“Ini sel kanker. Meski ukurannya masih kecil, kami menyarankan untuk melakukan operasi,” kata dokter bernama Margareth itu. Dia menunjukkan foto rontgen pada Risa dan melingkari benjolan yang dimaksud.
Risa tertunduk lesu di hadapan Margareth yang sedang membacakan hasil pemeriksaan Kesehatan rutin para karyawan. “Aku harus bagaimana?”
Risa tahu, biaya operasi di sini sangat mahal. Belum lagi, tidak ada jaminan jika setelah dioperasi sel kanker tersebut akan benar-benar menghilang. Hari itu, meski Margareth yang juga merupakan teman sekelas di SMA itu menyuruhnya melakukan operasi pengangkatan, Risa justru punya keputusan yang berbeda.
Toh, kematian sedang mengintainya. Mumpung dia masih belum ada keluhan dan sel kanker itu belum menggerogoti tubuhnya, Risa berpikir untuk menikmati hidup sebebas yang dia bisa. Untuk itu, di sinilah dia sekarang … di Kota Yellowkinfe untuk menyaksikan salah satu keindahan Tuhan, yakni aurora.
Risa menatap tenda-tenda lain di sekitarnya. Agaknya, hanya dia yang datang sendirian ke sini, sementara yang lain datang berpasang-pasangan. Dia mengembuskan napasnya panjang. “Mereka pasti akan ajak orang terkasih untuk melihat keindahan dunia ini,” keluhnya sambil menyesap minuman hangat.
“Apa kau juga datang sendiri?”
Tiba-tiba, suara seorang pria mengejutkan Risa, membuat wanita itu memutar tubuh menatap sosok tersebut yang wajahnya masih tertutup oleh syal. “Apa kau orang Indonesia?”
Pria tersebut tersenyum, langkahnya semakin mendekat ke arah Risa. “Sepertinya ini takdir.” Pria tersebut menunjukkan sebotol wine yang dia bawa. “Apa kau punya gelas kosong?”
Risa tersenyum, lalu menggeser duduknya. “Duduklah. Aku punya gelas kosong, juga tempat kosong. Jika kau tidak keberatan?”
Tersenyum, pria itu lantas mengambil tempat di samping Risa dan menerima uluran gelas kosong dari wanita tersebut. Saat pria itu ingin menyesap minuman beralkoholnya, mendadak Risa terpana menatap wajah pria tersebut. Hidungnya yang mancung itu memerah karena suhu yang begitu rendah di atas sini. Kulit putihnya pun kian memucat. Pria itu pasti sangat kedinginan.
“Mau?” Pria tersebut menawarkan botol wine ke arah Risa. “Alkohol ini akan lebih cepat menghangatkan tubuhmu,” ujarnya lebih lanjut.
Sejenak, Risa terdiam. Selama ini, dia tidak pernah meminum wine atau alcohol lain. Ditambah lagi dengan penyakit yang sekarang dia derita. Namun, keraguan itu pupus saat dia mengingat tujuan utamanya ke sini, yakni menikmati hidup sebebas dan sebahagianya.
“Terima kasih.”
Keduanya melakukan cheers. Risa menyesap cairan merah itu perlahan.
“Namaku Jaya.” Pria itu mengulurkan tangannya ke depan Risa.
“Risa.” Wanita itu menyambut uluran tangan Jaya dengan senyum di bibir.
Saat Risa tengah menikmati pemandangan yang tersaji indah di langit, juga merasakan suhu tubuhnya mulai menghangat karena minuman di tangannya, Jaya menatap Risa secara lekat-lekat.
“Jadi, kau juga orang Indonesia?”
Risa mengangguk. “Tiga tahun ini aku tinggal di Perancis karena urusan pekerjaan.” Risa menjelaskan dengan singkat. Baginya, tidak perlu membagi urusan pribadi pada pria asing yang baru ditemuinya sekali ini.
“Lalu, kau ke sini hanya untuk melihat aurora?” tanya Jaya lagi.
Risa mengedikkan bahunya, menoleh ke Jaya sepersekian detik sebelum kembali memandang langit. “Sesuatu terjadi padaku, dan membawaku ke sini.”
Jaya mengangguk-angguk mengerti meski tidak tahu apa yang terjadi hingga membuat perempuan itu datang ke tempat jauh ini. Akan tetapi, pertemuannya ini tentu bukan hanya sekadar kebetulan, melainkan pertemuan yang sudah tertulis dalam garis takdirnya yang sebentar.
“Lalu, kenapa kudengar tadi kau mengeluh?”
Risa berdecak saat mendengar pertanyaan Jaya. Matanya kemudian menatap ke arah tenda di sekitar, membuat Jaya mau tak mau juga mengikuti arah pandang gadis itu. “Pemandangan yang indah, suhu dingin, dan pasangan.” Risa menoleh ke arah Jaya. “Bukankah itu perpaduan sempurna?”
Jaya terkekeh. Pria itu kemudian menaruh gelas dan botol winenya. “Jadi, kau berniat ingin mencoba perpaduan itu?”
Risa diam usai mendengar pertanyaan Jaya. Meski belum pernah berhubungan lebih jauh dengan pria, tetapi gadis itu jelas tahu ke mana arah Jaya berbicara. Lagi, tujuannya ke sini memang untuk bersenang-senang, tetapi … apakah bersenang-senang dengan pria yang bukan suaminya dan dilarang oleh Tuhannya, tidak akan membuat Risa makin terjerumus dalam kubangan dosa?
Namun, sedalam apa pun Risa berpikir, ego dan motivasinya untuk menciptakan kenangan manis nan indah sebelum kematiannya datang lebih menguasai. Mengikuti Jaya, gadis itu pun menatap Jaya dengan pandangan sayunya. “Semua tergantung padamu. Kau bisa membuatku senang seperti apa?”
Jaya terkekeh. Meski menggunakan kata yang lugu, pria itu jelas bisa menangkap maksud Risa. “Aku akan buat malam ini tak terlupakan.”
“Mama! cepat! Nanti ketinggalan pesawat!”Nathan melambai-lampai pada Risa yang sedang mengunci pintu pagar. Hari ini sampai dua minggu kedepan, rumah itu akan kosong karena mereka akan pergi ke Prancis, sementara Lastri memilih untuk cuti dan pulang sekalipun Risa sudah memintanya untuk ikut ke City of Love tersebut.Selain libur panjang kenaikan kelas, perjalanan Nathan serta ayah dan ibunya ke Prancis bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga menghadiri pernikahan Margareth yang telah hamil dua bulan ini.Risa masuk ke mobil dan menatap sang anak melalui spion di atasnya. “Pesawat tidak akan meninggalkan kita, Sayang. Masih ada satu jam untukmu berlarian di bandara.”“Nathan boleh bermain di sana, Ma?”“Tentu saja tidak,” sahut pria yang baru saja menginjak pedal gas itu. Danu terkekeh mendengar dengkusan Nathan. “Nathan suka bisa bertemu Tante Margareth?”“Ehm! Nathan suka sekali! Nathan juga ingin bertemu adik kecil!”Risa tertawa kecil lalu menoleh ke belakang. “Belum bisa, Nath.
Beberapa minggu berlalu, hari kelahiran Nathan tiba dan pesta ulang tahun ke tujuh dimeriahkan dengan tamu-tamu undangan teman sekelas dan juga teman masa TK-nya. Meski hanya berupa pesta kecil-kecilan, anak laki-laki itu benar-benar bahagia mendapat banyak hadiah, terutama dari ayah dan ibunya yang berupa robot-robotan kesukaannya. Selain robot-robotan, Nathan juga mendapat sepatu, bola kaki, juga beberapa benda lain yang bisa dipajang di dalam kamar. Ini adalah kali pertama Risa merayakan ulang tahun sang anak. Bukan karena tidak mampu, tetapi merayakan hari kelahiran Nathan saat anak itu masih berusia di bawah lima tahun menurutnya sia-sia. Nathan bisa lupa kapan saja, berbeda dengan sekarang yang sudah bisa mengingat banyak hal, termasuk pesta ulang tahun pertama di usia tujuh tahun. Orang-orang mungkin menganggap Risa perhitungan, tetapi wanita itu memang memperhitungkan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Sekitar pukul delapan malam Danu baru pulang ke rumah karena siang ta
Sudah hampir satu minggu ini Risa berada di rumah setelah mengajukan surat pengunduran diri. Selain hanya bersantai di rumah, wanita itu kini bisa mengantar jemput Nathan menggunakan mobil yang Danu beli khusus untuknya dan karena tidak bisa menyetir, mereka kini punya sopir pribadi yang tempat tinggalnya dekat dengan komplek perumahan.Untuk mengisi hari-harinya yang panjang, Risa juga banyak membuat kue atau pergi ke spa dan salon untuk memanjakan diri. Setelah mendapat perhatian penuh dari Danu, sekarang wanita itu merasa telah menjadi ratu. Seorang ratu yang melewati banyak rintangan untuk bisa duduk di takhta.“Hari ini kau akan kemana?”Risa menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan Danu yang sedang memakai baju. “Aku pergi ke perkumpulan wali murid siang ini,” jawabnya sambil beranjak mendekat. “Mereka baru mengundangku ke grup setelah hampir tiga bulan Nathan masuk sekolah dasar.”Danu yang hendak memakai dasi, kembali urung dan membiarkan sang istri yang melakukannya. “Kau
“Nathan mau juga!”Anak laki-laki itu berlari ke arah ayah dan ibunya, lalu mencium pipi keduanya dan tersenyum lebar setelahnya. Sementara Danu dan Risa hanya tersenyum sambil membalas tatapan satu sama lain, merasakan debaran membuncah yang tidak bisa disembunyikan.Setelah menikmati pemandangan malam yang indah di Monumen Nasional, mereka bertiga memutuskan untuk pulang sekitar pukul sembilan. Apalagi Nathan sudah kelihatan tidak berdaya saat berada dalam gendongan Danu meski anak itu kini menjadi lebih tinggi dari pertama mereka bertemu.Dulu saat Danu datang, Nathan masih di bawah pinggulnya, tetapi sekarang anak itu sudah mencapai pinggang dan terus tumbuh hari demi hari. Hal itu membuat Danu sadar jika waktu yang mereka lalui bersama sudah terbilang lama, tidak lagi hanya seperti kemarin.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Danu menggendong Nathan dan menidukannya di kamar, sementara Risa membawa beberapa jenis makanan ringan yang tidak disentuh, lalu meletak
Nathan heran sekali melihat sang ibu beberapa hari ini terlalu banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika anak itu mendekat masuk dan berbicara pun, tanggapan yang dia terima tidak begitu memuaskan sampai-sampai menimbulkan pertanyaan, apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Tidak hanya sang ibu, ayahnya pun terlihat tidak semangat setiap hendak pergi bekerja, atau ketika pria itu pulang dari kantor. Bertanya kepada Lastri pun tidak cukup membuat Nathan tenang dan mengerti.“Tidak ada apa-apa. Papa dan mama Nathan cuma kelelahan karena sibuk bekerja. Jadi, jangan terlalu khawatir ya, Sayang?”Nathan mengangguk lesu mendengar jawaban Lastri yang selalu sama sejak tiga hari lalu. “Pasti Nathan jajannya kebanyakan sampai mama dan papa kecapekan begitu.”Lastri hanya tersenyum sambil mengelus kepala Nathan, lalu membawa anak itu ke kamar untuk menemaninya belajar sampai selesai. Sama seperti Nathan, Lastri juga merasa iba kepada Risa yang kehilangan anak sebelum tahu jika ada ja
Risa keluar dari kamar sambil mengikat rambut. Wanita itu sudah terlihat siap untuk pergi ke kantor meski sejak pagi dia merasa tidak nyaman pada perut hingga punggung. Rasanya nyeri dan itu sudah sering dirasakan setiap satu hingga dua bulan sekali.Setelah lebih dari dua bulan tidak datang bulan, Risa pikir dia berhasil hamil, tetapi pagi tadi ada bercak merah di celana dalamnya dan itu tanda bahwa tamu bulannya datang, serta harapan bisa hamil tentu masih belum tercapai.Duduk di sebelah Nathan, Risa mengecup kening anak laki-laki itu seperti biasa. “Kamu yakin sudah memasukkan semua buku yang harus dibawa hari ini?”“Sudah, Ma. Nathan sudah memeriksanya dua kali!” balas anak itu dengan nada tinggi, agak kesal karena sang ibu terus menerus bertanya hal yang sama setiap pagi.“Bagus. Kamu sudah besar sekarang, jadi mama tidak akan membantumu melakukan tugas harianmu. Mengerti?“Iya ….”“Omong-omong, apa kau merasa kurang sehat?”Risa mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di d