Share

Pecahan memori

Reta Sidney, wanita berusia 25 tahun yang telah berhasil menduduki jabatan CEO di perusahaan K. Menyebar banyak proyek besar serta program baru yang mampu meningkatkan saham perusahaan,

Siapa sangka wanita seperti Reta memiliki nasib yang malang. Di malam pertunangan, dia harus menerima sebuah pengkhianatan dari sahabat dan pria tercintanya. Setelah itu mati dengan cara mengenaskan, 

Beruntung takdir masih memberi sedikit simpati dan memberi kesempatan Reta untuk membalas semua derita. Hingga berhasil hidup kembali dengan cara aneh dalam tubuh gadis berusia 18 tahun bernama Arana,

Dengan keluarga sederhana juga kepala keluarga yang mampu mengatur keuangan namun tidak membuat anaknya merasa kekurangan.

Meski bekerja dalam perusahaan besar sekaligus milik keluarga, ayah Arana bekerja di bawah tekanan para kakaknya yang berkuasa karena beruntung menjadi putra sulung.

Walau berbeda dari kehidupan dulu, mau tidak mau Reta harus mensyukuri semua kesempatan yang dimiliki.

Sebuah keluarga baru yang begitu menyayanginya juga identitas baru sebagai Arana.

2 jam kemudian.

Seorang wanita dengan setelan putih, melangkah masuk ke dalam. Dengan beberapa peralatan di tangannya, begitu lihai melakukan tugas dan memeriksa keadaan pasien.

"Permisi.."

"Dokter berpesan, agar orang tua pasien pergi ke ruangan untuk menemuinya." ujar suster, telah menyelesaikan tugas.

"Baik. Terima kasih, kami akan kesana." lugas Wira menganggukkan kepala.

"Ayo ma..." ajaknya menatap wanita yang masih duduk terdiam di samping ranjang.

"Ana."

"Mama tinggal dulu ya," pamit Citra beranjak dari kursi.

Mengarahkan tangan, membelai lembut ujung kepala putrinya. Arana tersenyum ramah, menatap punggung yang semakin menjauh dari pandangan.

"Jaga adikmu!" ketus Citra, menatap tajam.

"Iya iya. Tenang aja," jawab Leo merendahkan suara.

Mereka berdua berjalan pergi ke salah satu ruangan, terlihat seorang pria yang tak lain adalah dokter yang bertugas merawat Arana tengah duduk di kursi kerjanya.

"Selamat siang Dok," sapa Wira, baru saja masuk.

"Selamat siang. Silahkan duduk,"

"Apakah putri saya baik baik saja Dok?" tanya Citra dengan raut cemas

"Hm, ini sedikit rumit." gumam dokter tadi, sibuk menatap sebuah berkas laporan kesehatan yang ada di atas meja.

"Apa terjadi hal buruk pada putri saya?" ujar Wira mulai merasa risau.

"Setelah saya cek kembali. Menurut laporan kesehatan..."

"Disini tertulis, putri Bapak mempunyai penyakit jantung sejak kecil. Apakah itu benar?"

"iya Dok, sebelumnya Arana dirawat oleh dokter Bram.."

"Tapi karena ada hal mendadak, dokter Bram harus pergi keluar negeri." sahut Wira menjelaskan.

"Sebelum dibawa kemari-"

"Ada beberapa laporan yang menyatakan, bahwa detak jantung anak Bapak tiba tiba berhenti,"

"Tolong ceritakan, apa yang terjadi pada hari itu?" 

Wira mulai menjelaskan peristiwa hari lalu, disaat keadaan putrinya tiba tiba memburuk. Perawat yang ia sewa mendapati alat EKG tidak menunjukkan respon seperti biasanya.

"Memangnya bagaimana keadaan putri saya saat ini dok?" tanya Citra

"Uhm, semua data normal. Bahkan hasil pemeriksaan pagi ini, menyatakan bahwa Ana tidak memiliki penyakit jantung." celetuk sang dokter.

"Apa, b-bagaimana mungkin?"

"Entahlah, siang ini saya menyuruh perawat untuk memeriksa kembali dan hasilnya sama."

"Anak kalian tidak memiliki penyakit jantung. Keadaannya sudah membaik dan boleh dibawa pulang,"

Vonis kesembuhan itu bagaikan pelangi yang muncul di taman kedua orang tua Arana. Begitu terkejut dan sangat senang mendengar kesembuhan putri mereka.

"Papa, anak kita akhirnya sembuh.." ujar Citra tersenyum bahagia.

"Ana bisa hidup normal," tambahnya, meneteskan air mata.

"Terima kasih Dok.." sahut Wira,sekilas mengangguk.

Dengan segera mereka berdua berjalan keluar dan kembali menghampiri kamar pasien.

"Loh, Pa! Mama kenapa?" sontak Leo, melihat wanita yang baru saja berjalan masuk dengan mata sembab.

"Gapapa, ini air mata bahagia." sahut Citra tersenyum,

Kakinya melangkah ke samping Arana, tanpa sadar linangan air mata berhasil lolos dari pelupuk mata.

"M-mama kenapa?" ujar Ana lirih,

"Apa kata dokter?" tambah Leo penasaran.

"Kata dokter, Ana sudah sembuh total dan boleh pulang." jawab Wira, sekilas bercerita.

"Wah. Berarti Ana bisa sekolah lagi!" seru Leo tersenyum bahagia.

"Sembuh? apa karena Ana yang asli udah meninggal? jadi sekarang penyakitnya ikutan ngilang," pikir Ana (Reta)

"Syukur deh. Aku ga perlu dipasangi alat alat ini lagi," benaknya menatap sekilas, alat yang menempel di bagian tubuh.

***

Srash..

Deraian hujan mulai membasahi bumi, perlahan seluruh jalan raya dipenuhi bising rintikan air. 

Baru saja mereka menyelesaikan administrasi pembayaran, kini tengah berada di perjalanan pulang. 

Gadis dengan long dress berwarna biru, tengah tidur di sandaran Citra. Derasnya hujan bagai melodi yang semakin membuat Arana terlelap,

Pukul 16.00

"Ng.." Ana mengernyit, merasa kedutan di seluruh kepala.

Tiba tiba banyak sekali ingatan baru yang bermunculan. Kutikula wajahnya dipenuhi tetesan keringat, meski udara di dalam mobil terbilang cukup dingin.

"Hah!" pekiknya terbelalak, membuat Citra terkejut. 

"Ada apa sayang?" seru Citra menatap cemas, raut putrinya yang terlihat begitu ketakutan.

Nafasnya terengah engah, tak sengaja menoleh ke arah kaca. Terlihat sebuah rumah yang cukup indah, pemandangan yang tak asing.

"Sayang.." panggilnya lirih.

"Ngga. Gapapa, cuma habis mimpi buruk." sahut Ana, merendahkan suara.

"Sial! Kenapa tiba tiba, ingatan Ana yang asli bisa muncul di kepalaku." pikirnya,

Bahkan debaran jantung masih berdegup kencang karena ingatan tadi. Entah apa yang membuat jiwa Reta mendapat seluruh ingatan pemilik tubuh,

Arana yang berarti rembulan. Gadis ini terlahir dari keturunan konglomerat namun dengan nasib buruk hingga keluarganya hanya masuk ke dalam kelas menengah. 

Pasti sulit bagi mereka karena harus membiayai perawatan yang sangat mahal dalam waktu lama, namun tak ada sedetikpun keluhan berkat harapan yang ingin melihat kesembuhan putrinya.

Di beberapa ingatan, muncul banyak ejekan yang Arana dapat dari beberapa saudara.

"Sejak lahir gadis itu hanya terbaring sakit. Menghabiskan uang orang tuanya,"

"Badannya sangat kurus, seperti mayat hidup."

"Apakah, seumur hidup dia akan terus menempel pada alat itu?"

"Bukankah lebih baik mati untuk mengurangi beban?"

Banyak anggota keluarga yang menganggap bahwa Arana adalah aib yang membawa petaka. 

Setiap memori buruk itu bahkan berhasil membuat tubuh Arana bergetar seakan kembali pada kejadian di masa lalu. 

Betapa kagetnya Reta ketika mengingat kejadian dimana Arana merasa sangat lelah akan takdir yang terus menyiksa, hingga membuatnya berani mengonsumsi obat melebihi dosis.

"Bagaimana aku seegois ini." pikirnya menggigit bibir,

Menyaksikan rasa sakit yang Arana alami di saat terakhir hidupnya, begitu jelas bagaimana gadis itu menjerit karena reaksi obat yang perlahan merenggut nyawanya.

"Aku tidak tahu, bahwa ada gadis lain yang tidak seberuntung diriku. Dia bahkan membunuh dirinya sendiri,"

"Maaf Ana. Mulai hari ini aku janji bukan hanya demi hidupku yang dulu, tapi aku juga akan membalas semua orang yang telah mengusikmu."

***Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status