Share

Pemakaman

Kediaman luas yang tak terlalu megah, perabotan lengkap yang tertata rapi tanpa bantuan pelayan. 

Teringat jika mereka terpaksa memecat dua pelayan demi menyanggupi biaya pengobatan Arana,

"Biar Leo aja yang mengantar Ana," ucapnya menatap Citra,

"Ya sudah, kamu ke atas sama kakak. Mama mau nyiapin makan malam buat kita semua," mengusap cepat ujung kepala gadis yang tengah tersenyum sebagai tanda persetujuan,

Sigap gadis itu beralih melangkah di samping pria yang mulai hari ini akan menjadi kakaknya. Mereka berjalan menaiki tangga hingga berhenti di depan pintu kamar yang telah terbuka,

Terlihat sebuah ruangan berhias nude yang begitu memanjakan mata. Meski tidak seluas kamar Reta, namun ini adalah ruangan yang begitu nyaman. 

Setidaknya semua itu ditata dengan tulus tanpa adanya kepalsuan.

Sekilas memandang ke segala arah. Kamar kosong yang sebelumnya dipenuhi berbagai peralatan aneh demi menopang hidup Arana,

Tapi sekarang seluruh sudut ruang terlihat seperti kamar seorang gadis remaja pada umumnya.

"Gimana, suka kan?"

"Dari dulu kamu selalu minta kamar yang ga bau obat," lugas Leo, berdiri menatap gadis yang membelakanginya.

"Iya suka!" tegas Ana mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Ya udah. Kamu istirahat aja,"

"Nanti kakak panggil, kalo udah waktunya makan malam---oh! Atau mau makan di kamar aja? Biar ga capek kan kamu baru aja sembuh,"

"Mm, gapapa. Aku ikut makan di bawah aja," sahut Arana merendahkan suara,

"Ya udah, kakak ke kamar dulu ya.." pamitnya sambil mengacak pelan rambut gadis tadi.

Tap..

Tap..

Tap..

Langkah kaki itu mulai menjauh, Arana melihat punggung lebar yang perlahan melewati pembatas. 

Segera dia berbalik masuk ke dalam kamar, ditutupnya pembatas ruangan sebelum mulai berjalan ke depan cermin.

Menatap lekat setiap inci tubuh yang masih asing. Kulit putih, rambut lurus bagai malam yang terurai panjang, lesung menghias kedua pipi, bibir merah muda serta manik hitam yang begitu memikat.

"Bagus. Setidaknya, kamu punya modal untuk naik ke puncak."

"Yang terpenting adalah wajah! Dan kau sudah mendapat karunia itu," seru Ana, tersenyum menatap sosok yang ada di dalam cermin.

"......" Gadis itu terdiam, tak sengaja mengalihkan pandangan hingga mendapati bagian tubuh yang terlihat rata.

"Ck, sayang sekali. Bagian ini terlalu kecil! Sangat berbeda dengan milikku yang dulu," ucapnya menatap remeh,

Tanpa ragu mengulurkan kedua telapak tangan demi meraba dua gumpalan yang tak terlalu tebal,

"Fashion bajumu juga terlalu kuno,"

"Tapi, tenang! aku akan merubah ini semua."

"Dan semoga saja, buah dadaku juga bisa membesar karena kita masih di usia pertumbuhan!"

Setelah puas mengoreksi diri, kini gadis itu tengah beranjak pergi dan membuka pintu lemari. Diamatinya setiap setelan yang dimiliki, cukup banyak hanya saja memiliki model serupa.

Tak sengaja dia melirik ke arah seragam sekolah yang tergantung rapi.

Baru ingat bahwa tubuh yang dipakai masih menjadi seorang pelajar. Karena penyakit yang Ana derita, di usia 18 tahun dia masih duduk di kelas 1 SMA.

"Hhh, setidaknya masa masa kuliah masih cukup lama."

"Aku akan menikmati masa SMA dengan mengumpulkan banyak teman," seru Ana,

Entah kenapa tiba-tiba mulai menciptakan tujuan baru, karena kehidupannya dulu terlalu dipenuhi dengan romansa bodoh yang membuat gadis itu kehilangan waktu untuk mengumpulkan banyak teman.

****

Berkat rasa haus Ana memutuskan untuk melangkah keluar kamar demi mengambil segelas air. Namun langkahnya terhenti, ketika menatap laki laki tengah berjalan keluar dari kamar lain.

Terlihat begitu elegan, dengan kemeja hitam serta rambut yang tertata rapi.

"Kakak mau kemana?" ujar Ana mengangkat alis.

"Mau ke pemakamannya Reta,"

"Ikut!" celetuk Ana reflek membuka mulut,

Laki laki itu menatap dengan mata hampir membulat sempurna, dari dulu Ana memiliki kepribadian yang begitu lembut. Bahkan mendengarnya berbicara lantang, itu sudah sangat mengejutkan.

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Leo, mendapat anggukan.

"Ya sudah, ayo."

"Tunggu! Ana mau ganti baju dulu." sontaknya berlari masuk ke dalam kamar.

10 menit kemudian.

Laki laki tadi berdiam diri di depan kamar adiknya, baru menyadari jika telah melupakan sesuatu.

"Ck. Untung inget!" seru Leo segera berbalik masuk ke dalam kamar demi mengambil sebuah ponsel. 

20 menit setelah menunggu.

"Bisa bisa yang lain udah pada pulang, sebelum kita sampai." gerutu Leo, sambil mengotak atik layar ponsel.

Padahal dia telah membuat janji untuk pergi bersama dengan beberapa teman. Bahkan mereka mulai meneror kotak pesan Leo karena terlambat hadir,

Tapi mau bagaimana lagi, pria itu terlanjur menyetujui permintaan Arana dan tidak mungkin merubah keputusan. 

Yang hanya bisa Leo lakukan adalah menjelaskan keadaan pada teman temannya sekaligus berusaha mengulur waktu,

30 menit kemudian.

"Lah. Kenapa Ana lama banget! Masa ketiduran?" pikir Leo menatap ruang yang terasa sunyi tanpa tanda-tanda kemunculan Ana,

Kesabaran yang nyaris melewati batas mendorong agar kakinya melangkah mendekat, mulai menyodorkan kepalan tangan demi mengetuk pembatas kayu. 

Siapa sangka sebelum tangannya bergerak, pintu kamar tadi mulai terbuka. Memperlihatkan seorang gadis dengan rambut terkuncir tinggi di belakang, 

Terlihat blouse hitam yang telah dimodif juga dipadukan dengan rok polos, menutupi tubuh ramping Arana.

"Ayo! Kita berangkat!" lugasnya tersenyum lebar.

Sedangkan pria tadi masih tertegun menatap penampilan adiknya yang terlihat berbeda. Sangat cantik juga begitu anggun,

"Kakak?"

"Hh? I-iya. Ayo," seru Leo tersadar dari lamunan.

Bahkan dia tidak lagi merasa kesal, meski telah menunggu lama. Ana menghabiskan waktu untuk mencari baju yang cocok, juga menghilangkan beberapa bagian dengan cara memotong kain yang menurutnya mengganggu.

"Huft. Untung ga marah," benak Ana menghela nafas, menyadari betapa lama waktu yang telah dihabiskan.

Keduanya segera bergegas masuk ke dalam mobil, melakukan perjalanan. Laki laki itu, tidak mau berpikir jauh tentang sikap adiknya.

Mungkin saja setelah mendengar bahwa dirinya telah sembuh, Ana ingin melakukan banyak hal yang belum pernah dilakukan.

Di sisi lain, seorang gadis tengah menatap rantai jalanan yang dilewati beberapa kendaraan. Tak segan jari jemarinya menekan salah satu tombol,

Membuka kaca mobil, membiarkan terpaan angin mengusap lembut kutikula wajah. "Huh, jiwaku benar benar berpindah!"

"Dan sekarang, aku mau mengunjungi pemakaman ku sendiri." ungkapnya menghela nafas,

"Kira-kira siapa aja yang bakal datang ke pemakamanku?"

Waktu pun berlalu, mereka menghabiskan sekitar 15 menit untuk menempuh perjalanan dan berhasil sampai karena panduan sebuah alat penunjuk lokasi,

Kendaraan itu terhenti di samping kendaraan yang telah datang mendahului. Pandangan Ana tak sengaja menatap ke arah laki laki yang baru saja keluar dari gerombolan pengunjung,

"Sepertinya kita terlambat! Dan yang lain udah mau pulang," gumam Leo melihat para temannya,

"Ayo!" menggandeng tangan gadis yang baru saja keluar dari mobil. 

Kedatangan mereka berdua berhasil mengundang banyak mata. Wajah yang sudah tak asing bagi Ana karena mereka adalah teman lama.

"Lia.." pikirnya, tak sengaja saling bertukar tatapan dengan gadis berjaket hitam.

"Maaf aku terlambat." lugas Leo merendahkan suara.

"It's okay. Ayo aku anterin, yang lain udah mau pulang." sahut Lia memimpin jalan.

Gadis itu berjalan mengikuti pria yang masih menggenggam tangannya, sesekali menoleh karena melihat sosok familiar yang berhasil mengalihkan perhatian. 

"Itu Om Zachta kan? Dia juga datang kesini. Berarti Lia udah ngasih tau pesan terakhirku,"

"Itu bagus---sekarang aku tinggal mikir. Gimana caranya ketemu sama om dan cerita tentang kebusukan Ryan,"

***Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status