Share

Ada apa?

Di mobilnya tiba-tiba Sandra mendengar ponselnya berbunyi, “Mommy…” Enggan rasanya untuk menjawab, namun ia tetap harus menjawab panggilan itu.

“Halo Mom,”

“Ya, tapi aku masih di jalan, nanti kita lanjut ya, bye Mommy.” Buru-buru Sandra mengakhiri panggilan itu sambil menarik nafas dalam-dalam.

Akan tetapi tiba-tiba Simon mendadak mengerem mobilnya. “Ada apa?”

“Sepertinya di depan ada kecelakaan,” ujarnya sambil mengamati situasi jalan yang terhalang oleh beberapa motor yang berhenti di depan mereka.

“Tak adakah cara lain untuk menembusnya?”

Simon menggeleng, “Kayaknya susah, atau sebaiknya kita tunggu sampai mereka bubar?” ia ragu-ragu bertanya, jika memaksa untuk melewatinya, mungkin hal tak di duga terjadi.

“Lakukan sesuatu, Simon. Aku tahu pasti ada cara lain.”

Simon melihat ekspresi kesal Sandra. “Akan aku coba,” akhirnya Simon menuruti keinginan Sandra, dia baru sadar bahwa ternyata wanita itu begitu keras kepala.

Baru saja ia menghidupkan mesin mobilnya, tiba-tiba seorang ibu setengah baya datang dan mengetuk kaca mobil. Simon menurunkan kaca dan bertanya. “Maaf Bu, apa ada korban di depan? Bagaimana keadaan mereka?” Simon mencoba menggali informasi.

“Kecelakaan? Di depan bukan korban kecelakaan, tapi ada orang pingsan. Sejak tadi nggak ada yang mau kasih tumpangan ke rumah sakit, bisa tolong bantu?”

Simon melirik Sandra yang ikut mendengar kabar itu. “Bagaimana Nona, Sandra?” Simon meminta pendapat atasannya itu.

“Hilangkan kata nona, dan cepat bantu. Kepalaku sangat pusing, jadi aku akan menunggu di sini”

Aneh, dalam situasi serumit ini Sandra masih sungkan dengan kata nona, tapi ini membuat Simon tersenyum. Lucu!

“Baiklah Bu, saya akan segara datang,”

Setelah memberitahu, Simon keluar dari mobil, untungnya dia sudah duduk di kursi depan, jadi tak perlu repot lagi untuk pindah duduk.

Namun, rasa penasaran mengusik pikirannya, mendorong Sandra untuk ikut membantu Simon, dan tanpa sadar langkahnya sudah memasuki kerumunan.

“Apa?” Sandra kaget ketika melihat sosok yang terbaring di aspal adalah wanita yang telah dia benci sejak melihatnya terakhir kali. Di saat yang sama, Simon berbalik berniat memberi tahunya bahwa yang pingsan itu Shania.

“Dia…”

“Anda kenal dengan wanita ini?” Simon tak langsung menjawab, jika wanita itu dulu sangat di cintainya, namun sekarang semua berubah, Simon telah menganggapnya sebagai sampah yang rela menju4l t*buhnya demi uang!

“Bagaimana dengan anda Nona?” Sandra sempat tergagap, namun seperti yang didengarnya tadi, tak ada orang lain yang bersedia membawanya ke rumah sakit.

“Saya tidak kenal, tapi kami akan tetap membantunya…”

Simon terperangah, terlebih lagi ketika Sandra maju ke tengah, mengajak Simon membopong tubuh Shania. “Sandra tapi…” Simon tak ingin, tapi Sandra malah tersenyum seolah tak ada masalah apapun di wajahnya.

Simon tak dapat melanjutkan kata-katanya, dia kagum melihat ketulusan hati Sandra, tak seperti dirinya yang masih menyimpan dendam.

Dendam? Tentu saja, Sandra bisa dendam dengan siapapun yang menyakitinya, namun melihat seseorang yang sekiranya membutuhkan bantuan darinya kenapa tidak?

Simon berupaya membawa wanita yang telah menyakiti hatinya itu ke mobil, Sandra mengikutinya dari belakang, membuka pintu mobil sebelum Simon membaringkannya di jok mobil belakang.

“Kita langsung ke rumah sakit, setelah itu pergi,” pinta Sandra yang kembali duduk di kursi depan.

“Hatimu terlalu mulia, Sandra, tapi jika kita langsung pergi, dia akan semakin tak tahu di untung…”

"Aku melakukannya karena kita sama-sama manusia, jadi kita tak terlalu terlibat dengan dia."

Sandra lalu diam hingga Simon kembali melajukan mobilnya, selama perjalanan raut wajahnya begitu dingin, Simon sengaja mengendarai mobil Audi Q3 itu kecepatan tinggi.

Pukul 6 sore, mereka tiba di rumah besar keluarga Sandra, setelah memarkirkan mobil, Nyonya Leslie, ibunda Sandra, berjalan tergesa-gesa lalu berbicara pada putrinya: ”Sandra, kenapa kamu baru datang? Perjamuan akan segera dimulai.“

Sandra turun dari setelah Simon membuka pintu, lalu berupaya menjelaskannya. “Tadi kami mengalami macet di jalan dan sedikit halangan lain yang membuat datang terlambat. “

Setelah berkata demikian, mereka segera masuk ke dalam, namun Simon memilih berdiri di depan pintu. “Simon, kenapa kamu tak ikut masuk? Ayo ikut…”

Simon menahan tangannya, lalu menggeleng pelan. “Aku hanya karyawan di sini, jadi…”

“Sandra, kenapa tak masuk? Nenek sudah menunggumu sejak tadi?” Sandra ragu-ragu, akhirnya ia melepas tangan Simon dan masuk sendirian.

“Temanmu tak diajak?” Baru setengah jalan, tiba-tiba neneknya, Nyonya Felicia berbicara, membuat semua orang di ruangan itu kaget.

“Ibu, ini…” orang tua Sandra ingin menyangkal, namun melihat dua alis nyonya Felicia yang terangkat, mereka mengurungkan niatnya dan mengatup rapat bibir mereka.

“Tak ada batasan acara perjamuan hari ini, jadi siapapun boleh ikut bergabung.” Keputusannya tak dapat diganggu gugat, membuat Simon gelisah.

“Ayo, ikut.” Sandra membawa Simon masuk ke dalam.

Di meja makan utama, raut wajah nyonya besar Felicia berubah serius, lalu berkata. “Bagaimanapun juga, acara perjamuan makan ini, sebenarnya ada hal yang akan aku sampaikan.”

***

Shania berhasil diselamatkan! Bekerja seharian tanpa beristirahat, membuatnya kelelahan hingga pingsan di jalan. Untungnya ada orang baik yang langsung membawanya ke rumah sakit, hingga Shania akhirnya sadar kembali.

Wajah Shania terlihat pucat dan tubuhnya yang lemah berbaring di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit rumah sakit yang serba putih dengan wajah tanpa ekspresi serta tatapannya beku.

Tiba-tiba pintu terbuka, di sertai suara langkah kaki. Shania menoleh kearah pintu dan melihat keluarganya berdatangan ibu dan adik angkatnya datang menjenguk.

"Kak, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya sang adik dengan mata berkaca-kaca.

Belum sempat Shania menjawab, di belakangnya sosok Ayahnya, Roger datang dengan wajah muram. “Siapa ayah dari anak dalam kandunganmu?” tegas Roger pada Shania.

Ibu maupun adik angkat Shania membelalak kaget mendengar amarah Roger yang matanya sudah memerah menahan emosi, “Jawab Shania!”

Saat itu ibunya bahkan ikut terpengaruh dan malah memukul badannya, "Shania kau hamil? Bagaimana bisa! Katakan, siapa yang menghamilimu?”

Belum lagi ocehan Roger yang tak ada hentinya membuat suasana hening di ruangan itu menjadi heboh. “Kamu ini belum menikah, Shania bagaimana bisa kamu hamil?"

Roger bahkan mengacak rambutnya dengan kesal, sebagai ayah dia sangat marah dan terkejut mengetahui anak gadis yang selalu saja menjadi topik pujiannya di kantor, kini malah dinyatakan hamil.

"Jangan diam saja, Shania! Katakan siapa yang menghamilimu?"

Shania juga kaget dan tak menyangka semua itu terjadi padanya. Wajahnya menunduk sambil terisak, bahkan ia tak berani menatap kedua orang tua yang berdiri di depannya.

Shania menutup mata, menahan sesak di dadanya, ia merasa malu dan kotor saat ini. Shania sendiri juga bingung bagaimana ini bisa terjadi.

Bagaimana bisa ia hamil? Haruskah dia mengatakan pria yang telah menyentuhnya? Tapi bukannya dia telah dia menerima kompensasi setiap kali melakukannya?

Shania memilih diam, sekarang tubuhnya yang sakit bahkan tak dipedulikan oleh kedua orang tuanya.

"Shania, ibu nggak masalah siapa ayahnya, tapi tolong katakan? Apa itu Simon?”

Isak tangis Shania semakin menjadi, haruskah dia menuduh pria tak bersalah yang berstatus mantannya? Tidak, bukankah alasan Shania memutus hubungan mereka adalah uang.

"Astaghfirullah! Shania… tega sekali kamu membuat keluarga malu nak. Jika memang dia ayahnya, ibu akan datangi rumahnya dan minta pertanggungjawaban besok!”

Sementara Roger memilih pergi dari ruang rawat Shania demi menahan emosi. Siapa yang menyangka kalau Shania akan hamil?

Setelah diperiksa dokter, Roger merasa seakan mendengar petir di siang bolong, bahkan Shania yang baru mendengar merasa seluruh tubuhnya luruh tak bertenaga.

Sepeninggal suaminya, ibunda Shania menangis meratapi nasib putrinya.

"Ya allah, kenapa aku di berikan ujian seperti ini? Apa dosaku hingga putriku mendapat karma ini?”

Mendengar ibunya menangis, Shania tidak tahan dan malah memukul perutnya, "Hentikan Shania!" Ibunya berteriak histeris melihat kelakuan Shania.

Sementara Roger, kembali masuk ke ruang rawat dengan kepala dingin. Niatnya pulang kerumahnya tertunda karena mendengar teriakan histeris sang istri.

"Mau diapakan pun, janin itu tetap anakmu Shania, dia tak berdosa, kamu tak pantas menyalahkan calon bayi yang ada di rahimmu. Tapi, semua ini adalah kesalahanmu dan pria yang bikin kamu hamil.” Roger berusaha meredam emosi hingga bola matanya memerah.

Isak tangis tadi perlahan berubah menjadi suara senggukan, Shania baru saja berpikir, "Aku harus segera memberitahu Gerald sekarang, dia harus mengakui sebelum ini menjadi aib untuk keluargaku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status