Beberapa minggu lalu...
Sukma duduk sendirian di taman kota, bangku ujung dekat kolam buatan. Hari itu, hatinya baru saja patah—lagi. Ia baru mengetahui dari teman kantornya bahwa Hanan, pria yang selama ini ia sukai diam-diam, telah bertunangan dengan Sisil, pegawai bagian marketing yang penampilannya nyaris seperti model.
Ia tidak menangis. Tapi dadanya sesak.
Saat itulah, seorang pria duduk di bangku seberang kolam. Sendirian. Matanya menatap air yang beriak pelan, sesekali memejamkan mata seolah mencoba menenangkan diri. Ia tidak menyadari Sukma memperhatikannya.
Sukma awalnya tidak menggubris. Tapi saat pria itu menoleh dan matanya bertemu dengan milik Sukma—walau hanya sekejap—ia merasa tubuhnya seolah disambar petir. Wajah pria itu persis seperti pria yang selama ini hadir dalam mimpinya.
Beberapa kali, dalam mimpinya, Sukma melihat sosok pria dengan kemeja putih dan senyum tipis berdiri di pinggir kolam. Pria yang tidak pernah bicara, tapi hanya menatap dari jauh. Mimpi itu datang berulang-ulang, hampir setiap malam selama dua minggu terakhir.
Saat pertemuan itu terjadi di dunia nyata, Sukma membeku. Ia tidak berani menyapa. Bahkan saat seorang wanita cantik menghampiri pria itu dan memeluknya, Sukma hanya bisa terdiam, lalu pergi dengan dada yang terasa hampa.
Ia pikir pertemuan itu kebetulan. Mimpi hanya bunga tidur. Ia mencoba melupakannya. Sampai dua hari kemudian, pria yang sama berdiri di lift kantor, berbalik, dan bertanya padanya, “Divisi kreatif lantai tujuh, ya?”
Sukma nyaris menjatuhkan dokumen yang dibawanya. Ia mengangguk, gugup, lalu memperhatikan nama di ID card pria itu.
Fikri Pradina Makarim.
Direktur cabang.
Wajah itu memang jarang terlihat, katanya lebih sering di luar kota atau luar negeri. Tapi baru hari itu Sukma tahu, pria misterius yang muncul dalam mimpinya… bekerja di perusahaan yang sama dengannya.
Sejak itu, Fikri mulai muncul lebih sering. Awalnya hanya menyapa singkat. Lalu sesekali berbicara lebih lama di kantin. Beberapa kali bahkan memanggil Sukma ke ruangannya untuk urusan pekerjaan kecil yang bisa ia minta lewat email, tapi entah kenapa memilih langsung.
Sukma mengira itu hanya sopan santun. Sampai suatu malam, ia pulang telat dan tanpa sengaja bertemu Fikri di parkiran. Fikri menawarkan tumpangan. Sukma menolak dengan sopan. Tapi pria itu bersikeras.
Dan malam itu... Fikri mengajaknya makan malam. Mereka makan dalam diam di restoran mahal yang bahkan tak pernah terpikir Sukma bisa masuki. Tapi semua berubah ketika Fikri meletakkan sendok, menatapnya serius, dan berkata:
“Aku ingin menikah denganmu.”
Sukma menekan bantal ke wajahnya, menahan napas. Bukan karena malu. Tapi karena pikirannya terasa meledak. Kenapa aku?
Ia hanya pegawai biasa. Gajinya pas-pasan. Penampilannya standar. Tidak ada yang istimewa darinya. Lalu kenapa seorang Fikri—pria tampan, kaya raya, cerdas, dan sudah menikah yang katanya juga sudah berpisah—memilih aku?
Apakah benar dia hanya butuh pelarian? Atau lebih dari itu?
Kata-kata Fikri kembali berputar di kepalanya, "Aku hanya ingin kamu mengikat pernikahan ini denganku." "Aku tidak akan menuntut apa pun. Aku hanya ingin kamu ada."
Bibir Sukma bergetar. “Kenapa rasanya seperti aku dijebak?” bisiknya pelan pada dirinya sendiri. Tapi jebakan macam apa yang membuat hidup ibunya bisa tertolong?
Dan jebakan macam apa yang... membuat hatinya tak bisa langsung menolak?
***
Pagi datang tanpa tidur.
Sukma masih dengan pakaian semalam, duduk bersandar di dinding kamar sambil menatap kosong ke lantai. Matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama terjaga dalam kebingungan yang tak kunjung reda.
Lamaran itu masih menggantung di kepalanya, mengambang seperti awan gelap yang menolak bubar. Ia bahkan belum tahu apa yang lebih menakutkan—menerima, atau menolak.
Ponselnya bergetar pelan. Ibu, batin Sukma.
"Kalau pulang, sekalian bawa minyak kayu putih ya. Stok Ibu habis."
Sukma tersenyum lemah. Di tengah gejolak hidup yang pelik, ibunya tetap konsisten, tenang, ringan, dan kadang terlalu santai. Tapi pesan itu membuat Sukma memutuskan satu hal. Ia harus bicara.
Sore harinya, Sukma tiba di rumah ibunya yang mungil tapi selalu terasa hangat. Aroma kayu manis dan minyak telon masih menyambut dari dalam. Sang ibu, Sri Rohayati, sedang menyiapkan teh hangat sambil duduk bersandar dengan bantal di punggung.
"Rambutmu kusut banget, Sukma. Kamu ngapain aja semalaman?" tanya ibunya, tanpa menoleh.
Sukma meletakkan tas dan duduk perlahan. "Gak bisa tidur," jawabnya pendek.
Sri menyeruput teh. "Mikirin Hanan lagi?"
Sukma nyaris tersedak. “Astaga, Bu! Masih aja bahas itu.”
Sri tersenyum. “Ya maaf. Ibu masih penasaran kenapa kamu gak jadian sama dia. Anak itu sopan, manis, pintar pula. Tapi ya sudahlah... semua sudah jalannya.”
Sukma terdiam. Kali ini bukan Hanan yang jadi beban pikirannya. "Bu..." Nada suaranya pelan, seperti takut kata-katanya didengar dinding rumah. "Aku ditawarin nikah."
Sri mendongak cepat. “Hah?”
“Bukan sama Hanan,” sambung Sukma buru-buru. “Sama… seseorang. Dia udah nikah, tapi katanya udah pisah. Tapi dia... pengen aku jadi istrinya. Tapi cuma nikah siri.”
Senyap. Yang terdengar hanya detak jarum jam dan suara motor lewat dari jalan depan.
Sri akhirnya bersuara. “Kamu suka cowoknya?”
Sukma menggeleng. “Enggak.”
“Dia maksa?”
Sukma mengangkat bahu. “Enggak juga. Tapi... kayak ada tekanan halus. Aku nggak tahu. Aku bingung, Bu. Dia orang kaya, pengaruhnya besar. Tapi... ya itu. Dia udah punya istri. Dan dia bilang... dia hanya ingin ada seseorang di sisinya.”
Sri memandangi wajah putrinya. Pandangan yang tenang, namun menusuk. “Kamu takut?”
Sukma mengangguk. “Takut banget.”
“Kalau kamu nikah sama dia... kamu bakal bahagia, gak?”
Pertanyaan itu seperti tamparan. Sukma tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Ia bahkan belum sempat membayangkan pernikahan macam apa yang akan ia jalani.
“Dengar, Sukma,” ujar Sri dengan suara tenang. “Pernikahan itu kadang memang bukan soal cinta. Tapi soal kebutuhan. Ada orang yang menikah karena harta. Ada yang karena kesepian. Ada juga yang karena... gak punya pilihan lain.”
“Jadi Ibu nyuruh aku terima?”
“Bukan nyuruh,” jawab Sri cepat. “Tapi Ibu tahu kamu anak pintar. Kamu tahu yang kamu lakukan. Ibu cuma ingin kamu sadar: hidup itu kadang gak adil. Tapi jangan sampai kamu jadi orang bodoh hanya karena ingin terlihat kuat.”
Sukma menunduk.
“Kalau kamu mau, Ibu restui. Kalau kamu gak mau, Ibu dukung. Tapi apapun itu, jangan biarkan keputusanmu dibentuk rasa takut. Apalagi... rasa kasihan.”
Diam-diam, air mata mengalir di pipi Sukma. Ia tak sadar sejak kapan ia menangis.
Sri menggeser duduknya, menarik tangan anaknya dan menggenggamnya erat. “Kalau kamu yakin bisa bertahan dalam hubungan aneh itu, ambil. Tapi kalau kamu masih bertanya-tanya terus kayak sekarang... jangan.”
Sukma mengangguk pelan. Tapi pikirannya belum berhenti bertanya.
Fikri. Pria misterius yang datang dari mimpi, lalu muncul nyata dengan tawaran paling tak terduga. Pria yang matanya penuh luka, tapi lidahnya tajam menyusun jebakan manis. Apakah ini benar-benar takdir?
Malam harinya, Sukma kembali ke kontrakannya. Ia membuka ponselnya, membuka chat yang sempat ia abaikan sejak tadi pagi. Dari Fikri tentunya.
"Aku tunggu jawabanmu sampai besok sore."
Hanya satu kalimat. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. “Kalau aku terima... apa yang akan terjadi padaku?”
Like, komen, and share… cerita ini sudah direvisi
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k
“Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia