Share

Bab 5: Harga diri dan nyawa

Author: Narubi
last update Last Updated: 2022-09-09 14:41:52

Hening menguasai ruang kerja pribadi Fikri. Lampu gantung redup memantulkan cahaya kekuningan ke permukaan meja kayu jati yang rapi, tanpa satu berkas pun berserakan. Seperti biasa, Fikri duduk diam. Tegak. Tenang.

Tapi ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya.

Ia menatap layar laptop yang menampilkan data status terbaru pasien Bu Sri. Transplantasi sudah dijadwalkan. Biaya awal sudah ditransfer. Semuanya berjalan seperti yang ia rencanakan. Terlalu sempurna.

Tapi kenapa dadanya terasa… tidak nyaman?

Fikri mengusap wajahnya, untuk pertama kalinya sejak lama. Ia tidak terbiasa meragukan langkahnya sendiri. Tapi kali ini—walau hanya sesaat—ia berpikir… Apakah aku sudah keterlaluan?

Memanfaatkan kondisi ibu Sukma, memojokkannya secara diam-diam, mengendalikan sekitarnya, menjadikan tekanan hidup sebagai alat negosiasi... itu bukan cara yang seharusnya ia banggakan.

Sukma tidak pernah melakukan kesalahan. Ia tidak pernah datang pada Fikri dengan niat buruk. Bahkan saat ditawari dunia, ia menolak karena ingin mempertahankan martabat.

Dan Fikri... menekannya sampai tak punya jalan keluar. “Ini bukan aku,” batinnya menggeram. “Atau... apakah ini memang aku sekarang?”

Ia berdiri, berjalan ke jendela. Menatap keluar. Langit gelap. Jakarta tetap benderang, padat, dan memekakkan. Tapi di balik hiruk-pikuk kota, Fikri merasa... sendiri.

Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Sorot matanya kosong. Tiba-tiba, wajah itu seperti berubah—muncul kilasan dari masa lalu. Seseorang berdiri di depannya. Seorang wanita. Mata tajam, bibir licin, dan suara yang menyakitkan.

“Kamu terlalu cinta sama aku sampai gak bisa cari wanita lain.”

Kalimat itu. Satu kalimat sialan yang keluar dari mulut Cheryl, wanita yang paling ia cintai. Sekaligus... paling melukainya.

Bukan karena Cheryl berselingkuh—tapi karena dia tidak merasa bersalah setelah ketahuan. Dia bahkan bangga. Bangga karena tahu Fikri tidak bisa meninggalkannya. Karena Fikri terlalu baik. Terlalu cinta.

Ucapan itu mengiris maskulinitas Fikri seperti pisau tumpul yang disengaja ditekan perlahan. 

Dan sejak saat itu, Fikri bersumpah. Ia tidak akan pernah mencintai tanpa kuasa. Ia tidak akan pernah membiarkan seseorang lagi merasa lebih unggul hanya karena dicintai.

Pikiran Fikri kembali ke masa kini. Bayangan Sukma yang menolak dengan kepala tegak. Menolak cinta. Menolak kenyamanan. Bahkan menolak ketika hidupnya sendiri sedang di ujung tanduk.

Sukma memang berbeda. Tapi karena itu juga, ia harus dimiliki. Bukan dengan cinta, tapi dengan kehendak.

Fikri kembali duduk. Tangannya tenang. Ia membuka catatan kecil di meja dan menulis dengan huruf tegak rapi, “Jika seseorang tidak mau datang karena sayang, maka biarkan dia datang karena butuh.”

Ia menutup buku itu, lalu mengambil ponsel. Ponsel barunya—karena yang lama masih rusak sejak dilempar malam itu. membuka galeri, menatap foto Sukma yang sempat terekam diam-diam di kantor. Wajah yang lelah, tapi tetap menegakkan kepala. 

“Kamu akan jadi milikku,” gumamnya.

(HARI SEBELUMNYA)

"Oke... aku mau jadi istri kamu." Kalimat itu akhirnya keluar setelah lima menit penuh keheningan.

Sukma menarik napas dalam—dua kali, tiga kali—sebelum suaranya terdengar.

Fikri tidak langsung merespons. Ia hanya menatapnya, tenang, datar, seolah sedang mengamati awan di balik jendela café kecil tempat mereka selalu bertemu diam-diam.

“Ulangi,” katanya pelan.

Sukma menelan ludah. “Aku... setuju untuk menikah sama kamu. Siri, tanpa diumumkan, tanpa syarat, sesuai yang kamu minta waktu itu.”

Fikri menurunkan pandangannya ke cangkir kopinya. Ia menyentuh pinggiran gelas, lalu berkata nyaris seperti gumaman, “Akhirnya.”

Sukma menggenggam jemarinya sendiri. Kaku. Dingin. Pikirannya kacau. Perutnya mual sejak pagi, tapi ia memaksakan diri datang karena tak sanggup menunggu lebih lama. Setiap detik terasa seperti tekanan dari banyak arah—ibu yang makin kritis, uang yang tak pernah cukup, dan pria di hadapannya yang... terlalu tenang untuk dipercaya.

“Aku gak minta kamu mencintaiku,” kata Fikri tiba-tiba. “Aku juga gak akan mengubah hidupmu sepenuhnya. Kamu masih bisa kerja, masih bisa punya ruang sendiri. Aku cuma ingin satu hal: kamu bersamaku. Secara sah, meskipun bukan di mata hukum negara.”

Sukma mengangguk pelan. “Aku ngerti.”

“Kamu yakin?”

Pertanyaan itu membuat Sukma terdiam lagi. Ia ingin bilang ‘tidak’. Ia ingin mundur. Tapi suara napas ibunya dengan selang oksigen di rumah sakit muncul lagi di kepalanya. Lalu tagihan-tagihan yang belum terbayar. Lalu wajah dokter yang menatapnya dengan kalimat, “Transplantasi harus segera dilakukan.”

Akhirnya ia menjawab, lirih, “Yakin.”

Fikri mengangguk. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu dalam matanya—cahaya kecil dari seseorang yang baru saja memenangkan perang sunyi yang panjang. Ia meneguk kopinya yang nyaris habis, lalu berdiri.

“Aku akan urus semuanya. Hari ini juga,” katanya sambil merapikan jasnya.

“Termasuk... biaya rumah sakit?” tanya Sukma, nyaris seperti bisikan.

“Termasuk,” jawab Fikri tanpa ragu.

Sukma hanya mengangguk lagi.

Di dalam dirinya, perasaan campur aduk berkecamuk. Ia bukan gadis kecil yang percaya pada dongeng cinta, tapi bukan berarti ia kebal terhadap rasa takut menikah dengan pria yang... tidak ia kenal sepenuhnya.

Fikri menatapnya sebentar, lalu bicara lagi. “Aku tidak akan menyakitimu. Tapi kamu juga harus tahu, setelah ini... kamu milikku. Jangan pernah berpikir untuk keluar tanpa bilang padaku dulu.”

Nada suaranya lembut, tapi tegas. Tidak ada ancaman yang jelas. Tapi Sukma tahu, itulah bentuk kekuasaan Fikri—selalu dibungkus dalam kalimat manis tapi tajam.

Malam itu, Sukma kembali ke rumah sakit. Ia menemani ibunya tidur, kali ini dengan lebih tenang. Dokter datang dan memberitahu bahwa biaya awal transplantasi sudah dibayar lunas oleh “donatur pribadi.” Sukma tidak bertanya siapa—ia tidak perlu.

Sambil menatap wajah ibunya yang tidur, Sukma berbisik pelan, “Aku udah bilang ‘ya’, Bu... Semoga ini pilihan yang gak salah.”

Air matanya mengalir. Bukan karena menyesal. Tapi karena tak ada lagi jalan mundur.

Sementara itu, Fikri berdiri di balkon apartemennya.

Ia baru saja mengirim email ke notaris pribadinya. Pernikahan siri akan dilakukan lusa, secara tertutup, hanya dengan dua saksi internal dan penghulu privat.

Angin malam berembus pelan. Fikri memandang langit. Di dalam hatinya, tidak ada pesta. Tidak ada euforia. Yang ada hanya kemenangan diam-diam dari pria yang berhasil mendapatkan sesuatu yang tak bisa ia miliki dengan cara biasa.

Narubi

Like, komen, and share. Edisi revisi

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 44: Kembali Pulang

    Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dari rumah ibunya, Sukma akhirnya sampai di apartemen. Langkahnya pelan saat masuk ke dalam lift, tangan kirinya membawa tas kecil berisi oleh-oleh yang dimasukkan ibu ke dalam tote bag-nya secara paksa tadi siang. Sukma tersenyum tipis saat mengingatnya. Tapi senyum itu menghilang begitu pintu lift terbuka.Langkahnya terhenti saat sampai di depan pintu apartemen. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gelisah yang masih tertinggal setelah kunjungannya ke rumah ayah Fikri kemarin. Pikirannya masih penuh tanya. Haruskah ia menceritakan segalanya kepada Fikri?Begitu pintu terbuka, aroma harum dari dapur langsung menyambutnya. Sukma terpaku.Di dapur, terlihat Fikri dengan celemek sederhana bergambar telur mata sapi, berdiri sambil tersenyum—entah karena mendengar suara pintu atau karena menyadari kehadiran Sukma yang sedang memperhatikannya dari ambang pintu."Selamat datang kembali di rumah," sapa Fi

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 43: Menenangkan Diri

    Sukma duduk bersama ibunya. Sore itu begitu sederhana—secangkir teh melati, potongan pisang goreng buatan Mbak Warti, dan tawa ringan yang mengalir dari bibir sang ibu. Rasanya seperti pulang ke pelukan masa kecil."Makanya, kamu harus sering-sering pulang, Sukma," ucap Bu Sri, ibunya, sambil membenahi selimut tipis di pangkuannya. "Ibu sudah jauh lebih baik, kan?"Sukma tersenyum lembut, menatap wajah ibunya yang mulai dipenuhi garis-garis halus. Namun kali ini, wajah itu tidak lagi tampak pucat dan lemah seperti terakhir kali ia pulang. Ada rona cerah, ada semangat yang perlahan kembali."Ibu kelihatan sehat, Alhamdulillah," jawab Sukma pelan. "Aku senang lihat ibu bisa duduk di sini, cerita sambil nyemil kayak dulu."Bu Sri tertawa pelan. "Semua karena Mbak Warti dan Suster Retno. Mereka bantu Ibu banget. Suster itu galak kalau Ibu mulai sok kuat mau nyapu-nyapu. Katanya, ‘Bu Sri cuma boleh jalan-jalan muter komplek. Nggak boleh pegang sapu

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 42: Pertemuan Pertama dengan Mertua

    Hari sudah mulai gelap ketika Sukma keluar dari gedung kantornya. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menyambut senja yang menelusup perlahan. Di tangannya, layar ponsel masih terbuka memperlihatkan status ojek online yang belum juga tiba.Sukma berdiri di dekat pos satpam, memeluk tas di depan tubuhnya sambil menunggu. Kantor sudah hampir sepi.Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Sukma. Dari dalam mobil itu, seorang pria dengan jas abu muda, dasi biru, dan gaya klimis turun. Senyumnya sopan, namun mata pria itu tampak tajam, profesional.“Permisi, Ibu Sukma?” tanyanya dengan sopan.Sukma sedikit terkejut. Ia menoleh penuh waspada. “Iya?”“Saya diminta menjemput Anda. Ada seseorang yang ingin bertemu. Kami tidak bisa membicarakannya di sini,” ucapnya dengan bahasa yang tenang.“Maaf, saya sedang menunggu ojek. Lagipula saya tidak mengenal Anda,” balas Sukma hati-hati. Ia melangkah sedikit mundur.Pria itu tidak terlihat

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 41: Sekutu?

    Di salah satu ruangan VIP yang tersembunyi di lantai dua, Fikri duduk diam di seberang meja bundar, menatap Cheryl yang sudah datang lebih dulu.Cheryl tampak berbeda hari ini. Tanpa riasan mencolok, hanya makeup tipis dan sweater krem panjang, tapi matanya… tetap menyala seperti biasa. Bukan karena semangat, tapi karena ketegangan yang tertahan.“Langsung aja,” ucap Cheryl, menggeser gelas air mineral ke sisi kanan. “Aku yakin ayahku sudah mulai bergerak. Mungkin sekarang dia masih menunggu. Tapi begitu dia yakin kamu tidak berubah pikiran, dia akan bertindak.”Fikri menahan napas. “Kamu yakin?”Cheryl mengangguk pelan. “Kamu tau sendiri ayahku, bukan tipe orang yang akan membiarkan keputusan penting menyimpang dari kehendaknya. Kalau kamu pikir dia akan diam dan menunggu kamu menandatangani surat cerai, kamu salah besar.”Fikri mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Cheryl dengan serius. “Maksudmu… dia akan melakukan sesuatu pada Sukma?”

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 40: Lawan jadi Sekutu?

    Pukul 23.45.Cheryl duduk bersandar di ujung tempat tidurnya, layar ponsel masih menyala di tangan. Jempolnya berhenti tepat di atas tombol “kirim” untuk pesan singkat yang sudah beberapa menit ia ketik dan hapus berulang kali.“Fikri, kita perlu bicara. Aku tunggu kamu besok di tempat biasa. Jam 2 siang. Ini penting.”Cheryl menghela napas panjang. Lalu—klik. Pesan terkirim. Tak ada balasan. Ponsel diletakan di nakas dan ia memaksa dirinya untuk tidur, meskipun dadanya masih penuh kegelisahan. Matanya menatap langit-langit gelap, dan pikirannya hanya berputar pada satu hal—Fikri.Pagi datang terlalu cepat.Pukul 10.30, Cheryl membuka mata dengan kantung mata yang menghitam. Setelah memeriksa ponsel, ia langsung memelototi layar. Tidak ada balasan. Ia menggertakkan giginya, lalu dengan kesal kembali mengetik.“Fikri, kamu baca kan pesanku semalam? Kita perlu ketemu. Ini buka

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 39: Mencoba Bertahan

    Cheryl menutup pintu apartemennya dengan pelan. Bunyi klik dari kunci pintu yang kembali tertutup seolah menandai bahwa semuanya sudah kembali seperti semula. Ia bersandar di daun pintu, memejamkan mata, dan mengembuskan napas berat.‘Ayah tidak akan membiarkan semuanya runtuh.’ Itu kalimat yang menenangkan—sekilas. Tapi makin lama ia mencerna maksud dari setiap kata ayahnya tadi, hatinya justru makin tidak tenang.Ia berjalan perlahan ke ruang tengah, melepas heels-nya dan membiarkannya tergeletak sembarangan. Langkahnya berhenti di depan jendela besar, tempat lampu-lampu kota berkedip seperti sekumpulan bintang yang gemetar di bawah.Cheryl mengangkat sebelah alisnya, bibirnya melengkung menyunggingkan senyum kecil—senyum kemenangan. “Ayah bilang dia akan mempertahankan.” Bisiknya lirih.Cheryl merasa sedikit bangga. Meski sempat dimarahi habis-habisan, tapi pada akhirnya keputusan ayahnya tetap sama: mempertahankan p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status