Share

Bab 4-Alien

Tanganku mengalung di leher Pak Rendy dengan mata terpejam erat saat kurasakan Pak Rendy membawa tubuh kami turun. Setelah mendengar suara sepatu Pak Rendy yang seperti mengetuk dasar, barulah kedua mataku kembali terbuka. Hal pertama yang tertangkap oleh penglihatanku membuat bola mataku membulat seketika. Aku tidak berada di kampus, melainkan di suatu gang sepi dengan gedung pencakar langit yang terlihat menjulang di depan sana.

“Saya tidak mau mengambil risiko dengan terbang di tengah keramaian kampus,” tutur Pak Rendy seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.

Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy. Dari jarak sedekat ini aku kembali dibuat terpana untuk kesekian kalinya oleh ketampanan pria itu. Dengan cepat aku beralih menatap ke arah lain. “Turunkan saya.”

Tanpa berucap, kurasakan Pak Rendy menurunkan tubuhku dari gendongannya dengan pelan. Begitu sepatuku menapak paving block, hembusan napas lega keluar dari mulutku. Baru kusadari kalau sejak tadi jantungku berpacu begitu cepat. Ini pengalaman pertamaku terbang dan ini juga pengalaman pertamaku bertemu dengan makhluk bukan manusia.

Pemikiran terakhirku membuat kepalaku kembali terangkat untuk menatap wajah Pak Rendy yang ternyata tengah menatapku. “Apa Bapak bisa jawab pertanyaan saya sekarang?”

“Saya pikir kamu tidak membutuhkan jawaban setelah mengalami kejadian barusan,” ujar Pak Rendy dengan raut datar dan netra cokelat terang yang menatapku tajam.

Aku sempat goyah sesaat, namun keberanian kembali kukumpulkan. “Kalau Bapak tidak mau memberitahu saya tentang identitas asli Bapak, saya bisa menyebarkan rumor ke semua orang tentang siapa sosok Bapak yang sebenarnya. Pemilik kedai kopi? Dokter? CEO? Dosen?” sindirku dengan sudut bibir yang tertarik ke atas, membentuk seringaian tipis. Entah sejak kapan aku menjadi seberani ini.

“Kamu mengancam saya?” tanya Pak Rendy dengan satu alis terangkat.

“Tidak. Saya hanya butuh jawaban.”

Pak Rendy terdiam dengan mata memandangku tanpa berkedip, keningnya berkerut seolah tengah berpikir. Tak berselang lama kulihat dia membuang napas singkat. “Lebih baik kamu melupakan siapa saya dan beberapa hal yang kamu alami yang berkaitan dengan saya. Jika tidak, hidup kamu tidak akan tenang setelah ini.”

Aku tertegun mendengar ucapan Pak Rendy barusan. Mulutku terkatup rapat dan lidahku terasa kelu.

Tubuhku terkesiap kaget saat merasakan Pak Rendy meraih bahuku lantas netra cokelat terangnya menatap tepat ke dalam netra hitamku. “Saya tidak tahu mengapa saya tidak bisa menghapus ingatan kamu, sedangkan saya bisa menghapus ingatan manusia lain. Namun, satu hal yang pasti, jangan penasaran dengan saya, Elisa.”

Aku menelan ludah dengan susah payah. Baru menyadari bahwa hal yang dikatakan oleh Pak Rendy sepertinya benar. Sebaiknya aku mundur sekarang sebelum terlalu jauh. Terlibat dengan manusia asing saja aku bisa berada dalam bahaya, apalagi terlibat dengan sosok yang bukan manusia. Bahkan, aku tidak tahu apakah Pak Rendy adalah sosok yang baik atau jahat.

“Saya—”

Ucapanku kontan terhenti saat jari telunjuk Pak Rendy menempel di bibirku seolah tengah memberitahuku untuk diam. Aku menurut, memilih untuk diam sambil memandang ke arah Pak Rendy yang tampak waspada mengenai sesuatu. Dapat kulihat Pak Rendy melirik ke arah belakang melalui ekor matanya. Saat suara langkah kaki dari beberapa orang terdengar, Pak Rendy langsung menarik tubuhku mendekat, seolah menyembunyikan tubuhku agar tak terlihat dari jalanan di depan gang.

Mulutku terbuka hendak bertanya. Namun, hal yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Pak Rendy meraih wajahku dengan cepat lantas menyatukan bibir kami. Aku terbelalak dengan tubuh menegang kaku. Ketika kurasakan bibir Pak Rendy bergerak menyapu bibirku, barulah kedua mataku terpejam erat. Bibirku terkatup rapat, namun dapat kurasakan sapuan-sapuan basah dari bibir Pak Rendy pada bibirku. Ciuman Pak Rendy seolah menghantarkan sengatan listrik pada tubuhku yang baru pertama kali merasakannya. Pak Rendy baru melepas ciuman kami saat suara langkah kaki dari beberapa orang terdengar menjauh.

Ketika Pak Rendy menjauhkan wajahnya dari wajahku langsung saja tanganku terangkat lantas melayangkan satu tamparan ke pipinya.

Plak!

“Berengsek! Beraninya Bapak men—”

“Kamu bisa memarahi saya nanti,” sela Pak Rendy dengan tangan membungkam mulutku.

Dengan dada bergemuruh, aku hendak memberontak. Namun, saat suara langkah kaki kembali terdengar dan beberapa sosok pria berjas berjalan mendekat ke arah kami, kulihat raut panik di wajah Pak Rendy. Dengan tergesa dia meraih tubuhku lantas menggerakkan jarinya hingga sebuah portal berbentuk lingkaran terlihat. Aku melotot kaget saat Pak Rendy kembali menggendongku dan membawa tubuh kami memasuki portal itu.

Mataku terpejam erat saat mengalami kejadian aneh jilid dua bersama makhluk bukan manusia. Saat sepatu Pak Rendy terdengar menginjak lantai, barulah aku kembali membuka kedua mata. Apartemen mewah adalah hal pertama yang kulihat setelah mataku terbuka. Mataku memancarkan binar kagum saat melihat seisi apartemen yang begitu luas dengan barang-barang mewah yang tersusun rapi.

“Sepertinya kamu memang ditakdirkan untuk terlibat dengan saya.”

Perkataan Pak Rendy membuat kekagumanku akan apartemen ini sirna dan berganti dengan raut bingung. Aku tertegun saat mendapati sorot mata Pak Rendy melembut, dia menatapku tanpa berkedip masih dengan menggendong tubuhku. Tanpa diminta jantungku berdegup liar di atas batas normal.

Aku menelan ludah saat melihat wajah Pak Rendy bergerak maju. Pria itu menunduk hingga wajahnya tepat berada di samping wajahku. “Kamu satu-satunya manusia yang masih mengingat saya, bahkan setelah saya cium. Justru sekarang kamulah yang membuat saya penasaran dengan dirimu, Elisa,” bisik Pak Rendy di telingaku. Suaranya yang terdengar berat dan dalam membuatku merinding sesaat, apalagi saat merasakan hembusan napasnya yang menerpa kulitku.

Pak Rendy menjauhkan wajahnya dariku lantas menurunkan tubuhku dari gendongannya. Barulah aku dapat bernapas lega. Kekesalanku beberapa menit yang lalu mengenai ciuman pertamaku yang dirampas tanpa izin olehnya lenyap seketika. Ucapan Pak Rendy barusan benar-benar membuatku penasaran. Mungkin rasa penasaranku sama dengan rasa penasarannya pada diriku.

***

Mataku bergerak mengikuti pergerakan Pak Rendy. Tadi kami sempat duduk berhadapan di sofa yang berada di apartemen ini, kemudian Pak Rendy yang mendapatkan telepon bergegas berdiri dan mengangkat panggilan di balkon. Sedangkan aku masih diam dengan posisi duduk di sofa sembari menatapnya.

Gila. Itu adalah satu kata yang mendeskripsikan keadaanku hari ini. Tidak pernah terbayangkan sama sekali dalam hidupku kalau aku akan bertemu dengan sosok bukan manusia. Bisa menghapus ingatan orang lain, bisa terbang, dan bisa berpindah tempat menggunakan portal. Lantas, apa lagi kemampuan yang Pak Rendy miliki? Dan yang sejak tadi membuatku bertanya-tanya adalah makhluk jenis apa Pak Rendy itu?

“Ada apa?”

Pak Rendy yang tiba-tiba muncul tepat di hadapanku membuatku terlonjak kaget dengan mata melotot. Aku menatap ke arah balkon tempat sebelumnya Pak Rendy berada, kemudian kembali menatap ke arah Pak Rendy yang saat ini berada di hadapanku. Oke, kemampuan Pak Rendy yang lain yaitu bisa berteleportasi hingga membuatku nyaris jantungan.

“Kamu memandang saya seolah ingin bertanya banyak hal,” tutur Pak Rendy seraya beranjak duduk di sofa yang berada di depanku.

“Saya memang ingin bertanya banyak hal. Saking banyaknya sampai saya bingung sendiri,” jujurku.

Tiba-tiba saja sudut bibir Pak Rendy tertarik ke atas, membentuk seulas senyum tipis. Astaga, aku kembali nyaris jantungan. Kali ini bukan karena terkejut, melainkan karena terkagum dengan wajahnya yang semakin tampan saat tersenyum. Apakah Pak Rendy makhluk sejenis malaikat?

“Kalau begitu saya akan mengizinkan kamu bertanya satu hal,” ujar Pak Rendy usai melunturkan senyum di bibirnya dan kembali berwajah datar.

“Dari mana Pak Rendy berasal? Saya yakin Pak Rendy bukan manusia dari bumi.”

Pak Rendy mengangguk. “Hm. Saya bukan berasal dari bumi.”

Bola mataku membesar saat menyadari sesuatu. “Berarti Bapak alien?” simpulku. Membayangkan bahwa aku bertemu dengan alien dari planet lain yang memiliki kekuatan super membuatku bersemangat. Sungguh menakjubkan. Makhluk luar angkasan berkekuatan super yang biasanya hanya kulihat dari film kini benar-benar ada di hadapanku.

“Saya bukan alien dan hanya makhluk biasa di planet saya. Jika di bumi disebut manusia,” jelas Pak Rendy.

Aku ber“oh” ria. “Apa semua alien ganteng-ganteng kayak Pak Rendy?” tanyaku spontan.

Dengkusan terdengar dari Pak Rendy. “Sudah saya bilang kalau saya bukan alien.”

“Tapi Bapak bukan berasal dari bumi, sama saja alien,” belaku. “Ah, iya, Bapak punya kekuatan super apa lagi? Selain bisa terbang, hapus ingatan orang lain, buka portal, dan teleportasi?”

“Itu bukan kekuatan super, Elisa,” ujar Pak Rendy, terdengar tegas tetapi terselip intonasi kesal di dalamnya.

Aku terkekeh mendengar sahutan Pak Rendy. Entahlah, aku tiba-tiba ingin mentertawakannya yang tampak kesal. Tawaku kontan terhenti saat melihat riak di dalam netra cokelat terang Pak Rendy. Sorot matanya yang berubah lekat membuatku berangsur gugup. Siapa yang tidak gugup saat ditatap intens oleh pria tampan?

“Kalau Bapak bukan berasal dari bumi, lalu mengapa Bapak berada di sini?” ujarku, kembali bertanya agar suasana tak berubah hening.

“Saya belum bisa menjawab pertanyaanmu yang satu itu,” tutur Pak Rendy, kemudian dia beranjak dari duduknya. “Berdiri, Elisa. Saya antar kamu kembali ke kampus.”

Aku mengangguk patuh, tidak menuntut Pak Rendy untuk menjawab pertanyaanku. Entah mengapa aku memiliki firasat kalau suatu saat nanti semua pertanyaanku akan terjawab.

Kami kembali memasuki portal berbentuk lingkaran yang tercipta begitu saja setelah Pak Rendy menggerakkan jarinya. Aku menalan ludah saat menyadari bahwa dalam hitungan jam hidupku berubah karena sosok “alien” yang bernama Rendy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status