Share

Part 6

Malam semakin larut, bahkan jam sudah menunjukkan angka 01.00. Tetapi, Hasbi tampak tidak menyerah mencari keberadaan Ara. Hasbi terus-menerus mencari Ara, hingga ia tak menyadari, ponsel miliknya terus saja berdering.

"Kau menemukannya?" tanya Hasbi pada bodyguard, yang ia suruh untuk mencari Ara.

"Ya, Tuan. Pesawat yang ditumpangi Nyonya Ara, pergi menuju LA." Balas bodyguardnya.

"Siapkan semuanya, saya ingin malam ini kita berangkat ke LA. "

"Baik, Tuan."

Bodyguard itu pergi untuk menyiapkan penerbangannya. Sedangkan, Hasbi kembali ke dalam mobilnya untuk beristirahat. Saat membuka ponsel, ia sangat terkejut mendapati begitu banyak panggilan tak terjawab dari Angel, tunangannya. Namun, bukannya menelpon balik. Hasbi malah mematikan ponselnya, karena ia memang sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun termasuk kedua orangtuanya dan tunangannya itu.

Tak lama, bodyguard Hasbi pun datang dengan membawa koper kecil. "Apa isi koper itu?" tanya Hasbi dengan bingung, karena ia tak menyuruh bodyguardnya untuk membeli koper.

"Tentu saja baju anda, Tuan." Balas bodyguardnya.

"Untuk?"

"Pakaian milik anda, Tuan. Karena tidak mungkin bukan, kita ke LA tidak membawa pakaian sama sekali. " Jelas bodyguardnya itu dengan panjang lebar, sedangkan Hasbi hanya mengangguk mengerti.

"Kau memang bisa diandalkan, Jo." Ucap Hasbi dengan bangga. Orang yang dipujinya, hanya diam fokus menyetir mobil.

Los Angeles.

Jarum jam menunjuk angka 15.00, seorang wanita cantik bertubuh ramping tampak baru saja menyelesaikan acara masaknya. Dia Arabella, gadis yang kemarin melarikan diri dari Jakarta, dan pergi menuju LA.

Netranya menatap semua makanan yang sudah tersaji di atas meja. Lalu, ia mengalihkan pandangan pada jam dinding yang menunjuk angka 15.00 itu. Dengan segera ia merapikan semua alat masaknya, dan pergi untuk membersihkan tubuhnya.

Bel apartemen berbunyi, Ara yang baru saja selesai mandi segera membuka pintu apartemennya. Karena ia tahu, bahwa Omnya lah yang datang ke apartemennya.

"Silakan masuk, Om." Ara membuka pintu itu dengan lebar, dan mempersilahkan Omnya untuk masuk.

"Terimakasih, Nak." Ara hanya tersenyum. Lalu, menutup kembali pintu apartemennya.

Di meja makan, Ara dan Omnya makan dengan khidmat. Tidak ada satu orang pun di antara mereka berdua berniat memulai pembicaraan. Selesai makan, keduanya pergi ke ruang tamu.

"Bagaimana, Ara? Apakah kau setuju?" tanya Mars.

Mars menawarkan sebuah pekerjaan pada Ara, karena memang Ara sendiri yang memaksa ingin bekerja. Oleh karna itu, ia datang ke apartemen keponakannya itu untuk membahas tentang pekerjaan.

"Sekretaris, Om?" tanya Ara dengan raut wajah terkejut. Karena, Ara tidak menyangka kalau Omnya akan menempatkan dirinya sebagai sekretaris. Padahal Omnya tau, bahwa dirinya tidak sekolah tinggi.

"Iya… Apakah kau keberatan?"

"Tentu saja tidak, Om. Hanya saja, aku merasa tidak pantas sekali jika menduduki posisi sebagai sekretaris. Karena Om tahu bukan, aku tidak sekolah tinggi. Mana bisa aku menjadi seorang sekretaris. Bisa-bisa perusahaan Om bangkrut, " tutur Ara panjang lebar, dan diakhiri sedikit kekehan di ujung kalimatnya.

Mendengar hal itu, Mars langsung tertawa keras. Keponakannya itu benar-benar polos sekali, mana mungkin ia tidak akan mengajarkan tentang perusahaan nanti.

"Ada banyak orang yang akan mengajarimu nanti, Nak. Cepat atau lambat, kau pasti bisa menguasai dunia bisnis." Balas Mars.

"Nanti Ara akan pikirkan kembali," ucap Ara dengan menunduk.

"It's okay, tidak masalah. Om juga tidak akan memaksa kamu untuk ikut terjun ke dalam dunia bisnis," ujarnya menenangkan Ara.

Ara tersenyum. Lalu, memeluk pria di hadapannya itu. Namun, saat menghirup aroma tubuh Mars, Ara segera melepaskannya. Lalu, berlari pergi menuju wastafel untuk memuntahkan isi perutnya.

Mars yang ditinggal begitu saja sangat terkejut, ia pun menyusul Ara untuk memastikan keponakannya itu baik-baik saja atau tidak.

"Are you okay?" tanya Mars dengan cemas. Karena, tidak biasanya Ara mengalami muntah-muntah seperti tadi.

"Tolong, jangan mendekat, Om!" perintah Ara dengan wajah pucat.

"Baik, Om tidak akan mendekat. Tapi, apakah kau baik-baik saja?" tanya Mars sekali lagi.

Ara hanya mengangguk. Lalu, membersihkan mulutnya. "Aku baik-baik saja, Om jangan khawatir."

"Kau yakin?" tanyanya lagi.

"Ya, aku–"

Bruk….

Tubuh Ara ambruk begitu saja. Melihat hal itu, Mars segera membawa Ara pergi ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ara dibawa oleh dokter untuk diperiksa. Sedangkan Mars hanya menunggu di luar ruangan.

Tak lama, pintu ruangan dibuka oleh dokter. Mars segera beranjak dari duduknya dan menanyakan langsung apa yang terjadi pada Ara.

"Dokter, bagaimana keadaan keponakan saya?" tanya Mars dengan harap-harap cemas. Karena, ia takut keponakannya itu divonis penyakit serius.

"Keponakan?" tanya Dokter itu dengan bingung.

"Ya, dia keponakan saya."

Dokter itu tentu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Mars. Namun, ia memilih untuk tidak peduli. Toh, itu bukan urusannya bukan. Tugasnya di sini untuk menyelamatkan dan menyembuhkan orang-orang, bukan mengorek urusan pribadi pasien.

"Keponakan anda tengah hamil, Tuan. Dan usia kandungannya baru saja menginjak satu minggu," papar Dokter itu.

Sedangkan Mars yang mendengar kabar, bahwa Ara tengah hamil tentu saja sangat terkejut. Mars seakan disambar petir di siang bolong, ia mencoba meyakinkan dirinya,bahwa ini hanyalah mimpi. Namun, nihil. Inilah kenyataan yang harus diterimanya, walaupun ia sendiri tidak percaya itu.

"Saya menyarankan agar Nona Ara beristirahat dengan cukup, dan jangan terlalu banyak pikiran. Karena, jika Nona Ara banyak pikiran. Itu akan berpengaruh pada janin yang ada dalam kandungannya. Tuan bisa membawa pulang hari ini, karena kondisi pasien sudah cukup stabil."

"Terimakasih, Dok. "

"Sama-sama. Kalau begitu, saya izin undur diri, Tuan." Mars hanya mengangguk, dan membiarkan Dokter itu pergi.

Perlahan Mars melangkahkan kakinya menuju ruang milik Ara, ia akan meminta jawaban dari keponakannya itu tentang kehamilannya.

"Om, aku dimana?" tanya Ara saat mendapati dirinya, ditempat asing menurutnya.

"Kau sudah sadar, Nak." Tanya Mars, tanpa menjawab pertanyaan keponakannya itu. Sedangkan, Ara hanya mengangguk dan mencoba duduk.

"Haus." Mendengar perkataan Ara, Mars segera mengambil air minum di atas nakas, dan memberikannya pada Ara.

"Aku kenapa, Om?" tanya Ara setelah selesai minum.

"Istirahat lah dulu, kau pasti pusing." Ucap Mars dengan lembut. Walaupun dalam hatinya terdapat kekecewaan besar, Mars mencoba untuk tidak bertindak gegabah. Ia akan menanyakan siapa anak yang dikandung Ara, dengan cara baik-baik saat sudah sampai di apartemen nanti.

"Apakah aku pingsan tadi?" tanya Ara tak menggubris perintah Omnya.

"Iya, Nak. Kata dokter, kau kelelahan. Oleh karena itu, kamu sebaiknya istirahat dulu. Om akan kasih tahu kamu, saat kita sudah sampai di apartemen nanti." Tutur Mars dengan lembut.

Ara hanya mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya kembali di atas brankar. Dalam benaknya, Ara bertanya-tanya. Apakah ia memiliki penyakit serius, sampai Omnya tidak berani mengatakan di rumah sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status