Share

006 Pernikahan

“Kenapa Anda seenaknya, merencanakan pernikahan tanpa memberitahu saya!”

Suara Sukma membahana memenuhi seluruh ruangan, emosinya naik sampai ubun-ubun kala protesnya hanya ditanggapi wajah datar oleh Fikri.

“Ibu kamu setuju, saya juga tidak dengar penolakan dari kamu.”

“Tidak menolak bukan berarti setuju!” pekiknya. “Batalkan!” kesalnya.

“Tidak bisa,” jawab Fikri enteng.

“BATALKAN!” paksanya dengan wajah merah padam, tidak bisa dipungkiri lagi jika Sukma sangat ingin mencakar wajah tampan Fikri kali ini.

“Mana mungkin saya batalkan, akadnya akan dimulai beberapa jam lagi.”

Sukma membuka mulutnya, oksigen yang masuk ke paru-parunya seakan berkurang drastis. Gadis itu memejamkan mata dan mengepalkan tangan kuat, mencoba meredakan emosi yang benar-benar sudah tidak bisa ditahannya lagi.

‘Ini gara-gara Ibu,’ batinnya kesal. ‘Dia maksa banget pake lemparin banyak dalil anak durhaka segala,’ rutuknya.

“Ini gara-gara Ibu, saya cuma ikutin apa keinginan dia.”

“Kalau begitu, lanjutkan saja. Lagipula tidak ada salahnya menikah dengan saya, bukan?”

‘I-iya, sih,’ batin Sukma kesal, namun ia mengakui bahwa hal itu benar adanya. “Tapi….” Sukma malah terlihat ragu untuk melanjutkan protesnya.

“Tenang saja, saya jamin bahwa kamu tidak akan rugi dengan pernikahan ini.”

Sukma terdiam, menatap Fikri dengan helaan nafas. Tidak ada hal yang bisa dilakukannya saat ini, ia mulai pasrah. Akad akan berlangsung kurang dari dua jam lagi, tidak mungkin Sukma nekad membatalkan acara itu secara sepihak.

Sebelumnya, bu Sri telah menyebarkan undangan pernikahan tanpa seizin Sukma meski putrinya itu mengatakan akan berbicara terlebih dahulu dengan Fikri. Ibunya bahkan sudah menghubungi pamannya yang ada di desa untuk menjadi wali nikah, karena suaminya sudah meninggal lebih dulu.

Sukma dibuat kelabakan kala para tetangga mulai memberinya ucapan selamat, mereka terlihat begitu antusias menunggu hari pernikahan gadis itu. Semakin tidak terkendali kala paman dari kampung datang saat malam tiba, membuat acara syukuran dadakan atas pernikahan Sukma, mengundang RT sekitar yang terlihat begitu senang mendengar kabar menyenangkan namun tidak untuk Sukma sendiri.

“Ha~, Ibu keterlaluan banget deh.”

Sukma hanya bisa menghela nafas, duduk dengan tenang di ruangan yang dikhususkan untuknya.

“Tadi kamu ngomong apa sama Fikri?” seloroh ibunya yang tiba-tiba masuk dengan wajah sumringah, terlihat jelas ia sangat senang dengan pernikahan putrinya itu.

Senyum yang senantiasa terpatri di wajah ibunya, membuat Sukma tidak tega jika mengatakan ia meminta Fikri untuk membatalkan pernikahan tersebut. Alhasil, gadis yang mengenakan gaun pengantin putih dengan kerudung menutupi dada itu hanya mengulas senyum.

“Aku cuma nanya, abis selesai acara aku boleh balik lagi ke rumah nggak. Kan barang aku ada di rumah semua,” jelas Sukma dengan santai.

Terlihat, ibunya begitu senang. “Oooh, soal itu. Tenang aja, udah dipacking semua barang kamu dan katanya bakal diurus sama orangnya Nak Fikri.”

Mata Sukma melebar. “Kok nggak bilang?”

“Ibu juga baru tau, jadi Ibu ikut aja. Nggak masalah kan, orang dia bentar lagi bakal sah jadi suami kamu.”

Sukma mendengus, kemudian menghela nafas. Sesaat kemudian, Bibinya datang bersama beberapa orang yang Sukma kenal sebagai saudara jauhnya. Mereka berfoto bersama, mengabadikan momen dengan begitu suka cita. Kecuali Sukma yang meski tersenyum, dalam hatinya ia mulai merasa resah.

Acara dilaksanakan secara tertutup, dihadiri pihak keluarga Sukma dan Fikri. Namun anehnya, hanya beberapa orang yang datang sebagai tamu pria itu membuat Sukma jadi bingung. Bahkan bisa dikatakan, tamu pada acara pernikahan itu lebih dari pihak mempelai wanita.

“Orang tua Anda tidak datang?” bisik Sukma saat duduk di belakang Fikri, bersiap untuk mendengarkan ijab qabul.

“Orang tua saya sudah meninggal,” jawab Fikri santai.

Sedetik kemudian Sukma menyesal dengan pertanyaannya. “Maaf,” balasnya dengan wajah bersalah.

Ijab qabul berjalan dengan lancar, semua orang terlihat begitu senang. Namun ada hal yang membingungkan Sukma, ia tidak disuruh untuk menandatangani dokumen negara serta buku nikah yang seharusnya dimilikinya saat ini.

Beberapa kali Sukma melirik ke arah Fikri, ingin bertanya terkait hal itu. Namun para tetangganya yang datang dan diundang oleh sang ibu terus saja menyalaminya, membuatnya mengurungkan niatnya itu.

***

“Kenapa tidak ada buku nikah?” tanya Sukma sesaat setelah masuk ke dalam mobil. Keduanya bersiap untuk menuju rumah yang disediakan Fikri untuk dirinya dan Sukma, setelah berbagai rentetan acara dilaksanakan dengan begitu lancar.

Acara telah selesai, Sukma baru bisa berbicara dengan Fikri. Sebelumnya gadis itu sama sekali tidak memiliki waktu untuk berbicara dengan Fikri, padahal keduanya terus berdiri berdampingan.

Saat para tetangga dan saudaranya selesai bersalaman, Sukma diajak untuk berfoto bersama, diselingi dengan obrolan jorok khas ibu-ibu yang disebutnya sebagai petuah untuk pengantin baru. Meski agak risih, namun Sukma tetap mendengarkan sambil mengulas senyum yang dipenuhi kesengsaraan.

Beberapa saat setelah lepas dari cengkraman ibu-ibu komplek yang membuatnya agak kesal, Sukma malah melupakan niatnya untuk bertanya karena perutnya mulai keroncongan.

Hanya pada momen inilah, Sukma bisa bertanya pada Fikri. Saat ingat, ia langsung bertanya perihal buku nikah yang tidak dilihatnya begitu masuk ke mobil. Fikri yang mendengar pertanyaan Sukma, hanya melirik gadis itu sekilas lalu membuang wajah.

“Harusnya ada buku nikah agar pernikahan kita diakui oleh negara, tapi kenapa tidak ada?” tanya Sukma sekali lagi.

“Karena kita belum mendaftar,” jawabnya santai.

Dahi Sukma mengernyit. “Bukannya Anda bilang akan mengurusnya? Itu yang dikatakan Ibu saya,” jelas Sukma yang merasa heran dengan jawaban Fikri.

“Saya lupa, terlalu banyak kerjaan. Jangan khawatir, saya akan segera mengurusnya.”

“Bukan itu masalahnya, kalau memang tidak sempat kenapa menjadwalkan pernikahan terlalu cepat.” Nada suara Sukma mulai meninggi, namun berdehem saat menyadari ada sopir yang mulai melajukan mobil itu.

“Saya akan urus,” Fikri meyakinkan, namun Sukma masih tidak yakin.

Sukma ingin sekali memaksa Fikri untuk menjelaskan, namun ia agak sungkan mengingat masih ada supir di bagian pengemudi.

'Aneh banget, bisa aja dia nyuruh orang lain buat ngurus kalo nggak sempet. Nggak mungkin orang sekaya dia nggak punya asisten,' batinnya sambil terus menatap Fikri dengan mata menyipit.

Sedangkan pria yang ditatapnya mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba untuk sebisa mungkin untuk menghindari tatapan Sukma yang jelas tengah curiga dengan sikapnya. 

Wajar saja, setelah berkata akan mengurus semuanya termasuk pendaftaran pernikahan mereka ke KUA, Fikri malah ingkar janji. Perusahaannya memang tengah sibuk, membereskan masalah yang ditimbulkan manajer lama yang ketahuan menggelapkan banyak dana untuk proyek baru. 

Namun sebenarnya, bukan hanya itu saja. Ada satu alasan kuat yang tidak ingin dikemukakan Fikri mengapa ia menyisihkan untuk tidak mengurus pendaftaran pernikahan tersebut ke KUA.

'Maaf, kamu jadi terseret karena permasalahan pribadi saya,' batin Fikri seraya menghela nafas.

Narubi

Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu)

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status