Sukma menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya menulis balasan. Jemarinya sempat berhenti beberapa kali. Ia menghapus kalimat yang terlalu panjang, lalu mengganti dengan yang lebih sederhana.
Sukma:
“Maaf, saya belum bisa menerima tawaran Anda. Terima kasih untuk perhatiannya.”Dikirim. Hening. Lalu… centang dua. Dibaca.
Tak ada balasan.
Sukma menarik napas lega. Entah kenapa, beban di dadanya sedikit berkurang. Mungkin karena akhirnya ia membuat pilihan. Dan kali ini—ia memilih untuk menjaga dirinya sendiri.
Besoknya, kantor terasa sedikit lebih tenang dari biasanya. Sukma fokus mengetik laporan yang harus dikumpulkan hari itu, menghindari percakapan di pantry dan grup W******p yang terlalu ramai. Ia ingin hari itu berlalu secepat mungkin.
Tapi dunia rupanya punya rencana berbeda.
“Eh, Sukma... kamu dipanggil ke ruangan Direksi,” bisik Chintya, matanya melebar penuh tanda tanya.
“Siapa? Aku?” Sukma nyaris menjatuhkan pulpen.
“Iya. Mbak Kumala barusan ke sini, nyari kamu.”
Kening Sukma langsung mengerut. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dengan kaki yang mendadak berat. Perasaan aku nggak bikin masalah deh, batin Sukma sambil berjalan.
Ruangan Fikri dingin, bukan hanya karena AC-nya, tapi karena suasana yang menggantung tebal. Meja besar kayu gelap itu seperti palu hakim. Sukma duduk diam di kursi tamu, sementara Fikri berdiri membelakangi jendela besar yang menghadap ke taman belakang gedung.
“Jadi kamu menolak,” katanya akhirnya. Suaranya tenang. Datar. Tapi Sukma bisa merasakan sesuatu yang lain mengendap di bawahnya.
“Saya pikir itu keputusan terbaik, Pak,” ujar Sukma pelan, mencoba tetap sopan.
Fikri menoleh. Tatapannya tidak seperti malam sebelumnya—kali ini matanya dingin, nyaris tak menyisakan sisi manusiawi. “Kamu pikir... kamu bisa menolak begitu saja?” tanyanya pelan, tapi tajam.
Sukma menegang. “Saya tidak... berniat menyakiti atau menyinggung.”
Fikri tertawa pendek. “Oh, kamu tidak menyakiti. Kamu hanya membuatku terlihat seperti badut.”
“Maaf... tapi saya tidak pernah minta dilamar.”
Fikri menunduk, mengusap wajahnya sejenak, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di kursi seberang Sukma, menatapnya tajam. “Aku tidak suka ditolak, Sukma. Dan aku selalu dapat yang aku mau.”
Sukma mencoba menahan detak jantungnya yang semakin tidak karuan. “Saya harap kita bisa tetap profesional. Ini... tidak perlu dibawa ke mana-mana.”
Fikri tersenyum kecil. Tapi senyum itu bukan bentuk penerimaan. Itu senyum milik orang yang sedang menyusun rencana.
“Oh tentu. Profesional. Aku senang kamu menyebut itu.” Fikri berdiri. “Kamu bisa kembali bekerja. Laporanmu kutunggu sebelum jam tiga.”
Sukma berjalan kembali ke ruangannya dengan langkah lemas. Ia tidak tahu apakah itu tadi peringatan... atau ancaman. Tapi ada firasat buruk yang mulai berdesir di tengkuknya. Ia mencoba fokus pada kerjaannya. Tapi gangguan datang lebih cepat dari yang ia duga.
Sore itu, saat Sukma hendak pulang, ia mendapat pesan dari HRD. “Sukma, tolong ke ruang HRD sekarang. Ada yang perlu didiskusikan terkait evaluasi performa kerjamu.”
Deg. Evaluasi? Padahal ia tidak pernah menerima surat teguran, apalagi keluhan soal kinerjanya.
Dengan hati-hati, Sukma melangkah ke ruang HRD. Di sana, dua staf sudah menunggunya. Raut wajah mereka tak bisa dibaca—profesional, kaku.
“Maaf, Sukma. Tapi beberapa laporan menyebutkan kamu sering telat menyelesaikan tugas dan beberapa kali meninggalkan pos tanpa izin,” kata salah satunya.
Sukma ternganga. “Itu tidak benar.”
“Kami hanya menyampaikan yang masuk ke sistem. Nanti kamu bisa mengajukan klarifikasi secara tertulis. Tapi mohon mulai minggu depan, kamu tidak lagi di posisi strategis. Sementara akan dialihkan ke unit pelatihan sebagai staf pembantu.”
“Tapi…” Sukma hendak protes, namun ia malah diam karena takut malah memperburuk situasi. Ini... nggak masuk akal.
Sudah tiga hari sejak Sukma dipindahkan ke unit pelatihan. Dan entah kenapa, segala hal yang biasanya terasa sederhana—seperti mengetik laporan atau menyeduh kopi—kini berubah jadi beban berat.
Tugas-tugas yang diterima Sukma tidak jelas. Pindah-pindah. Seringkali pekerjaan yang sama dikembalikan karena “kurang rapi” atau “belum sesuai format”, meskipun ia sudah mengeceknya berkali-kali.
Hari ini, ia disuruh meng-input data peserta pelatihan yang berjumlah ratusan orang, lalu dicetak ulang dalam dua format: excel dan ketikan Word. Ketika selesai, data itu dikatakan “salah input” dan harus diketik ulang dengan sistem baru. Tapi tak ada penjelasan soal sistem yang dimaksud.
“Kenapa nggak pakai sistem lama aja?” tanya Sukma pelan pada staf HR, Mbak Dina.
Dina mengangkat bahu, bingung. “Aku juga gak ngerti, Ma. Kayaknya ini bukan kebijakan kantor, deh. Tapi… ya aku cuma staf biasa.”
Sukma mencoba tersenyum. Tapi bibirnya kaku.
Siangnya, saat istirahat, ia duduk di kantin sendirian. Di tengah keheningan yang sunyi, seseorang datang dan duduk di seberang meja.
“Boleh duduk sini?” Itu Ari, staf finance yang lumayan sering bertukar sapa dulu.
Sukma mengangguk.
“Kamu kenapa sih, Ma? Serius, aku lihat kamu kayak orang tertekan banget akhir-akhir ini.”
Sukma tertawa kecil. “Aku juga bingung.”
“Denger-denger kamu dimutasi, ya? Tapi nggak ada pengumuman. Biasa kan kalau mutasi antar divisi ada alasan atau catatannya.”
“Katanya evaluasi performa,” jawab Sukma datar.
Ari mengerutkan dahi. “Tapi performamu selama ini bagus. Kamu yang paling cepat ngumpulin laporan tiap bulan, bahkan suka bantu divisi lain.”
Sukma hanya menatap nasinya yang sudah dingin. Tak sanggup bicara lebih banyak. Ari menepuk-nepuk meja dengan ringan.
“Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja, ya. Aku akan coba bantu sebisaku,” katanya pelan, lalu pergi.
Sukma terdiam, tersenyum sekilas. Ia senang, namun juga ada perasaan ragu akan siapapun yang bisa membantunya dalam situasi ini.
Di lorong, ia berpapasan dengan Chintya. Teman satu divisinya dulu itu langsung menghampiri. “Ma, sumpah ya... aku kesel banget. Kamu dipindahin kayak gitu, kita semua gak dikasih penjelasan. Bahkan si bos juga diem aja.”
Sukma tersenyum lemah. “Mungkin lagi diuji aja.”
Chintya menatapnya tajam. “Kalau kamu butuh tempat ngeluh... kamar kosku kosong satu, tahu. Buat nangis bareng juga boleh.”
Sukma tertawa, meski tertahan. Tapi hatinya benar-benar sedikit lega, karena ternyata masih ada beberapa orang yang peduli kepadanya.
Malam harinya, ponsel Sukma bergetar saat ia sedang menyetrika pakaian. Pesan dari nomor tak dikenal.
[Tanpa Nama]: “Temui aku malam ini. Tempat yang sama. Jam 8.”
Sukma menghela napas. Ia tahu siapa pengirimnya.
Cafe kecil di pinggir kota itu sepi seperti biasanya. Penerangan temaram, musik lembut mengalun dari speaker. Fikri duduk di meja pojok, sendirian, dengan secangkir kopi hitam yang hampir habis. Begitu Sukma duduk, Fikri langsung bicara tanpa basa-basi.
“Kamu terlihat lelah.”
“Kamu tahu kenapa,” balas Sukma dingin.
“Dan kamu tahu, itu semua bisa berhenti. Sekarang.”
Sukma menatapnya. “Dengan syarat aku menikah denganmu.”
Fikri mengangkat alis. “Itu bukan ancaman. Itu… tawaran.”
“Dengan embel-embel tekanan yang kamu buat sendiri.”
Fikri menyandarkan tubuhnya. “Aku hanya membuka kemungkinan. Dunia ini keras, Sukma. Orang-orang seperti kita harus pandai memilih tempat berpijak. Dan aku bisa menjadi tanah paling stabil yang pernah kamu injak.”
“Tanah yang pelan-pelan menguburku hidup-hidup, maksudmu?”
Fikri tersenyum. “Kamu terlalu dramatis.”
“Kenapa aku?” tanya Sukma lirih. “Kenapa kamu gak cari orang lain? Kenapa kamu harus ganggu hidupku sampai segininya?”
“Karen…” Fikri terlihat sedang berpikir, namun Sukma tau itu bohong. “Hanya kebetulan saja, kamu wanita yang beruntung karena aku pilih.” Suaranya pelan. “Dan itu… kejadian langka.”
Sukma menahan napas. Kata-katanya manis. Tapi manis yang menakutkan.
“Aku gak bisa, Pak Fikri. Aku gak bisa hidup dengan cara seperti ini.”
Fikri mendekat sedikit. Matanya menusuk. “Pikirkan baik-baik, Sukma. Aku tidak menyuruhmu menjual dirimu. Aku menawarkan posisi yang bisa memberimu ketenangan, kemewahan, perlindungan, kemudahan hidup. Dan kalau kamu menolak lagi... ya, aku tidak bisa jamin tekanan yang kamu rasakan sekarang tidak bertambah.”
Deg. Jadi benar, ternyata dia pelakunya.
Kepala Sukma mendadak panas. Ia ingin berdiri dan pergi. Tapi kakinya menolak. Lidahnya kelu. Matanya menatap cangkir kopi di hadapannya, ingin menyiram ke wajah pria di hadapannya. Tapi, tentu itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Like, komen, and share
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k
“Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia