Sukma duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang sudah lima belas menit menampilkan spreadsheet kosong. Tangannya masih di atas keyboard, tapi tak satu pun huruf diketik. Matanya kosong. Pikirannya ke mana-mana.
Sudah seminggu sejak akad. Seminggu sejak status "istri" melekat pada dirinya. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti... bukan siapa-siapa.
Fikri tidak pernah menyentuhnya. Bahkan sejak malam pertama, pria itu memilih tidur di ruang kerja dengan dalih “lembur” dan “deadline”. Setiap pagi, mereka hanya bertukar kalimat seperlunya. “Kamu mau sarapan?” atau “Jangan lupa bawa payung, kayaknya hujan sore.”
Itu saja.
Tidak ada sentuhan. Tidak ada panggilan sayang. Tidak ada cium kening sebelum tidur. Yang ada hanya... formalitas.
Sukma mencoba mengabaikan. Ia bukan tipe yang mendambakan pelukan hangat atau makan malam romantis. Tapi tetap saja, ini... aneh.
Ia menghela napas panjang. Tangannya menggulir mouse ke bawah, padahal tidak ada apa-apa di layar. Di balik kacamatanya yang sedikit turun, matanya tetap sayu.
“Sukma Rahayu Anjani!”
Sukma terlonjak. Chintya sudah berdiri di sebelahnya sambil membawa dua bungkus puding cup dari pantry.
“Lagi ngelamun ya? Dari tadi aku liatin, kamu ngetik kayak orang taipo—tapi gak ada huruf yang muncul!”
Sukma terkekeh kaku. “Iya, maaf. Lagi... banyak pikiran aja.”
Chintya duduk di kursi kosong sebelahnya, membuka puding dengan garpu plastik. “Kepikiran apa? Tagihan kontrakan udah lunas kan, katanya?”
Sukma menoleh pelan. Ragu. Tapi akhirnya ia berkata, “Chin... boleh nanya sesuatu gak?”
Chintya mengangguk cepat. “Seratus persen boleh. Soal keuangan? Cowok? Mantan? Ramalan zodiak?”
“Enggak, serius ini.” Sukma menunduk sebentar, lalu berdeham. “Temen aku nih, dia udah nikah. Tapi... suaminya gak pernah nyentuh dia. Bener-bener gak pernah. Tidur pun pisah. Udah seminggu.”
Chintya langsung membeku. Sendok pudingnya menggantung di udara. “Kamu serius?”
“Ya... temen aku,” jawab Sukma pelan, menahan malu.
Chintya langsung berdiri setengah dari kursinya, matanya membelalak. “Ma, itu tuh... mencurigakan! Aku pernah baca thread gitu di T*****r. Jadi tuh ya, ada cowok nikah tapi ternyata... belok!”
“Belok?”
“Iya! Belok arah, belok orientasi! Ngerti kan? Dia nikah cuma buat nyembunyiin hal itu, jadi si cewek cuma jadi tempat dia ngumpet.”
Sukma menahan tawa. “Aku gak yakin itu penyebabnya...”
Chintya langsung ngacir dengan teori-teori absurdnya. “Atau jangan-jangan dia impoten. Atau trauma masa lalu. Atau... dia udah sumpah hidup selibat!”
Sukma mengerutkan kening. “Kamu makin ngawur.”
“Ada juga tuh yang suaminya ternyata dimantrai! Jadi kalau dia nyentuh cewek, langsung muntah!”
“Chin—”
“Tunggu, tunggu! Bisa juga nih, dia korban pelet gagal. Jadi dia suka, tapi gak bisa dekat-dekat sama istrinya. Setiap mau menyentuh, tangan gemeter. Persis sinetron jam tujuh sore.”
Sukma akhirnya tak tahan dan tertawa. “Astaga... kamu gak bantuin sama sekali.”
Chintya ikut tertawa, lalu menepuk-nepuk bahu Sukma. “Ma, apapun itu, kasih waktu aja. Mungkin dia punya trauma, atau belum siap secara emosional. Tapi ya... kalau sampai sebulan gak disentuh juga, tolong catat tanggalnya. Kita bikin countdown. Biar bisa aku masukin ke grup ‘Istri-Istri Tak Terjamah’.”
“GRUP APAAN LAGI?!”
Mereka berdua tertawa lagi. Tapi di sela canda itu, Sukma menyimpan tanya yang belum bisa dijawab siapa pun. Bukan karena ia berharap dipeluk atau dicintai.
Tapi karena... pernikahan yang ia jalani kini terasa terlalu sunyi untuk sesuatu yang sah.
***
"ASTAGA! Kamu kenapa pake baju gitu?!"
Fikri nyaris menjatuhkan map dokumen yang baru saja ia ambil dari meja bar. Jantungnya serasa copot melihat pemandangan yang menunggu di ruang tengah apartemennya: Sukma berdiri mengenakan lingerie sutra merah marun yang terlalu pendek dan terlalu transparan untuk disebut 'pakaian rumah'.
Sukma mematung. Detik berikutnya, wajahnya berubah merah padam.
“A-aku... ini... aku barusan dapet kado dari temen. Suruh dicoba,” katanya terbata-bata, melirik ke arah kotak kosong berwarna pink di sofa, yang memang benar-benar dikirim oleh Chintya sebagai "dukungan moril untuk temannya Sukma".
Meski tidak percaya apa yang dikatakan Chintya, namun Sukma penasaran dan ingin membuktikan. Apakah Fikri memang belok atau impoten?
Fikri menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan dengan cepat. “Tolong, Sukma. Ganti. Sekarang. Lagian ngapain kamu pake itu di ruang tengah sih!”
Sukma menggigit bibir. “Maaf... aku cuma iseng.”
“Iseng kamu aneh banget, tolong jangan lakuin itu. Aku capek, dan aku gak siap lihat yang kayak gitu.” Nada suara Fikri masih tenang, tapi matanya menjauh, seperti sengaja menghindari pandangan apa pun ke arahnya.
Sukma melangkah ke kamar dengan langkah cepat, menyambar jaket hoodie di gantungan dan menutup tubuhnya.
Langkah pertama… gagal total.
Langkah kedua, Sukma mencoba hal yang lebih... sopan, membawa minuman hangat ke ruang kerja Fikri. Teh chamomile favoritnya—yang Sukma pelajari diam-diam dari label di dapur.
Fikri sedang mengetik dengan kecepatan stabil saat pintu ruang kerjanya diketuk pelan. “Masuk,” katanya tanpa menoleh.
Sukma muncul dengan nampan kecil. “Aku bawa teh. Biar gak terlalu tegang ngerjain laporan.”
Fikri melirik. “Makasih. Taruh aja di samping laptop.”
Saat Sukma menaruh gelas, ia menyentuh pundak Fikri secara refleks. “Kamu kaku banget. Kenapa nggak istirahat sebentar aja dulu?”
Fikri langsung menegang. Tangannya berhenti di atas keyboard. Beberapa detik sunyi. Lalu…
“Sukma.” Suaranya tenang. Tapi dingin. “Aku tahu kamu istri aku. Tapi mulai sekarang, jangan masuk ruang kerja aku lagi. Aku gak bisa fokus kalau ada kamu.”
Deg. Sukma menarik tangannya cepat-cepat. “O-oh... iya. Maaf.”
Ia keluar ruangan pelan, menahan napas. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di tembok dan menghela napas berat.
Langkah kedua... gagal juga.
Taktik ketiga, alias upaya paling nekad, mungkin. Tidak membawa handuk saat mandi.
Sukma menyiapkan semuanya. Ia masuk kamar mandi, menguncinya, lalu—seperti rencana—memanggil Fikri yang sedang duduk di ruang tamu.
“Fik, maaf... bisa tolong ambilin handuk? Aku lupa bawa. Ada di lemari, laci tengah.”
Beberapa detik, tidak ada respons. Lalu terdengar suara Fikri dari balik pintu, pendek dan datar. “Aku taruh di gagang pintu. Ambil sendiri.”
Sukma mengerucutkan bibir. Tak ada ketukan. Tak ada usaha mengantar. Tak ada "ups" ala drama romantis.
Setelah memastikan dia sudah pergi, Sukma membuka pintu dan mengambil handuknya.
Dan saat kembali ke kamar, duduk di atas ranjang, sambil mengeringkan rambut, ia mendesah keras. Lalu menatap cermin. Wajahnya basah, rambut awut-awutan, dan hoodie basah setengah badan.
“Fix,” katanya pada bayangannya sendiri. “Kayaknya Fikri impoten deh.” Lalu dengan jeda, alisnya terangkat. “Atau... jangan-jangan... beneran belok?”
Ia terdiam, lalu meletakkan handuk di atas kepala, mendekap bantal, dan berguling. Chintya... kenapa semua teorimu kayaknya makin masuk akal sekarang?!
Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu)
Panci di atas kompor mulai mengeluarkan aroma sedap.Uap panas mengambang di udara, menciptakan kabut tipis di dapur hotel yang bergaya minimalis namun cukup nyaman.Sukma berdiri dengan celemek bergambar wortel di tubuhnya, sendok sayur di tangan, wajah serius seperti seorang chef profesional yang hendak menyelamatkan dunia.Ia mencicipi sesendok sup, mengernyit. “Kurang… sesuatu,” gumamnya.Dari meja bar, Fikri hanya memerhatikan sambil menyeduh teh. “Kurang cinta mungkin?”Sukma melirik. “Kalau kamu masih bercanda, aku masukin kamu ke panci ini.”Fikri tertawa kecil. “Coba aku icip, deh.”Sukma memberi ruang. Fikri melangkah pelan ke belakangnya. Tapi langkah itu... terlalu dekat.Saat Fikri mengambil sendok sup, posisi tubuhnya nyaris memeluk Sukma dari belakang. Tubuhnya menyentuh sedikit bahu dan sisi tubuh gadis itu.Sukma terlonjak sedikit. Wajahnya seketika merah padam. “Eh—”“Tenang, aku cuma mau nyobain aja,” kata Fikri santai sambil menyeruput sup. Ia mengangguk pelan. “Cum
"Kenapa kamu kayak gitu tadi?"Pertanyaan itu terlontar begitu mobil mulai melaju pelan meninggalkan vila. Fikri tak menoleh, hanya melirik sekilas ke arah Sukma yang duduk di samping dengan pandangan lurus ke depan."Kayak apa?" tanya Sukma datar."Kayak..." Fikri ragu. Tangannya masih mantap di setir, tapi bahunya agak tegang. "Orang kesetanan," sambungnya akhirnya. Suaranya nyaris seperti gumaman.Sukma menoleh pelan. "Nggak ah, orang aku biasa aja."Fikri tertawa pendek. Bukan tawa geli, lebih seperti ‘Iya sih, tapi enggak juga.’ Ia menghela napas panjang.Mobil terus meluncur di jalanan kecil resor yang dipenuhi pohon palem dan suara angin laut yang sayup.Sukma masih diam. Tangannya bertaut di pangkuan, jemarinya saling menggenggam. Lalu ia menarik napas dalam-dalam dan berkata pelan, "Aku cuma kesel. Kebablasan aja."Fikri mengangguk. Ia bisa menerima itu. Tapi ia juga... masih terkejut. “Dia nyebelin, ya?” Fikri mencoba membuka obrolan lagi.Sukma mendengus kecil. “Kamu nanya b
Sukma mengaduk perlahan jus jeruk di hadapannya. Tatapannya tetap tertuju pada Cheryl, namun bibirnya tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah terasa sehangat biasanya.“Jadi... udah lama pacaran?” tanya Sukma santai, seolah yang duduk di hadapannya adalah teman lama, bukan wanita yang tengah menggantung nasib rumah tangganya.Cheryl tersenyum, menyilangkan kaki dan menatap Sukma balik dengan percaya diri. “Lumayan. Tapi baru kali ini aku ngerasa bener-bener cocok sama seseorang. Nggak perlu drama, nggak perlu pura-pura.”“Ah,” Sukma mengangguk. “Berarti... waktu masih jadi istri orang, kamu sempat merasa hidupmu drama dan penuh kepura-puraan?”Cheryl menahan senyum. “Sukma, sayang... pernikahan itu kompleks. Kadang kita perlu berkompromi. Tapi ada kalanya... kita harus jujur sama diri sendiri.”“Setuju,” jawab Sukma cepat. “Makanya aku selalu jujur sama diri sendiri... termasuk saat sadar bahwa status aku sekarang, istri dari seseorang yang akan bercerai.”Fikri menunduk. Satu tangan
Matahari pagi mengintip malu dari balik gorden tipis vila.Sukma baru saja selesai mengenakan pakaian kasual santai saat Fikri mengetuk pintu kamar.“Aku tunggu di luar ya. Pake sandal yang nyaman,” ucapnya dari balik pintu.Sukma tidak menjawab, tapi mendengar nada Fikri yang terdengar... agak berbeda. Lebih ringan. Tidak sesuram semalam.Beberapa menit kemudian, mereka berkendara hingga sampailah di tempat yang dituju. Kemudian berjalan berdampingan di jalan setapak menuju salah satu restoran terkenal di tepi pulau. Pemandangan laut membentang biru, angin membawa aroma asin yang menyegarkan.“Tempat ini terkenal banget,” kata Fikri pelan saat pelayan mengantar mereka ke meja yang menghadap laut. “Makanan dan view-nya katanya worth banget.”Sukma mengangguk. “Terlihat seperti itu.”Mereka duduk. Pelayan datang membawakan menu.Fikri mempersilakan Sukma memilih dulu.“Pagi ini... kamu terlihat lebih tenang,” ucap Fikri sambil menatapnya.Sukma mengangguk. “Aku mikir semalaman. Dan... a
Malam itu, vila pribadi yang harusnya terasa hangat, justru begitu sunyi. Begitu mereka tiba, Sukma berjalan masuk lebih dulu tanpa menoleh. Fikri menyusul pelan di belakang, menutup pintu vila dengan hati-hati.Langkah Sukma terhenti sejenak di ruang tengah, lalu ia langsung naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Fikri berdiri di bawah, ingin bicara—tapi ia menahan diri.Setelah beberapa menit, Sukma keluar dari kamar, turun setengah tangga. Fikri berdiri di bawah, akhirnya memberanikan diri untuk bicara.“Sukma…” ucapnya pelan. “Aku... nggak tahu kenapa Cheryl bisa ada di sini.”Sukma menghentikan langkah. Ia memandang ke bawah, ke arah Fikri. “Aku cuma butuh waktu buat sendiri dulu,” jawabnya singkat.Fikri mengangguk, bibirnya tertahan ingin menjelaskan lebih banyak. Tapi ia tahu, kali ini bukan waktunya. “Baik,” katanya pelan.Sukma kembali naik, langkahnya ringan namun berat di hati. Sementara Fikri mengambil jaket tipis di gantungan, lalu berjalan keluar dari vila menuju taman kec
Langkah kaki Sukma terasa ringan saat menuruni anak tangga villa kayu itu. Langit cerah, angin lembut berhembus, dan suara ombak terdengar seperti musik pengantar tidur. Tapi bukan itu yang membuat langkahnya enteng.Melainkan... dia benar-benar di Maldives. Berdua. Dengan suaminya. Diam-diam.“Padahal aku emang gak mau dirahasiain,” ucap Sukma pelan saat mereka baru tiba siang tadi. “Tapi aku juga belum siap hubungan kita go publik... kalau kamu belum resmi cerai dengan Cheryl.”Fikri menoleh dari balik kacamata hitamnya dan hanya mengangguk. Tidak membantah. Tidak juga berjanji. Tapi tatapan matanya—tenang, seolah mengerti.Mereka menempati salah satu kamar di villa yang menghadap laut. Tempat tidur besar dengan tirai putih lembut, balkon luas dengan kursi malas, dan kamar mandi yang lebih besar dari dapur kontrakan Sukma.Sukma sempat membatin, ‘ya ampun... ini mewah banget. Aku nginep di hotel apa istana?!’Tapi tetap menjaga ekspresinya datar.Sementara Fikri hanya berkata santai