Langit siang itu mendung. Awan abu menggantung rendah seakan ikut menyaksikan sebuah akad yang tak akan tercatat dalam catatan negara. Hanya satu ruangan kecil di lantai dua sebuah rumah sewaan di pinggiran kota, yang disulap seadanya menjadi tempat pernikahan.
Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada wewangian harum seperti pernikahan pada umumnya.
Di dalam ruangan hanya ada satu meja panjang dari kayu, empat kursi plastik, dan sebuah sajadah kecil yang digelar di tengah. Penghulu tua dengan kopiah hitam duduk bersila di depan meja, membawa map berisi dokumen nikah dan tas kecil berisi perlengkapan doa.
Dua saksi laki-laki duduk di sisi kanan-kiri penghulu. Orang dalam jaringan Fikri, bukan kerabat. Fikri berdiri dengan jas abu tua yang sederhana, rambut tersisir rapi, dan wajah yang tenang seperti biasa.
Lalu Sukma masuk. Langkahnya pelan, wajahnya pucat. Ia mengenakan gamis putih polos dan kerudung senada. Tidak ada riasan berlebihan. Tidak ada senyum. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap maju, duduk di samping kiri Fikri sesuai arahan penghulu.
Fikri hanya meliriknya sekilas. Ada sesuatu dalam tatapan itu—campuran rasa puas dan... kosong.
Penghulu membuka dengan salam dan doa. Suaranya lembut dan teratur, seperti sudah ribuan kali membacakan ijab kabul untuk pasangan-pasangan yang antusias. Tapi kali ini berbeda. Tak ada ekspresi bahagia dari siapa pun di ruangan itu.
Sukma menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik kerudung. Tapi dari arah pundaknya, terlihat ia menarik napas panjang berulang kali. Seolah berusaha menyerap kekuatan dari dalam dirinya sendiri.
“Ijab kabul akan segera dilangsungkan,” ujar penghulu.
Fikri duduk tegak. “Saya siap.”
Penghulu menoleh ke Sukma. “Ananda Sukma, ini akad nikah secara agama. Walaupun tidak tercatat dalam negara, ini sah di mata Allah dan memerlukan keikhlasan dari pihak perempuan. Apakah kamu sudah yakin?”
Sukma tidak menjawab langsung. Kepalanya masih menunduk. Lalu, perlahan, ia mengangguk. “Saya... siap,” ucapnya pelan.
Suaranya hampir tak terdengar. Tapi cukup untuk memulai.
Penghulu kembali menoleh ke Fikri. “Baik. Silakan ucapkan akad nikah sesuai yang diarahkan.”
Fikri mengambil napas, lalu dengan suara mantap, tanpa ragu sedikit pun, ia ucapkan:
“Saya Fikri Pradina Makarim, menikahi Sukma Rahayu Anjani binti Adi Gunawan, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia sepuluh gram dibayar tunai.”
Penghulu dan kedua saksi mengangguk, akad sah, ijab kabul selesai. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada pelukan, hanya kesunyian.
Lalu suara sang penghulu melanjutkan doa. Fikri memejamkan mata saat doa dibacakan, sementara Sukma masih menunduk. Tangannya mengusap paha gamisnya berulang-ulang, berusaha meredam getaran halus yang tak kunjung hilang dari tubuhnya.
Setelah semua selesai, penghulu dan saksi berpamitan. Mereka hanya memberi salam singkat, tanpa pertanyaan, tanpa basa-basi.
Dan kini, hanya tersisa dua orang di ruangan itu: suami dan istri.
Untuk pertama kalinya, Fikri berdiri, merogoh saku jasnya, lalu menyerahkan sebuah kotak kecil berisi logam mulia yang dijanjikan. Ia letakkan di atas meja, lalu menatap Sukma.
“Terima kasih,” katanya pelan.
Sukma mengangkat wajah. Wajahnya masih datar, tapi matanya... seperti berkabut.
Fikri ingin bicara lagi. Tapi tidak ada kata yang keluar. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan lebih dulu keluar ruangan.
Sukma masih duduk di tempatnya, sendiri. Ia menatap kotak logam mulia itu. Lalu memejamkan mata. Dalam hati, ia berkata. “Ini bukan pernikahan impianku. Tapi semoga... ini cukup untuk menyelamatkan satu nyawa yang kucinta.”
***
Pintu apartemen mewah itu terbuka pelan.
Sukma melangkah masuk dengan hati yang tak karuan. Matanya menyapu ruangan—desain minimalis modern, langit-langit tinggi, lampu gantung elegan, dan warna dominan abu gelap serta putih yang memberi kesan dingin dan... jauh dari kata "rumah".
Satu sisi ruang tamu dipenuhi rak buku dan lukisan hitam-putih. Sofa besar dari bahan beludru abu menghadap ke jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota malam. Semuanya tampak rapi, teratur, nyaris seperti ruang pamer.
Tidak ada jejak kehangatan.
Hanya kesempurnaan dan keteraturan.
Seperti pemiliknya.
Fikri membuka jas dan meletakkannya di gantungan dekat pintu. “Ini sekarang rumahmu juga,” katanya pelan, tanpa menoleh.
Sukma mengangguk kaku, menyentuh tali tas ranselnya yang sudah mulai usang. Perasaannya campur aduk. Malam ini... malam pertama ia menjadi istri seseorang. Tapi tidak ada keluarga yang menanti. Tidak ada resepsi. Tidak ada, bahkan sapaan mesra.
Dan sekarang, ia berada di dalam apartemen yang terlalu mewah untuk dipijak oleh orang sepertinya.
Fikri berjalan ke dapur terbuka, menuangkan air ke gelas, lalu meneguknya. “Kamar utama di sebelah kanan,” katanya, menoleh sekilas. “Kamar tamu juga ada di seberang kalau kamu lebih nyaman di sana.”
Sukma mengerutkan kening. “Kamar tamu?”
Fikri mendekat, suaranya tetap tenang. “Aku harus kerja malam ini. Ada laporan proyek yang harus aku selesaikan sebelum rapat dengan dewan besok pagi. Aku mungkin gak akan tidur malam ini.”
“Oh...” Itu saja yang bisa Sukma ucapkan. Ia bahkan tidak tahu bagaimana seharusnya menanggapi.
Deg-degan yang sempat tumbuh sejak perjalanan tadi mendadak menguap. Ia tidak tahu apakah harus lega... atau tersinggung.
Tanpa berkata lagi, Fikri mengambil laptop dari meja bar dan melangkah ke ruang kerja yang terletak di ujung lorong.
Sukma berdiri sendirian di ruang tamu.
Kamar utama itu luar biasa luas. Ranjang king-size dengan sprei putih bersih, lemari built-in dari kayu gelap, dan pencahayaan hangat yang lembut. Ada meja rias yang tidak pernah disentuh, serta balkon kecil dengan tirai transparan.
Sukma duduk di ujung ranjang. Menatap ke arah pintu yang masih terbuka. Sesaat, ia merasa... asing. Bahkan terhadap dirinya sendiri.
Gamis putih yang ia kenakan saat akad tadi masih melekat di tubuh. Ia belum sempat berganti. Belum sempat mandi. Bahkan belum sempat menangkap apa yang benar-benar ia rasakan.
Haruskah aku merasa lega karena dia tidak menyentuhku? Atau kecewa karena... ia bahkan tak menatapku sebagai istri?
Sukma memejamkan mata. Ia mencoba tidur. Tapi suara dentingan keyboard dari ruang kerja terdengar samar dari balik dinding. Hanya itu yang menemaninya malam itu.
Fajar menjelang.
Sinar matahari pertama menembus tirai tipis dan menyapu permukaan selimut yang masih rapi.
Sukma terbangun perlahan. Ia tidur dalam posisi yang sama seperti semalam—miring ke kiri, tidak bergerak. Rambutnya sedikit kusut, wajahnya sembab karena sempat menangis diam-diam.
Ia duduk, meregangkan tubuh, lalu menyadari… ruangan itu masih kosong. Fikri tak pernah masuk.
Dengan langkah hati-hati, Sukma keluar kamar. Ruangan utama masih sunyi. Lampu gantung sudah padam, hanya cahaya pagi yang membuat interiornya tampak lebih sendu.
Lalu matanya menangkap pintu ruang kerja yang terbuka setengah. Ia mendekat pelan.
Di dalamnya, Fikri tertidur di sofa panjang, dengan laptop yang masih menyala di atas meja. Kemeja abu-nya masih melekat, lengan digulung sampai siku. Kacamata diletakkan di atas buku, dan satu tangan menutupi mata, seperti berusaha meredam cahaya.
Sukma berdiri di ambang pintu. Ada bagian dari dirinya yang ingin masuk, mendekat, dan... entah, mungkin sekadar mengucap "selamat pagi". Tapi ia mengurungkan niat itu.
Bukan karena takut. Tapi karena ia sadar, di antara mereka berdua, hanya ada status. Belum ada hubungan.
Ia berbalik. Melangkah kembali ke kamar. “Mungkin... begini rasanya jadi istri yang hanya dikenal lewat dokumen.”
Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu) Khusus minggu ini akan update satu bab aja, terimakasih.
Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.
Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”
Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak
Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k
“Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika
“Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia