“Syarat apa yang kubutuhkan untuk menikah denganmu?” tanya Adeline tanpa basa-basi dengan pria di depannya.
“Tidak ada. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengurus semuanya.”
Adeline menyipitkan kedua matanya. Mencari celah untuk bisa membaca ekspresi dari pria itu. Namun, dia bukanlah seorang yang pandai membaca ekspresi. Ditambah Leonard adalah seorang pria yang pandai menyembunyikan isi hati. Jadi, tidak ada apapun yang bisa Adeline simpulkan.
Adeline menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Semua sudah terlanjur. Lebih baik dia bertanya jujur supaya hal yang mengganjal di hati, bisa terlepas dengan bebas.
“Kenapa kamu memilihku menjadi istrimu?”
“Tidak ada.”
“Kamu mempermainkan aku, ya?”
“Tidak.”
“Hahhh ….” Adeline memutar bola mata malas. Kejadian beberapa hari sebelumnya membuat ia terpaksa harus berada di posisi yang sangat tidak dia inginkan ini. Menikah dengan pria yang dia anggap sangat aneh karena langsung meminta untuk menjadi istri di pertemuan pertama mereka, sangat mengganjal pikirannya.
“Sebenarnya, kamu itu siapa?” tanya Adeline jujur. Dia sudah sangat jenuh dengan pembicaraannya yang berputar-putar.
“Leonard Alaric Kane. Sama seperti kamu, aku adalah CEO di perusahaanku,” jawabnya santai.
“Kamu itu sungguh sangat menyebalkan!”
Leo mengangkat bahu dengan santai. Mengambil secangkir kopi miliknya dan menyeruput pelan.
“Apa kamu sudah selesai?” tanya Leo seraya menaruh cagkir kopi yang telah habis isinya.
“Kenapa?” Nada suara Adeline terdengar sangat ketus. Namun, Leo tentu saja tidak peduli. Tanpa berbicara, Leo bangkit dan pergi keluar.
“Hei! Kamu belum membayar bill-nya,” seru Adeline.
Leo hanya terus berjalan tanpa menghiraukan ucapan Adeline.
“Hei! Leonard!”
Mendengar namanya disebut, langkah kaki Leonard terhenti dan membuat Adeline yang berjalan di belakangnya, menabrak punggungnya yang lebar.
“Kamu tidak bisa berhenti dengan benar, ya?” Adeline melihat Leo dengan kesal.
Leo tidak menjawabnya. Hanya diam dan menatap iris mata Adeline yang berwarna biru.
“Apa kamu memakai lensa kontak?”
“Hah?”
“Soflens. Apa kamu memakai itu?” Leo memperjelas pertanyaannya.
“Iya, memang kenapa? Ada urusan denganmu?”
“Jelek! Lebih baik kamu tidak usah memakai lensa kontak.” Leo melanjutkan kembali langkahnya setelah mengatakan hal itu. Tidak menggubris panggilan dan umpatan yang Adeline layangkan untuknya.
Adeline sangat kesal dengan sikap apatis pria itu sampai berdialog dengan dirinya sendiri. “Apa katanya? Jelek? Padahal laki-laki lain sangat mengagumiku jika sedang mengenakan lensa kontak berwarna biru. Tapi pria menyebalkan itu malah mengatakan bahwa aku jelek? Apa dia tidak normal?”
Di dalam mobil, Leo terbayang wajah Adeline yang semakin cantik dengan warna biru di matanya. Apa wanita itu tidak menyadari bahwa dia sangat cantik dengan softlens berwarna biru? Apalagi, tadi posisi mereka sangatlah dekat. Membuat jantungnya berdebar kencang.
Pintu terbuka, Leo langsung mengeluarkan ponsel dan mengecek e-mail. Adeline masuk dan duduk di kursi samping kemudi. Membuatnya menghentikan gerakan dan melihat wanita itu.
“Sedang apa kamu?” tanya Leo ketus.
“Ya … duduk. Aku tidak sudi duduk di sampingmu,” balasnya tak kalah ketus.
“Pindah!” perintahnya seraya menatap layar ponsel.
“Tidak mau.”
Leo mengangkat kepala dan menatap Adeline dengan tajam. Jika itu adalah bawahannya, sudah pasti akan menurut tanpa dia harus bersusah payah mengeluarkan suara.
Namun, berbeda dengan Adeline. Wanita itu tetap duduk di kursi depan samping kemudi bersama sang supir.
“Kubilang, pindah!”
Melihat tuannya yang sedang menahan amarah, akhirnya sang supir meminta Adeline untuk pindah di belakang.
“Maaf, Nona. Silakan Anda pindah ke belakang,” ucapnya.
Adeline mengembuskan napas kasar. Dia memang tidak pintar namun dia tidak cukup bodoh untuk mengetahui bahwa karir supir itu berada di ujung tanduk jika dia tak menurut.
“Puas?” tanya Adeline dengan kesal ketika dia sudah duduk di kursi belakang.
“Biasa saja.”
Adeline semakin kesal mendengar jawabannya yang sangat acuh tak acuh. Namun, kali ini dia tak menghiraukannya lagi. Tenaganya seperti sudah terkuras untuk menghadapi pria itu.
Mobil berjalan menyusuri jalan ibu kota yang sangat padat namun masih terbilang lancar. Lalu lintas yang berjalan normal dan teratur membuat suasana tidak terlalu memuakkan untuk Adeline. Wanita itu masih bisa menikmati perjalanan mereka meski sedang bersama dengan pria aneh.
“Hei, kita mau kemana?” tanya Adeline ketika mobil mulai menjauhi pusat ibu kota.
“Nanti kamu akan tahu,” balas Leo dengan pandangan yang masih tertuju pada sebuah tab di tangannya.
Adeline menyipitkan kedua mata. Tiba-tiba ia teringat dengan Dalton yang saat ini masih mengusahakan supaya perusahaan tidak disita oleh bank. Rasa bersalah kembali hadir di hati Adeline. Wanita itu merasa bersalah karena di hari tua, sang asisten itu masih saja harus bekerja keras.
Adeline menolehkan, melihat Leo yang sudah selesai dengan pekerjaannya, kedua matanya tertutup seakan tengah mengusir sejenak rasa lelah. Dia membuka mulut namun tak satupun kata-kata keluar dari celah bibirnya.
“Katakan saja,” balas Leo dengan kedua mata yang terpejam.
‘Bagaimana pria itu bisa tahu aku ingin bicara?’ batinnya bertanya.
Adeline melihat lagi mata Leo yang masih terpejam. Sebelah tangannya terangkat dan mengibaskan di depan wajah pria itu.
‘Kelopak matanya tidak bergerak tapi bagaimana pria itu bisa tahu?’
Greep!
Tiba-tiba Leo menggenggam tangan Adeline yang masih berada di depan wajahnya. Perlahan kedua matanya terbuka dan bertemu dengan kedua mata Adeline.
Untuk sesaat tak ada yang bisa Adeline lakukan. Dia seperti tersihir oleh mata Leo yang menatap tanpa ekspresi. Dia seperti membatu dan tidak bisa berbuat apapun.
“Jangan pernah mendekatiku!” geram Leo seraya melepaskan genggamannya di tangan Adeline.
“Aku tidak—”
Sorot mata Leo yang tajam membuat Adeline menghentikan perkataannya yang sudah diujung lidah. Dia memilih untuk memalingkan wajah dan menatap jalanan.
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Leo tiba-tiba.
“Ah? Oh, A-aku … aku ingin bertanya mengenai ….” Melihat sikap Leo yang dingin, membuat Adeline ragu untuk mengatakan hal yang mengganjal hatinya.
“Perusahaanmu?”
“I-iya.” Adeline memaksa senyum senormal mungkin. Meski tetap saja senyumannya malah terlihat dengan jelas keterpaksaannya. “Apakah bisa segera diselesaikan?” tanyanya memberanikan diri.
“Tergantung.”
“Tergantung?”
“Tergantung secepat apa kita menikah.”
“Hah? Apa maksudmu? Kenapa—”
Leo langsung membuka pintu mobil dan tidak memedulikan Adeline yang menggerutu di belakangnya. Mereka masuk ke dalam sebuah butik dengan berbagai macam gaun pengantin yang sangat indah.
Ketika sampai di lobi, sudah ada beberapa orang wanita yang seakan sudah menunggu kedatangan mereka. Meski bingung, Adeline tidak bertanya karena menurutnya sekarang bukanlah saat yang tepat. Masih banyak orang dan ia lebih nyaman hanya berdua saja ketika sedang bertanya.
“Halo, selamat siang, Tuan dan Nyonya Kane. Saya Elora Devereux, pemilik dari butik sekaligus yang merancang semua gaun pernikahan di sini,” sapa seorang wanita.
“Tunggu!” Adeline menolehkan kepala ke arah Leo yang seakan tidak memiliki beban. “Leo? Apa maksudnya ini?” tanyanya dengan sedikit emosi.
Leo menolehkan kepala ke arahnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Membuat sebuah senyum yang tidak terlalu kentara.
“Aku ingin kamu menikah denganku seminggu dari sekarang.”
“Apa?!”
***
Bersambung~~
Adeline tentu saja terkejut dengan kejadian itu. Namun, hatinya merasa hangat di saat yang bersamaan. Adeline tersenyum sambil menggigit bibir bawah. Kemudian dia berbaring di samping Leo dengan kedua tangan yang memeluk tubuh pria itu dengan erat.Namun, hal yang dia lakukan malah semakin membuat Leo mempererat pelukan mereka. Bahkan pria itu berulang kali melayangkan kecupan di bibir serta dahi Adeline. Membuat wanita itu tersipu dan menenggelamkan wajah di dada sang suami.Setelah beberapa saat, barulah mereka kembali tertidur dengan damai.Adeline memegang wajah dengan kedua tangan. Mengingat hal itu saja sudah membuat wajahnya terasa panas. Dia yakin saat ini wajahnya pasti memerah. Adeline mengatur nafasnya supaya dia tidur tertawa saking senang dengan perlakuan Leo saat itu.Bertepatan dengan itu, tiba-tiba Leo keluar dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya. Menampilkan dada bidangnya dan perut bermotif kotak-kotak kesukaan p
Leo mendudukkan Adeline di tepi ranjang. Dia lalu menidurkan istrinya itu dan menarik selimut sampai batas dada."Kamu tidak tidur?" tanya Adeline ketika melihat Leo tidak berbaring di sampingnya."Ada pekerjaan yang harus dikerjakan," ucap Leo sambil mengusap lembut puncak kepala sang istri."Oh? Ya, sudah. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu," ucap Adeline merasa tidak enak Jika karena dia. Leo sampai mengabaikan tanggung jawabnya."Tidak apa-apa. Aku akan bersamamu sebentar sampai kamu tertidur." Leo tidak benar-benar memiliki pekerjaan. Dia sengaja hanya duduk di tepi ranjang karena khawatir dirinya akan lepas kendali."Aku benar-benar tidak apa-apa, Leo. Kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu," timpal Adeline. Dia benar-benar akan merasa tidak enak."Sudah, kamu tidak usah khawatir. Sekarang kamu pejamkan saja kedua matamu. Nanti setelah kamu tertidur, aku akan bekerja," ujar Leo.Adeline tak lagi berdebat dengan Leo. Dia berpikir jika terus berdebat hanya akan memperlambat dirinya terlelap
"Ekhem …." Deheman Haidar sukses membuat Alexander tak menatap Camila lagi.Sedangkan Camila memberikan ratatouille yang diinginkan Adeline. "Makanlah, Nak," ucapnya dengan lembut.Awalnya Adeline agak ragu untuk memakan makanan itu, namun ketika melihat wajah teduh sang kakek, akhirnya dia mulai menyantap hidangan makan malam tersebut."Jika ingin menambah, bilang saja, ya. Sayang," ujar Camila.Meski sempat bersitegang untuk beberapa saat, akhirnya makan malam itu berjalan lancar. Ketika Haidar sudah sampai pada beberapa suapan terakhir, barulah Leo datang dan bergabung bersama."Ajarkan istri kamu untuk lebih menghormati orang yang lebih tua," ucap Alexander ketika Leo baru saja duduk."Memang Adeline kenapa, Yah?" tanya Leo heran."Dia sudah bersikap—""Alexander!" panggil Haidar pada putranya.Hanya dengan tatapan saja, sudah bisa membuat Alexander diam dan tidak melanjutkan perkataannya.
"Ekhem …."Leo berdehem untuk menghalau pikirannya yang mulai kotor. Dia tidak boleh terburu-buru melakukan hal itu. Dia tidak ingin Adeline mencapnya sebagai laki-laki berpikiran kotor walau sejak tadi dia sudah berpikir ke arah sana."Ini, pakailah!" Leo menyodorkan handuk itu pada Adeline.Adeline menerima handuk itu dan mulai membalut tubuhnya. Ketika akan membuka kain bagian bawah, dia melirik Leo dengan tajam."Berbaliklah!" perintahnya."Sudah terlihat dengan jelas," ujar Leo yang lebih mirip dengan sebuah gumaman hingga Adeline tidak bisa mendengar dengan jelas. Dia berbalik mengikuti keinginan sang Istri."Kamu bilang apa?" tanya Adeline."Bukan apa-apa. Cepatlah!" desak Leo."Kamu keluar saja. Aku sudah bisa sendiri " ucap Adeline setelah selesai melepas pakaian dalamnya."Sudah selesai?" tanya Leo seraya berbalik."Kan, aku sudah bilang untuk kamu keluar duluan saja," ucap Adeline."Tidak apa-apa," balas Leo.Dia berjalan mendekati Adeline dan secara tiba-tiba tubuh Adeline
Adeline hanya bisa pasrah dan menikmati setiap sentuhan yang Leo berikan.Kecupan pria itu di bibir dan keningnya, bagai candu yang membuatnya menginginkan lebih dari pada ini.Namun, dia teringat bahwa mereka baru saja pergi dari sebuah pemakaman. Ketika tangan Leo menelusup masuk ke dalam kain penutup tubuh Adeline, dia mendorong pria itu untuk menghentikan kecupan panas yang Leo ciptakan.Keduanya terengah karena permainan bibir yang Leo ciptakan. Adeline juga hampir saja kehabisan oksigen karena pria itu seakan tidak memberikan dia ruang untuk bernapas."Maaf ...." Leo memberikan kecupan-kecupan kecil di bibir sang istri. Kemudian dia menempelkan kening mereka dan saling beradu nafas satu sama lain.Adeline hanya diam saja mendengar permintaan maaf Leo. Dia juga sedikit malu karena tidak bisa menahan dirinya."Kamu tidak menjawab pertanyaanku," ucap Adeline ketika teringat dengan pembicaraan mereka sebelumnya.Leo tersenyum dan langsung mengangkat tubuh Adeline untuk duduk di pang
"Seperti ini bagaimana?" tanya Haidar bingung."Bercanda dan tertawa seperti sekarang. Tapi, sepertinya ada orang lain yang seharusnya berada di sini." Adeline mencoba mengingat siapa orang itu namun dia tetap tidak bisa mengingatnya.Haidar dan Camila saling berpandangan sedangkan Leo hanya bisa menundukkan kepala karena merasa sedih dan mengerti maksud dari yang Adeline katakan.Sore harinya mereka mengajak Adeline untuk datang ke San Diego Park. Sebuah pemakaman milik pribadi dan yang pertama kali memadukan konsep pemakaman elegan forest lawn dengan kebudayaan negara. Makam yang Juga menjadi semacam ikon di kalangan masyarakat kelas atas."Kakek, kenapa kita kesini?" tanya Adeline bingung.Haidar hanya tersenyum sebagai jawaban.Dia ingin membiarkan cucunya itu mengerti dengan sendirinya.Tidak mendapatkan jawaban dari sang kakek, Adeline beralih pada Leo. Dengan hati yang penuh dengan rasa penasaran, dia bertanya pada suaminya itu."Leo, kita akan kemana?" tanya Adeline."Nanti ka