"Kemarilah, Nak. Jangan takut. Meski tampang mereka seperti iblis, keduanya tidak akan berani memarahimu, apalagi pria bertampang menyeramkan ini!" Tukas Candra Mahesa mendelik ke arah Kairos.
Keona bergerak gelisah, salah tingkah ditatap penuh selidik oleh Kairos. Tapi, dia tidak bisa mengabaikan permintaan Candra. Gelas yang berisi air hangat dia serahkan ke tangan Chandra. Berusaha tidak memedulikan keberadaan Kairos. "Diminum, Kek. Ingat kata dokter, kakek dehidrasi hingga tidak fokus saat menyebrang." Candra hanya tersenyum. Dia mengangguk lalu patuh menghabiskan isi gelasnya. Kairos dalam diam mengamati interaksi romantis antara Keona dan kakeknya. Sejak kapan mereka kenal, mengapa terlihat sangat akrab? "Kamu ngapain di sini?" Tanya Kairos dingin. Ini masih jam kerja dan seharusnya wanita itu masih ada di kantor. "Saya diminta pak Deni mengantarkan sampel kain ke pabrik garmen, Pak. Terus tanpa sengaja bertemu sama kakek di jalan-" "Sudah! Jangan berani kau memarahinya. Harusnya kau berterima kasih pada gadis ini. Kalau bukan karena dia, kau tidak akan melihatku hidup lagi!" Sambar Candra tidak ingin malaikat penolongnya di intimidasi Kairos. "Atau, kau memang tidak ingin melihatku hidup lagi? Ingat bocah nakal, aku baru mewariskan perusahaan besar padamu, setidaknya tunjukkan niat baikmu!" Kairos menahan napas. Dia merasa malu dimarahi kakeknya sendiri di depan para pegawainya. Kalau di depan Gen, mungkin dia tidak akan merasa se-malu ini, tapi ini ada Keona di depannya. "Kakek, jangan bicara sembarangan." Kairos perlu membela diri. Dia sempat melihat senyum simpul Keona yang coba disembunyikan gadis itu. Perdebatan itu terhenti saat tim medis masuk guna memeriksa keadaan Candra. "Tuan Mahesa, kakek sudah boleh pulang. Beliau hanya kaget hingga sempat hampir pingsan karena shock. Beruntung nona ini sigap menarik tuan Candra Mahesa, hingga tidak tertabrak mobil." Rasa lega ditunjukkan Kairos. Bagaimanapun dia tidak ingin terjadi hal buruk pada kakeknya. "Gen, urus semua administrasi!" Perintah Kairos dan segera dipatuhi Gen. Para dokter dan perawat juga sudah keluar dari ruangan. "Keona, kamu pulang bersama kami. Biarkan kami mengantarmu," pinta Candra. Jelas sekali dia punya niat terselubung ingin mendekatkan Keona dengan Kairos. Dia masih berharap kalau cucu sahabatnya itu akan segera ditemukan, tapi Keona juga bukan pilihan buruk bagi Kairos. "Oh, tidak usah, Kek. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, ada tempat yang ingin aku kunjungi setelah ini," tolak Keona. Bukan sekedar alasan, pagi tadi Ratna sempat berpesan kalau dia harus pulang dengan bahan masak, kalau tidak Ratna mengancam tidak akan memberikan ayahnya makan. "Kemana? Tidak masalah, akan kami antar. Bukan begitu, Kai?" Kairos hanya mengangguk, satu alisnya terangkat saat melihat ke arah Keona. Jelas, wanita itu sudah memenangkan hati kakeknya. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada yang bisa mendekati Candra Mahesa. Beberapa gadis yang mencoba ingin mengambil predikat sebagai mantu di keluarga Mahesa, ditolak mentah-mentah oleh Candra. "Kamu harus sering main ke rumah kakek. Rumah besar itu sangat sepi dan buatku kesepian," ujar Candra sembari menepuk punggung tangan Keona. Keduanya duduk di kursi belakang sementara Gen menyetir dan Kairos di sebelahnya. "Iya, Kek. Nanti aku aku punya waktu luang, aku pasti mengunjungi kakek," jawab Keona tersenyum. Perasaannya hangat setiap bercengkrama dengan Candra. Dia ingat, dulu kakeknya juga sangat memanjakan dirinya. Meski saat itu usianya baru lima tahun, tapi kenangan itu sangat membekas. "Hei bocah nakal, sering-sering lah memberikan waktu libur pada Keona. Jangan memeras tenaganya! Ini bukan Zaman penjajahan, hingga kau memperlakukan romusha di kantor!" Lagi dan lagi, Kairos dipojokan. Sebenarnya, dia cucu kandung keluarga Mahesa, atau bukan? Tidak ada jawaban, Candra mentoel lengan Kairos dengan tongkat miliknya. "Dengar, tidak?" "Baik, Kek." Kairos hanya bisa pasrah. Di depan kakeknya dia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Gen yang ada di sampingnya menahan senyum. Ini adalah momen menyenangkan dalam hidupnya, melihat bosnya yang seperti singa, menakutkan dan sangat disegani banyak orang, justru seperti ayam keok di depan Candra Mahesa. Sepanjang jalan, telinga Kairos dimanjakan oleh tawa renyah Keona yang terbahak mendengar guyonan kakeknya. Sesekali dia ikut tersenyum, larut dengan cerita mereka. Tiba-tiba dia sadar, sudah lama dia tidak tersenyum dan merasa hangat di hatinya. "Stop di sini saja," pinta Keona setelah sadar mereka sudah tiba di pasar tempat dia biasa belanja kebutuhan dapur. "Ini pasar tradisional. Kamu mau belanja sayur-sayuran?" Tanya Candra mengamati sekeliling. "Benar, Kek. Kalau belanja di sini, masih bisa nawar. Lagi pula, barangnya lebih fresh dari pada di supermarket," jawab Keona tersenyum. Tidak perlu malu, meski jalan di pasar ini becek dan pastinya bau sampah, tapi disini dia mendapat harga yang bersahabat dengan kantongnya. "Gadis pintar. Andai saja seseorang bisa bijak dan hemat seperti mu," ucap Candra yang semua orang di mobil itu tahu kalau niatnya ingin menyindir Kairos. Tapi, kali ini sentilan pria itu, diabaikan begitu saja oleh Kairos. "Eh, kakek mau kemana?" Keona terkejut, Candra membuka pintu mobil. Dia ingin ikut menemani Keona berburu bahan pokok di pasar. Sudah lama sekali tidak pergi ke tempat seperti ini. "Kakek ingin menemanimu. Tadi, kau sudah membantu kakek." "Jangan, Kek. Jalanan di dalam becek karena habis hujan semalam. Lagi pula, aku sudah terbiasa sendiri. Kakek pulang saja," pinta Keona. Candra tetap memaksa, begitu pun dengan Keona yang bertahan meminta Candra untuk tidak turun. "Kalau begitu, aku akan tetap di sini, asal ada orang yang menemanimu ke dalam!" Hening sejenak. Firasat Keona sudah tidak enak. Ting! Benar saja. "Turun lah Gen, bantu gadis itu!" Perintah Kairos yang mengerti maksud kakeknya. "Tidak, Gen tetap di mobil. Keona sudah menolong ku tadi, haruskan Gen yang membalas budinya? Aku turun atau kau?" Sudah rahasia umum, kala umur seseorang semakin tua, maka dia akan semakin menyebalkan dan keras kepala. Kairos tahu akan hal itu dan dia tidak akan mungkin membantah kakeknya. Dengusan kesal terdengar keluar dari hidung Kairos, lalu bergegas keluar dari dalam mobil. Mimpi apa dia semalam hingga harus membantu karyawan nya belanja sayur mayur. Kalau diingat kembali, dia tidak ada bermimpi apapun tadi malam karena dia sangat nyenyak setelah bercinta dengan gadis misterius nya. "Maaf, Pak. Sebaiknya bapak-" "Sudahlah. Ini semua demi kakek. Jangan pernah bahas soal ini di kantor. Kalau sampai ada yang tahu, kau akan ku pecat!" Ujar Kairos tapi dengan suara pelan, jangan sampai didengar oleh kakeknya, bisa tambah runyam. Keona mengikuti langkah panjang Kairos menuju pasar. Stelan jas slim fit dengan tampang bak model, Kairos memasuki wilayah yang baginya pasti sangat kumuh. Ini momen berharga, rasanya Keona ingin mengabdikan. Tanpa sadar, dia membidik satu foto tampilan belakang Kairos. Punggung lebar pria itu membuatnya ingat bagaimana kuku jarinya menancap di sana kala pria itu memasukinya. "Dasar Keona bodoh. Sadar!" cicit Keona berlari mengejar langkah kaki Kairos.Pada akhirnya Keona memutuskan untuk memberi maaf dan kesempatan bagi Kairos. Bagaimanapun semua orang punya kesalahan. Kairos bersumpah dia tidak akan pernah lagi menyembunyikan apapun dari Keona. Meski tidak mudah percaya 100% pada Kairos, Keona tetap memperlakukan Kairos selayaknya suaminya, menghargai pria itu dan melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lambat laun suasana mulai mencair. Kairos menunjukkan perubahannya. Dia mulai memberikan waktu untuk membahagiakan Keona. Kairos bahkan membawa Keona ke beberapa tempat di Eropa sebagai bukti dari janjinya mengganti bulan madu mereka yang sempat gagal. Kairos pun akhirnya menceritakan alasannya mengajak Keona segera pulang dari Bali karena tidak ingin Alena mengganggu mereka terlebih menemui Keona dan mengatakan hal yang tidak benar. "Alena memang wanita yang pernah aku cintai dan aku tidak memungkirinya namun ternyata dia tidak pantas untuk kucintai karena dengan tega berkhianat. Pengkhianatan yang pertama sudah aku
"Sayang, kau sedang apa?" Kairos mendekati Keona. Gadis itu sedang duduk di depan TV tapi dengan tatapan kosong. "Kau sudah pulang! Seperti yang kau lihat, aku sedang menonton televisi. Apa ada yang aneh?" tanya Keona ketus. Kalau Kairos pikir akan mendapati istrinya menangis di rumah maka dia salah. Keona sudah terlalu lelah untuk menangisi kejadian buruk yang terjadi dalam hidupmu kini dia sudah kebal. "Keona, ada yang ingin ku bicarakan denganmu." "Silakan." Keona mengambil sikap tegak. Kalau dipermukaan dia terlihat tenang, maka di dalam sudah hancur. "Tentang Alena-" "Alena? Mmm... " Keona tampak berpikir lalu mulutnya terbuka, ekspresi orang yang lupa lantas beberapa kemudian ingat kembali. Kairos mempelajari mimik wajah Keona, mengukur seberapa besar amarah gadis itu padanya. Akting Keona tentu saja bisa dibaca oleh Kairos. Dia tahu gadis itu pura-pura lupa sosok Alena sebagai tamparan untuknya karena sudah menyembunyikan cerita ini darinya. "Aku tahu, kau pasti sangat
"Puas kau sekarang?" Bentak Kairos penuh emosi. Dia masih memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Keona. Seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau istrinya itu akan mendatangi kantornya ini. Mungkin saja ini sudah kehendak semesta, menunjukkan kepada Keona bahwa dia kembali berkomunikasi dengan Alena. Dia menyesal karena sudah mau menerima gadis itu, kini rumah tangganya berantakan. Pasti Keona sangat marah padanya. Kairos jadi ingat dua minggu yang lalu Alena tiba-tiba saja muncul di depannya, entah dari mana wanita itu tahu perusahaan Blessing ini adalah miliknya. Dia datang memaksa untuk bertemu hingga akhirnya Kairos mengizinkannya masuk. "Apa tujuanmu ke sini? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan pernah berani menunjukkan batang hidungku di hadapan Kairos Mahesa!" umpat Kairos ketika sudah berada di satu ruangan dengan Alena. Daripada wanita itu buat ribut, akhirnya mengizinkan Alena masuk,.itu pun demi menghindari rumor yang beredar. Dia tidak mau ada orang yang menya
Keona ingin pembuktian. Dia tidak ingin Lili memfitnah suaminya tanpa ada bukti. Akhirnya Lili membawanya ke sebuah rumah. "Aku mengikuti gadis yang bersama Kairos dan inilah tempat tinggalnya. Keona masih mengamati rumah itu. Dia diam seribu bahasa. Kalau kemarin hanya dia yang melihat kebersamaan Kairos dan Alena kini bertambah satu dengan Lili. "Apakah kau yakin Lili?" tanya Keona datar. "Aku sangat yakin, bahkan Arlan juga melihatnya. Hanya saja dia mengatakan bahwa aku sebaiknya tidak ikut campur dan tidak usah memberitahumu. Menurutku, aku tidak bisa diam. Kau sahabatku, tentu saja aku berpihak padamu," jawab Lili merasa kasihan pada Keona. Pernikahan mereka masih seumur jagung, tapi harus sudah kandas karena orang ketiga. Tapi dia berjanji seburuk apapun keadaan Keona, apapun yang terjadi menimpa sahabatnya itu dia akan selalu berada di garda terdepan membela dan melindungi Keona. "Terima kasih Lili mungkin aku harus jujur padamu." Keona pun menceritakan tentang p
Besoknya saat Kairos pulang, Keona tidak lagi menyambutnya dengan seantusias sebelumnya. Bayangan Kairos yang jalan bersama Alena di mall masih membekas dalam benaknya. "Aku membawakan oleh-oleh untukmu." "Terima kasih," jawab Keona seadanya. Kairos memandangi istrinya, lagi-lagi wanita itu terlihat tidak bersahabat bahkan bisa dibilang tidak senang dengan kepulangannya tapi Kairos terlalu lelah untuk berdebat jadi dia memilih untuk mengecup puncak kepala Keona dan naik ke atas untuk membersihkan diri. "Bu, hanya sekedar saran sebaiknya kalau suami baru pulang dari luar kota disambut dengan gembira, penuh senyum jangan cemberut. Mungkin bapak sudah lelah, capek pulang bekerja. Nanti kalau ibu terus menyambut bapak dengan wajah cemberut, bisa-bisa bapak bosan dan malas pulang ke rumah. Bibi hanya sekedar mengingatkan karena bibi sudah menganggap Bu Keona seperti anak sendiri. Zaman sekarang ini banyak wanita yang sudi menggantikan tempat istri sah," nasihat Bi Darsih panjang lebar.
Keona terbangun di tengah malam. Mimpinya sangat buruk. Napasnya masih setengah-setengah bangun terbangun dari tidurnya. Rasanya seperti nyata. Keona pun memanjatkan doa agar mimpi buruknya hanyalah sebatas mimpi. Setelah mencuci muka Keona tidak bisa tertidur lagi. Pandangannya terus tertuju pada foto pernikahan mereka yang digantung di dinding. Meskipun tidak ingin mengingat kembali mimpi buruk itu tapi Keona tidak bisa untuk mengabaikan kegelisahan hatinya. Mimpinya sangat buruk. Dia melihat Kairos bermesraan dengan Alena. Awalnya hanya ada Alena dalam mimpinya wanita itu tengah berbincang dengan seorang pria semakin lama ketika memperhatikan dan Alena melihat dirinya keduanya menoleh ke arah Keona. Saat itulah Keona bisa melihat wajah pria yang tengah bicara dengan Alena adalah suaminya. Dalam mimpi itu Alena dan Kairos mentertawakan kebodohannya yang selama ini tidak menyadari hubungan terlarang yang ada di antara mereka. Keona menangis memohon kepada Kairos agar kemba