Share

Part 5

Setelah kejadian malam panas itu, Ara tidak lagi keluar apartemen. Ia juga membatalkan pekerjaan sebagai pelayanan restoran. Kini yang ia lakukan hanya berdiam diri di dalam apartemen, ia masih merasa takut untuk keluar apartemen. Ara hanya akan keluar jika ia membutuhkan sesuatu yang sangat penting.

Seperti hari ini, Ara tengah malas malasan di apartemennya. Sejak pagi ia tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun, yang ingin ia lakukan hanya rebahan di atas kasur. Bahkan ia tak membersihkan apartemen, dikarenakan ia sedang tidak mood.

Saat asik-asiknya rebahan, Ara terpaksa menghentikan kegiatannya karena suara bell apartemennya. Dengan malas Ara pun turun dari kasurnya, dan pergi menuju pintu untuk melihat siapa yang bertamu di siang bolong seperti ini.

"Ck, ganggu orang aja." Gerutu Ara sambil membuka pintu apartemennya.

Namun, saat melihat siapa yang telah mengganggu waktunya, raut wajah Ara menjadi datar tanpa ekspresi. Di hadapannya, ada nyonya Gina dan laki-laki cukup tua, yang Ara yakini bahwa itu Ayah dari nyonya Gina.

"Ada apa?" tanya Ara dengan angkuh.

"Ck, beginikah kau menyambut seorang tamu? Sungguh tidak memiliki etika sama sekali," ketus nyonya Gina dengan sinis.

"Saya tidak memiliki waktu lama untuk berdebat dengan anda, Nyonya. So, to the point saja." Tegas Ara.

"Kami ingin kau meninggalkan Hasbi." Ucap Kakek Hasbi dengan tegas.

"Ck, kalian hanya ingin mengatakan hal ini? Sungguh kalian tidak ada pekerjaan sekali," ejek Ara.

"Dan ingat satu hal, tanpa kalian ingatkan, aku sudah menjauhi Hasbi. Bahkan aku berharap tidak bertemu dengannya seumur hidupku, karena Hasbi hanyalah benalu yang telah merusak hidupku." Ucap Ara menatap tajam dua orang di hadapannya itu.

"Bagus! Aku harap apa yang kau ucapkan, bukan hanya bualan semata."

Nyonya Gina mengambil cek di dalam tasnya dan menyerahkan pada Ara. "Jika kau butuh, jangan berlagak tidak butuh. Secepatnya kau harus pergi dari sini, bila perlu kau tidak boleh kembali lagi ke Indonesia." Tegas Nyonya Gina.

Setelah mengatakan itu, nyonya Gina dan Kakek Hasbi pergi meninggalkan Ara seorang diri di depan pintu apartemennya. Sedangkan Ara hanya menatap nanar kepergian dua orang itu, dan setelah itu ia masuk ke dalam dengan membantingkan pintunya sangat kencang.

Ara marah pada dirinya sendiri, karena tak bisa melawan nyonya Gina. Bahwa lebih menjijikkan lagi, ia mau menerima cek yang di berikan nyonya Gina. "Sial," umpatnya.

Dengan keadaan marah, Ara segera mengemasi pakaian miliknya. Ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan Jakarta. Ia tak ingin harga dirinya diinjak-injak kembali oleh keluarga Hasbi. Sudah habis kesabarannya saat ini, Ara tak ingin lagi dirinya itu semakin terhina. Apalagi ia memiliki firasat, bahwa ada nyawa di dalam perutnya.

Ya, Ara merasakan hal berbeda pada dirinya itu. Ia mencoba abaikan. Namun, keanehan itu semakin nyata. Entah dari emosinya yang tak stabil, keinginan untuk makan sesuatu dan keinginan pergi ke suatu tempat. Ara bukan gadis polos yang tak mengerti apa apa. Walaupun ia tidak pernah bergaul, tetapi ia tau apa yang sedang terjadi pada tubuhnya itu. Namun, Ara berharap apa diduga nya itu salah. Karena bagaimanapun, ia belum siap untuk hamil. Apalagi hamil diluar nikah seperti ini.

Disisi lain, tepatnya di dalam mobil. Nyonya Gina dan Ayahnya tampak mengobrol serius sambil menatap apartemen Ara.

"Kau yakin dia akan pergi?" tanya Ayahnya.

"Aku sangat yakin, Ayah. Dia pasti akan pergi setelah kita memperlakukannya seperti itu tadi." Balas nyonya Gina dengan percaya diri.

"Kau memang pintar, Nak." Pujinya pada Nyonya Gina.

"Tentu saja," balas Nyonya Gina dengan tersenyum puas. Keduanya tertawa keras membayangkan raut wajah Ara tengah menangis.

"Mari kita rayakan keberhasilan kita ini," ucap Ayahnya.

"Tentu saja." Keduanya tertawa kembali, apalagi saat keduanya melihat Ara pergi membawa koper. Itu artinya, usaha mereka memang benar-benar berhasil.

"Lihat, Ayah. Dia pergi," ucap Nyonya Gina dengan diakhiri tawa keras.

"Kau memang hebat, Nak. Ayah bangga padamu."

Namun, tawa mereka tak berlangsung lama. Kedua pasang mata itu melihat keberadaan Hasbi yang mencegah Ara untuk pergi, bahkan tak segan segan Hasbi memohon pada Ara untuk tidak meninggal kota itu. Melihat pemandangan itu, Nyonya Gina dan Ayahnya turun dari mobilnya, dan pergi menghampiri Hasbi yang tengah membujuk Ara.

"Biarkan saja ia pergi! Mama sudah memberinya uang yang cukup banyak untuk kelangsungan hidupnya itu." Ketus Nyonya Gina saat tiba didekat putra satu-satunya itu.

"Mama." Hasbi sangat terkejut melihat keberadaan Mamanya, di tambah dengan kedatangan Kakeknya yang juga ada disana.

Disini lah Hasbi bisa menebak, bahwa Mama dan Kakeknya yang membuat Ara bersikeras untuk pergi meninggalkan kota Jakarta kembali.

"Tidak perlu terkejut seperti itu, Nak. Kau pasti sudah tau apa yang kami lakukan pada gadis kecil itu." Ucap Kakeknya dengan menatap Ara yang perlahan menjauh dari mereka.

"Kalian keterlaluan!" Hasbi segera melangkah pergi meninggalkan Mama dan Kakeknya.

Sedangkan Ara yang lebih dulu pergi dari sana, kini sedang berada di dalam taksi. Karena sebelumnya ia sudah memesan taksi, agar kepergiannya lebih mudah.

'Aku harap setelah meninggal negara ini, aku bisa hidup lebih baik tanpa ada hinaan lagi.' Gumam Ara sambil menatap kearah luar jendela mobil. Perlahan Ara menutup matanya, hingga akhirnya ia terlelap dengan tenang.

Ara sudah memutuskan tinggal di LA, karena disana ada satu cabang milik Omnya, yang memang sudah diberikan pada Ara. Disana Ara ingin memulai karier sekaligus hidup barunya, tanpa ada seorang pun yang mengenal dirinya. Ara juga sudah mengatakan pada Mars, dan Mars hanya bisa mendukung apa yang sudah menjadi keputusan keponakannya itu. Walaupun Mars sedikit curiga, mengapa Ara ingin sekali pergi dari Indonesia. Tetapi, ia tidak ingin menanyakan hal itu, baginya itu privasi Ara. Ia tak berhak mencampuri urusannya.

Disisi lain, Hasbi tengah mengamuk saat kehilangan jejak Ara. Ia tak menyangka Ara akan pergi secepat itu, tanpa meninggalkan jejak.

"Sial! Bagaimana kalau dia mengandung anakku nanti?" gumamnya sambil memukul setir mobil.

Ya, Hasbi mengejar Ara hanya karena takut wanita itu hamil. Ia tak juga ingin membalas semua kesalahan di masa lalu, walaupun Ara tidak tau apa-apa. Rasanya dosa Hasbi semakin banyak, apalagi setelah meniduri Ara malam itu. Dan jika sampai ketakutannya yang satu ini terjadi, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Karena hari semakin sore, akhirnya Hasbi memutuskan untuk pulang. Ia akan meneruskan pencarian nanti malam, karena dirinya saat ini sedang membutuhkan istirahat yang cukup untuk mencari Ara kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status