Hening menguasai ruang kerja pribadi Fikri. Lampu gantung redup memantulkan cahaya kekuningan ke permukaan meja kayu jati yang rapi, tanpa satu berkas pun berserakan. Seperti biasa, Fikri duduk diam. Tegak. Tenang.
Tapi ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya.
Ia menatap layar laptop yang menampilkan data status terbaru pasien Bu Sri. Transplantasi sudah dijadwalkan. Biaya awal sudah ditransfer. Semuanya berjalan seperti yang ia rencanakan. Terlalu sempurna.
Tapi kenapa dadanya terasa… tidak nyaman?
Fikri mengusap wajahnya, untuk pertama kalinya sejak lama. Ia tidak terbiasa meragukan langkahnya sendiri. Tapi kali ini—walau hanya sesaat—ia berpikir… Apakah aku sudah keterlaluan?
Memanfaatkan kondisi ibu Sukma, memojokkannya secara diam-diam, mengendalikan sekitarnya, menjadikan tekanan hidup sebagai alat negosiasi... itu bukan cara yang seharusnya ia banggakan.
Sukma tidak pernah melakukan kesalahan. Ia tidak pernah datang pada Fikri dengan niat buruk. Bahkan saat ditawari dunia, ia menolak karena ingin mempertahankan martabat.
Dan Fikri... menekannya sampai tak punya jalan keluar. “Ini bukan aku,” batinnya menggeram. “Atau... apakah ini memang aku sekarang?”
Ia berdiri, berjalan ke jendela. Menatap keluar. Langit gelap. Jakarta tetap benderang, padat, dan memekakkan. Tapi di balik hiruk-pikuk kota, Fikri merasa... sendiri.
Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Sorot matanya kosong. Tiba-tiba, wajah itu seperti berubah—muncul kilasan dari masa lalu. Seseorang berdiri di depannya. Seorang wanita. Mata tajam, bibir licin, dan suara yang menyakitkan.
“Kamu terlalu cinta sama aku sampai gak bisa cari wanita lain.”
Kalimat itu. Satu kalimat sialan yang keluar dari mulut Cheryl, wanita yang paling ia cintai. Sekaligus... paling melukainya.
Bukan karena Cheryl berselingkuh—tapi karena dia tidak merasa bersalah setelah ketahuan. Dia bahkan bangga. Bangga karena tahu Fikri tidak bisa meninggalkannya. Karena Fikri terlalu baik. Terlalu cinta.
Ucapan itu mengiris maskulinitas Fikri seperti pisau tumpul yang disengaja ditekan perlahan.
Dan sejak saat itu, Fikri bersumpah. Ia tidak akan pernah mencintai tanpa kuasa. Ia tidak akan pernah membiarkan seseorang lagi merasa lebih unggul hanya karena dicintai.
Pikiran Fikri kembali ke masa kini. Bayangan Sukma yang menolak dengan kepala tegak. Menolak cinta. Menolak kenyamanan. Bahkan menolak ketika hidupnya sendiri sedang di ujung tanduk.
Sukma memang berbeda. Tapi karena itu juga, ia harus dimiliki. Bukan dengan cinta, tapi dengan kehendak.
Fikri kembali duduk. Tangannya tenang. Ia membuka catatan kecil di meja dan menulis dengan huruf tegak rapi, “Jika seseorang tidak mau datang karena sayang, maka biarkan dia datang karena butuh.”
Ia menutup buku itu, lalu mengambil ponsel. Ponsel barunya—karena yang lama masih rusak sejak dilempar malam itu. membuka galeri, menatap foto Sukma yang sempat terekam diam-diam di kantor. Wajah yang lelah, tapi tetap menegakkan kepala.
“Kamu akan jadi milikku,” gumamnya.
(HARI SEBELUMNYA)
"Oke... aku mau jadi istri kamu." Kalimat itu akhirnya keluar setelah lima menit penuh keheningan.
Sukma menarik napas dalam—dua kali, tiga kali—sebelum suaranya terdengar.
Fikri tidak langsung merespons. Ia hanya menatapnya, tenang, datar, seolah sedang mengamati awan di balik jendela café kecil tempat mereka selalu bertemu diam-diam.
“Ulangi,” katanya pelan.
Sukma menelan ludah. “Aku... setuju untuk menikah sama kamu. Siri, tanpa diumumkan, tanpa syarat, sesuai yang kamu minta waktu itu.”
Fikri menurunkan pandangannya ke cangkir kopinya. Ia menyentuh pinggiran gelas, lalu berkata nyaris seperti gumaman, “Akhirnya.”
Sukma menggenggam jemarinya sendiri. Kaku. Dingin. Pikirannya kacau. Perutnya mual sejak pagi, tapi ia memaksakan diri datang karena tak sanggup menunggu lebih lama. Setiap detik terasa seperti tekanan dari banyak arah—ibu yang makin kritis, uang yang tak pernah cukup, dan pria di hadapannya yang... terlalu tenang untuk dipercaya.
“Aku gak minta kamu mencintaiku,” kata Fikri tiba-tiba. “Aku juga gak akan mengubah hidupmu sepenuhnya. Kamu masih bisa kerja, masih bisa punya ruang sendiri. Aku cuma ingin satu hal: kamu bersamaku. Secara sah, meskipun bukan di mata hukum negara.”
Sukma mengangguk pelan. “Aku ngerti.”
“Kamu yakin?”
Pertanyaan itu membuat Sukma terdiam lagi. Ia ingin bilang ‘tidak’. Ia ingin mundur. Tapi suara napas ibunya dengan selang oksigen di rumah sakit muncul lagi di kepalanya. Lalu tagihan-tagihan yang belum terbayar. Lalu wajah dokter yang menatapnya dengan kalimat, “Transplantasi harus segera dilakukan.”
Akhirnya ia menjawab, lirih, “Yakin.”
Fikri mengangguk. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu dalam matanya—cahaya kecil dari seseorang yang baru saja memenangkan perang sunyi yang panjang. Ia meneguk kopinya yang nyaris habis, lalu berdiri.
“Aku akan urus semuanya. Hari ini juga,” katanya sambil merapikan jasnya.
“Termasuk... biaya rumah sakit?” tanya Sukma, nyaris seperti bisikan.
“Termasuk,” jawab Fikri tanpa ragu.
Sukma hanya mengangguk lagi.
Di dalam dirinya, perasaan campur aduk berkecamuk. Ia bukan gadis kecil yang percaya pada dongeng cinta, tapi bukan berarti ia kebal terhadap rasa takut menikah dengan pria yang... tidak ia kenal sepenuhnya.
Fikri menatapnya sebentar, lalu bicara lagi. “Aku tidak akan menyakitimu. Tapi kamu juga harus tahu, setelah ini... kamu milikku. Jangan pernah berpikir untuk keluar tanpa bilang padaku dulu.”
Nada suaranya lembut, tapi tegas. Tidak ada ancaman yang jelas. Tapi Sukma tahu, itulah bentuk kekuasaan Fikri—selalu dibungkus dalam kalimat manis tapi tajam.
Malam itu, Sukma kembali ke rumah sakit. Ia menemani ibunya tidur, kali ini dengan lebih tenang. Dokter datang dan memberitahu bahwa biaya awal transplantasi sudah dibayar lunas oleh “donatur pribadi.” Sukma tidak bertanya siapa—ia tidak perlu.
Sambil menatap wajah ibunya yang tidur, Sukma berbisik pelan, “Aku udah bilang ‘ya’, Bu... Semoga ini pilihan yang gak salah.”
Air matanya mengalir. Bukan karena menyesal. Tapi karena tak ada lagi jalan mundur.
Sementara itu, Fikri berdiri di balkon apartemennya.
Ia baru saja mengirim email ke notaris pribadinya. Pernikahan siri akan dilakukan lusa, secara tertutup, hanya dengan dua saksi internal dan penghulu privat.
Angin malam berembus pelan. Fikri memandang langit. Di dalam hatinya, tidak ada pesta. Tidak ada euforia. Yang ada hanya kemenangan diam-diam dari pria yang berhasil mendapatkan sesuatu yang tak bisa ia miliki dengan cara biasa.
Like, komen, and share. Edisi revisi
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k
“Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia