Fikri duduk di ruang kerja pribadinya, menatap keluar jendela besar gedung lantai delapan. Dari ketinggian itu, orang-orang di bawah terlihat seperti semut sibuk—berlarian ke sana ke mari, tidak tahu bahwa hidup mereka bisa diubah hanya dengan satu ketukan perintah dari atas.
Ia menghela napas pelan, jemarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah dingin sejak sejam lalu. Tak disentuh. Tak tertarik. Matanya kosong, tapi pikirannya menari liar dalam labirin frustrasi.
Sukma menolak. Lagi.
Bibir Fikri tersenyum kecil—senyum yang menyakitkan. Ia sudah menyusun langkah dengan rapi. Awalnya lembut, lalu sedikit tekanan, lalu dorongan halus. Tapi wanita itu… masih bertahan. Seperti tembok yang tidak bisa dibobol hanya dengan kata manis dan fasilitas.
Fikri mengetukkan jemari ke meja. Ia tidak terbiasa gagal.
Wanita umumnya tidak akan menolak kemewahan, tapi Sukma tidak menoleh karena kekayaan. Ia juga tidak mencari perlindungan. Bahkan saat Fikri menunjukkan kuasanya, ia hanya... diam. Tahan. Tidak meledak. Tidak menyembah.
Dan di sanalah letak masalahnya. Karena Fikri tidak pernah bisa menerima jika dikalahkan.
Fikri membuka laptop, mengecek ulang laporan mutasi dan evaluasi. Semua sudah dikemas rapi. Tidak akan ada yang curiga. Jika seseorang protes, ia tinggal bilang itu bagian dari restrukturisasi.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notif W******p dari nama yang sudah lama membuat dadanya sesak.
“Segitunya kamu cinta sama aku sampai gak bisa cari wanita lain.”
Deg.
Satu kalimat. Tapi cukup untuk memantik api yang belum benar-benar padam. Fikri menatap layar ponsel itu lama. Nafasnya mulai tidak beraturan.
Cinta? Bukan cinta. Ini soal harga diri.
Cheryl tahu itu. Dia tahu betapa luka yang ditinggalkannya tidak bisa ditambal hanya dengan waktu.
Dan sekarang—saat Fikri mencoba bangkit, membuktikan bahwa dia bisa hidup tanpa wanita seperti Cheryl—dia malah meledek.
“Bangsat,” desisnya pelan.
Tanpa pikir panjang, Fikri melempar ponselnya ke dinding. Benda itu terpelanting, memantul ke rak buku lalu jatuh ke lantai, layar retak. Suasana hening lagi. Tapi dalam diri Fikri, badai sudah meledak.
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Lalu… ia berhenti. Menatap lurus ke kaca jendela yang memantulkan bayangan wajahnya.
“Kalau cara lembut tidak bisa,” gumamnya pelan, “maka waktunya gunakan cara yang lebih efektif.”
Ia membuka laci meja, menarik sebuah buku catatan kulit hitam yang biasa ia gunakan untuk menyusun strategi bisnis. Tapi kali ini... isinya bukan soal ekspansi kantor, atau pengembangan cabang.
Ia mulai menulis nama: Sukma Rahayu Anjani. Di bawahnya, ia menuliskan daftar kemungkinan: Akses penuh ke data karyawan. Riwayat kesehatan ibunya. Kontak bank tempat Sukma pernah mengajukan pinjaman. Satu atau dua ‘kebetulan’ yang bisa dimanfaatkan untuk membuat Sukma terlihat tidak kompeten.
Fikri tidak menulis dengan emosi. Tangannya tenang. Tulisan rapi. Ia bukan psikopat. Ia hanya… seseorang yang tidak bisa membiarkan targetnya lolos begitu saja.
Apalagi... jika target itu terlihat terlalu berani.
Pukul sebelas malam, Fikri berdiri di balkon apartemen mewahnya, menatap lampu kota yang menyala temaram. Angin malam menyentuh wajahnya, tapi tak mampu mendinginkan amarah yang mendidih di dada.
Ia mengambil ponsel cadangan—karena dia selalu punya ponsel cadangan—dan membuka kontak rahasia yang hanya ia hubungi untuk urusan yang tidak bisa dibicarakan di ruang rapat.
“Ada yang harus kamu awasi,” katanya singkat. “Namanya Sukma Rahayu Anjani. Aku ingin tahu semua kegiatannya di luar kantor. Khususnya kalau dia berhubungan dengan laki-laki lain.”
Orang di seberang tidak bertanya. Hanya menjawab, “Siap.”
Fikri mematikan telepon. Ia memasukkan tangan ke saku celana, memejamkan mata sejenak. Lalu tersenyum. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum milik seseorang yang baru saja membakar jembatan terakhir ke akal sehatnya.
“Kalau kamu tidak mau datang padaku... maka aku akan buat dunia sekitarmu mendorongmu ke arahku.” Fikri tersenyum -atau lebih tepatnya menyeringai. “Aku akan mendapat wanita itu, apapun caranya.”
***
“Bos yakin mau ngelakuin hal ini?” Suara di ujung telepon terdengar ragu, bahkan sedikit bergetar.
“Yakin. Seratus persen.” Jawaban Fikri mantap. Tidak ada jeda. Tidak ada celah untuk diragukan.
“Tapi... Ini sangat berbahaya.”
“Lakukan saja yang aku perintahkan.”
Hening. Lalu napas berat terdengar. “Ha~, okay.”
Fikri memutus sambungan, menatap ke layar monitornya yang menampilkan data-data kesehatan karyawan.
Data medis Bu Sri—ibu Sukma—ada di tangan Fikri lewat koneksi lama yang ia miliki di rumah sakit tempat wanita itu berobat. Tak lama, ia mendapat kabar baru: kondisi pasien tersebut memburuk drastis. Progresi gagal ginjalnya bergerak lebih cepat dari prediksi awal.
Dan itu... adalah celah.
Fikri tidak pernah ingin menyakiti siapa pun. Tapi dalam permainan ini, ia sudah terlalu jauh. Dan ia tahu, Sukma tidak akan datang karena kata manis. Ia hanya bisa didorong oleh realitas paling pahit, kehilangan.
Sukma memeluk ibunya erat saat mendengar berita itu langsung dari mulut dokter. Ia mencoba tenang, tapi air mata mengalir pelan saat Bu Sri menyentuh lengannya dan berkata, “Ibu gapapa, Nak. Jangan panik. Semua ini... sudah jalan Allah.”
Tapi Sukma tak bisa hanya pasrah. “Dok, apa masih bisa diselamatkan?” suaranya bergetar saat bertanya.
Dokter mengangguk pelan, tapi dengan ekspresi berat. “Bu Sri butuh transplantasi ginjal. Cepat.”
“Berapa... biayanya?”
“Kalau pakai jalur pribadi, totalnya bisa mencapai delapan ratus juta hingga satu miliar. Itu belum termasuk biaya pencarian donor yang cocok.”
Sukma terdiam. Delapan ratus juta, angka itu terasa seperti petir yang menyambar kepalanya.
Ia keluar dari ruang rawat dengan langkah gontai. Di lorong rumah sakit, cahaya lampu putih terasa menyilaukan. Tangis anak kecil dari ruang sebelah, bau antiseptik menyengat, dan langkah kaki perawat—semuanya berputar jadi satu kesatuan yang menggelapkan pikirannya.
Ia memegang kepala. Nafasnya berat. Tak ada tabungan. Tak ada keluarga kaya. Tak ada pinjaman yang bisa cair secepat itu.
Dan Fikri… Fikri mungkin bisa. Tapi harga yang harus ia bayar?
Sukma duduk sendirian di halte rumah sakit malam itu. Hujan turun rintik-rintik, membasahi ujung jilbabnya. Ia memeluk tasnya erat, mencoba menahan dingin yang merayap dari luar dan dalam.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk, dari Fikri. “Aku bisa bantu. Tapi kamu harus datang sendiri. Tempat biasa. Sekarang.”
Sukma menatap layar ponsel cukup lama. Tangannya gemetar. Ia tak membalas. Tapi kakinya... mulai bergerak sendiri.
Di tempat biasa—café kecil di pinggir kota—Fikri sudah duduk dengan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Ia menoleh begitu Sukma masuk, dan kali ini... tidak ada senyum. Tak ada basa-basi.
“Aku sudah dengar kabar soal ibumu, aku turut berduka cita?”
Sukma mengangguk. Matanya sembab.
“Aku bisa menanggung semuanya,” kata Fikri pelan. “Transplantasi. Obat. Donor. Semua. Sampai ibumu sembuh total.”
Sukma menunduk. Ia tahu tawaran itu tulus—tapi tidak tanpa harga.
“Kamu tinggal bilang ‘ya’, dan semua selesai,” lanjut Fikri. “Ibumu sembuh, hidupmu tenang. Dan aku dapat... seseorang yang bisa ada saat aku pulang.”
“Aku… bukan properti yang bisa dibeli,” kata Sukma pelan.
“Aku tahu.” Nada suara Fikri melunak. “Tapi aku juga bukan pria yang suka berputar-putar. Aku bicara langsung, Sukma. Aku butuh kamu. Bukan untuk dipajang, bukan untuk dipakai sesuka hati. Aku butuh seseorang yang... tetap. Diam. Dan ada.”
Sukma mengangkat wajah. “Dan kalau aku bilang tidak...?”
Fikri tak menjawab. Ia hanya menatap Sukma dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata, “Pikirkan baik-baik. Karena aku rasa, kamu tidak mau menyesal hanya karena terlalu gengsi berkata ‘iya’.”
Malam itu, Sukma kembali ke rumah sakit. Bu Sri sudah tertidur dengan selang infus masih terpasang. Tubuhnya makin kurus, kulitnya makin pucat. Tapi senyum di wajahnya tetap hangat. Seolah tidak peduli bahwa tubuhnya sedang rapuh.
Sukma duduk di kursi sudut ruangan, menangis pelan. Dilema itu menekan keras ke dadanya. Di satu sisi, harga diri. Di sisi lain, nyawa satu-satunya orang yang mencintainya tanpa syarat.
Ia ingin menolak Fikri. Tapi bagaimana caranya menolak ketika waktu terus berdetak dan ibunya tak bisa menunggu lebih lama?
Hidup tak pernah benar-benar memberi pilihan. Kadang yang disebut pilihan… hanyalah dua cara berbeda untuk terluka.
Like, komen, and share. Edisi revisi
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k
“Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia