Home / Rumah Tangga / Pria Cacat Itu, Suamiku / Bab 4. Pulang ke rumah Amar.

Share

Bab 4. Pulang ke rumah Amar.

Author: Rea.F
last update Last Updated: 2024-07-30 21:45:13

Amar menoleh pada Riko, tapi dia belum mengeluarkan ucapan apapun.

“Azura adalah gadis yang baik, saat dia melakukan tindakan bodoh itu karena dia juga dalam keadaan kacau karena memergoki pacarnya selingkuh. Lagi pula, dia adalah seorang putri dari Varega Brahmana. Apa kamu mengenal Varega Brahmana?”

Amar yang tadi menunduk, tiba-tiba mendongak. Dia menoleh pada Azura yang masih sesenggukan di pelukan ayahnya.

‘Jadi Gadis itu, putri Varega Brahmana?’ di dalam hati Amar tentu terkejut setengah mati. Siapa yang tidak mengenal nama Varega Brahmana? Meskipun ini di luar kota sekalipun, Varega Brahmana dikenal hampir seluruh warga kota ini. Sebab Varega Brahmana selalu aktif, menjadi donasi dalam pembangunan jalan, sekolahan dan bahkan sering menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin di kota ini.

Bahkan Amar pernah beberapa kali melamar pekerjaan di perusahaan Brahmana, tapi selalu gagal atau tidak pernah lulus seleksi.

“Tapi kami tidak bisa memaksa, semua keputusan ada di tanganmu. Mungkin Ibumu hanya mengkhawatirkan kamu saja dan Nona Azura hanya ingin menebus kesalahannya.” Riko menepuk bahu Amar, kemudian berdiri. Baru saja dia berdiri, Pintu ruangan sudah terbuka.

Dokter keluar memanggil mereka.

“Pasien sudah sadar dan ingin bicara pada kalian.”

Mereka mengangguk dan kembali masuk.

“Ibu,” Amar mendorong Kursi rodanya untuk mendekati ibunya yang sudah sadar kembali.

“Amar, sebelum operasi itu dilaksanakan, ibu ingin melihatmu menikah. Kamu bersedia kan, Nak?”

“Tapi, Bu. Aku,” Amar Menoleh pada Azura yang telah mendekat dan meraih tangan Bu Umah.

“Ibu, kami akan menikah. Jangan khawatir dan jangan banyak pikiran ya? Ibu harus fokus pada kesembuhan ibu.” ujar Azura, kemudian menoleh pada Amar yang langsung menunduk.

Amar kemudian mendongak, menatap ibunya. “Iya Bu, aku akan menikahinya.”

Bu Umah tersenyum lega.

Pada akhirnya, hari ini juga, di depan Bu Umah yang terbaring lemah sambil melawan rasa sakit, seperti mimpi bagi semua orang. Amar dan Azura pun telah sah menjadi suami istri dengan mahar uang dua puluh ribu yang Amar pinjam terlebih dahulu pada Pak Gani yang juga menjadi saksi ijab kabul mereka.

Tidak ada perasaan sedih maupun bahagia yang dirasakan kedua orang lain jenis yang saat ini telah sah menjadi suami istri ini. Hanya terus berdoa dan besar harapan mereka agar Bu Umah akan segera membaik.

Ega meneteskan air mata, dia teramat sedih karena pernikahan putri satu-satunya miliknya itu harus terjadi dengan keadaan seperti ini. Jauh dari kata sederhana dan dalam keadaan darurat. Tanpa hadirnya sanak saudara bahkan seorang ibu.

“Jangan beritahukan pada siapapun juga tentang pernikahan mereka ini. Sungguh aku belum siap.” Ucap Ega pada Riko yang mengangguk. Mengerti bagaimana perasaan Ega saat ini.

Ega sengaja merahasiakan semua ini dulu dari semua orang khususnya dari Wulan. Dia tidak ingin istrinya panik dan kepikiran. Ini juga telah disetujui oleh Azura.

Hingga malam telah tiba, jadwal operasi Bu Umah telah ditentukan yakni besok sore. Meskipun Bu Umah sudah menolak beberapa kali dan pasrah, tapi pihak dari Ega terus mendesak dokter agar tetap melakukan operasi.

Saat ini Pak Gani juga sudah berpamitan sejak tadi.

“Papa, sebaiknya Papa pulang saja. Kasihan Mama, jika Papa terlambat pulang pasti Mama akan bertanya-tanya dan khawatir.” Ucap Azura.

Ega menghela nafas, “Bagaimana denganmu Azura? Apakah kamu akan ikut pulang, atau,” dia begitu ragu untuk meninggalkan Azura seorang diri.

“Papa, percaya padaku ya? Aku akan baik-baik saja. Aku bisa jaga diri. Papa beri pengertian pada Mama pelan-pelan saja. Tolong beri Azura kesempatan untuk menebus rasa bersalahku ini. Lagi pula, aku sudah menjadi istri orang. Tidak mungkin harus meninggalkan suamiku seorang diri di sini.”

Deg! Jantung Amar berdesir kala dia mendengar ucapan dari Azura pada ayahnya, sebab dia memang berada tidak jauh dari mereka.

Ega sendiri mengusap wajahnya dengan kasar. “Azura, jika ada apapun, tolong beritahu papa secepatnya. Papa akan selalu tepat waktu ada untukmu.”

Ega memeluk putrinya, memberi kecupan panjang berkali-kali pada kening Azura seperti sangat berat untuk berpisah dengannya.

Padahal, Azura sudah sering pergi dan hidup jauh darinya, tapi kali ini Ega merasa begitu berat. Apa karena saat ini Azura sudah menjadi hak orang lain? Yaitu pria yang belum diketahui sama sekali asal usulnya dan kini telah sah menjadi menantunya itu.

Baiklah. Ega meyakinkan diri. Segala sesuatu yang terjadi sudah pasti adalah rencana Allah. Ega tidak ingin terlalu banyak menentang sekarang. Dia kemudian pamit, dan mengajak Riko untuk pulang.

Sementara Bu Umah, terdengar berbicara pada Amar.

“Ajak saja pulang Nak Azura, Amar. Kasihan dia. Mungkin dia capek dan ingin beristirahat.”

“Tapi, Bu.”

“Amar, kamu bukan anak ibu yang suka membantah kan?”

Amar menunduk, “Maafkan aku, Bu. Baiklah.” Amar kemudian menoleh pada Azura, tanpa senyuman dia berkata,

“Apa kamu bersedia pulang ke rumah kami?”

Azura tersenyum lembut dan mengangguk. Setelah berpamitan pada Bu Umah sang ibu mertuanya kini, Azura mendorong kursi roda Amar untuk keluar.

“Aku bisa sendiri.” Amar menolak, saat Azura mendorong kursi rodanya. Tapi Azura tidak menggubris, dia tetap mendorong kursi roda sampai pada mobilnya. Dia melihat mobil ayahnya. Dia memeriksa ponsel, Ega mengirimnya pesan, "Azura, kamu pakai mobil Papa.”

Azura mengerti kekhawatiran ayahnya. Dia sangat merasa beruntung memiliki seorang ayah yang begitu menyayangi dirinya.

Azura kemudian membuka pintu mobil dan membantu Amar untuk masuk ke dalam mobil. Setelah melipat dan menyimpan kursi roda di dalam bagasi, Azura masuk dan mengemudi. Sepanjang perjalanan mereka berdua terdiam. Tidak ada obrolan sedikitpun kecuali hanya saat Azura meminta petunjuk jalan ke arah rumah Amar.

Azura tertegun saat mereka sudah tiba didepan rumah Amar. Rumah kecil dan sederhana itu hanyalah sebuah kontrakan yang menjadi tempat tinggal Amar dan ibunya. Beruntung ini merupakan satu rumah utuh.

Azura mendorong Amar masuk kedalam.

“Itu kamarku.” Amar menunjuk sebuah kamar. Azura langsung membawa Amat lr masuk ke dalam kamar yang ditunjuk Amar tadi.

Dia kembali tertegun, kamar sempit dengan satu dipan kecil yang hanya muat satu orang saja. Lalu lemari plastik yang sudah usang ada di pojok kamar. Tapi beruntung, masih ada kamar mandi di dalam kamar itu.

“Apa kamu mau mandi? Aku siapkan air hangat ya? Atau kamu mau di lap saja?” Tanya Azura.

Amar mendongak, dia hampir tidak percaya jika gadis cantik dan putri pengusaha kaya raya itu bisa menawarkan sebuah kebaikan seperti itu.

“Tidak usah, aku mandi air dingin saja.”

“Tapi ini sudah malam, tidak baik mandi air dingin. Apalagi kamu belum sembuh total.”

Akhirnya setelah diam beberapa saat, Amar mengangguk.

Azura segera keluar mencari dapur, kemudian merebus air. Setelah mendidih baru dia membawanya dengan sebuah ember. Tidak terlalu sulit baginya meskipun ini adalah pengalaman pertamanya merebus air.

Dia segera menyiapkan air hangat untuk Amar.

“Ayo mandi. Airnya sudah siap. Aku akan membantumu ke kamar mandi.”

“Eh, tidak perlu.” Amar menolak.

“Tapi bagaimana jika perban di kakimu basah?”

“Tidak akan basah, aku akan berhati-hati.” Jawab Amar, segera menggerakkan kursi rodanya ke kamar mandi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab. Keluarga Yang Sempura

    Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 134. Masa depan mungkin penuh dengan ketidak pastian

    Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 133. Sangat bangga padanya

    Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 132. Masa depan yang cerah

    “Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 131. Keyakinan Baru

    Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 130. Kenapa belum bisa bicara?

    Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 129. Keterlambatan Motorik

    Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 128. Gangguan lain

    Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 127. Latihan

    Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status