Setelah dua hari dari pemberian saran dari sang psikiater, Jane kembali ke jadwal rutinnya yang padat dan menguras tenaga. Hari ini menjadi pengawas beberapa kelas modeling di agensi dan juga juri— itupun jika sempat dan ia mau. Bukan rahasia umum jika Jane mendapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik agensi.
Thomas terlalu percaya padanya dan tak jarang membuat Jane berlaku sesuka hati hingga sering membuat dongkol staf dan pelatih lainnya. Jane mengenal dirinya sendiri bahkan lebih baik dari siapapun. Itulah poin kenapa ia tak terlalu memusingkan pendapat orang lain. Ia seperti membentengi diri dari pengaruh siapapun setelah trauma berkepanjangan yang pernah ia terima di masa lalu.
“Jane, jika penilaianmu mematok tingkat sempurna, pelatihan ini akan berakhir sia-sia. Mereka perlu berlatih lagi untuk bisa mencapai level yang sama dengan apa yang kau inginkan,” keluh wanita yang kini nampak murung. Namanya Dona, salah satu pelatih senior di agensi itu.
Hampir dua bulan ia melatih dua puluh trainee dan hari ini adalah evaluasi bulanan dengan Jane sebagai juri. Sudah tentu ia akan mengeluh karena kandidat yang menurutnya berpotensi malah dipandang tak berbakat oleh Jane.
“Jika kau hanya menginginkan mereka berlenggak lenggok di atas papan, tanpa ingin membuat mereka bertanggung jawab atas penampilan mereka. Kau tidak perlu merekrut dan melatih siapapun, bahkan aku yakin staf di sini mampu melakukan itu. Ekspresi mereka hanya pamer muka yang padahal jauh di bawah rata-rata, terlalu angkuh, dan tak bernilai, tak sesuai dengan tema yang diberikan yakni elegan. Elegan dengan raut wajah seperti itu? ” ucap Jane dengan pedas sembari menunjuk pada satu trainee yang menurut Dona cukup berbakat.
Peserta di depannya yang mendengar kalimat itu menunjukkan berbagai ekspresi. Ada yang langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada Jane secara blak-blakan, ada juga yang menunduk sedih, terlebih gadis yang baru saja dijadikan sasaran makian.
Tangan wanita itu bersedekap, berjalan mendekat ke semua peserta satu persatu.
“Apa motivasimu menjadi model?” tanyanya pada seorang peserta dengan nomor dada 09 tak lain adalah gadis yang sempat ia tunjuk. Penampilan gadis itu begitu anggun dengan gaun biru panjang, rambutnya yang ditata sedemikian rupa membuat kesan cantik yang alami untuknya.
Meskipun tadi menunjukkan wajah sedih, gadis itu kini dengan kesan percaya diri menatap Jane yang tak menampilkan ekspresi apapun.
“Saya sudah berlatih menjadi model sejak usia dua belas tahun, ibu saya adalah salah satu model majalah di tahun sembilan puluhan dan saya ingin menjadi seperti ibu saya,” jawabnya dengan percaya diri. Berharap ia masih memiliki harapan untuk bertahan.
Jane yang melihatnya hanya mengangguk.
Pertanyaan yang sama ia berikan ke semua peserta dan jawaban mereka bermacam-macam, bahkan ada yang hanya menjawab jika ia hanya ingin menjadi model karena suruhan orang taunya. Namun, itu jawaban yang menurut Jane cukup menarik yang didapat dari peserta nomor terakhir.
Jane berjalan kembali mendekati Dona.
“Aku ingin nomor 05, 07, 012, 013, 015, dan 020 untuk dipersiapkan dievaluasi bulan depan,” ucapnya dengan suara lantang sebelum kemudian pergi dari ruangan karena merasa jika tugasnya sudah selesai.
Bahkan wanita dengan gaun hitam selutut itu tak berbalik ketika Dona bertanya alasan ia memilih acak nomor peserta, wajah Jane tak menunjukkan jika ia benar-benar serius. Meskipun ucapannya tegas dan seakan tak bisa dibantah.
Sementara model-model yang ditunjukkan menunjukkan wajah shocknya. Terlebih peserta nomor 015 adalah peserta yang menurut Dona memiliki wajah yang terkesan biasa saja namun ia juga tahu jika Jane tidak pernah salah memilih calon bintang mereka.
Wanita itu menghela nafas dan kembali memperbaiki ekspresi wajahnya. Berdehem dan menatap satu persatu trainee yang ada di depannya.
“Nomor yang Jane sebut, tolong tinggal di sini untuk mendengar beberapa peraturan baru yang akan kalian jalani dan untuk yang tidak disebutkan, saya tahu kalian pasti kecewa–” ucap Dona dan meringis melihat peserta yang tadi menjawab tentang pertanyaan Jane pertama kali langsung mengusap air matanya.
“Tapi saya yakin kalian akan sukses di luar perusahaan ini, terimakasih atas waktu kalian.”
*****
“Jasmine mengatakan jika kau akan mengambil cuti sebulan, apa itu benar, Kak?”
Jane yang tengah mengoles lipstik merona di bibir plumnya menoleh. Menatap Lucas yang kini duduk di sampingnya. Mereka kini berada di ruangan milik Jane .Tempat yang memang disediakan khusus untuknya beristirahat sebelum melanjutkan jadwal.
“Ya, aku berencana mengajakmu.”
Lucas memandang wanita di depannya dengan ekspresi sedih yang ia buat sedemikain rupa.
“Kau tahu, Kak. Akhir minggu ini aku harus mengantar adikku test di akademi dan yeah, ibuku tidak ada yang merawatnya,” jawabnya dengan suara pelan.
Jane menutup lipstiknya, sekitar sepuluh menit lagi ia akan mengisi kursi juri di kelas model B.
“Bukan masalah kalau kau tidak ikut. Aku akan menjalani liburan dengan Jasmin. Wanita itu setengah gila menerorku setiap malam hanya demi untuk tidak membatalkan rencana liburan dadakan.”
Lucas masih terdiam, ia merasa tak begitu membantu dan sudah tentu Jane menyadari itu.
“Jangan pikirkan apapun, aku bisa mengurus diriku sendiri dan ku harap ibumu segera sembuh dan adikmu bisa lolos tes,” ucap Jane cuek. Ia melirik jam tangannya dan ternyata kelas tempatnya menjadi juri sebentar lagi dimulai.
Lucas tersenyum.
“Terima Kasih kak, kau sangat baik.”
Jane terkekeh dan tak menanggapi ucapan asistennya. Ia hanya berlalu keluar dari ruangannya menuju lantai tiga.
Ruangan itu tak berbeda jauh dengan ruangan sebelumnya. Hanya saja kelas itu peserta melakukan peragaan busana dengan busana-busana khusus yang sudah disiapkan. Tepat ketika masuk, beberapa peserta masih di make-up dan sebagian lagi menunggu giliran.
Tatapannya menyapu area yang akan digunakan. Beberapa tempat foto yang akan digunakan juga sudah tertata rapi, staf melakukan pekerjaan dengan baik hari ini. Sampai kemudian ia mengerutkan dahi, menatap dua orang peserta yang nampak cekcok di sisi kanan ruangan.
Jane tak menghampiri mereka, hanya menatap bagaimana dua orang itu nampak terlihat seperti merebutkan gaun yang mungkin akan digunakan. Ia tak melakukan apapun, bahkan ketika salah satu staf ingin menegur, Jane melarangnya.
“Aku tidak ingin dua orang itu ikut dalam latihan hari ini dan dua minggu kedepan, masukkan mereka ke ruang kedisiplinan.”
Seruan itu membuat suasana yang tadinya berisik karena banyak aktivitas menjadi sunyi.
“Nona, itu tidak mungkin. Mereka berdua memiliki poin paling tinggi ketimbang yang lain berdasarkan evaluasi bulan ini,” ucap salah satu staf.
Dahi Jane mengerut.
“Tidak. Aku tidak akan memberikan penilaian pada mereka sebelum mereka masuk ke ruang kedisiplinan,” ucap Jane tegas.
“Kenapa Anda melakukan itu padaku?” tanya salah satu gadis yang tadi sempat cekcok. Ia merasa tidak terima lantaran dikeluarkan hari ini. Pandangannya beralih pada gadis yang tadi bertengkar dengannya hanya karena mereka menyukai gaun yang sama.
“Mia mengambil gaunku, padahal aku sudah memilihnya lebih dulu. Jika Anda ingin membawanya ke ruang kedisiplinan itu jauh lebih bagus.”
Gadis bernama Mia menatap tak suka.
“Aku memang tak memilihnya, tapi bukankah beberapa saat yang lalu kau yang meminta untuk bertukar dengan gaun milikku. Jangan—”
“Stop!” ucap Jane keras.
“Hari ini aku yang menjadi juri kalian dan belum apa-apa kalian sudah mulai meributkan hal sepele. Pergi ke ruang kedisiplinan atau nilai evaluasi kalian bulan ini merah semua,” tegasnya langsung membuat semua peserta menunduk takut. Sementara dua gadis itu dengan tampang pucat juga memilih keluar ruangan menuju ruang kedisiplinan yang dimaksud.
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t