Share

BAB 6: Pernikahan yang sepi

Penulis: Narubi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-29 09:27:02

Langit siang itu mendung. Awan abu menggantung rendah seakan ikut menyaksikan sebuah akad yang tak akan tercatat dalam catatan negara. Hanya satu ruangan kecil di lantai dua sebuah rumah sewaan di pinggiran kota, yang disulap seadanya menjadi tempat pernikahan.

Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada wewangian harum seperti pernikahan pada umumnya.

Di dalam ruangan hanya ada satu meja panjang dari kayu, empat kursi plastik, dan sebuah sajadah kecil yang digelar di tengah. Penghulu tua dengan kopiah hitam duduk bersila di depan meja, membawa map berisi dokumen nikah dan tas kecil berisi perlengkapan doa.

Dua saksi laki-laki duduk di sisi kanan-kiri penghulu. Orang dalam jaringan Fikri, bukan kerabat. Fikri berdiri dengan jas abu tua yang sederhana, rambut tersisir rapi, dan wajah yang tenang seperti biasa.

Lalu Sukma masuk. Langkahnya pelan, wajahnya pucat. Ia mengenakan gamis putih polos dan kerudung senada. Tidak ada riasan berlebihan. Tidak ada senyum. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap maju, duduk di samping kiri Fikri sesuai arahan penghulu.

Fikri hanya meliriknya sekilas. Ada sesuatu dalam tatapan itu—campuran rasa puas dan... kosong.

Penghulu membuka dengan salam dan doa. Suaranya lembut dan teratur, seperti sudah ribuan kali membacakan ijab kabul untuk pasangan-pasangan yang antusias. Tapi kali ini berbeda. Tak ada ekspresi bahagia dari siapa pun di ruangan itu.

Sukma menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik kerudung. Tapi dari arah pundaknya, terlihat ia menarik napas panjang berulang kali. Seolah berusaha menyerap kekuatan dari dalam dirinya sendiri.

“Ijab kabul akan segera dilangsungkan,” ujar penghulu.

Fikri duduk tegak. “Saya siap.”

Penghulu menoleh ke Sukma. “Ananda Sukma, ini akad nikah secara agama. Walaupun tidak tercatat dalam negara, ini sah di mata Allah dan memerlukan keikhlasan dari pihak perempuan. Apakah kamu sudah yakin?”

Sukma tidak menjawab langsung. Kepalanya masih menunduk. Lalu, perlahan, ia mengangguk. “Saya... siap,” ucapnya pelan.

Suaranya hampir tak terdengar. Tapi cukup untuk memulai.

Penghulu kembali menoleh ke Fikri. “Baik. Silakan ucapkan akad nikah sesuai yang diarahkan.”

Fikri mengambil napas, lalu dengan suara mantap, tanpa ragu sedikit pun, ia ucapkan:

 “Saya Fikri Pradina Makarim, menikahi Sukma Rahayu Anjani binti Adi Gunawan, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia sepuluh gram dibayar tunai.”

Penghulu dan kedua saksi mengangguk, akad sah, ijab kabul selesai. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada pelukan, hanya kesunyian.

Lalu suara sang penghulu melanjutkan doa. Fikri memejamkan mata saat doa dibacakan, sementara Sukma masih menunduk. Tangannya mengusap paha gamisnya berulang-ulang, berusaha meredam getaran halus yang tak kunjung hilang dari tubuhnya.

Setelah semua selesai, penghulu dan saksi berpamitan. Mereka hanya memberi salam singkat, tanpa pertanyaan, tanpa basa-basi.

Dan kini, hanya tersisa dua orang di ruangan itu: suami dan istri.

Untuk pertama kalinya, Fikri berdiri, merogoh saku jasnya, lalu menyerahkan sebuah kotak kecil berisi logam mulia yang dijanjikan. Ia letakkan di atas meja, lalu menatap Sukma.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Sukma mengangkat wajah. Wajahnya masih datar, tapi matanya... seperti berkabut.

Fikri ingin bicara lagi. Tapi tidak ada kata yang keluar. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan lebih dulu keluar ruangan.

Sukma masih duduk di tempatnya, sendiri. Ia menatap kotak logam mulia itu. Lalu memejamkan mata. Dalam hati, ia berkata. “Ini bukan pernikahan impianku. Tapi semoga... ini cukup untuk menyelamatkan satu nyawa yang kucinta.”

***

Pintu apartemen mewah itu terbuka pelan.

Sukma melangkah masuk dengan hati yang tak karuan. Matanya menyapu ruangan—desain minimalis modern, langit-langit tinggi, lampu gantung elegan, dan warna dominan abu gelap serta putih yang memberi kesan dingin dan... jauh dari kata "rumah".

Satu sisi ruang tamu dipenuhi rak buku dan lukisan hitam-putih. Sofa besar dari bahan beludru abu menghadap ke jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota malam. Semuanya tampak rapi, teratur, nyaris seperti ruang pamer.

Tidak ada jejak kehangatan.

Hanya kesempurnaan dan keteraturan.

Seperti pemiliknya.

Fikri membuka jas dan meletakkannya di gantungan dekat pintu. “Ini sekarang rumahmu juga,” katanya pelan, tanpa menoleh.

Sukma mengangguk kaku, menyentuh tali tas ranselnya yang sudah mulai usang. Perasaannya campur aduk. Malam ini... malam pertama ia menjadi istri seseorang. Tapi tidak ada keluarga yang menanti. Tidak ada resepsi. Tidak ada, bahkan sapaan mesra.

Dan sekarang, ia berada di dalam apartemen yang terlalu mewah untuk dipijak oleh orang sepertinya.

Fikri berjalan ke dapur terbuka, menuangkan air ke gelas, lalu meneguknya. “Kamar utama di sebelah kanan,” katanya, menoleh sekilas. “Kamar tamu juga ada di seberang kalau kamu lebih nyaman di sana.”

Sukma mengerutkan kening. “Kamar tamu?”

Fikri mendekat, suaranya tetap tenang. “Aku harus kerja malam ini. Ada laporan proyek yang harus aku selesaikan sebelum rapat dengan dewan besok pagi. Aku mungkin gak akan tidur malam ini.”

“Oh...” Itu saja yang bisa Sukma ucapkan. Ia bahkan tidak tahu bagaimana seharusnya menanggapi.

Deg-degan yang sempat tumbuh sejak perjalanan tadi mendadak menguap. Ia tidak tahu apakah harus lega... atau tersinggung.

Tanpa berkata lagi, Fikri mengambil laptop dari meja bar dan melangkah ke ruang kerja yang terletak di ujung lorong.

Sukma berdiri sendirian di ruang tamu.

Kamar utama itu luar biasa luas. Ranjang king-size dengan sprei putih bersih, lemari built-in dari kayu gelap, dan pencahayaan hangat yang lembut. Ada meja rias yang tidak pernah disentuh, serta balkon kecil dengan tirai transparan.

Sukma duduk di ujung ranjang. Menatap ke arah pintu yang masih terbuka. Sesaat, ia merasa... asing. Bahkan terhadap dirinya sendiri.

Gamis putih yang ia kenakan saat akad tadi masih melekat di tubuh. Ia belum sempat berganti. Belum sempat mandi. Bahkan belum sempat menangkap apa yang benar-benar ia rasakan.

Haruskah aku merasa lega karena dia tidak menyentuhku? Atau kecewa karena... ia bahkan tak menatapku sebagai istri?

Sukma memejamkan mata. Ia mencoba tidur. Tapi suara dentingan keyboard dari ruang kerja terdengar samar dari balik dinding. Hanya itu yang menemaninya malam itu.

Fajar menjelang.

Sinar matahari pertama menembus tirai tipis dan menyapu permukaan selimut yang masih rapi.

Sukma terbangun perlahan. Ia tidur dalam posisi yang sama seperti semalam—miring ke kiri, tidak bergerak. Rambutnya sedikit kusut, wajahnya sembab karena sempat menangis diam-diam.

Ia duduk, meregangkan tubuh, lalu menyadari… ruangan itu masih kosong. Fikri tak pernah masuk.

Dengan langkah hati-hati, Sukma keluar kamar. Ruangan utama masih sunyi. Lampu gantung sudah padam, hanya cahaya pagi yang membuat interiornya tampak lebih sendu.

Lalu matanya menangkap pintu ruang kerja yang terbuka setengah. Ia mendekat pelan.

Di dalamnya, Fikri tertidur di sofa panjang, dengan laptop yang masih menyala di atas meja. Kemeja abu-nya masih melekat, lengan digulung sampai siku. Kacamata diletakkan di atas buku, dan satu tangan menutupi mata, seperti berusaha meredam cahaya.

Sukma berdiri di ambang pintu. Ada bagian dari dirinya yang ingin masuk, mendekat, dan... entah, mungkin sekadar mengucap "selamat pagi". Tapi ia mengurungkan niat itu.

Bukan karena takut. Tapi karena ia sadar, di antara mereka berdua, hanya ada status. Belum ada hubungan.

Ia berbalik. Melangkah kembali ke kamar. “Mungkin... begini rasanya jadi istri yang hanya dikenal lewat dokumen.”

Narubi

Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu) Khusus minggu ini akan update satu bab aja, terimakasih.

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 25: Masak dengan Cinta

    Panci di atas kompor mulai mengeluarkan aroma sedap.Uap panas mengambang di udara, menciptakan kabut tipis di dapur hotel yang bergaya minimalis namun cukup nyaman.Sukma berdiri dengan celemek bergambar wortel di tubuhnya, sendok sayur di tangan, wajah serius seperti seorang chef profesional yang hendak menyelamatkan dunia.Ia mencicipi sesendok sup, mengernyit. “Kurang… sesuatu,” gumamnya.Dari meja bar, Fikri hanya memerhatikan sambil menyeduh teh. “Kurang cinta mungkin?”Sukma melirik. “Kalau kamu masih bercanda, aku masukin kamu ke panci ini.”Fikri tertawa kecil. “Coba aku icip, deh.”Sukma memberi ruang. Fikri melangkah pelan ke belakangnya. Tapi langkah itu... terlalu dekat.Saat Fikri mengambil sendok sup, posisi tubuhnya nyaris memeluk Sukma dari belakang. Tubuhnya menyentuh sedikit bahu dan sisi tubuh gadis itu.Sukma terlonjak sedikit. Wajahnya seketika merah padam. “Eh—”“Tenang, aku cuma mau nyobain aja,” kata Fikri santai sambil menyeruput sup. Ia mengangguk pelan. “Cum

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 24: Semakin Membaik

    "Kenapa kamu kayak gitu tadi?"Pertanyaan itu terlontar begitu mobil mulai melaju pelan meninggalkan vila. Fikri tak menoleh, hanya melirik sekilas ke arah Sukma yang duduk di samping dengan pandangan lurus ke depan."Kayak apa?" tanya Sukma datar."Kayak..." Fikri ragu. Tangannya masih mantap di setir, tapi bahunya agak tegang. "Orang kesetanan," sambungnya akhirnya. Suaranya nyaris seperti gumaman.Sukma menoleh pelan. "Nggak ah, orang aku biasa aja."Fikri tertawa pendek. Bukan tawa geli, lebih seperti ‘Iya sih, tapi enggak juga.’ Ia menghela napas panjang.Mobil terus meluncur di jalanan kecil resor yang dipenuhi pohon palem dan suara angin laut yang sayup.Sukma masih diam. Tangannya bertaut di pangkuan, jemarinya saling menggenggam. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan berkata pelan, "Aku cuma kesel. Kebablasan aja."Fikri mengangguk. Ia bisa menerima itu. Tapi ia juga... masih terkejut. “Dia nyebelin, ya?” Fikri mencoba membuka obrolan lagi.Sukma mendengus kecil. “Kamu nanya b

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 23: istri vs calon mantan istri

    Sukma mengaduk perlahan jus jeruk di hadapannya. Tatapannya tetap tertuju pada Cheryl, namun bibirnya tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah terasa sehangat biasanya.“Jadi... udah lama pacaran?” tanya Sukma santai, seolah yang duduk di hadapannya adalah teman lama, bukan wanita yang tengah menggantung nasib rumah tangganya.Cheryl tersenyum, menyilangkan kaki dan menatap Sukma balik dengan percaya diri. “Lumayan. Tapi baru kali ini aku ngerasa bener-bener cocok sama seseorang. Nggak perlu drama, nggak perlu pura-pura.”“Ah,” Sukma mengangguk. “Berarti... waktu masih jadi istri orang, kamu sempat merasa hidupmu drama dan penuh kepura-puraan?”Cheryl menahan senyum. “Sukma, sayang... pernikahan itu kompleks. Kadang kita perlu berkompromi. Tapi ada kalanya... kita harus jujur sama diri sendiri.”“Setuju,” jawab Sukma cepat. “Makanya aku selalu jujur sama diri sendiri... termasuk saat sadar bahwa status aku sekarang, istri dari seseorang yang akan bercerai.”Fikri menunduk. Satu tangan

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    BAB 22: Sarapan yang Terganggu

    Matahari pagi mengintip malu dari balik gorden tipis vila.Sukma baru saja selesai mengenakan pakaian kasual santai saat Fikri mengetuk pintu kamar.“Aku tunggu di luar ya. Pake sandal yang nyaman,” ucapnya dari balik pintu.Sukma tidak menjawab, tapi mendengar nada Fikri yang terdengar... agak berbeda. Lebih ringan. Tidak sesuram semalam.Beberapa menit kemudian, mereka berkendara hingga sampailah di tempat yang dituju. Kemudian berjalan berdampingan di jalan setapak menuju salah satu restoran terkenal di tepi pulau. Pemandangan laut membentang biru, angin membawa aroma asin yang menyegarkan.“Tempat ini terkenal banget,” kata Fikri pelan saat pelayan mengantar mereka ke meja yang menghadap laut. “Makanan dan view-nya katanya worth banget.”Sukma mengangguk. “Terlihat seperti itu.”Mereka duduk. Pelayan datang membawakan menu.Fikri mempersilakan Sukma memilih dulu.“Pagi ini... kamu terlihat lebih tenang,” ucap Fikri sambil menatapnya.Sukma mengangguk. “Aku mikir semalaman. Dan... a

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    BAB 21: Suasana Canggung

    Malam itu, vila pribadi yang harusnya terasa hangat, justru begitu sunyi. Begitu mereka tiba, Sukma berjalan masuk lebih dulu tanpa menoleh. Fikri menyusul pelan di belakang, menutup pintu vila dengan hati-hati.Langkah Sukma terhenti sejenak di ruang tengah, lalu ia langsung naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Fikri berdiri di bawah, ingin bicara—tapi ia menahan diri.Setelah beberapa menit, Sukma keluar dari kamar, turun setengah tangga. Fikri berdiri di bawah, akhirnya memberanikan diri untuk bicara.“Sukma…” ucapnya pelan. “Aku... nggak tahu kenapa Cheryl bisa ada di sini.”Sukma menghentikan langkah. Ia memandang ke bawah, ke arah Fikri. “Aku cuma butuh waktu buat sendiri dulu,” jawabnya singkat.Fikri mengangguk, bibirnya tertahan ingin menjelaskan lebih banyak. Tapi ia tahu, kali ini bukan waktunya. “Baik,” katanya pelan.Sukma kembali naik, langkahnya ringan namun berat di hati. Sementara Fikri mengambil jaket tipis di gantungan, lalu berjalan keluar dari vila menuju taman kec

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    BAB 20: Kejutan paling tidak diinginkan

    Langkah kaki Sukma terasa ringan saat menuruni anak tangga villa kayu itu. Langit cerah, angin lembut berhembus, dan suara ombak terdengar seperti musik pengantar tidur. Tapi bukan itu yang membuat langkahnya enteng.Melainkan... dia benar-benar di Maldives. Berdua. Dengan suaminya. Diam-diam.“Padahal aku emang gak mau dirahasiain,” ucap Sukma pelan saat mereka baru tiba siang tadi. “Tapi aku juga belum siap hubungan kita go publik... kalau kamu belum resmi cerai dengan Cheryl.”Fikri menoleh dari balik kacamata hitamnya dan hanya mengangguk. Tidak membantah. Tidak juga berjanji. Tapi tatapan matanya—tenang, seolah mengerti.Mereka menempati salah satu kamar di villa yang menghadap laut. Tempat tidur besar dengan tirai putih lembut, balkon luas dengan kursi malas, dan kamar mandi yang lebih besar dari dapur kontrakan Sukma.Sukma sempat membatin, ‘ya ampun... ini mewah banget. Aku nginep di hotel apa istana?!’Tapi tetap menjaga ekspresinya datar.Sementara Fikri hanya berkata santai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status