WARNING 21+
_____________________________
Harap bijak dalam membaca.
_____________________________
30 menit kemudian,
Gadis yang tengah asik mengotak atik layar ponsel, tak sengaja mendengar langkah kaki dari luar kamar.
Sekali lagi tersentak kaget, segera meringkuk di belakang sofa.
Ceklek.
Seorang pria tinggi dengan setelan jas yang dipakai mulai melangkah masuk dengan sebuah berkas di tangannya.
Diletakkan berkas tadi ke atas meja, dengan sigap membuka beberapa kancing kemeja sebelum meraih segelas air dan meneguk habis.
"Tunggu! Kenapa aku sembunyi! Kan niatku mau ketemu Om Zachta," pikir Ana mengerutkan alis, menggerutui sikap penakutnya.
"Kok malah gini, seharusnya aku keluar!"
Dengan keberanian yang berhasil meyakinkan diri, perlahan gadis itu mendongak dan beranjak bangun, menatap punggung lebar berbalut jas hitam di depannya.
Mulai melangkah mendekat sambil mencegah suara agar tidak timbul kebisingan. Sigap mengulurkan telapak demi meraih pundak,
Namun sebelum itu terjadi, Ana terkejut saat laki laki itu menoleh dan menarik paksa pergelangan tangannya.
Grep.
Mengeratkan genggaman hingga membuat Ana bergidik ngeri, mengerutkan alis karena rasa nyeri yang dirasa. Bulu kuduknya berdiri ketika menatap raut dingin di wajah Zachta,
Mata almond berwarna coklat yang menawan, serta rahang tegas yang tengah mengeratkan gigi. Sorot dinginnya tak henti memandang hingga mampu mengacaukan pikiran Ana,
Rencana matang yang sebelumnya telah tersusun rapi seketika menghilang karena terhujani rasa takut. Yang Ana pikirkan hanya cara untuk segera bebas dari cengkraman iblis tadi,
"Sial."
"Siapa yang membiarkan jalang sepertimu, masuk ke dalam kamarku." lugasnya dengan angkuh.
"T-tidak. K-kau salah paham," sanggah Ana terbata bata.
"Ck.." Zachta berdecak kesal, merasakan hawa panas yang mulai menggerogoti seluruh tubuhnya.
Entah bagaimana tubuh yang tak pernah goyah, kali ini merasa lemah hanya karena kontak fisik bahkan dengan gadis asing.
Degup jantung mulai melaju cepat bahkan timbul hasrat liar yang belum pernah muncul. Dengan sigap ditariknya kerah baju, sebelum menarik paksa dan melempar gadis tadi ke atas ranjang.
"Aku sudah muak dengan rencana licik yang sama," ketus Zachta menatap lekat gadis yang terbaring,
Kedua manik Ana membulat sempurna ketika melihat aksi pria yang sedang mendepak jas yang membalut tubuhnya.
Zachta Maxime, atau Max. Dibalik paras tampan, terkenal sosok angkuh yang disebut sebagai pembunuh darah dingin.
Sebutan itu didapat karena sikapnya yang tak segan menumpas habis mereka yang berani menentang apalagi menjebaknya.
Entah apa yang akan Ana alami karena berani menyusup ke dalam kamar singa jantan itu. Hanya saja dia semakin merasa takut ketika Max mulai melepas ikat pinggang serta menindih tubuhnya,
"Kita lihat, seberapa hebat kau di atas ranjang." bisik Max mengeratkan gigi,
Jari jemari mulai membuka satu persatu kancing yang mengait kemeja putih di tubuhnya.
Perlahan gadis itu dapat dengan jelas melihat dada kekar yang begitu mempesona. Seluruh bagian atas yang tak tertutupi sehelai kain, semakin membuat Ana mulai merasa takut karena kesalahpahaman yang terjadi,
"Tunggu. Ini salah!" tegas Ana berusaha beranjak namun gagal karena telapak kekar yang kembali menekan kedua lengan hingga membuat gadis itu kembali terbaring.
"Diam."
"Kau tidak bisa masuk dan keluar sesukamu," ujarnya menindih tubuh langsing Ana.
Gadis itu berulang kali menggeliat berusaha keluar, namun tak berhasil lolos. Justru karena sikap tadi, Ana membuat dua gumpalan miliknya bergesekan hingga membuat tubuh Max semakin bereaksi.
Pikirannya kalut pasti karena seseorang telah lancang memasukkan obat perangsang ke dalam gelas minuman.
Sekarang seluruh tubuh Max tengah merontah bak dibakar api, namun gadis itu mampu menghilangkan secuil hawa panas melalui sentuhan,
Bagai menemukan penawar yang harus diteguk habis. Tak ragu telapak kekarnya meraba tubuh berbalut dress lusuh,
"Jangan! Jangan lakukan ini," pekik Ana, menahan tangan yang berusaha menyelinap dari bawah pakaian.
"Apa kau berusaha bermain tarik ulur denganku." sontak Max merasa geram,
Kening putihnya mulai mencucurkan keringat bahkan terengah engah. Bagaimana suara Ana terasa begitu merdu seperti sihir yang menyuruh Max untuk terus menjelajah,
Dengan paksa merogoh paha putih gadis itu sampai menemukan kain ketat yang menjadi sangkar mahkota para kaum hawa.
"Jangan..." Ana berusaha keras mendorong bahkan mengapit kedua kaki demi menahan telapak yang hendak menjamah selangkangannya.
Kesabaran Max mulai habis, tak segan berganti rencana. Merobek long dress yang gadis itu pakai hingga menyisakan pakaian dalam yang melekat di tubuh ramping Ana.
"Aaa!" pekiknya, memeluk erat diri sendiri, berusaha menutup gumpalan yang terlihat.
Kedua matanya terpejam sembari menahan rasa takut, namun Max tidak menghiraukan teriakan serta penolakan yang tersemat di wajah gadis tadi.
Menarik paksa kedua tangan Ana, sebelum meraih rahang kecil di depannya. Pria itu meraup pucuk bibir dengan brutal sedangkan tangan lain tengah sibuk mencari pengait di belakang tubuh gadis itu,
Ana terbelalak ketika menyadari ada sesuatu sedang menyelinap masuk ke dalam mulutnya.
Lumatan demi lumatan, perlahan lidah Max mengabsen setiap bagian di dalam. Menyentuh langit langit, mulai menyalurkan salivanya ke dalam mulut Ana.
"Ng. Ng..." Ana menggeliat, sambil mendorong paksa dada kekar itu.
Bahkan tak segan menggaruk kuat kutikula Max, meninggalkan bekas cakaran yang cukup dalam. Tapi belum mampu membuat laki laki itu gentar, tanpa reaksi dia terus menjalankan aksi bejatnya.
Melepas lumatan yang telah menyiksa Ana, seraya melempar sangkar penutup gundukan.
Dengan penuh nafsu, Max menatap liar dua buah gumpalan yang ada di depannya. Dengan sigap meremas kuat,
"Ah.." Sebuah desahan berhasil lolos. Meski tak bermaksud, tubuhnya tetap bereaksi seakan menikmati setiap sentuhan itu.
"Tu-tunggu! Ini salah paham!"
"A-aku adik Leo Prawira. Orang yang baru saja kau temui," ujar Ana, terbata bata.
"Oh. Jadi dia mengirim jalang kecil untuk membuatku setuju," sahutnya menatap remeh,
"Tidak! Kau salah paham. Aku kesini untuk mengatakan sesuatu," tegas Ana, menggigit bibir.
Merasa sesuatu tengah menggelitik perutnya, karena pijatan lembut yang masih Max berikan pada buah dada gadis itu.
"Lalu? jelaskan?" ujar Max, tersenyum licik.
Bermain dengan puncak gumpalan tadi, memilin dan memutar ria hingga membuat bibir Ana membeku,
"A-aku. S-sebenarnya,"
"Ah.."
"A-aku.. a-aku."
"Cukup! waktu habis," timpal Max, dengan raut dingin.
"Apapun yang kau bilang, aku tetap menganggap kau kesini untuk menggodaku."
Hasrat yang semakin memuncak, mendorong laki laki itu untuk bertindak lebih jauh. Dia menyesap pucuk gumpalan, sembari merogoh hal lain.
"Tidak. Jangan disana! Jangan!" teriak Ana, merasakan sesuatu telah meraba bagian dalam celananya.
Laki laki itu merasakan lipatan lembut yang terasa sedikit licin. Kedua jari kekar berhasil menerobos masuk dengan paksa,
"Aaa!" pekik Ana sekali lagi, reflek mencengkram erat selimut yang ada di bawah tubuhnya.
Terasa sesak, sesuatu tengah mengganjal dan masuk ke dalam tubuh. Perlahan Ana dapat mendengar debaran jantung yang berdetak begitu kencang,
"Sh..." jemari kakinya menekuk kuat, setelah Max bermain ke dalam benda tadi.
Dengan lihai menggerakkan kedua jari sampai membuat gadis itu semakin tersiksa karena rasa sakit juga kenikmatan yang harus ditolak.
"Apa yang kau lakukan sekarang! Kau bermain dengan anggota keluargamu sendiri," hardik Ana dalam hati,
Dia menatap lekat laki laki yang masih menyesap gundukan miliknya. Bahkan dia bergetar hebat, suatu hal baru saja keluar dari dalam.
"Sepertinya, kau sudah siap." ucap Max, menyeringai.
Melepas kedua jari yang meninggalkan bercak cairan. Beralih posisi, perlahan menarik resleting celana
Ana menatap benda milik Max, begitu besar. Benda yang seharusnya tertidur telah mendongak tinggi dan membuat gadis tadi merasa takut.
Menatap laki laki yang mulai menunduk ke arahnya, menggenggam erat kedua tangan Ana.
Dep.
Ujung kejantanan Max mulai bersentuhan dengan kutikula luar kemaluan Ana.
"Tidak!"
"Om Zachta! Jangan lakukan itu," ujar Ana memohon, dengan mata berkaca kaca.
Laki laki itu mengernyit, sedikit terkejut melihat raut sedih di wajah Ana. Bahkan dia merasa kesal karena gadis itu berani menyebut namanya.
"Jalang kecil. Kau beruntung, karena berhasil naik ke ranjangku."
"Jadi, jangan bersikap sok polos." tegasnya segera menerobos masuk.
"Aaa!!" dengan sekuat tenaga, gadis itu berteriak.
Rasa sakit yang pertama kali dirasakan , mungkin itu karena tubuh Ana yang begitu muda dan harus menanggung benda kekar milik pria berumur 30 tahun.
Sesuatu telah merobek kutikulanya dengan begitu kuat, bahkan Max merasa terkejut melihat linangan air mata yang membasahi kedua pelipis Ana.
"Ck.. kau masih berakting dengan baik." seru Max mendorong masuk, mulai mengguncang kuat tubuh gadis itu.
Menghentakkan pinggang seakan mulai menembak peluru ke arah Ana.
Sakit, bagai dikoyak berulang kali. Tubuhnya merasa sangat lemas hingga tak sanggup menahan rasa sakit yang membuat kesadarannya mulai menghilang.
Perlahan seluruh pandangan mulai kabur, hingga tanpa sadar memejamkan mata dan tenggelam dalam bunga tidur.
"......." Laki laki itu berhenti bergerak, setelah menyadari kebisuan Ana.
Berusaha memastikan apa yang terjadi dengan gadis yang telah ia tiduri.
Betapa terkejutnya Max, ketika melihat bercak merah yang ada di atas tempat tidur. Baru menyadari bahwa rasa takut tadi bukanlah sandiwara.
Perlahan mengusap lembut air mata yang membasahi wajah mungil di depannya.
"Kau masih bersih, dan begitu kecil. Bahkan pingsan sebelum menyelesaikan permainan,"
"Bagaimana bisa, jalang sepertimu punya keberanian dan masuk ke dalam kamarku."
Menatap sekilas ke arah lain, menarik selimut tebal demi menutupi tubuh gadis tadi. Sedangkan Max mulai melangkah turun dan menyiapkan air dingin untuk berendam.
1 jam kemudian
Pria itu kembali dengan rambut basah serta handuk putih melilit bagian bawah tubuhnya. Tak sengaja sorot mata Max, menatap ponsel yang ada di atas sofa.
"Leo Prawira. Sejujurnya aku tertarik dengan presentasimu,"
"Tapi benarkah, kau yang mengirim jalang ini?"
"Atau ada orang lain, yang berusaha menjebakku."
***Bersambung.WARNING 21+HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Penolakan yang berulang kali terlontar, tak sedikitpun dihiraukan oleh Max. Membuka paksa pengait yang terlilit di belakang punggung gadis itu,Mendorong tubuh Ana ke sudut ruangan. Membuatnya bersandar, mulai mendengar jantung yang berdetak kencang dengan rasa panik memenuhi benak.Entah apalagi yang harus ia lakukan. Tubuh itu terlalu lemah untuk melawan tindakan Max,Menatap lekat manik coklat yang baru saja mengarah dan memandangnya dengan sorot lembut."Sebe
"Halo?" ucap suara pria dibalik layar."Jangan buang waktuku. Cepat katakan, kenapa kau tidak mengirim hal yang kusuruh?" sontak Max mengerutkan alis.Pagi ini laki laki itu dengan antusias menunggu laporan yang seharusnya Fero berikan. Namun sampai hari menjelang siang tak kunjung tiba,"Hubungkan layar laptop pada Fero! Aku ingin lihat, apa yang sebenarnya dia lakukan." pekik Max pada pengawal yangs sedang bertugas disisinya."Katakan. Apa yang sedang gadis itu lakukan?""Mm. Nona Ana, semalam pindah dan tinggal dalam asrama sekolah.""Dia sekarang sedang bekerja, sebagai pelayan di cafe li
"Apa kau yakin?" gumam Mosco berusaha memastikan,"Aku tidak suka mengulang." seru Max, dengan raut sinis.Dor!Entah apa yang membuat pria itu berani mengacungkan senjata ke arah Max. Namun dengan sigap telapak kekar itu menangkis peluru yang keluar,Merebut paksa dan membalikkan mulut pistol ke hadapan Mosco,"Kau sudah kuberi kesempatan. Tapi tidak kau gunakan dengan baik,"Dor! Dor! Dor!Dengan cepat menghabiskan sisa peluru untuk menembus habis kepala pria berambut gelombang tadi.
"Bapak Ryan Bimantara.."Dep.Kedua manik hitam itu membulat sempurna, seketika ingatan masa lalu membuka luka lama. Ana terdiam tak menghiraukan tepuk tangan meriah yang murid lain lontarkan,Api amarah yang terlihat jelas dari sorot matanya, beralih pada sosok pria yang tengah berjalan menaiki tangga.Mata serta senyuman yang tak asing. Pria yang pernah menjadi alasannya tertawa, namun sosok yang sama kini mengobarkan api luka dalam hati Ana."Bisa bisanya. Dia begitu bangga membawa nama perusahaanku!" gerutu Ana dalam hati, menggertakkan gigi dengan kedua tangan mengepal kuat.15 menit kemudian.
"Ups! maaf, maaf." celetuk siswi, dengan sigap menyentuh bahu gadis yang telah ia tabrak."Maaf ya, ini salah mereka. Aku sibuk bercerita dan ga sengaja nabrak kamu,""Hey! Padahal kau selalu mengoceh meski kita tidak memintanya!" hardik Gea mengerutkan alis."Hust! Udah diem.""Sekali lagi, maaf ya!""Iya, gapapa." angguk Ana, dengan senyum ramah.Perlahan mendongak, menatap lekat para gadis yang ada di depannya. Mereka terdiam seakan saling mengenal,"Loh. Kamu yang kemarin nanya ruang kepsek kan?"
Tap.Tap.Tap.Langkah kaki itu begitu santai melewati lorong sekolah. Dengan seragam serta tas yang tersemat di punggungnya, gadis itu menatap jalan dengan raut datar."Padahal semalam. Aku udah niat, ga pakai uangnya!""Ternyata aku pake juga, buat beli buku.""Dan untung saja, bekas ciumannya cukup dibawah. Aku pikir ini tidak akan terlihat," benak Ana sedikit mengusap kerah bajunya.Sorot mata sedikit terganggu, mendapati beberapa siswa dan siswi yang tengah berkumpul di depan pintu kelas."Hey. Tunggu!"