Share

001- Patah Hati

“Haa~aaah.”

'Mulai lagi,' batin Sukma saat mendengar ibunya mengeluh panjang.

“Punya anak perawan, kerjaannya cuma tiduuur seharian. Gimana mau dapet jodoh, kalo kerjaannya cuma rebahan.”

Seperti biasa, omelan sang ibu membuat Sukma mendelik.

“Jodoh itu udah ada yang ngatur, Bu. Lagian kan hari ini memang libur, jadi wajar dong kalo aku nggak kerja dan cuma rebahan.”

Sang ibu yang tengah sibuk di dapur membuat kue, mendelik ke arah anaknya yang berada di ruang tengah.

“Tetep harus diusahain, kalo kamu nggak gerak, ya nggak bakal dateng tuh jodoh.”

Mata Sukma berputar jengah. “Anak Bu Lia dapet jodoh tuh, walau nggak gerak.”

“Karena dijodohin,” balas ibunya cepat membuat Sukma langsung menghela nafas lelah. “Kalo gitu kamu harusnya mau Ibu jodohin sama anaknya temen Ibu.”

“Kenapa tiba-tiba bahas soal jodoh jodohan,” kesal Sukma yang langsung merubah posisinya menjadi duduk.

Tidak bisa dipungkiri, saat membahas soal jodoh, darah Sukma jadi naik hingga ke ubun-ubun.

“Memangnya mau bahas apa lagi, Ibu itu pengen kamu cepet-cepet nikah. Ibu udah bosan ditanya tetangga kapan kamu nikah,” cecar sang ibu yang membuat mata Sukma melebar sempurna.

“Aku juga bosen!” seru Sukma sambil berdiri. “Ditanya kapan nikah terus,” lanjutnya sambil beranjak masuk ke dalam kamar.

“Makanya nikah!” seru ibunya dari dapur yang masih terdengar bahkan saat Sukma sudah masuk ke dalam kamarnya.

“Huh!” kesalnya. “Hari libur bukannya ngilangin stres malah tambah stres.”

Sukma mendengus, ia menatap smartphone-nya yang begitu sepi. 'Huh, liat handphone juga bikin kesel. Nasib nggak punya temen,' batinnya sambil membaringkan tubuhnya di kasur.

Trrt… trrt…

Mata Sukma melebar, ia segera menyambar smartphone dan tersenyum lebar kala melihat siapa nama pemanggil.

'Hanan.'

Hanan merupakan teman pria Sukma di kantor yang disukainya, ia juga mengira jika pria itu menyukainya. Saat berbicara dengannya, Hanan selalu tersenyum manis dan memperhatikan dengan baik.

Semua teman kantor bahkan mengira keduanya berkencan, membuat Sukma bahagia. Meski begitu, tidak ada pernyataan resmi dari Hanan mengenai hal itu.

“Tumben nelpon,” ujar Sukma dengan semangat, membuat si pemanggil jadi terheran.

“Semangat banget,” kekeh Hanan. “Lagi pengen denger suara loe aja, nggak boleh ya?”

Wajah Sukma tersipu, ia berdehem. “Boleh dong.”

Hanan terkekeh, Sukma ikut terkekeh.

“Gimana kabar loe di weekend ini?” tanya Hanan memulai basa basinya membuat Sukma semakin terlihat senang.

Weekend gue dihiasi dengan omelan Ibu, kalo loe?”

Terdengar suara kekehan dari Hanan, sepertinya ia cukup terhibur dengan ucapan Sukma sebelumnya.

'Pasti wajah Hanan manis banget kalo lagi ketawa. Ha~h, sayang banget gue nggak bisa liat.'

“Emang loe lakuin apa sampe dapet omelan gitu?”

“Biasa soal gue yang kerjaannya rebahan, padahal weekend, kan wajar. Eh loe belum jawab pertanyaan gue,” balas Sukma yang merasa Hanan belum menjawab pertanyaannya.

“Gue… Hm, kalau gue sibuk sih. Jadi Ibu gue nggak ada waktu buat omelin gue.”

“Wuih, sibuk apa nih?”

“Ada deh,” suara Hanan terdengar lebih datar dari sebelumnya membuat Sukma agak bingung. “Loe… sibuk, nggak?”

“Udah dibilang gue cuma rebahan kalo weekend, malah ditanya lagi. Huh!” Sukma berpura-pura marah, namun tetap menampilkan senyum.

“Hehehe, gue cuma mau mastiin aja. Berarti loe nggak sibuk, nih?”

Pertanyaan Hanan membuat darah Sukma langsung berdesir, degup jantungnya mulai tidak beraturan. Pertanyaan 'sibuk nggak' biasanya mengacu pada satu hal, Sukma akan diajak keluar.

Dengan senyum lebar, gadis berusia 28 tahun menjawab. “Nggak, gue nggak sibuk. Emang kenapa?”

“Gue mau ngajak loe ketemuan. Mau, nggak?”

“Mau,” jawab Sukma cepat tanpa jeda, sesaat kemudian ia menyesali antusiasmenya itu.

Hanan terkekeh. “Oke deh, kita ketemuan di kafe xx ya. Perlu gue jemput nggak?”

“Nggak perlu, gue bisa jalan sendiri. Tapi kalo loe maks–”

Ya udah, ketemuan langsung di sana ya. Bye.”

Tanpa aba-aba, Hanan mematikan panggilan. Sukma terdiam, sebenarnya ia belum menyelesaikan kalimatnya tadi.

'Bodo ah, yang penting siap-siap.'

Sukma beranjak, membersihkan dirinya lalu mengenakan pakaian terbaik. Tidak lupa ia juga pamit pada ibunya, meski masih kesal karena persoalan tadi.

Lima belas menit kemudian ia sampai di kafe yang dijanjikan, tidak lupa Sukma memeriksa kembali pakaiannya di spion mobil yang terparkir di sana.

Dengan langkah tegap dan senyum lebar, Sukma masuk ke dalam kafe dan dengan cepat menemukan Hanan yang sudah duduk di kursi paling pojok. Bagian terbaik dari kafe itu karena bisa sambil menikmati pemandangan dari luar lewat jendela.

“Loe udah lama sampenya?” tanya Sukma sambil duduk di kursi satunya, matanya melirik ke arah tas yang dibawa Hanan. 'Tumben bawa tas,' batinnya.

“Nggak, baru aja kok.”

Jelas-jelas Sukma melihat isi gelas Hanan tinggal setengah, berarti pria itu sudah di sana lebih lama dibandingkan dengan apa yang dikatakannya barusan. Sukma tidak berkomentar, ia hanya tersenyum.

Setelah duduk, gadis itu segera memesan minuman dan dessert yang disukainya. Sambil menunggu pesanannya diantarkan, keduanya mengobrol.

"Tumben banget ngajak gue ketemuan, ada perlu penting banget emang?"

“Nggak, cuma pengen ketemu aja. Emang nggak boleh?”

Wajah Sukma tersipu, namun ia berusaha agar tetap tenang. “Boleh dong, kebetulan gue juga nggak ada kerjaan. Sering-sering aja loe ajak gue jalan keluar, walau bukan weekend juga gue bersedia.”

Hanan terlihat gugup, entah mengapa Sukma malah terlihat antusias. 

'Kayaknya ini beneran, dia bakal nembak gue. Untung udah persiapan biar nggak gugup,' batin Sukma sambil mengulas senyum.

Sukma menyeruput jus yang dipesannya, matanya tidak beralih dari wajah Hanan yang terus menatapnya dengan ragu. Sukma semakin yakin, bahwa hari ini Hanan akan mengatakan sesuatu yang penting.

'Please, semoga beneran. Gue bosen cuma digosipin jadian sama loe,' harap Sukma dalam hatinya.

"Begini," Hanan berdehem. Mata Sukma melebar dan menelan ludah tanpa sadar.

'Ini mah udah fix,' batin Sukma sambil memperhatikan dengan penuh kalimat yang akan meluncur selanjutnya.

"Sebenernya," Hanan merogoh tasnya, menyerahkan sebuah amplop yang desainnya sangat dikenal Sukma. 

Gadis itu diam beberapa saat, senyum merekah hilang dari bibirnya. Wajah cerianya yang sedari tadi terpancar mulai redup dan berganti dengan raut kebingungan seiring matanya membaca tulisan di amplop yang disodorkan oleh Hanan.

Bukan amplop, lebih tepatnya surat undangan.

"I-ini…," Sukma menghela nafas dalam. "Apa?" tanyanya dengan mata penuh kebingungan..

"Gue mau tunangan sama Sisil, doain ya biar lancar sampai hari pernikahan. Loe harus dateng ya," ujar Hanan dengan wajah lembut.

Tidak ada respon dari Sukma, matanya masih terfokus pada surat undangan yang disodorkan oleh Hanan. Ia masih meneliti apakah matanya tidak salah melihat saat membaca surat undangan tersebut.

Tangan Sukma mengambil surat tersebut, ia membacanya dari dekat. Benar, tulisannya tidak salah.

*Hanan dan Sisil*

'Hah?'

Narubi

Like, komen, and share.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status