"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Ansley kepada Clare.
"Aku mau ke kantin, perutku lapar."
Ansley tersenyum lagi. "Aku bawakan makanan dan minuman untukmu," ia menunjukan sebuah kantong palstik yang berisi paper bag dan minuman cup rasa cokelat, "Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, makanan ini bukan aku yang membelinya."
Clare terkejut. "Kalau bukan kau lalu siapa?"
"Ketua," jawab Ansley sambil tersenyum lebar, "Dia menemuiku tadi dan menyuruhku untuk memberikan ini kepadamu. Sepertinya dia menyukaimu, Clare."
Clare menatap ragu. "Dari mana dia tahu kau mengenaliku?"
"Aku yang mengatakannya. Sebenarnya dia ingin memberikan ini secara langsung padamu, tapi takut kau akan menolaknya," ia memberikan bungkusan itu kepada Clare, "Makanlah. Kau sudah lapar, kan?"
"Tidak, aku tidak mau."
Ansley terkejut. "Kenapa?"
"Jika aku menerima makanan ini itu artinya aku memberikan lampu hijau kepadanya. Aku tidak mau memberikannya harapan, Ansley. Itu berlaku bukan hanya padanya, tapi berlaku untuk semua pria di universitas ini."
"Clare," rengek Ansley, "Ini hanya bentuk terima kasih karena kau mau menjalani hukumannya tanpa banyak bicara. Jangan berpikir macam-macam, terimalah."
"Kalau begitu kenapa kau berpikir dia menyukaiku?"
Ansley tersenyum. "Aku sudah mengenalnya, Clare. Kami bersahabat dan aku sangat tahu Reagan seperti apa. Ini pertama kalinya dia memberikan penghargaan bagi mahasiswi baru di universitas ini. Jadi kumohon terima dan makanlah kalau tidak dia akan marah padaku."
"Tidak, Ansley. Sebaiknya kau saja yang makan dan bilang bahwa aku sudah memakannya."
Wanita itu tertawa. "Kau gila, ya. Dia itu punya banyak mata-mata di sini. Kumohon, Clare. Sekali saja, aku janji. Berikut kalau ada lagi yang akan dia perintahkan dan menyangkut denganmu aku akan langsung menolaknya."
Clare diam cukup lama. "Baiklah. Jika saja kau bukan temanku, aku tidak akan mau menerima pemberian ini."
Ansley tersenyum lebar. "Sungguh?"
"Iya."
"Kalau begitu, ayo, aku akan menemanimu makan siang."
Mereka pun meninggalkan toilet dan mencari tempat yang cocok untuk makan. Karena di kampus itu ada taman yang disediakan untuk mereka bersantai, Ansley mengajak Clare ke sana dan mereka sama-sama menikmati makan siang.
"Bisa aku tahu alasan kenapa kau tidak mau memberi harapan kepadanya? Dia itu pria paling populer di universitas ini, Clare. Selain tampan, dia juga sangat pintar. Banyak wanita yang ingin mendekatinya, tapi tidak ada satupun yang berhasil mencuri hatinya. Dan sekarang tanpa berbuat apa-apa kau sudah berhasil membuatnya jatuh cinta."
Clare hanya sibuk mengunyah. Aktivitas tadi pagi membuat perutnya kosong dan dengan lahap menghabiskan dua burger yang diberikan Ansley tadi. Setelah menelan sisa makanan di mulut dan menghabiskan minumannya ia membersihkan mulut lalu menatap temannya. "Aku sudah dijodohkan, Ans."
Zet!
Wanita itu terkejut. "Kau sudah dijodohkan?"
"Benar, itu sebabnya aku tidak mau memberi harapan kepada orang lain. Aku akui Reagan memang sangat tampan dan perempuan mana yang tidak akan jatuh cinta melihat ketampanannya. Tapi aku minta maaf, Ans. Aku tidak bisa menerimanya meskipun aku juga tertarik padanya."
Ansley cukup syok mendengar perkataan Clare. Tapi karena tahu bahwa wanita itu sangat keras kepala dan tidak akan menang melawannya, ia tidak akan memaksakan sahabatnya itu untuk membalas perasaan Reagan.
"Pasti dia akan kecewa," katanya pelan.
Clare hanya tersenyum dan melanjutkan makannya.
***
Di sebuah apartemen mewah dan mahal sosok Reagan sedang berbaring di kamar dengan ekspresi bahagia. Bayang-bayang wajah cantik Clare kini tampak dalam benaknya.
"Dia menerima burger dariku, apa itu artinya dia menerima cintaku?"
Drtt... Drtt..
Bunyi getaran ponsel membuat Reagan terkejut. Dengan cepat ia menoleh dan menatap benda yang ada di sampingnya. Dilihatnya nama sang ayah sebagai pemanggil.
"Halo, Dad?"
"Kau sibuk?"
Reagan bangkit dari ranjang lalu berjalan menuju balkon. "Tidak. Ada apa, Dad?"
"Kau masih ingatkan perempuan yang daddy ceritakan padamu?"
Ekspresi Reagan berubah malas. "Iya, aku ingat. Perempuan yang daddy jodohkan denganku, kan?"
Terdengar keras tawa sang ayah dari balik telepon. "Bagus kalau kau masih ingat. Nanti kalau ada kesempatan daddy akan mengatur jadwal untuk pertemuan kalian."
"Dad, bisakah kau peduli sedikit dengan perasaanku? Apa dulu daddy dan mommy menikah karena dijodohkan? Tidak, kan?"
"Jangan membantah, Reagan. Ini semua demi masa depanmu. Apa kau lupa kalau kau sudah menyutujui perjodohan ini, hah? Daddy harap kau tidak akan mempermalukan daddy begitu pertemuan itu akan terjadi."
Tut! Tut!
Sang ayah memutuskan panggilan. Hal itu membuat Reagan kesal. Ia mengendus kemudian membanting ponselnya hingga pecah.
Brak!
"Kenapa orang tua selalu egois? Kenapa mereka selalu mengatakan itu semua demi masa depanku padahal mereka tidak pernah memikirkan perasaanku?" Reagan kembali ke atas ranjang, "Aku tidak mau menikah dengan gadis itu. Aku tidak mau menikah dengannya, aku hanya ingin menikah dengan Agatha."
Tanpa berpikir panjang, Reagan akhirnya menyesal karena ponselnya pecah. Ia ingin mengeluh kepada sang ibu dan kakak perempuannya, tapi tidak ada lagi alat komunikasi untuk menyambungkan mereka. Merasa uang tabungannya cukup, ia segera beranjak dan keluar dari kamar.
Brak!
Reagan membanting pintu dan meninggalkan apartemen.
Sang supir yang selalu standbye pun segera mengejarnya.
"Kita ke toko celular, aku ingin membeli ponsel," titah Reagan begitu masuk ke dalam lift.
Sang supir sekaligus pengawalnya pun segera menunduk paham. Dan begitu pintu lift terbuka mereka sedikit berlari saat menuju ke parkiran.
Sang supir pun segera menyalakan mesin mobil dan membawa Reagan menuju tempat tujuannya.
"Aku harus minta tolong mommy atau Milly. Aku tidak mau menikah dengan gadis pilihan daddy."
Mereka pun tiba di pusat perbelanjaan di pusat kota. Karena tujuannya ke sana hanya untuk mengganti ponselnya yang rusak, Reagan segera masuk dan mencari benda yang lebih bagus dari sebelumnya. Tanpa banyak pilih Reagan langsung menyebutkan tipe dan warna yang ia sukai kepada penjaga konter. "Aku mau yang ini."
"Baik, ada lagi?"
"Tidak, itu saja."
"Totalnya seribu dolar."
Dengan cepat Reagan mengeluarkan dompet dari saku celana jins dan memberikan kartu hitam kepada sang petugas.
Si wanita yang merupakan petugas di bagian kasir itu pun segera meraih kartu itu dari tangan Reagan dan menggeseknya.
Zet!
"Maaf, Tuan, kartunya tidak bisa digunakan."
Mata Reagan melotot. "Apa? Kenapa bisa? Saldo di situ masih ada puluhan ribu dolar, Nona."
Wanita itu tak ingin membantah. Ia kembali menggesek kartu itu ke mesin yang sudah disediakan dan hasilnya masih sama. "Maaf, tapi sudah dua kali hasilnya masih sama. Sepertinya kartu Anda tidak bisa digunakan, Tuan."
"Tidak bisa digunakan? Kau pasti salah, tadi pagi kartu itu masih bisa digunakan."
"Maaf, Tuan, tapi itulah yang terjadi. Kartu Anda sudah tidak bisa digunakan."
Dengan emosi meluap-luap Reagan menatap sang supir, "Hubungi daddy, pasti daddy yang telah memblokir kartuku."
Sang supir menurut. Dengan cepat ia meraih benda dari saku jas kemudian menghubungi sang atasan. "Halo, Bos?"
"Ada apa, Willy?"
Pria itu melirik Reagan. "Tuan muda ingin bicara, Bos."
Reagan segera merampas ponselnya. "Dad! Kenapa kau memblokir kartu-ku? Aku sekarang ada di konter, tapi kartuku tidak bisa digunakan. Kau membuatku malu, Dad."
"Oh, ternyata kau punya rasa malu? Baguslah kalau begitu."
"Dad, kumohon__"
"Coba seandainya kau di posisi daddy," sergah sang ayah dari balik telepon, "Kau sudah menjodohkan anakmu dengan anak temannya, tapi anakmu tidak mau. Apa kau tidak merasa malu?"
Reagan hanya diam.
"Jadi kalau memang kau tidak mau dijodohkan, daddy tidak akan memaksa lagi. Tapi jangan harap kau bisa mendapatkan fasilitasi dari daddy."
"Dad!"
"Kenapa? Mau menghancurkan apalagi kau di tempat itu? Daddy tidak akan menggantinya jika kau merusak ponsel Willy."
Reagan tampak berpikir. Setelah apa yang ia putuskan akhirnya ia menjawab perkataan sang ayah. "Baiklah. Jika hanya dengan perjodohan itu Daddy bisa bahagia, aku akan menurut. Aku mau dijodohkan, tapi belum sekarang. Aku ingin bertemu dengannya setelah kuliahku selesai."
"Kau yakin tidak ingin bertemu dengannya sekarang?"
Reagan tersenyum licik. "Aku ingin bertemu dengannya, tapi setelah aku menjabat menjadi CEO. Bukankah kata Daddy aku harus mapan dulu baru menikah?"
"Kau sudah dijodohkan. Bertemu atau tidak pun kau tetap akan menjadi CEO, bukan?"
"Tapi aku ingin dia mengenal Reagan Harvest saat diriku sudah mapan, Dad."
"Baiklah, itu semua terserah padamu. Asalkan tidak akan ada lagi perbantahan atau penolakan ketika pertemuan itu terjadi."
"Daddy tenang saja, itu tidak akan terjadi."
"Bagus. Kalau begitu mana Willy, daddy ingin bicara."
Reagan memberikan ponselnya. "Daddy mau bicara."
"Halo, Bos?"
"Aku akan mentransfer uang di rekeningmu untuk Reagan. Berapa total yang harus dia bayar?"
"Seribu dolar, Bos."
"Baik. Aku akan segera mengirimnya dan bilang kepadanya, besok aku akan segera memproses kartunya."
"Baik, Bos."
Tut! Tut!
Willy menjauhkan ponselnya dari telinga. "Tuan besar akan mengirim uang untuk Anda, Tuan. Dan katanya nanti besok tuan besar akan memperbaiki kartu Anda."
Reagan tersenyum licik. "Kita lihat saja, Dad. Siapa di antara kita yang lebih pintar."
Bersambung___
Ting! Bunyi notifikasi dari ponsel Willy mengejutkan Reagan. Dengan cepat ia menoleh dan menatap pria itu. Willy yang juga sadar akan segera melihat ponselnya lalu berkata, "Uangnya sudah masuk, Tuan." "Bagus, mana kartumu?" Dengan sigap Willy meraih dompet dari saku celana kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dan memberikannya kepada Reagan. "Ini, Tuan."
Reagan mengendus. "Aku tidak peduli, Milly. Suka atau tidak suka yang pasti aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok denganku." "Reagan, kau mabuk cinta. Bisa saja sekarang kau merasa bahwa dia yang terbaik, tapi bisa jadi nanti kau akan merasa bosan dan menyesal karena sudah mencintainya." Reagan diam sesaat, apa yang dikatakan kakaknya benar. Saat ini ia hanya sedang mabuk, mabuk cinta terhadap gadis bernama Agatha. "Lalu menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Reagan pelan.
Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku." Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian. Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru. Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?" "Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi." Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya." Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare. "Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang mel
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."
"Kalau diskors mungkin aku percaya, tapi kalau sampai dikeluarkan aku rasa itu tidak mungkin."Ansley menelan habis isi gelasnya sebagai alasan untuk memikirkan apa yang tepat untuk jawaban dari perkataannya sendiri. Tidak mungkin jika dia harus mengakui bahwa ayah Clare-lah pemilik kampus itu. Apalagi Clare sendiri telah melarangnya untuk tidak membongkar informasi tersebut kepada siapapun.Setelah isi gelasnya habis Ansley membersihkan mulutnya dengan tisu lalu berkata, "Kan kau tahu sendiri Reagan adalah anak dari salah satu investor terbesar di kampus ini. Sekali saja keluhan yang dikatakan Reagan rektor pasti akan segera bertindak. Apalagi kesalahan yang dilakukan Chloe bukan hal biasa, tapi dia telah mengunci gadis yang disukai Reagan.""Kau benar, berarti sebentar lagi perang akan segera dimulai.""Perang, maksudmu?"Luke menatap Ansley. "Chloe sangat mencintai Reagan dan dia tidak akan pernah mengijinkan satu pun gadis di kampus ini yang bo
"Memangnya kenapa? Dia hanya mahasiswi biasa yang masih baru di kampus ini, Ans," kata Chloe dengan nada meremehkan. Luke dan Reagan hanya menggeleng kepala melihat sikap Chloe yang begitu sombong. "Dia memang mahasiswi baru di kampus ini, tapi kau sendiri yang melihat bagaimana emosi rektor saat tahu kau menguncinya di dalam toilet?" "Apa jangan-jangan dia juga anak salah satu investor di kampus ini?" tanya Luke, "Investor kampus ini kan banyak." Reagan terkejut dan menatap Ansley. "Apa itu benar?" Gadis itu menelan ludah. Seandainya Clare tidak memperingatkannya mungkin saat ini dengan bangga ia akan membuka latar belakang Clare yang sebenarnya kepada mereka agar Chloe tidak meremehkannya lagi. Tapi karena sahabatnya itu sudah memperingatkannya Ansley pun terpaksa memendam informasi itu sampai batas kemampuannya. "Aku tidak tahu, sumpah. Tapi coba kalian pikir secara logika, mana mungkin kalau dia hanya orang biasa rektor akan marah-