Share

Bab 5-Tawaran

Aku mengupas apel dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang membuatku nyaris pingsan jika mengingatnya. Apakah aku sudah gila? Apakah kejadian tadi nyata? Dosenku ternyata adalah alien?

“Woi! Ngupas apelnya yang benar! Bisa kena pisau jari lo!”

Seruan dari Vino membuat lamunanku buyar. Aku bergegas menatap Vino lantas meletakkan pisau dan apel ke atas piring. “Vin, gue mau tanya.”

Mendengar intonasi bicaraku yang terdengar serius, raut Vino pun berubah serius. Dia mendekat ke arahku lantas duduk di sebelahku. “Tanya apa?”

“Lo percaya sama alien nggak?”

Vino terdiam selama beberapa detik, kemudian tangannya terangkat dan menjitak kepalaku.

"Duh!” ringisku.

“Gue kira pertanyaan lo serius. Malah bercanda.”

“Ih! Gue nggak bercanda! Sebenarnya gue habis ketemu sama alien,” bisikku di kalimat terakhir seolah ada orang lain di sini yang bisa mendengar obrolan kami. Padahal hanya ada aku dan Vino.

Vino menggeleng pelan dengan matanya yang menyorot iba padaku. “El, lo stres gara-gara kuliah online? Yuk, gue temenin ke dokter.”

Aku memberengut usai mendengar ucapan Vino. Seharusnya aku tidak bercerita kepada sepupuku itu atau kepada orang lain di luar sana. Mereka pasti tidak akan percaya dengan apa yang kuucapkan tentang Pak Rendy, kecuali mereka melihat kemampuan Pak Rendy secara langsung.

“Lo lanjutin deh ngupas apelnya, gue udah kepingin,” ujar Vino lantas berkutat pada ponselnya. Dia kembali fokus bermain game online.

Bibirku mencebik, namun aku menurut untuk mengupas apel. Sebenarnya hari ini aku memutuskan untuk menginap di apartemen Vino. Memang bukan apartemen yang besar seperti milik Pak Rendy, tetapi setidaknya ada kamar untuk tidur. Aku merasa lelah secara jiwa dan raga akibat kejadian hari ini, karena itulah aku memutuskan untuk menumpang istirahat di apartemen Vino sebelum kembali ke rumah.

Aku mengambil sepiring apel yang sudah dikupas dan dipotong. “Nih, dimakan,” sodorku kepada Vino.

Vino tersenyum senang. “Thanks, sister. Besok pagi sebelum pergi dari apartemen gue, jangan lupa bersih-bersih dulu ya.”

Aku melongo tak percaya. “Ini bocah udah dikasih jantung malah minta hati! Awas lo ya!” seruku seraya mengangkat pisau di tangan.

Tawa Vino terdengar menggelegar. Sepupuku itu lantas mengambil sepiring apel dan membawanya memasuki kamar. Sebelum menutup pintu kamar, dia melongokkan kepalanya lantas menatapku. “Oh, iya, satu lagi. Entar malem jangan lupa ke supermarket buat beli bahan masakan sama jajanan.”

“VINO!!!” teriakku kesal. 

***

Aku melangkahkan kaki di trotoar dengan malas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini aku tengah berjalan menuju supermarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen Vino. Ingin sekali aku menolak perintah Vino, namun sebagai sepupu yang tahu diri karena sudah merepotkan Vino dengan menginap di apartemennya, maka aku pun berusaha untuk bersikap baik dan patuh padanya. Walaupun ujung-ujungnya diperintah terus-menerus seperti ini.

Masker yang sempat kuturunkan langsung kuangkat kembali saat tiba di supermarket yang ramai. Sebelum masuk ke dalam, aku mencuci tangan terlebih dahulu lantas melakukan cek suhu. Sampai di dalam supermarket itu, aku melangkah dengan cepat, mencari bahan untuk dimasak dan jajanan favorit Vino.

Setengah jam berlalu dan aku telah selesai dengan belanjaan di keranjang. Merasa lelah dan ingin segera merebahkan tubuh ke atas kasur, aku berjalan cepat untuk membayar semua barang yang kubeli lantas melangkah keluar dari supermarket. 

Ingin lebih cepat sampai di apartemen Vino, maka aku memutuskan untuk melewati sebuah gang. Jika melewati trotoar di jalan raya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, sedangkan melewati gang hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit, bahkan bisa lebih cepat dari itu.

Aku merinding sesaat ketika melihat kondisi gang yang terlihat sepi. Tidak semua lampu jalan di gang tersebut menyala. Terlihat gelap dan cukup menakutkan, namun aku berusaha untuk berpikir positif. Lagi pula, jam baru akan menunjukkan pukul sembilan malam, di jalan raya saja masih ramai, jadi aku yakin kalau di gang ini tidak akan ada orang jahat.

Aku melangkah di gang tersebut sambil bersenandung ria. Menit demi menit terus berlalu dan tidak ada satupun orang yang melewati gang ini. Entah mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Aku pun mengeratkan genggaman pada keresek yang berisi barang belanjaan lantas berjalan dengan langkah cepat.

Bruk!

Sesuatu yang terdengar jatuh dari arah belakang membuat langkahku terhenti. Menelan ludah, aku lantas memutar tubuh ke belakang. Terlihat di depan sana ada beberapa pria berjas yang berjalan mendekat ke arahku. Pria-pria itu mirip dengan pria berjas yang kulihat tadi siang saat bersama Pak Rendy. Ketika menyadari ada yang tidak beres, aku langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga.

Aku tidak menoleh ke belakang sedikitpun, memilih untuk terus berlari secepat mungkin agar lekas sampai di jalan raya. Bodohnya, karena tidak melihat-lihat, kakiku tersandung batu. Tubuhku langsung terhuyung ke depan dengan lutut dan tangan yang lebih dulu mencium aspal. Panik, aku langsung berdiri, tidak mempedulikan barang belanjaanku yang kini berserakan di atas aspal.

Ketika akan kembali berlari, aku meringis saat merasakan perih di lutut dan tanganku. Aku menatap ke arah lutut dan telapak tanganku yang mengeluarkan darah. 

“Percuma saja kau berlari.”

Aku mendongak dan mataku membulat sempurna saat melihat pria-pria berjas itu kini telah berada di hadapanku. Satu kesimpulan yang tercetak di kepalaku membuatku menelan ludah. Apakah mereka makhluk sejenis Pak Rendy yang bisa berteleportasi? Mampuslah aku.

Dengan menahan rasa sakit di lutut, aku berjalan mundur perlahan hendak kembali berlari. Namun, kedua tanganku lebih dulu dicengkeram oleh mereka. 

“Siapa kalian?! Lepaskan saya!” teriakku sambil berusaha memberontak.

“Tenanglah, kami hanya ingin berbicara sebentar,” ujar pria berjas lain yang tidak memegang kedua tanganku. Dia mendekat ke arahku lantas menunduk. “Di mana keberadaannya?”

Aku mengernyit. “Apa maksud anda?”

“Jangan pura-pura tidak mengerti. Aku tahu kalau kau bersamanya sejak tadi siang.”

Paham ke mana arah pembicaraan pria itu dan siapa yang mereka cari, aku langsung menutup mulut rapat-rapat. Mataku menyorot tajam ke arah mereka dengan tangan yang berusaha memberontak. Meskipun usahaku sepertinya sia-sia, setidaknya aku harus terlihat berani saat ini.

“Aku tidak tahu maksud anda,” dustaku.

“Tidak mau memberitahu ya?” ujar pria di depanku. Meskipun wajahnya tak dapat kulihat karena terhalang masker, namun dapat kubayangkan wajah menyeramkannya yang tengah menyeringai kepadaku.

Pria itu terus berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba saja nyaliku menciut. Aku tidak bisa bela diri dan jika dikeroyok oleh banyak pria seperti ini, tentu saja aku akan kalah. Pasrah, aku memejamkan kedua mata erat-erat.

Aku tersentak kaget saat merasakan ada tangan yang menarik turun maskerku. Sepertinya itu tangan dari pria di hadapanku. Beberapa detik kemudian kurasakan sebuah tangan yang meraih daguku dan mengangkat wajahku. Mataku memejam semakin erat.

“Jauhkan tanganmu darinya!”

Suara yang familier di telingaku membuat kedua mataku terbuka. Aku terbelalak melihat Pak Rendy berada di depan sana. Dia berjalan ke arahku dengan netra cokelat terangnya yang menyorot tajam.

“Lepaskan gadis itu,” ucap Pak Rendy.

“Wah, ternyata aku tidak salah menangkap umpan,” ujar pria berjas itu seraya menjauhkan tangannya dari daguku. Dia lantas beralih menatap Pak Rendy. “Sudah siap pulang?”

Rahang Pak Rendy mengetat dengan mata yang tertuju pada kedua tanganku yang masih dicengkeram oleh dua pria berjas. Tiba-tiba saja dengan gerakan yang begitu cepat kulihat Pak Rendy melayangkan tinjunya ke arah dua pria yang mencengkeram tanganku, kemudian dengan gerakan cepat pula dia berhasil meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Dalam hitungan detik, portal lingkaran itu terlihat dan Pak Rendy menggendongku lantas memasuki portal sebelum para pria berjas itu menyusul kami. 

Aku menghembuskan napas lega saat kami tiba di apartemen milik Pak Rendy. Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy yang tampak menatap lurus ke depan. Pak Rendy menggendongku lantas meletakkan tubuhku ke atas sofa. Dapat kulihat matanya memandang ke arah lututku yang berdarah. Entah perasaanku saja atau benar adanya, bola mata Pak Rendy berkilat marah, dia menggertakkan giginya sesaat.

“Mereka melukaimu?” tanyanya seraya menatapku.

Aku menggeleng. “Saya terjatuh saat berusaha kabur.”

Pak Rendy tak berucap apapun, dia menegakkan tubuhnya lantas berjalan menuju salah satu ruangan. Tak berselang lama dia kembali dengan membawa kotak P3K. Pak Rendy beranjak duduk di sebelahku lantas membuka kotak P3K.

Aku terkesiap kaget saat Pak Rendy meraih kedua telapak tanganku. Dengan telaten dia mulai membersihkan luka yang berada di sana. Ternyata dia menyadari kalau telapak tanganku juga terluka. Selesai dengan luka di telapak tanganku, Pak Rendy beralih mengobati kedua lututku yang masih mengeluarkan darah. 

“Sshhh ... ” ringisku saat Pak Rendy mengoleskan salep ke lututku. Rasanya lebih perih daripada saat dioleskan ke luka di telapak tanganku.

“Tahan sebentar,” ucap Pak Rendy.

Aku mengangguk, kemudian menggigit bibirku saat rasa perih itu kembali hadir. Pandangan mataku tak beralih dari Pak Rendy yang kini tengah menutup luka di lututku dengan hati-hati. Setelah luka ditutup dengan kain kasa, Pak Rendy mengelus lututku dengan pelan. Tindakannya membuat dadaku berdesir. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain untuk meminimalisir perasaan yang kembali hadir. Aku sadar kalau rasa ini masih ada untuk Pak Rendy sejak tiga tahun lalu. Dia adalah cinta pertamaku dan ternyata sampai sekarang aku masih menyukainya. Bodoh, aku jatuh cinta pada makhluk asing yang bukan manusia.

“Seandainya saya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan luka. Sayangnya saya tidak punya itu,” ucap Pak Rendy. Kini kurasakan dia meraih tanganku lantas menggenggamnya pelan.

Aku kembali menatapnya. Saat itulah aku tertegun mendapati sorot matanya yang melembut. “Maaf, kamu jadi terlibat dengan masalah saya.”

Aku bungkam, tidak tahu harus bicara apa. 

“Saya bilang di awal kalau hidup kamu tidak akan tenang setelah ini. Dan itu benar-benar terjadi. Kamu sudah terlibat dengan saya, maka ucapkan selamat tinggal pada kehidupan normalmu.”

Napasku tertahan sesaat setelah mendengar ucapan Pak Rendy yang satu itu. 

Masih dengan menggenggam tanganku, kini sorot mata Pak Rendy berubah tajam. “Mulai sekarang kamu harus tinggal satu atap dengan saya, Elisa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status