang mulai bergabung untuk dansa megah itu. “Aku rasa bukan. Dia tidak akan bisa masuk kalau tidak ada yang membantunya. Dia juga menolak masuk, bukan?” suara lain menyahut. Membuat perasaan Randy yang tadi kaget, tidak percaya dan juga sedikit rumit, menjadi melega. Tapi, entah kenapa dia masih tetap saja penasaran tentang sosoknya. Avenna, sepertinya memang mirip wanita itu.Wendy sendiri tampak mengerutkan dahinya karena melihat bagaimana Randy menatap terus ke arah wanita yang sekarang jadi pusat perhatian. “Kakak ….” dia menarik jas di lengan Randy.“Eh? Ya?” Randy buru-buru menutupi ekspresi terkesimanya. Dia akui, dia juga terhipnotis, bukan hanya karena keindahan gaun dan kecantikan wajahnya yang sekilas tertutup topeng, tapi juga gerakan anggunnya.“Kita tidak ikut berdansa?” Wendy mencoba tersenyum semanis mungkin.“Kau sedang hamil. Nanti akan terlalu melelahkan. Lebih baik di sini sa
Hening menyergap udara di sekitar. Bahkan tamu lain yang baru datang pun tidak berani untuk menginterupsi keadaan ini. Avenna hanya menggenggam gaunnya. Dia akui itu sedikit menggoda. Siapa yang tak akan mau menjadi pasangan seorang Leander Steele. Tapi!Satu sisi egonya juga tidak bisa menerima hal itu. Lagipula dia tadi juga sudah mengaku sebagai nyonya keluarga Hazelton. Akan aneh jika ada yang menyadarinya.“Tidak.” Avenna memaksakan senyuman tipisnya. “Terima kasih untuk tawarannya, Tuan Steele. Tapi, saya akan masuk dengan cara saya sendiri.” Ada suara-suara terhenyak yang terdengar setelah penolakan yang terucap dari bibir Avenna. Tapi pria itu tak bereaksi apa pun, tatapannya kukuh, tajam, menusuk. Dan tanpa sepatah kata pun, pria itu berbalik dan berjalan meninggalkan Avenna. Untung saja, pikir Avenna lega. Sepertinya keputusannya untuk menolak sudah benar. Bisa-bisa dia pingsan akibat tercekik aura pria itu. Dan yang pastinya, dia takut memberikan harapan pada pria itu
“Apa yang sudah kau lakukan?!” Randy langsung memegang pipi Wendy yang tampak memerah. Wanita itu, seperti biasanya, berlagak lemah dan kesakitan. Dengan tingkahnya, dia langsung membenamkan diri di dada Randy. “Apa kau tidak bisa menahan dirimu? Kenapa emosimu gampang sekali meledak-ledak?” Avenna melipat tangan di depan dadanya. Matanya tampak berputar dan wajahnya tampak malas menanggapi drama ini. “Tidak. Aku tidak bisa menahan diri. Dan, ya! Emosiku memang jelek. Jadi, kau harus menjaga wanitamu untuk bertindak tahu diri. Jika dia duluan yang ingin menamparku, aku tidak akan melakukan ini.” Suara Avenna menyimpan amarah, tapi dia mencoba untuk mengatakannya dengan nada tenang. Dia tidak ingin mereka merasa berhasil memancing emosinya. Randy menatap ke arah Wendy dengan mata yang sedikit menyipit, tanda dia bertanya dan enggan percaya. Di matanya, tak ada wanita yang paling lembut kecuali kekasihnya. “Kak Randy, bukan begitu. Tadi aku refleks ingin melakukannya karena dia me
“Vena! Bagaimana bisa kau lupa!” Lula tampak begitu panik.Avenna hanya bisa menyengir kuda. “Aku kira dia bisa keluar sendiri,” ucapnya mencoba membela diri. “Bagaimana bisa? Kau membawa kunci apartemenmu. Dia tidak mungkin merusak pintumu. Jika lewat jendela, kau berharap apa? Apartemenmu itu tinggi sekali.”“Iya. Iya, maaf, aku tahu aku salah.” Avenna sedikit mencucurkan bibirnya. Andai Lula tahu seberapa ganas pria ini. Dan, ya, dia akui dia lupa dengan keberadaan pria ini. Tapi … bukan salahnya, ‘kan? Sebagai wanita, Avenna tak akan mau disalahkan.“Kalau begitu jangan banyak bicara, buka pintunya!” Lula mendelik melihat temannya. Sudah di depan pintu tapi Avenna sama sekali tidak bergerak. “Itu karena kau mengajakku bicara terus.” Avenna jadi kesal. Kenapa malah Lula yang begitu sewot sekarang?Bukan Avenna tidak ingin membukakan pintu untuk pria itu sekarang. Hanya saja dia sedang berpikir, kira-kira bagaimana dia harus menghadapi pria ini. Apakah dia harus bersikap sepert
“Lula, Lula?” suara Avenna terdengar berbisik. Dia menggoyangkan tubuh wanita yang sudah terlelap di sisinya.Lula berusaha untuk membuka matanya yang terasa sangat lengket. “Hmm?”“Aku boleh pinjam laptopmu, ya?” Avenna tidak mau menggunakan kata ‘tidak’ di belakang kalimatnya. Dia tahu orang yang setengah sadar seperti ini hanya akan mengikuti pengulangan kata paling akhir.“Ya,” singkat Lula dengan suara kantuknya yang begitu berat. Dia langsung menggulung tubuhnya dengan selimut. Terlihat sekali tidak ingin diganggu.Avenna tersenyum, memperbaiki selimut sahabatnya itu seperti seorang ibu yang mengasihi putrinya. Dia turun dari ranjang dan berjalan ke meja makan kecil yang bersatu dengan ruang tamu. Apartemen Lula walaupun bertipe studio tapi ini adalah tempat kedua yang paling nyaman baginya.Dia membuka laptop Lula. Mengutak-atik beberapa hal dengan wajahnya yang serius sebelum akhirnya dia membuat panggilan video melalui laptop itu.“Hai, bos!” suara ramah seorang pria terdeng