Share

BAB 7: Status yang tidak jelas

Author: Narubi
last update Last Updated: 2022-10-03 10:42:22

Sukma duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang sudah lima belas menit menampilkan spreadsheet kosong. Tangannya masih di atas keyboard, tapi tak satu pun huruf diketik. Matanya kosong. Pikirannya ke mana-mana.

Sudah seminggu sejak akad. Seminggu sejak status "istri" melekat pada dirinya. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti... bukan siapa-siapa.

Fikri tidak pernah menyentuhnya. Bahkan sejak malam pertama, pria itu memilih tidur di ruang kerja dengan dalih “lembur” dan “deadline”. Setiap pagi, mereka hanya bertukar kalimat seperlunya. “Kamu mau sarapan?” atau “Jangan lupa bawa payung, kayaknya hujan sore.”

Itu saja.

Tidak ada sentuhan. Tidak ada panggilan sayang. Tidak ada cium kening sebelum tidur. Yang ada hanya... formalitas.

Sukma mencoba mengabaikan. Ia bukan tipe yang mendambakan pelukan hangat atau makan malam romantis. Tapi tetap saja, ini... aneh.

Ia menghela napas panjang. Tangannya menggulir mouse ke bawah, padahal tidak ada apa-apa di layar. Di balik kacamatanya yang sedikit turun, matanya tetap sayu.

“Sukma Rahayu Anjani!”

Sukma terlonjak. Chintya sudah berdiri di sebelahnya sambil membawa dua bungkus puding cup dari pantry.

“Lagi ngelamun ya? Dari tadi aku liatin, kamu ngetik kayak orang taipo—tapi gak ada huruf yang muncul!”

Sukma terkekeh kaku. “Iya, maaf. Lagi... banyak pikiran aja.”

Chintya duduk di kursi kosong sebelahnya, membuka puding dengan garpu plastik. “Kepikiran apa? Tagihan kontrakan udah lunas kan, katanya?”

Sukma menoleh pelan. Ragu. Tapi akhirnya ia berkata, “Chin... boleh nanya sesuatu gak?”

Chintya mengangguk cepat. “Seratus persen boleh. Soal keuangan? Cowok? Mantan? Ramalan zodiak?”

“Enggak, serius ini.” Sukma menunduk sebentar, lalu berdeham. “Temen aku nih, dia udah nikah. Tapi... suaminya gak pernah nyentuh dia. Bener-bener gak pernah. Tidur pun pisah. Udah seminggu.”

Chintya langsung membeku. Sendok pudingnya menggantung di udara. “Kamu serius?”

“Ya... temen aku,” jawab Sukma pelan, menahan malu.

Chintya langsung berdiri setengah dari kursinya, matanya membelalak. “Ma, itu tuh... mencurigakan! Aku pernah baca thread gitu di T*****r. Jadi tuh ya, ada cowok nikah tapi ternyata... belok!”

“Belok?”

“Iya! Belok arah, belok orientasi! Ngerti kan? Dia nikah cuma buat nyembunyiin hal itu, jadi si cewek cuma jadi tempat dia ngumpet.”

Sukma menahan tawa. “Aku gak yakin itu penyebabnya...”

Chintya langsung ngacir dengan teori-teori absurdnya. “Atau jangan-jangan dia impoten. Atau trauma masa lalu. Atau... dia udah sumpah hidup selibat!”

Sukma mengerutkan kening. “Kamu makin ngawur.”

“Ada juga tuh yang suaminya ternyata dimantrai! Jadi kalau dia nyentuh cewek, langsung muntah!”

“Chin—”

“Tunggu, tunggu! Bisa juga nih, dia korban pelet gagal. Jadi dia suka, tapi gak bisa dekat-dekat sama istrinya. Setiap mau menyentuh, tangan gemeter. Persis sinetron jam tujuh sore.”

Sukma akhirnya tak tahan dan tertawa. “Astaga... kamu gak bantuin sama sekali.”

Chintya ikut tertawa, lalu menepuk-nepuk bahu Sukma. “Ma, apapun itu, kasih waktu aja. Mungkin dia punya trauma, atau belum siap secara emosional. Tapi ya... kalau sampai sebulan gak disentuh juga, tolong catat tanggalnya. Kita bikin countdown. Biar bisa aku masukin ke grup ‘Istri-Istri Tak Terjamah’.”

“GRUP APAAN LAGI?!”

Mereka berdua tertawa lagi. Tapi di sela canda itu, Sukma menyimpan tanya yang belum bisa dijawab siapa pun. Bukan karena ia berharap dipeluk atau dicintai.

Tapi karena... pernikahan yang ia jalani kini terasa terlalu sunyi untuk sesuatu yang sah.

***

"ASTAGA! Kamu kenapa pake baju gitu?!"

Fikri nyaris menjatuhkan map dokumen yang baru saja ia ambil dari meja bar. Jantungnya serasa copot melihat pemandangan yang menunggu di ruang tengah apartemennya: Sukma berdiri mengenakan lingerie sutra merah marun yang terlalu pendek dan terlalu transparan untuk disebut 'pakaian rumah'.

Sukma mematung. Detik berikutnya, wajahnya berubah merah padam.

“A-aku... ini... aku barusan dapet kado dari temen. Suruh dicoba,” katanya terbata-bata, melirik ke arah kotak kosong berwarna pink di sofa, yang memang benar-benar dikirim oleh Chintya sebagai "dukungan moril untuk temannya Sukma".

Meski tidak percaya apa yang dikatakan Chintya, namun Sukma penasaran dan ingin membuktikan. Apakah Fikri memang belok atau impoten?

Fikri menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan dengan cepat. “Tolong, Sukma. Ganti. Sekarang. Lagian ngapain kamu pake itu di ruang tengah sih!”

Sukma menggigit bibir. “Maaf... aku cuma iseng.”

“Iseng kamu aneh banget, tolong jangan lakuin itu. Aku capek, dan aku gak siap lihat yang kayak gitu.” Nada suara Fikri masih tenang, tapi matanya menjauh, seperti sengaja menghindari pandangan apa pun ke arahnya.

Sukma melangkah ke kamar dengan langkah cepat, menyambar jaket hoodie di gantungan dan menutup tubuhnya.

Langkah pertama… gagal total.

Langkah kedua, Sukma mencoba hal yang lebih... sopan, membawa minuman hangat ke ruang kerja Fikri. Teh chamomile favoritnya—yang Sukma pelajari diam-diam dari label di dapur.

Fikri sedang mengetik dengan kecepatan stabil saat pintu ruang kerjanya diketuk pelan. “Masuk,” katanya tanpa menoleh.

Sukma muncul dengan nampan kecil. “Aku bawa teh. Biar gak terlalu tegang ngerjain laporan.”

Fikri melirik. “Makasih. Taruh aja di samping laptop.”

Saat Sukma menaruh gelas, ia menyentuh pundak Fikri secara refleks. “Kamu kaku banget. Kenapa nggak istirahat sebentar aja dulu?”

Fikri langsung menegang. Tangannya berhenti di atas keyboard. Beberapa detik sunyi. Lalu…

“Sukma.” Suaranya tenang. Tapi dingin. “Aku tahu kamu istri aku. Tapi mulai sekarang, jangan masuk ruang kerja aku lagi. Aku gak bisa fokus kalau ada kamu.”

Deg. Sukma menarik tangannya cepat-cepat. “O-oh... iya. Maaf.”

Ia keluar ruangan pelan, menahan napas. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di tembok dan menghela napas berat.

Langkah kedua... gagal juga.

Taktik ketiga, alias upaya paling nekad, mungkin. Tidak membawa handuk saat mandi.

Sukma menyiapkan semuanya. Ia masuk kamar mandi, menguncinya, lalu—seperti rencana—memanggil Fikri yang sedang duduk di ruang tamu.

“Fik, maaf... bisa tolong ambilin handuk? Aku lupa bawa. Ada di lemari, laci tengah.”

Beberapa detik, tidak ada respons. Lalu terdengar suara Fikri dari balik pintu, pendek dan datar. “Aku taruh di gagang pintu. Ambil sendiri.”

Sukma mengerucutkan bibir. Tak ada ketukan. Tak ada usaha mengantar. Tak ada "ups" ala drama romantis.

Setelah memastikan dia sudah pergi, Sukma membuka pintu dan mengambil handuknya. 

Dan saat kembali ke kamar, duduk di atas ranjang, sambil mengeringkan rambut, ia mendesah keras. Lalu menatap cermin. Wajahnya basah, rambut awut-awutan, dan hoodie basah setengah badan.

“Fix,” katanya pada bayangannya sendiri. “Kayaknya Fikri impoten deh.” Lalu dengan jeda, alisnya terangkat. “Atau... jangan-jangan... beneran belok?”

Ia terdiam, lalu meletakkan handuk di atas kepala, mendekap bantal, dan berguling. Chintya... kenapa semua teorimu kayaknya makin masuk akal sekarang?!

Narubi

Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu)

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 50: Percakapan Berat dan Akhir Makan Malam

    Fikri mengikuti Tuan Aldora menuju sebuah ruang privat kecil di sisi restoran, dindingnya berlapis kayu dengan jendela kaca yang memperlihatkan lampu kota di luar. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar terlalu jelas di telinga Fikri, membuat udara di dalam terasa semakin berat.Tuan Aldora berdiri di depan kursi, melepas jasnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, lalu duduk. Tangannya menyatukan jari-jari dengan posisi mengatup, mata tajamnya menatap Fikri yang berdiri kaku.“Silakan duduk, Fikri.” Suaranya berat, lebih terdengar seperti perintah daripada ajakan.Fikri menarik napas panjang sebelum duduk di kursi seberang. “Ada yang ingin bicarakan, tuan?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak keras.Tuan Aldora menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul kembali. “Kamu tentu sudah tahu kenapa aku ingin bicara.”Fikri menatap lurus, diam, menunggu kalimat berikutnya.

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 49: Kencan Ganda

    Meja bundar berlapis kain putih dengan lilin kecil di tengahnya tampak elegan. Namun, suasana di sekitar meja itu justru jauh dari elegan. Sukma duduk kaku di sebelah Fikri, sementara Chintya duduk di hadapan Sukma dengan wajah masih cemberut. Arvan, yang duduk di samping Chintya, justru terlihat paling santai di antara semuanya.“Wah, lihat kita sekarang…” ucap Arvan sambil menatap sekeliling. “Kita mirip kayak… kencan ganda gitu nggak sih?”Kalimat itu langsung membuat tiga pasang mata lainnya memandang ke arahnya. Fikri hanya menghela napas berat, memutar matanya ke arah lain. Sukma yang baru saja mengangkat gelas air mineral, langsung terbatuk kecil karena kaget mendengar pernyataan itu. Sedangkan Chintya tampak siap melempar sendok ke wajah Arvan, kalau saja itu tidak dilarang norma publik.Arvan tampak santai saja, menatap satu per satu mereka dengan senyum jail. “Sayangnya, temen aku yang satu ini—”

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 48: Dia Lagi!

    Chintya meraih tasnya dengan gerakan cepat ketika jam di dinding menunjukkan waktu pulang kantor.“Akhirnya! Aku nggak tahan kalau harus duduk di sini lima menit lagi,” gerutunya sambil berdiri.Sukma yang masih menatap layar komputernya mendesah. “Chin, aku masih ada laporan yang harus—”“Nggak ada tapi-tapian!” Chintya langsung menarik lengan Sukma. “Aku butuh hiburan. Aku harus netralin emosi aku sekarang juga, sebelum berubah jadi monster di depan umum lagi.”Melihat raut wajah sahabatnya yang benar-benar lelah dan kesal, Sukma menyerah. “Oke, oke. Aku ikut, tapi kamu nggak boleh ngomel-ngomel sepanjang jalan.”Chintya menjawab dengan cengiran miring. “Hmm… nggak janji sih.”Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang pulang kerja. Sukma melirik ke arah Chintya yang wajahnya masih memerah karena menahan kesal. Dalam hati, Sukma mengak

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 47: Situasi Lucu

    Arvan bersandar santai di dinding lift eksklusif yang mengantarkannya ke lantai paling atas, tempat ruang kerja CEO berada. Wajahnya terlihat sumringah, bahkan tertawa kecil tanpa bisa ditahan setiap kali mengingat kejadian di divisi keuangan beberapa menit lalu.‘Ekspresi Chintya pas lihat aku tadi priceless banget. Kayak baru lihat hantu di siang bolong,’ batinnya, membuat senyumnya semakin lebar.Asisten pribadinya yang berdiri setia di sisi kanan, memegang tablet berisi agenda kerja, menatap dengan ekspresi bingung.“Pak, ada yang lucu?” tanyanya dengan hati-hati.Arvan berdehem, mencoba menghapus senyum dari wajahnya dan kembali ke mode serius khas dirinya. “Nggak ada apa-apa. Fokus ke jadwal kita, ya. Jangan banyak tanya.”Asisten itu mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Suara denting lift terdengar, pintu terbuka perlahan. Arvan melangkah keluar dengan gaya percaya diri khas anak k

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 46: Cowok Brengsek

    “Siapa yang brengsek?”Suara berat itu terdengar jelas dari belakang. Chintya refleks menoleh dan… hampir oleng begitu melihat sosok yang selama beberapa hari ini memenuhi kepalanya—Arvan—berdiri dengan senyum tipis yang sangat menyebalkan.Untung saja Sukma yang berdiri di sampingnya cepat bereaksi, menopang punggung sahabatnya sebelum tubuhnya benar-benar ambruk.“Astaga, ngapain kamu di sini?!” teriak Chintya spontan, nadanya meninggi seolah sedang berada di arena pertandingan tinju, bukan di ruangan kantor yang sunyi.Seketika ruangan divisi tempat Sukma dan Chintya bekerja mendadak sunyi. Beberapa kepala langsung menoleh dari balik partisi, mencoba mengintip apa yang sedang terjadi. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sudah mulai menyalakan ponselnya, siapa tahu ini bisa jadi bahan gosip terbaru.Arvan, dengan kemeja putih yang licin tanpa setitik pun kerut dan dasi yang melambai halus ketika

  • Pria Tampan di Mimpiku Ternyata Suami Orang    Bab 45: Tampan Tapi Arogan

    “Cieee yang baru pulang abis ketemu jo…” Sukma tidak melanjutkan kalimatnya, wajah Chintya sama sekali tidak siap menerima guyonan itu.Suasana kantor pagi itu terasa berbeda bagi Sukma. Biasanya, Chintya akan masuk dengan wajah penuh senyum sambil menyeruput kopi, lalu sibuk mengoceh tentang drama yang ia tonton atau gosip terbaru di kantor. Namun hari ini berbeda—Chintya masuk dengan wajah cemberut, langsung melempar tas ke atas meja dan duduk di kursinya dengan kasar.Sukma yang awalnya sudah bersiap menyambut dengan senyum jahil, berniat menggoda soal perjodohan, langsung mengurungkan niatnya. Ia memiringkan kepala, bingung melihat ekspresi sahabatnya itu.“Eh, kamu kenapa? Kok kayak mau makan orang?” tanya Sukma sambil menatapnya lekat-lekat.Chintya tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya memelototi Sukma sebentar lalu memeluk Sukma erat-erat.“Hah? Apaan sih, tumben banget pagi-pagi udah mellow gini.” Sukma yang bingung hanya bisa menepuk-nepuk bahu Chintya pelan. Dalam hati, ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status