Share

005 Undangan

Meski awalnya tidak percaya dengan lamaran dadakan yang dilayangkan pria yang baru saja dikenalnya, namun Sukma tetap memikirkan lamaran itu dengan serius. Ia bahkan mulai membayangkan membangun rumah tangga dengan Fikri, sebelum tersadar dan memukul kepalanya keras.

“Apa-apaan sih gue, belum juga nikah udah mikir ke yang lain.” Sukma menghela nafas kasar, memeluk gulingnya erat. “Tapi… apa salahnya sih dicoba.”

“Tapi masa nerima lamaran gitu aja, gengsi dong. Tapi…”

Dan masih banyak kalimat tapi lainnya yang membuat Sukma hanya uring-uringan malam itu.

Beberapa hari berlalu, tidak ada kabar dari Fikri membuat Sukma terus saja menghela nafas. Ia merasa lega, namun juga kecewa. Chintya yang duduk di sebelahnya terus saja melirik Sukma, ia merasa ada yang aneh dengan tingkah temannya itu.

“Jangan bilang loe nggak terima gara-gara Hanan tunangan, ya?”

Sukma begidik, saat mendengar bisikan Chintya tepat di telinganya. “Apaan sih, pake bisik-bisik segala.”

“Gue tanya loe nggak terima Hanan tunangan sama cewek lain?”

“Nggak,” jawab Sukma cepat. “Ngapain juga gue mikirin dia, nggak penting.”

Mata Chintya mendelik. “Terus loe kenapa dari tadi hela nafas mulu, kedengeran sampe ke meja gue?”

“Nggak apa-apa, cuma lagi pengen aja.” Sukma menjulurkan lidahnya.

“Dasar,” Chintya mencubit pipi Sukma hingga gadis itu meringis. “Kalau misalkan ada masalah, loe bisa cerita aja ke gue.”

“Gue nggak ada masalah,” jelas Sukma yang langsung mencoba membuka file kerjaannya.

“Tapi gue denger helaan nafas loe dari tadi, bikin risih tau!”

“Ha~” kembali Sukma menghela nafas, kali ini gara-gara Chintya yang merongrongnya dengan pertanyaan aneh.

“Tuh! Loe hela nafas lagi,” Chintya memukul bahu Sukma yang berhasil membuat gadis itu mendelik.

“Gara-gara loe!” kesalnya. “Gangguin mulu.”

‘“Yee!” Chintya ikut kesal, lalu kembali ke mejanya sambil mengoceh karena kesal.

***

Ting tong…

Suara bel berbunyi, membuat Sri -ibu Sukma terkejut dan menghentikan kegiatan membuat kuenya sejenak. Ia meletakkan apron yang digunakan dan membersihkan bagian pakaian yang terkena tepung.

“Bodo ah,” gumamnya sambil beranjak dan membuka pintu.

“Selamat siang,” sapa bu Sri dengan wajah bingung, pemuda tampan dengan senyum ramah berdiri di hadapannya.

Seorang pria dengan perawakan sedang ikut berdiri di belakangnya, tersenyum dengan begitu ramah membuat bu Sri semakin bingung.

‘Bukan debt collector, kan? Si Sukma nggak bikin masalah, kan?’ Batinnya terus menerka.

“Selamat siang, perkenalkan saya Fikri Pradina Makarim.”

“I-iya, saya Sri.” 

Bu Sri terlihat ragu, menatap bergantian antara pria yang menyapanya dan yang berdiri di belakangnya. ‘Boleh nih dijadiin mantu,’ batinnya. ‘Seger-seger.’

Meski kebingungan, bu Sri mempersilahkan keduanya masuk seraya menyajikan minuman dan sedikit cemilan.

“Mohon maaf jika kedatangan saya mengganggu,” lembut Fikri sambil mengulas senyum.

“Iya, tidak masalah. Tapi kalau boleh tau, memangnya ada masalah apa ya? Anak saya tidak bikin masalah, kan?”

“Tidak ada masalah, saya kesini karena berniat melamar Sukma Rahayu Anjani secara resmi.”

Kepala bu Sri mengangguk, namun membelalak seketika saat sadar apa yang dikatakan oleh Fikri. “HAH?!”

“Maaf kalau saya terlalu mengejutkan Anda, saya tidak….”

“Me-me-me-melamar?” Gagap bu Sri dengan tidak percaya, matanya melotot sempurna.

“Iya, benar.”

“Anda tidak salah? Tapi Sukma nggak ngomong apa-apa,” panik bu Sri yang langsung berdiri.

“Saya sudah melamar Sukma lebih dulu,” jelas Fikri yang membuat bu Sri langsung terdiam, kemudian duduk setelah merasa agak tenang.

‘Wuah! Berarti Sukma waktu itu nggak bohong,’ batinnya sambil terus menatap Fikri dengan wajah tidak percaya.

“Saya setuju,” bu Sri buka suara yang membuat Fikri terdiam.

“Ma-maaf?”

“Saya sangat setuju Sukma menikah, jadi kapan?” Senyum lebar terlihat mengembang di wajah bu Sri, membuat Fikri jadi bingung termasuk pria lain yang berdiri di belakangnya.

“Oh, saya berniat melaksanakan pernikahan dalam 3 bulan mendatang.”

Senyum bu Sri terlihat semakin lebar, wajahnya terlihat begitu ceria. “Saya setuju, untuk resepsi saya akan….”

“Kami sudah menyiapkan segalanya, tidak perlu khawatir. Ibu tinggal datang saja saat acara berlangsung, ini undangannya.”

“Hah?” lagi-lagi bu Sri sangat terkejut, menatap ke arah undangan yang disodorkan Fikri sambil menelan ludah susah payah/

Fikri menyodorkan undangan, bu Sri menerima dengan tangan gemetar. ‘Memangnya mereka udah ngerencanain pernikahan ini berapa lama?’ Batinnya.

Saat melihat tanggal yang tertera, mata bu Sri kembali membelalak. “I-ini tidak salah? Tanggal 28 Agustus kan… minggu depan?”

“Tidak salah, akad akan dilangsungkan di tanggal itu. Untuk resepsi,” Fikri terlihat ragu. “Akan dilangsungkan setelah pekerjaan saya benar-benar lenggang.”

Mulut bu Sri membulat, ia terlihat faham. ‘Kayaknya dia orang sibuk,’ batinnya sesekali melirik pria yang terus berdiri tanpa bergerak di belakang Fikri.

“Kalau begitu,” Fikri berdiri. “Saya permisi dulu.”

“Kenapa buru-buru sekali?” tanya bu Sri terlihat kebingungan.

“Saya masih ada pekerjaan, maaf jika terburu-buru.”

Kepala bu Sri mengangguk faham, lantas mengantarkan Fikri keluar dan memandangi mobil pria itu meninggalkan pekarangan. Saat menghilang, disaat bersamaan Sukma datang dengan ojol pesanannya.

“Siapa, Bu?” tanya Sukma dengan wajah bingung saat melihat ada mobil mewah yang bertamu ke rumahnya.

Namun bukannya menjawab, ibunya malah senyum-senyum tidak jelas. “Kamu tuh ya,” ucapnya sambil memukul bahu Sukma dengan lembut. “Kalau mau buat kejutan, ya jangan terlalu ngejutin.”

“Hah?” Sukma melongo, berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti ibunya dari belakang. “Maksud Ibu apa sih, nggak jelas banget.”

Sukma terus membuntuti, namun ibunya hanya terus tersenyum aneh sambil mengibas-ngibaskan sebuah surat undangan yang dikenal Sukma untuk undangan pernikahan.

“Siapa lagi yang mau nikah?” tanyanya agak kesal. “Dari kemaren kayaknya nggak berenti ada orang nikahan, mana belum gajian lagi.”

“Hehehehe,” ibunya malah cengengesan membuat Sukma semakin bingung.

“Kenapa sih, Bu? Ketawa-ketawa nggak jelas,” ujar Sukma sambil merebut undangan yang ada di tangan ibunya.

‘Mewah banget,’ batinnya seraya membaca nama mempelai yang akan menguras dompetnya kali ini.

“Emang kita punya saudara yang namanya Sukma, Bu?” tanya Sukma yang heran karena nama yang tertera di surat undangan itu tertera nama yang mirip dengan namanya.

“Eyy,” ibunya menyenggol putrinya dengan senyum tidak jelas. “Jangan sok pura-pura, kamu pasti udah tau.”

“Beneran,” dahi Sukma mengernyit. “Aku nggak tau ada saudara aku yang namanya Sukma.”

“Bukan saudara kita yang mau nikah,” balas ibunya masih dengan senyum yang kini berhasil membuat Sukma mendelik.

“Tetangga?” tebaknya. ‘Tapi kayaknya nggak ada tetangga yang namanya Sukma,’ batinnya lagi.

Ibunya masih menggeleng manja, berhasil membuat Sukma hampir mual karena baru kali ini melihat tingkah aneh itu ditujukan kepadanya.

“Nggak usah mesem-mesem deh, Bu!” kesalnya. “Kalau Sukma nggak kenal, Sukma nggak bakal dateng ke acaranya.”

“Harus dateng,” ujar ibunya cepat. ‘Orang dia sendiri pengantennya, mana mungkin nggak dateng,’ cekikik ibunya dalam hati.

Why?” protes Sukma. “Ngabisin duit aja, mending ditabung.”

“Harus dateng,” ibunya berujar dengan tenang. “Soalnya yang nikah kan, kamu.”

“Ha-hah?” Sukma kembali membaca undangannya, matanya melebar saat melihat isi dan membaca nama lengkap kedua mempelai. “HAH?!” pekiknya.

Narubi

Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu) Khusus minggu ini akan update satu bab aja, terimakasih.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status