Jane adalah seorang wanita karir yang tahun ini menginjak usia 27 tahun. Sebuah umur matang dengan kehidupan yang bisa dibilang gemilang. Wajahnya yang molek, postur tubuhnya yang semampai membuat wanita itu menjadikan model sebagai profesinya. Wajahnya tirus dengan hidung bangir dipadukan dengan mata monoloidnya yang cantik, membuatnya sering dibilang terlalu sempurna untuk menjadi manusia.
Namun, apakah pandangan orang lain selalu membuatnya di atas awan?
Ternyata tidak. Sejujurnya wanita itu mengalami masalah besar sejak tiga tahun terakhir. Ia situasi yang membuatnya tak nyaman. Kondisinya diperburuk dengan jadwalnya yang memang cukup padat.
Jane adalah bintang yang paling terang untuk agensi hiburan yang menaunginya. Selain tampil di pemotretan majalan dan catwalk, Jane juga sering digaet brand-brand mewah. Thomas, sebagai pemilik agensi tentu selalu memberikan treatment terbaik untuk modelnya tersebut dan salah satunya adalah merekomendasikan seorang psikiater kenalannya.
Hari ini catatan kesehatannya keluar dan tidak ada respon lain selain helaian nafas pelan.
“Ternyata aku sudah benar-benar gila,” gumamnya.
“Tidak, jangan katakan hal bodoh seperti itu. Kau tidak gila dan keadaan seperti dirimu sudah banyak dialami banyak orang. Aku tidak mencoba membandingkan siapa yang lebih baik, kau memiliki banyak orang yang menyayangimu, Jane. Jangan beranggapan jika kau sendirian,” jelas Lilibet.
Wanita berambut sebahu itu seorang psikiater muda dan kini selain menjadi dokter, ia secara alami menjalin pertemanan dengan sang model. Melihat Jane yang biasanya tampil mewah di foto sampul majalah bulanan, berbanding terbalik ketika sang model memasuki ruangannya, selain pucat, Jane juga tak jarang terlihat berantakan. Sangat berbanding terbalik.
Lilibet meraih tiga lembar kertas di atas buku catatan dan meletakkannya di depan Jane. Membuat Jane yang tadinya melihat catatan tentang kondisinya terdistraksi.
“Aku tahu kau mungkin bisa memesan ini dengan sangat mudah dengan uangmu. Tapi kali ini aku ingin kau mendengarkan nasehatku—”
Lilibet menghentikan ucapannya, tatapannya menjadi serius pada Jane.
“—sebagai temanmu bukan sebagai dokter dan pasien.”
Jane meraih salah satu kertas tersebut. Membaca nama dan alamat yang tertera. Sebuah pantai yang masih terbilang asri, berdasarkan deskripsi singkat, tak banyak pengunjung dan tentunya yang mendapatkan kupon tersebut juga akan mendapatkan penginapan gratis.
“Ibu temanku adalah pemilik salah satu penginapan di area itu. Harganya–hah, mungkin kau bisa membeli seluruh penginapan di sana, sangat murah. Tapi untuk kali ini kau bisa berpura-pura menjadi wanita biasa berumur dua puluh tujuh tahun, bukan seorang model terkenal. Kau bisa menggunakan kupon itu untuk menghabiskan waktumu di sana, ajak Jasmine. Aku yakin anak itu akan senang. Aku akan mengatakan apa yang terjadi padamu pada Thomas. Ku pastikan pria itu akan mengizinkanmu.”
Lilibet dan Thomas memang memiliki hubungan aneh yang Jane sendiri tidak paham. Oleh karena itu, ia cukup percaya dengan apa yang dikatakan oleh Lilibet tentang izin yang sudah pasti diperbolehkan.
“Apa satu bulan bisa membuatmu—”
“Aku tak membutuhkan waktu selama itu,” ucap Jane meletakkan kembali kertas ke meja dan menatap sang dokter dengan lamat. Senyuman tersemat di bibirnya.
“Lima hari suda—”
“Tidak,” Lilibet memotong. Membenahi posisi kacamatanya dan bersedekap dada.
Alih-alih seorang psikiater, wanita itu jauh lebih seperti kakak perempuan yang kelewat posesif dan keras kepala menurut Jane. Meskipun demikian, Jane juga jauh lebih keras kepala, namun ia juga sadar jika setiap apa yang dikatakan Lilibet adalah fakta dan memang kebaikan untuknya. Ia membutuhkan waktu istirahat total yang sangat panjang, bukan lima hari atau seminggu. Terlebih ketika akhir-akhir ini ia sering mimpi buruk.
Cklek
Seorang wanita berambut pirang panjang menghentikan keheningan. Wajah wanita itu terlihat lebih berisi dari Jane, namun jangan salah. Ia juga salah satu model pakaian yang beberapa tahun terakhir juga tengah naik daun dan sudah hampir dua tahun menjalin pertemanan dengan Jane. Jasmine, dengan baju casualnya, kaos besar dengan hotpants membuat kakinya yang jenjang melangkah masuk tanpa tahu sopan santun.
“Aduh, aku bahkan lupa jika kau seharusnya tidak diperbolehkan masuk sembarangan,” Lilibet menggerutu dengan kelakuan wanita itu.
Jasmine hanya menunjukkan barisan giginya yang rapi, memberikan kode jika di luar ada Thomas yang menunggu sang dokter.
“Pria tua itu semakin hari semakin menyebalkan. Kau seharusnya menjadikannya pasien seumur hidupmu,” komentar Jasmine setengah miris menatap Lilibet yang terkekeh. Lihatlah bagaimana sang dokter dengan cekatan memasukkan segala peralatannya ke dalam tas dan beranjak, mengabaikan Jane yang bahkan masih anteng di posisi duduknya, padahal ia adalah pasiennya.
“Kau tahu anak muda, menjalani hidup sebagai wanita dewasa dengan jiwa bebas jauh lebih menggairahkan,” ucap Lilibet penuh kesombongan. Bibirnya yang merona tersungging senyuman yang memiliki banyak arti.
Jasmine menunjukkan muka muak yang berlebihan.
Ia tahu arti yang dikatakan oleh wanita yang lebih tua itu. Wanita dewasa yang tak terikat oleh kontrak seperti dirinya dan Jane. Tentu hidup Lilibet memang selalu santai, ia bahkan menjalani jobnya yang ia anggap hanya sebatas memberi saran, berusaha berpikir dewasa, matang, dan netral. Sesuatu yang sebenarnya juga ingin ia lakukan. Nanti. Jika memungkinkan.
Di menit berikutnya si dokter melenggang pergi. Namun sebelum menghilang ditelan pintu ia meninggalkan pesan singkat untuk Jane, jika apa yang ia rencanakan pasti berhasil.
“Rencana apa?”
Wanita berambut hitam panjang itu mendongak, menatap sang teman yang terlihat tampak lebih penasaran. Mata bulatnya menatapnya dengan pandangan jika ia harus mengatakan apapun.
Jane menunjuk pada tiga lembar kertas di depannya.
“Lilibet menyuruhku untuk mengambil cuti panjang—” ucapanya dan memejamkan mata, menghembuskan nafas pelan seakan ikut mengeluarkan sedikit dari perasaan sesak yang tak terdefinisikan di dalam dirinya.
“Aku ikut denganmu,” ucap Jasmine dengan suara nyaring, membuat Jane langsung membuka matanya. Jasmine menggoyang-goyangkan satu kertas kupon di depan wajah Jane.
“Aku akan ikut denganmu berlibur.”
“Ibumu akan membunuhmu.”
Wajah Jasmine yang semula tersenyum senang menjadi agak murung.
Ibunya adalah satu desainer ternama dan ia menjadi model juga berkat nama ibunya. Jasmin adalah gadis yang cukup pemalu sebenarnya dan menjadi model bukanlah sebuah impian untuknya. Ia lebih senang menyibukkan diri membuat kue manis di dapur kecil apartemen yang ia beli sendiri dengan uangnya. Tak lain adalah agar tidak tinggal dengan ibunya.
Tak ingin merusak kebahagiaan sang teman, Jane berdecak.
“Aku mungkin bisa meminta izin pada bibi untuk—”
“Hey tidak perlu, siapa peduli dengan kemarahan ibu. Kalau kita sudah sampai tanpa memberitahukan apapun pada ibuku, ia tidak bisa melakukan apapun. Lagi pula bulan ini ibu akan sangat sibuk.”
Alasan klise yang membuat Jane membuang muka.
“Jangan sebut namaku jika ibumu marah.”
“Oke-oke, jangan khawatir. Kita harus mengajak Lucas juga. Anak itu sepertinya juga butuh hiburan,” ucap Jasmine.
Jane hanya mengangguk. Lucas adalah asistennya, pemuda itu dua tahun lebih mudah darinya namun sangat pandai dan pekerja keras. Mereka bertemu dengan cara yang lucu. Di musim hujan, Jane yang saat itu belum memiliki asisten kerepotan membawa barang-barang bawaannya ke sebuah spot pemotretan. Ia masihlah anak baru dan sudah tentu belum banyak mendapatkan perhatian. Suatu ketika seorang remaja laki-laki menolongnya. Lucas yang lugu dan banyak tanya ketika di tempat foto shoot menjadi satu-satunya hiburan untuknya, hingga dua tahun kemudian ketika ia sudah mendapatkan banyak job. Jane kembali bertemu dengan Lucas di sebuah studio foto murah yang tak jauh dari agensi dan tanpa pikir panjang ia menawarkan pekerjaan untuk pemuda tersebut. Hingga kini, Lucas masihlah pemuda yang sama, pekerja keras dan tegas padanya.
Ketika masa sulit yang Jane alami, Lucas dan Jasmin adalah dua orang yang sudah dipastikan akan ada disekitarnya. Jane tersenyum kecil, dalam hati membenarkan ucapan Lilibet jika dirinya tidak sendirian.
Setelah dua hari dari pemberian saran dari sang psikiater, Jane kembali ke jadwal rutinnya yang padat dan menguras tenaga. Hari ini menjadi pengawas beberapa kelas modeling di agensi dan juga juri— itupun jika sempat dan ia mau. Bukan rahasia umum jika Jane mendapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik agensi. Thomas terlalu percaya padanya dan tak jarang membuat Jane berlaku sesuka hati hingga sering membuat dongkol staf dan pelatih lainnya. Jane mengenal dirinya sendiri bahkan lebih baik dari siapapun. Itulah poin kenapa ia tak terlalu memusingkan pendapat orang lain. Ia seperti membentengi diri dari pengaruh siapapun setelah trauma berkepanjangan yang pernah ia terima di masa lalu. “Jane, jika penilaianmu mematok tingkat sempurna, pelatihan ini akan berakhir sia-sia. Mereka perlu berlatih lagi untuk bisa mencapai level yang sama dengan apa yang kau inginkan,” keluh wanita yang kini nampak murung. Namanya Dona, salah satu pelatih senior di agensi itu.Hampir dua bulan ia melati
Hari masih terlalu pagi untuk sebuah kabar berita yang tak terlalu penting mengganggu hari Jane. Wanita itu menatap tak berminat pada barisan kata clickbait yang nampak panas dan menggoda untuk siapa saja yang haus akan gosip murahan. Disertai sebuah gambar blur wajah dua orang. Kabar itu berhembus hanya karena pakaian yang dikenakan mirip dengan miliknya yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu di mana dan kapan memakai pakaian yang ditunjukkan ke dalam berita infotainment pagi. Ia dan pria yang digosipkan dengannya hari ini memang saling mengenal di masa lalu. Meskipun tidak sampai menjalin hubungan. Tapi Jane sendiri tak ingin banyak orang tahu jika mereka saling mengenal atau mengkonfirmasi pada media karena itu sama halnya dengan bunuh diri.“Beberapa orang menelepon dan menanyakan tentang kebenaran berita,” ucap Lucas. Pemuda itu membawa dua buah gelas dengan aroma kopi yang pekat. Satu untuk Jane dan satu lagi untuknya. Sebuah rutinitas yang ia lakukan semenjak kerja dengan wa
“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine. Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya. Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam. Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya. “Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”Kekehan Jasmine terdengar tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka. Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah
Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. “Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.“Di sini tidak ada jaringan.”“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera
Jane pikir pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir, mungkin ia tak akan bertemu pria bermata coklat itu lagi ketika ia ak berkunjung ke kafe, tapi ternyata dugaan itu salah. Ia kembali bertemu dengan pria itu di pagi yang bahkan belum menunjukkan senyum cerahnya. Langi masihi gelap, suasana sekitar masih sunyi meskipun deburan ombak laut di ujung terdengar samar. Jane tidak bisa tidur memilih untuk keluar setelah menghabiskan puluhan lembar halaman novel yang direkomendasikan oleh Lilibet. Oleh karena itu, wanita tersebut kini berdiri tegak dengan jaket hangatnya ketika ia bertemu dengan pria bermata coklat yang kini tengah mengangkat beberapa kotak styrofoam yang sudah pasti isinya ikan atau hewan laut lainnya. Pria itu terlihat menarik dengan bisepnya yang kuat ketika mengangkat barang-barang. Rambut yang berwarna hitam nampak menari ketika terkena angin dan Jane yang sejak tadi hanya berdiri diam merasa bodoh sendiri lantaran memperhatikan pria itu. Dirinya adalah seo
“Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya. Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat. "Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane. Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal. Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai. Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya. Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya m
Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.