“Aku akan buat malam ini tak terlupakan.”
Kalimat itu menjadi pembuka kegiatan panas antara Risa dan Jaya. Kecupan yang kini berubah menjadi ciuman penuh nafsu membuat suhu di tenda milik Risa yang sebelumnya begitu dingin itu kini berubah panas. Pakaian mereka telah tanggal, menyisakan kulit satu sama lain yang kini tengah menyentuh tanpa sekat.Risa mengerang saat nafsunya sudah tinggi, menambah hasrat lelaki Jaya kian menggebu. “Aku tidak punya pengaman. Kau masih bisa berubah pikiran—”
“Lakukan, Jaya. Aku tidak berubah pikiran,” ujar Risa mengalungkan kedua tangan ke leher Jaya. Sebelum pria itu berhasil mengambil sesuatu yang telah lama dia jaga, Risa menengadah dan membatin.
‘Maafkan aku, Tuhan. Aku bersumpah akan bertanggung jawab atas perbuatanku malam ini.’
Dan, penyatuan dua tubuh itu pun terjadi. Dosa besar yang sedang dilakukannya ini benar-benar menyenangkan. Deru napas Jaya membuatnya terbuai, pun setiap kali pria itu memeluknya erat dengan pergerakan yang konstan, membuat Risa nyaris saja berteriak kalau saja dia tidak meredam dengan menggigit punggung tangannya sendiri.
Malam itu, Risa merasakan surga yang belum pernah dirasakannya selama ini. Bersama pria bermata kelam bernama Jaya, dia menemukan salah satu cara yang membuat kematiannya tidak menyedihkan.
“Sepertinya aku bisa mati dengan damai setelah ini.” Jaya mengempas tubuhnya ke samping Risa usai keduanya sama-sama telah mendapatkan pelepasan. “Kau tahu, sebenarnya hidupku tidak akan lama lagi.”
Risa tidak begitu mengerti apa maksud Jaya, tetapi dia bisa menebak jika ada hal buruk di dalam perkataan pria itu dan sekarang membuatnya cukup merasa sedih. Dia dipertemukan dengan seseorang yang juga tidak akan berumur panjang.
Ini benar-benar takdir. Risa pikir Tuhan mengirimnya ke Kanada memang untuk menjalani sisa hidupnya penuh dengan kebahagiaan dengan Jaya, termasuk bercinta dengan pria itu. Semua ini adalah kehendak Tuhan. Namun, karena rasa kantuk lebih kuat menggelayuti, membuat Risa tak sempat menyahuti kalimat Jaya malam tadi.
Setelah bermalam di tenda yang sama, Jaya dan Risa berlanjut menikmati beberapa fasilitas lainnya, seperti menaiki kereta anjing mengelilingi desa yang terselimuti salju, lalu berseluncur dari perbukitan bersama-sama.
“Apa kau bahagia?” tanya Risa usai melihat Jaya tersenyum begitu lebar, meski pria itu baru saja terjerembab dalam timbunan salju yang dalam.
“Kau satu-satunya wanita yang membuatku bahagia seperti ini.”
Mata Risa memicing. Kalimat yang keluar dari bibir Jaya terdengar begitu manis. “Sudah berapa wanita yang kau temui selama ini?”
Dia tidak akan kecewa jika dirinya bukan wanita pertama untuk Jaya. Dia hanya penasaran.
“Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tapi kalau kau mau dengar pengakuanku, kau adalah wanita pertama yang mau kuajak bercinta.” Jaya tertawa setelahnya. Dia tahu pengakuannya ini akan membuat Risa menilainya sebagai lelaki yang haus akan seks, tapi itu bukan masalah besar.
“Kalau begitu, aku wanita murahan yang menerima ajakanmu.” Risa membalas penuh tawa.
Jaya menggeleng. “Sepertinya tidak begitu. Aku ingat semalam kau berteriak kesakitan meski berusaha menikmatinya.” Jaya kemudian menundukkan wajahnya dan berbisik, “Kata orang, perempuan yang belum pernah berhubungan seksual tidak akan pernah menikmati pengalaman pertama.”
Risa tertawa mendengarnya. “Agaknya memang benar. Aku tidak menikmati pengalaman pertamaku karena rasanya sangat menyakitkan.” Wajahnya kemudian memerah karena kembali teringat peraduan mereka tadi malam.
“Kalau begitu, aku akan buat kau menikmati kegiatan kita selanjutnya.” Jaya tiba-tiba menarik pinggang
Risa, lalu mencium bibirnya di tengah hutan bersalju. Saling berbagi kehangatan di antara pohon-pohon berdaun putih, mengukir kenangan manis yang akan dibawa sampai mati.
Sejak saat itu, keduanya selalu bersama seolah tiada hari esok. Mereka bermalam di satu tenda, menghabiskan malam panas yang membuat Risa menemukan seperti apa rasa indah bercinta. Dia bersumpah tidak akan menyesal jika tiba-tiba mati besok pagi.
Dua minggu berada di Kanada bagai satu malam untuk mereka berdua. Semua hal-hal manis dan menyenangkan yang mereka lakukan bagai tanda bahwa mereka bahagia dengan pertemuan itu. Namun, keduanya sepakat untuk tidak membawa harapan jauh lebih dalam.
Bahkan ketika Jaya berpamitan untuk pulang lebih dulu pun, Risa tidak bersedih atau menahannya. Gadis itu sadar hubungan mereka cukup sampai di situ, tidak ada yang namanya kemajuan dan lainnya. Lagipula, dia juga tidak akan hidup lama.
“Sebenarnya aku punya sesuatu untuk dikatakan, Jay.” Risa menghentikan langkah dan itu membuat Jaya melakukan hal yang sama. Sekarang pria itu memandangnya. “Hidupku juga tidak akan lama lagi.”
“Apa?” Jaya mengernyit, tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya. “Jangan bercanda, Ris.”
“Sumpah. Dokter mendiagnosis kanker padaku. Apa kau tidak merasakan ada benjolan di payudaraku saat menyentuhnya?”
Jaya menutup mulut menggunakan tangan, tak percaya jika gadis yang ditemuinya pun mempunyai kondisi yang sama. “Apa mungkin Tuhan mempertemukan kita agar bersatu di surga nanti?”
Risa terbahak-bahak mendengar perkataan Jaya yang dikiranya bakal menunjukkan rasa sedih atau iba dan lain-lain. Namun, rupanya pria itu lebih pandai membuat suasana menjadi lebih baik.
“Kau mau menungguku di surga?” Risa menanggapi candaan Jaya dan pria itu mengangguk. “Kalau begitu, jangan bertemu dengan wanita lain sebelum aku datang menyusulmu.”
“Jangan lama-lama karena aku bukan tipe orang yang suka menunggu!”
“Mama! cepat! Nanti ketinggalan pesawat!”Nathan melambai-lampai pada Risa yang sedang mengunci pintu pagar. Hari ini sampai dua minggu kedepan, rumah itu akan kosong karena mereka akan pergi ke Prancis, sementara Lastri memilih untuk cuti dan pulang sekalipun Risa sudah memintanya untuk ikut ke City of Love tersebut.Selain libur panjang kenaikan kelas, perjalanan Nathan serta ayah dan ibunya ke Prancis bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga menghadiri pernikahan Margareth yang telah hamil dua bulan ini.Risa masuk ke mobil dan menatap sang anak melalui spion di atasnya. “Pesawat tidak akan meninggalkan kita, Sayang. Masih ada satu jam untukmu berlarian di bandara.”“Nathan boleh bermain di sana, Ma?”“Tentu saja tidak,” sahut pria yang baru saja menginjak pedal gas itu. Danu terkekeh mendengar dengkusan Nathan. “Nathan suka bisa bertemu Tante Margareth?”“Ehm! Nathan suka sekali! Nathan juga ingin bertemu adik kecil!”Risa tertawa kecil lalu menoleh ke belakang. “Belum bisa, Nath.
Beberapa minggu berlalu, hari kelahiran Nathan tiba dan pesta ulang tahun ke tujuh dimeriahkan dengan tamu-tamu undangan teman sekelas dan juga teman masa TK-nya. Meski hanya berupa pesta kecil-kecilan, anak laki-laki itu benar-benar bahagia mendapat banyak hadiah, terutama dari ayah dan ibunya yang berupa robot-robotan kesukaannya. Selain robot-robotan, Nathan juga mendapat sepatu, bola kaki, juga beberapa benda lain yang bisa dipajang di dalam kamar. Ini adalah kali pertama Risa merayakan ulang tahun sang anak. Bukan karena tidak mampu, tetapi merayakan hari kelahiran Nathan saat anak itu masih berusia di bawah lima tahun menurutnya sia-sia. Nathan bisa lupa kapan saja, berbeda dengan sekarang yang sudah bisa mengingat banyak hal, termasuk pesta ulang tahun pertama di usia tujuh tahun. Orang-orang mungkin menganggap Risa perhitungan, tetapi wanita itu memang memperhitungkan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Sekitar pukul delapan malam Danu baru pulang ke rumah karena siang ta
Sudah hampir satu minggu ini Risa berada di rumah setelah mengajukan surat pengunduran diri. Selain hanya bersantai di rumah, wanita itu kini bisa mengantar jemput Nathan menggunakan mobil yang Danu beli khusus untuknya dan karena tidak bisa menyetir, mereka kini punya sopir pribadi yang tempat tinggalnya dekat dengan komplek perumahan.Untuk mengisi hari-harinya yang panjang, Risa juga banyak membuat kue atau pergi ke spa dan salon untuk memanjakan diri. Setelah mendapat perhatian penuh dari Danu, sekarang wanita itu merasa telah menjadi ratu. Seorang ratu yang melewati banyak rintangan untuk bisa duduk di takhta.“Hari ini kau akan kemana?”Risa menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan Danu yang sedang memakai baju. “Aku pergi ke perkumpulan wali murid siang ini,” jawabnya sambil beranjak mendekat. “Mereka baru mengundangku ke grup setelah hampir tiga bulan Nathan masuk sekolah dasar.”Danu yang hendak memakai dasi, kembali urung dan membiarkan sang istri yang melakukannya. “Kau
“Nathan mau juga!”Anak laki-laki itu berlari ke arah ayah dan ibunya, lalu mencium pipi keduanya dan tersenyum lebar setelahnya. Sementara Danu dan Risa hanya tersenyum sambil membalas tatapan satu sama lain, merasakan debaran membuncah yang tidak bisa disembunyikan.Setelah menikmati pemandangan malam yang indah di Monumen Nasional, mereka bertiga memutuskan untuk pulang sekitar pukul sembilan. Apalagi Nathan sudah kelihatan tidak berdaya saat berada dalam gendongan Danu meski anak itu kini menjadi lebih tinggi dari pertama mereka bertemu.Dulu saat Danu datang, Nathan masih di bawah pinggulnya, tetapi sekarang anak itu sudah mencapai pinggang dan terus tumbuh hari demi hari. Hal itu membuat Danu sadar jika waktu yang mereka lalui bersama sudah terbilang lama, tidak lagi hanya seperti kemarin.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Danu menggendong Nathan dan menidukannya di kamar, sementara Risa membawa beberapa jenis makanan ringan yang tidak disentuh, lalu meletak
Nathan heran sekali melihat sang ibu beberapa hari ini terlalu banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika anak itu mendekat masuk dan berbicara pun, tanggapan yang dia terima tidak begitu memuaskan sampai-sampai menimbulkan pertanyaan, apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Tidak hanya sang ibu, ayahnya pun terlihat tidak semangat setiap hendak pergi bekerja, atau ketika pria itu pulang dari kantor. Bertanya kepada Lastri pun tidak cukup membuat Nathan tenang dan mengerti.“Tidak ada apa-apa. Papa dan mama Nathan cuma kelelahan karena sibuk bekerja. Jadi, jangan terlalu khawatir ya, Sayang?”Nathan mengangguk lesu mendengar jawaban Lastri yang selalu sama sejak tiga hari lalu. “Pasti Nathan jajannya kebanyakan sampai mama dan papa kecapekan begitu.”Lastri hanya tersenyum sambil mengelus kepala Nathan, lalu membawa anak itu ke kamar untuk menemaninya belajar sampai selesai. Sama seperti Nathan, Lastri juga merasa iba kepada Risa yang kehilangan anak sebelum tahu jika ada ja
Risa keluar dari kamar sambil mengikat rambut. Wanita itu sudah terlihat siap untuk pergi ke kantor meski sejak pagi dia merasa tidak nyaman pada perut hingga punggung. Rasanya nyeri dan itu sudah sering dirasakan setiap satu hingga dua bulan sekali.Setelah lebih dari dua bulan tidak datang bulan, Risa pikir dia berhasil hamil, tetapi pagi tadi ada bercak merah di celana dalamnya dan itu tanda bahwa tamu bulannya datang, serta harapan bisa hamil tentu masih belum tercapai.Duduk di sebelah Nathan, Risa mengecup kening anak laki-laki itu seperti biasa. “Kamu yakin sudah memasukkan semua buku yang harus dibawa hari ini?”“Sudah, Ma. Nathan sudah memeriksanya dua kali!” balas anak itu dengan nada tinggi, agak kesal karena sang ibu terus menerus bertanya hal yang sama setiap pagi.“Bagus. Kamu sudah besar sekarang, jadi mama tidak akan membantumu melakukan tugas harianmu. Mengerti?“Iya ….”“Omong-omong, apa kau merasa kurang sehat?”Risa mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di d
Derit ranjang berbunyi memenuhi kamar, bersahutan dengan desah serta erangan dari dua insan yang tengah memuaskan hasrat satu sama lain di siang bolong seperti ini saat sinar matahari bisa dengan mudah menerangi ruangan dari jendela yang terbuka.Ini terjadi begitu saja setelah tiba di rumah. Perasaan emosional yang Risa rasakan membuat Danu sedikit lebih perhatian dan berakhir pada pergulatan panas di ranjang yang membuat sprei berantakan, juga pakaian berserakan di lantai.Embun keringat muncul di punggung Danu yang terus bergerak mengeluar masukkan miliknya pada kewanitaan Risa yang telanjang bulat, sementara lidahnya tak berhenti memberi rangsangan pada payudara istrinya yang terus meracau tak jelas.“Aku bilang pada Laras kalau kau sangat perhatian padaku,” ucap Risa di tengah-tengah perasaan membuncah, “dan itu membuatnya sangat marah.”Danu tak merespon meski sempat terganggu karena tiba-tiba Risa membawa nama Laras saat mereka sedang bercinta. “Jangan bicara lagi. Aku tak mau
“Apa yang kau lakukan dengan duduk seperti orang bodoh di mobilnya?” Danu bertanya dengan perasaan yang masih kesal meski sudah hampir setengah jam Risa duduk di sebelahnya.“Dia hanya meminta maaf,” ujar Risa ketus.“Minta maaf untuk apa?” Danu mengernyitkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari jalur mobil di depan.“Kakiku.”Danu menoleh ke kiri dan menepikan mobilnya. “Dia yang menyebabkan semua ini?”“Ya, tapi tidak perlu cemas. Aku sudah membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan hatinya.” Risa tertawa kecil setelahnya dan meminta Danu untuk melanjutkan perjalanan meski ucapannya membuat pria itu penasaran.Danu sama sekali tidak percaya jika Laras tega melakukan hal buruk itu karena dirinya memutuskan untuk pergi dan datang kepada Risa demi Nathan. Jika dipikir-pikir kembali, dia sadar betul semua ini terjadi karena dirinya yang membuat Laras sakit hati, sementara Risa yang menerima akibatnya.“Aku minta maaf. Semua ini karena diriku,” ucap pria itu kemudian.“Semua su
Hari ketiga setelah Nathan libur panjang, Margareth tiba-tiba muncul di bandara dan meminta Risa menjemputnya. Wanita itu memakai celana panjang dan blus simpel warna biru muda, sementara rambutnya dibiarkan tergerai saat menemui sahabatnya yang datang tanpa kabar.“Aku ambil cuti tahunan dan dapat jatah dua minggu. Lumayan, bukan?” Margareth menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.“Kalau begitu, selamat!” Risa membalas dengan senang. “Tapi, kenapa kau malah ke Indonesia, bukannya ke tempat lain yang belum pernah kau datangi?”“Loh, Nathan tidak bilang?” Margareth tampak heran, sementara Risa kebingungan. “Aku mau berlibur ke Lombok bersama Nathan selama satu minggu!”“Apa?” Risa melotot dan membuat orang-orang terperanjat mendengar suaranya yang lantang. “Kapan? Dia tidak bilang apa pun padaku!”“Besok pagi kami berangkat.”Risa berkacak pinggang setelah itu san menghela napas panjang. Menurutnya, Nathan mulai menjadi lebih dewasa hari demi hari. Anak itu bahkan sering