Share

004 - Pengkhianatan

“HAH?!”

Fikri mengelap wajahnya membuat Sukma sadar jika air yang ada di mulutnya telah keluar dan menyembur tepat ke wajah pria itu.

“Ah, maaf, maaf!” paniknya seraya mengambil tisu, mencoba membersihkan sisa air yang masih menempel di wajah Fikri.

Namun sebelum tangannya menyentuh wajah Fikri, pria itu mengisyaratkan agar Sukma kembali duduk. Ia mengelap sendiri wajahnya dengan tisu, kemudian kembali menatap Sukma dengan tenang.

Wajah Sukma terlihat sangat bersalah, namun ia duduk kembali sesuai dengan apa yang diminta oleh Fikri.

“Jadi apa jawaban kamu?”

Tidak ada jawaban, Sukma terlihat begitu bingung dengan pertanyaan itu. Otaknya masih melayang pada semburan air dari mulutnya yang mengenai wajah pria tampan di hadapannya, Sukma benar-benar merasa bersalah.

Karena tidak mendapat jawaban apapun, Fikri menjentikan jarinya beberapa kali di hadapan Sukma.

“Hah? A-ah, apa?” Sukma bereaksi agak lama.

“Jadi,” Fikri menghela nafas. “Apa jawaban kamu?” tanya pria itu sekali lagi, wajahnya terlihat tidak serius dengan apa yang ditanyakannya barusan.

“Jawaban apa?” Sukma semakin terlihat linglung, otaknya masih belum sinkron dengan pertanyaan yang diajukan Fikri sebelumnya.

“Kamu mau menikah dengan saya?”

“Hah?!” dahi Sukma mengerut. “Kenapa? Saya saja baru tahu nama Anda, bagaimana Anda bisa mengatakan lelucon semacam itu.”

“Itu bukan lelucon, saya tidak sedang bercanda.”

“Tapi….”

Sukma tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ia sangat bingung dengan apa yang ditawarkan pria itu. Reaksi yang sangat wajar, manusia mana yang akan memberikan jawaban jika dilamar begitu saja oleh orang yang baru saja diketahui namanya.

'Tapi dia ada di mimpi gue, jadi mungkin aja…,' batin Sukma sambil menatap Fikri.

“Baik, saya memang terlalu mendadak mengatakan ini. Tidak salah kamu kebingungan dengan pernyataan saya barusan, saya sangat mengerti.”

'Bukan kebingungan, aneh aja. Kalau pernyataan cinta masih mending, ini lamaran pernikahan!' Jerit Sukma dalam hati.

“Saya akan memberikan kamu waktu, tapi saya harap kamu memikirkan jawaban secepatnya.”

'Hah?! Nih pangeran ngebet nikah apa gimana? Gue aja nggak terlalu kenal,' kesal Sukma dalam hati.

“Ini,” Sukma berdehem. “Aneh banget sebenernya, tolong jelaskan ke saya kenapa Anda ingin menikah dengan saya?”

Fikri diam, mulutnya seolah terkunci. Pikirannya kembali melayang, ke hal yang membuatnya marah.

Tidak lama pria itu berdiri, menghela nafas panjang. “Kamu tidak perlu tau itu,” ujarnya dengan dingin.

Sukma melongo, mendengus sambil menatapnya dengan wajah tidak percaya. 'Ternyata dia bukan pangeran gue, cuma cowok aneh,' batin Sukma ikut berdiri, keduanya bertatapan dalam diam.

“Kalau begitu saya permisi, terimakasih atas makan malamnya.”

Tingkah Sukma membuat Fikri terkejut, ia langsung menghalangi langkah gadis itu saat akan beranjak dari tempatnya berdiri.

“Kamu menolak?”

“Tentu saja saya menolak, wanita mana yang akan menerima lamaran pria yang baru saja mengenalkan nama. Anda ini aneh sekali,” kesal Sukma seraya mencoba menerobos tubuh pria yang menghalanginya.

“Jangan ditolak, saya mohon.”

Dahi Sukma mengernyit. “Kalau begitu sebutkan alasannya, biar saya faham mengapa Anda melamar saya mendadak seperti ini.”

'Gue juga pengennya langsung nerima, tapi gue masih waras. Mana ada cowok tiba-tiba dateng dadakan terus langsung ngelamar, emang ini cerita dongeng.'

Fikri menghela nafas. “Karena… karena saya menyukai kamu, tapi baru berani mengungkapkan.”

Sukma tercengang, ia merasa ada bunga yang tumbuh di hatinya. Sesaat kemudian menggeleng kepala kasar, menatap pria di hadapannya dengan tatapan serius.

“Bagaimana Anda bisa menyukai saya, bertemu saja tidak pernah.”

“Saya sering melihat kamu di kantor,” jelas Fikri.

“Hah? Memangnya Anda satu kantor dengan saya?”

“Tidak, saya rekan bisnis bos di kantor kamu.”

“Tapi… kok saya tidak pernah lihat.”

“Saya sering lihat kamu dari kejauhan.”

Sukma tidak percaya, seumur bekerja di perusahaan itu, belum pernah sekalipun ia melihat Fikri. Pertemuan pertama Sukma dengan Fikri bukan di kantor, melainkan di taman yang lokasinya dekat dengan rumahnya. Jadi, bagaimana bisa?

“Tolong kamu pikirkan dengan serius lamaran saya itu,” ujar Fikri dengan wajah memelas, Sukma semakin terlihat bingung dan merasakan ada hal aneh tentang Fikri yang melamarnya.

Lama keduanya terdiam di posisi sama, Fikri akhirnya mengakhiri pertemuan itu tanpa memaksa lagi perihal lamaran itu pada Sukma.

Fikri mengantarkan Sukma ke tempat sebelumnya. Saat turun dari mobil, Sukma masih menatap pria itu dengan penuh keraguan.

“Bu, kalau misal ada yang ngelamar Sukma tapi Sukma nggak kenal cowoknya? Gimana?”

Ibu Sukma terdiam, kemudian terbahak. Keduanya tengah menonton televisi sambil menikmati martabak malam itu. “Emang ada?” tanyanya masih sambil terus tertawa.

Sukma mendengus, matanya mendelik. “Ada, makanya aku tanya Ibu!” kesalnya.

Namun bukannya menjawab, Ibu Sukma malah tertawa lebih keras membuat putrinya langsung menyesal karena bertanya hal itu pada ibunya.

“Kenapa ketawa mulu sih, emang segitu lucunya pertanyaan aku?!”

“Lucu, lucu banget,” ibu Sukma tertawa sampai tersedak makanannya sendiri, kemudian disodorkan air di gelas oleh Sukma. “Lagian kamu ada-ada aja, jangan terlalu ngayal ketinggian. Jatuhnya sakit loh,” jelasnya sambil terus memasukan martabak ke mulutnya.

“Aku nggak ngayal, iiih!” Sukma berdiri, wajahnya terlihat kesal.

Gadis itu masuk ke dalam kamar dengan langkah kasar, mata sang ibu memperhatikan sambil menggeleng kepala pelan.

“Apa karena terlalu sering ditanya kapan nikah, ya? Dia jadi gitu,” gumam ibu Sukma yang merasa khawatir dengan putrinya. “Kayaknya nggak boleh sering tanya dia soal kapan nikah lagi.”

***

Selama di dalam mobil, Fikri terus mengulang apa yang dipikirkannya. Sesekali wajahnya terlihat frustasi, kesal pada diri sendiri.

'Kayaknya gue terlalu berlebihan libatin dia, apa mundur aja?' Batinnya bertanya. Namun saat memikirkan wanita itu, kebencian Fikri semakin menjadi.

“Sial!” Fikri mengumpat seraya memukul stir mobil. “Tapi gue nggak mau kalah,” gumamnya dengan wajah dingin. “Nggak sebelum gue bisa buktiin,” gumamnya lagi.

Mobil mewah yang dikendarai Fikri berbelok, kemudian masuk gerbang yang menampilkan rumah mewah di dalamnya. Ia memarkirkan mobilnya di depan rumah, seorang pelayan datang dan menerima kunci yang diserahkan Fikri.

Saat akan memasuki pintu, seorang pelayan lain terlihat membungkuk di hadapannya. “Nyonya ada di rumah, dia menunggu Tuan di ruang makan.”

“Saya sudah makan, akan langsung tidur.”

Tidak ada jawaban, pria paruh baya itu hanya membungkuk seraya mengikuti langkah tuannya dari belakang.

Langkah Fikri terhenti saat melihat wanita berdiri di dekat tangga dengan senyum, seorang wanita yang sangat dikenalnya begitu baik. Namun tidak setelah apa yang selalu menjadi rahasianya terkuak, membuat Fikri tidak bisa lagi mengenali wanita itu.

Wanita itu melangkah dengan anggun, gaun merah menjuntai yang menampakkan belahan dadanya terseret begitu saja. Perhiasan yang menghiasi tubuhnya semakin berkilauan, saat lampu ruangan berada persis di atasnya.

Penampilan wanita itu sungguh cantik, baik wajah maupun tubuhnya terlihat begitu menggoda. Namun bukannya tergoda, Fikri malah berdecak kesal menatapnya dengan wajah dingin.

“Kenapa pulang malem?” nada suara wanita itu terdengar mendayu, seperti tidak memperdulikan bahwa pelayan masih ada di belakang Fikri menundukan pandangannya.

Saat tangannya akan menyentuh wajah Fikri, pria itu langsung menepis tangan si wanita dengan segera. “Jangan gunakan pakaian terlalu terbuka disini, ada banyak mata yang melihat.”

“Kenapa? Mereka hanya para pelayan, tidak akan ada yang berani berkomentar.” Wanita itu melingkarkan tangannya di leher Fikri, tersenyum dengan sangat manis.

“Selain itu,” si wanita melonggarkan dasi Fikri sambil terus tersenyum. “Aku ingin menyambutmu malam ini, aku yakin kamu pasti puas dan akan ketagihan.”

Fikri mendengus, matanya menatap tajam wanita yang bergelayut di tubuhnya. “Bukankah kamu memiliki laki-laki yang perlu disambut?” sarkasnya.

Terlihat si wanita hanya mengulum senyum, mengelus dada Fikri dengan begitu lembut. Ia mendekatkan wajahnya, tepat ke telinga Fikri. “Kamu masih marah?” ujar si wanita sambil mengecup leher pria itu. “Aku tidak serius saat bermain dengannya, dia hanya sekedar penghilang rasa bosan. Wajar jika aku bermain sebentar, kamu pasti faham.”

Fikri mendorong tubuh wanita itu tepat saat si wanita akan mendaratkan kecupan di bibirnya, wajahnya terlihat kesal. Meski terlihat agak kesal, namun wanita itu terus mengulum senyum sambil membenarkan rambut curly-nya.

“Serius atau tidak, kamu sudah melakukannya dengan pria lain. Itu sebuah pengkhianatan,” ujar Fikri sambil beranjak pergi diikuti oleh pelayan pria paruh baya di belakangnya.

Mata si wanita mendelik, menatap punggung Fikri yang tengah menaiki tangga. Ia memang kesal, namun sesaat kemudian tersenyum miring. “Kamu memang membenciku, tapi tidak akan bisa melepaskanku. Bukan begitu, Fikri honey.”

Narubi

Like, komen, and share.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status