Malam semakin larut, bahkan jam sudah menunjukkan angka 01.00. Tetapi, Hasbi tampak tidak menyerah mencari keberadaan Ara. Hasbi terus-menerus mencari Ara, hingga ia tak menyadari, ponsel miliknya terus saja berdering.
"Kau menemukannya?" tanya Hasbi pada bodyguard, yang ia suruh untuk mencari Ara."Ya, Tuan. Pesawat yang ditumpangi Nyonya Ara, pergi menuju LA." Balas bodyguardnya."Siapkan semuanya, saya ingin malam ini kita berangkat ke LA. ""Baik, Tuan."Bodyguard itu pergi untuk menyiapkan penerbangannya. Sedangkan, Hasbi kembali ke dalam mobilnya untuk beristirahat. Saat membuka ponsel, ia sangat terkejut mendapati begitu banyak panggilan tak terjawab dari Angel, tunangannya. Namun, bukannya menelpon balik. Hasbi malah mematikan ponselnya, karena ia memang sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun termasuk kedua orangtuanya dan tunangannya itu.Tak lama, bodyguard Hasbi pun datang dengan membawa koper kecil. "Apa isi koper itu?" tanya Hasbi dengan bingung, karena ia tak menyuruh bodyguardnya untuk membeli koper."Tentu saja baju anda, Tuan." Balas bodyguardnya."Untuk?""Pakaian milik anda, Tuan. Karena tidak mungkin bukan, kita ke LA tidak membawa pakaian sama sekali. " Jelas bodyguardnya itu dengan panjang lebar, sedangkan Hasbi hanya mengangguk mengerti."Kau memang bisa diandalkan, Jo." Ucap Hasbi dengan bangga. Orang yang dipujinya, hanya diam fokus menyetir mobil.Los Angeles.Jarum jam menunjuk angka 15.00, seorang wanita cantik bertubuh ramping tampak baru saja menyelesaikan acara masaknya. Dia Arabella, gadis yang kemarin melarikan diri dari Jakarta, dan pergi menuju LA.Netranya menatap semua makanan yang sudah tersaji di atas meja. Lalu, ia mengalihkan pandangan pada jam dinding yang menunjuk angka 15.00 itu. Dengan segera ia merapikan semua alat masaknya, dan pergi untuk membersihkan tubuhnya.Bel apartemen berbunyi, Ara yang baru saja selesai mandi segera membuka pintu apartemennya. Karena ia tahu, bahwa Omnya lah yang datang ke apartemennya."Silakan masuk, Om." Ara membuka pintu itu dengan lebar, dan mempersilahkan Omnya untuk masuk."Terimakasih, Nak." Ara hanya tersenyum. Lalu, menutup kembali pintu apartemennya.Di meja makan, Ara dan Omnya makan dengan khidmat. Tidak ada satu orang pun di antara mereka berdua berniat memulai pembicaraan. Selesai makan, keduanya pergi ke ruang tamu."Bagaimana, Ara? Apakah kau setuju?" tanya Mars.Mars menawarkan sebuah pekerjaan pada Ara, karena memang Ara sendiri yang memaksa ingin bekerja. Oleh karna itu, ia datang ke apartemen keponakannya itu untuk membahas tentang pekerjaan."Sekretaris, Om?" tanya Ara dengan raut wajah terkejut. Karena, Ara tidak menyangka kalau Omnya akan menempatkan dirinya sebagai sekretaris. Padahal Omnya tau, bahwa dirinya tidak sekolah tinggi."Iya… Apakah kau keberatan?""Tentu saja tidak, Om. Hanya saja, aku merasa tidak pantas sekali jika menduduki posisi sebagai sekretaris. Karena Om tahu bukan, aku tidak sekolah tinggi. Mana bisa aku menjadi seorang sekretaris. Bisa-bisa perusahaan Om bangkrut, " tutur Ara panjang lebar, dan diakhiri sedikit kekehan di ujung kalimatnya.Mendengar hal itu, Mars langsung tertawa keras. Keponakannya itu benar-benar polos sekali, mana mungkin ia tidak akan mengajarkan tentang perusahaan nanti."Ada banyak orang yang akan mengajarimu nanti, Nak. Cepat atau lambat, kau pasti bisa menguasai dunia bisnis." Balas Mars."Nanti Ara akan pikirkan kembali," ucap Ara dengan menunduk."It's okay, tidak masalah. Om juga tidak akan memaksa kamu untuk ikut terjun ke dalam dunia bisnis," ujarnya menenangkan Ara.Ara tersenyum. Lalu, memeluk pria di hadapannya itu. Namun, saat menghirup aroma tubuh Mars, Ara segera melepaskannya. Lalu, berlari pergi menuju wastafel untuk memuntahkan isi perutnya.Mars yang ditinggal begitu saja sangat terkejut, ia pun menyusul Ara untuk memastikan keponakannya itu baik-baik saja atau tidak."Are you okay?" tanya Mars dengan cemas. Karena, tidak biasanya Ara mengalami muntah-muntah seperti tadi."Tolong, jangan mendekat, Om!" perintah Ara dengan wajah pucat."Baik, Om tidak akan mendekat. Tapi, apakah kau baik-baik saja?" tanya Mars sekali lagi.Ara hanya mengangguk. Lalu, membersihkan mulutnya. "Aku baik-baik saja, Om jangan khawatir.""Kau yakin?" tanyanya lagi."Ya, aku–"Bruk….Tubuh Ara ambruk begitu saja. Melihat hal itu, Mars segera membawa Ara pergi ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ara dibawa oleh dokter untuk diperiksa. Sedangkan Mars hanya menunggu di luar ruangan.Tak lama, pintu ruangan dibuka oleh dokter. Mars segera beranjak dari duduknya dan menanyakan langsung apa yang terjadi pada Ara."Dokter, bagaimana keadaan keponakan saya?" tanya Mars dengan harap-harap cemas. Karena, ia takut keponakannya itu divonis penyakit serius."Keponakan?" tanya Dokter itu dengan bingung."Ya, dia keponakan saya."Dokter itu tentu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Mars. Namun, ia memilih untuk tidak peduli. Toh, itu bukan urusannya bukan. Tugasnya di sini untuk menyelamatkan dan menyembuhkan orang-orang, bukan mengorek urusan pribadi pasien."Keponakan anda tengah hamil, Tuan. Dan usia kandungannya baru saja menginjak satu minggu," papar Dokter itu.Sedangkan Mars yang mendengar kabar, bahwa Ara tengah hamil tentu saja sangat terkejut. Mars seakan disambar petir di siang bolong, ia mencoba meyakinkan dirinya,bahwa ini hanyalah mimpi. Namun, nihil. Inilah kenyataan yang harus diterimanya, walaupun ia sendiri tidak percaya itu."Saya menyarankan agar Nona Ara beristirahat dengan cukup, dan jangan terlalu banyak pikiran. Karena, jika Nona Ara banyak pikiran. Itu akan berpengaruh pada janin yang ada dalam kandungannya. Tuan bisa membawa pulang hari ini, karena kondisi pasien sudah cukup stabil.""Terimakasih, Dok. ""Sama-sama. Kalau begitu, saya izin undur diri, Tuan." Mars hanya mengangguk, dan membiarkan Dokter itu pergi.Perlahan Mars melangkahkan kakinya menuju ruang milik Ara, ia akan meminta jawaban dari keponakannya itu tentang kehamilannya."Om, aku dimana?" tanya Ara saat mendapati dirinya, ditempat asing menurutnya."Kau sudah sadar, Nak." Tanya Mars, tanpa menjawab pertanyaan keponakannya itu. Sedangkan, Ara hanya mengangguk dan mencoba duduk."Haus." Mendengar perkataan Ara, Mars segera mengambil air minum di atas nakas, dan memberikannya pada Ara."Aku kenapa, Om?" tanya Ara setelah selesai minum."Istirahat lah dulu, kau pasti pusing." Ucap Mars dengan lembut. Walaupun dalam hatinya terdapat kekecewaan besar, Mars mencoba untuk tidak bertindak gegabah. Ia akan menanyakan siapa anak yang dikandung Ara, dengan cara baik-baik saat sudah sampai di apartemen nanti."Apakah aku pingsan tadi?" tanya Ara tak menggubris perintah Omnya."Iya, Nak. Kata dokter, kau kelelahan. Oleh karena itu, kamu sebaiknya istirahat dulu. Om akan kasih tahu kamu, saat kita sudah sampai di apartemen nanti." Tutur Mars dengan lembut.Ara hanya mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya kembali di atas brankar. Dalam benaknya, Ara bertanya-tanya. Apakah ia memiliki penyakit serius, sampai Omnya tidak berani mengatakan di rumah sakit.Setelah keadaan Ara membaik, Mars segera melakukan pembayaran, dan membawa pulang Ara. Sesampainya di apartemen, Mars menyuruh Ara untuk istirahat di kamarnya. Sedangkan, dirinya akan beristirahat di kamar sebelah. Tengah malam, Ara terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Netranya menatap jam dinding yang saat itu menunjuk angka 3 dini hari. "Kenapa aku sangat ingin makan sushi," gumamnya dengan bingung. Karena, tak biasanya ia terbangun dini hari dan menginginkan sesuatu. Ara pun turun dari kasurnya, dan melangkah menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia membuka pintu kulkas, dan menatap apakah masih ada persediaan sushi miliknya. Namun, Ara dibuat kecewa. Karena, sushi yang diinginkannya itu tidak ada. Terpaksa Ara kembali ke dalam kamarnya dengan raut wajah sedih. Pagi harinya, Mars bangun lebih dulu dari Ara. Ia juga sudah menyiapkan semua makanan untuk sarapannya bersama Ara. Tak lama, Ara datang dengan wajah kantuknya. "Pagi, Nak." Sapa Mars, menatap Ara yang masih beranta
Seorang laki-laki melangkah dengan tergesa-gesa menuju ruang VIP yang ada di Bar tersebut. Dia baru saja mendapat pesan dari nomor yang tidak ia kenal, pesan itu berisi foto seorang wanita tengah berbaring di atas brankar rumah sakit dengan wajah pucat. Saat pintu dibuka kasar oleh laki-laki itu, suara bariton menyambutnya. "Akhirnya kau datang juga," ucap seseorang itu. "Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk basa-basi, Tuan. Sekarang cepat katakan, dimana Ara?" tanya Hasbi dengan emosi yang sudah di ubun-ubun. Ya, laki-laki itu adalah Hasbi. Laki-laki yang sudah berani meniduri Ara, bahkan sampai membuat Ara hamil di luar nikah. Sedangkan seseorang itu adalah, Mars, Omnya Ara. Ia sengaja mengirim pesan berisi foto Ara, karena ingin menjebak Hasbi."Kenapa kau tampak terburu-buru sekali, anak muda?" ejek Mars, dengan meminum minuman yang ia pesan beberapa menit lalu. Hasbi mengepalkan tangannya, pria dihadapkannya benar-benar membuat Hasbi bertambah emosi. "Berapa uang yang
Di sebuah kamar bernuansa putih, sepasang manusia baru saja menyandang status suami istri tengah duduk di balkon kamar itu. Keduanya baru saja selesai melaksanakan pernikahan yang dihadiri oleh kerabat dan orang terdekat mereka saja. "Kau tidak bahagia?" tanya laki-laki itu. Wanita itu hanya diam, tak merespon laki-laki yang kini berstatus suaminya. Bukan karena tidak bisa bicara, tetapi ia memang malas membalas pertanyaan suaminya. "Jawab, Ara!" ucab Hasbi membuat Ara jengah. "Kau sudah tau jawabannya, bukan? Lantas, mengapa bertanya kembali?" tanya Ara dengan sinis. "Maafkan aku," lirih Hasbi. Kesalahan begitu fatal pada Ara, ia sudah membuat Ara menjadi yatim. Lalu, keluarganya sudah membuat Ara tak mengingat apapun, dan satu lagi kesalahan paling fatal, ialah menghancurkan masa depan Ara. "Maafmu tidak bisa mengembalikan semuanya, Hasbi. Masa depan ku tetaplah hancur, dan itu karena mu!"Selepas mengatakan itu, Ara pergi menuju kamar mandi. Ia ingin menenangkan pikiran dan
Keheningan masih tercipta di mansion milik Mars, ketiga orang dewasa itu saling membisu, diantara mereka tidak ada yang berniat untuk membuka suara, setelah mendapatkan paket misterius berisi foto kecelakaan yang dialami oleh Ayah Ara. "Buang saja fotonya jika tidak penting," ucap Ara, setelah lama terdiam. Ia sebenarnya sangat penasaran siapa yang kecelakaan itu. Tetapi, melihat reaksi kedua laki-laki di hadapannya itu, membuat Ara memutuskan berberi usul untuk membuang foto itu. "Ya, kau benar, Nak. Sebaiknya kita bakar aja fotonya," balas Mars, dengan mengambil foto foto itu, lalu membawanya keluar untuk dibakar. Sedangkan Hasbi masih diam membisu, dalam benaknya banyak sekali pertanyaan yang muncul. Siapa yang mengirim foto itu? Apa maksud mengirim foto itu? Apakah untuk menghancurkan hubungannya dengan Ara? Ataukah foto itu sengaja dikirim agar Ara cepat mengingat kembali kejadian 9 tahun yang lalu?"Hasbi," panggilan Mars, membuat lamunan Hasbi buyar seketika. Ia berdiri da
Pagi hari, kediaman Mars di hebohkan kembali oleh sebuah paket. Namun, kali ini paket itu bukan berisi foto, melainkan berisi boneka kecil milik Ara dulu. Tetapi, orang yang memilikinya tampaknya tidak mengenali boneka kesayangannya itu. "Bonekanya cantik banget," ucap Ara tiba-tiba. Hasbi dan Mars hanya diam, tak menanggapi ucapan Ara. Mereka kini sedang berpikir keras, siapa yang selalu mengirim paket misterius itu ke rumah mereka, dan apa tujuannya. "Sepertinya kita memiliki musuh," ujar Mars, membuat Ara melepaskan boneka itu dari tangannya. "Maksudnya?" tanya Ara tak mengerti. Jika benar mereka memiliki musuh, itu artinya ia berada dalam bahaya. Tapi, siapa musuhnya? Ara merasa ia tak memiliki musuh."Tidak ada," ucap Hasbi dengan cepat. Hasbi tidak ingin Ara tahu, bahwa mereka memiliki musuh. Karena, Hasbi takut kekhawatiran Ara berpengaruh pada kandungannya. Apalagi kandungannya masih terbilang cukup rawan, dan Hasbi tidak ingin hal buruk pada Ara dan kandungannya. "Sepe
Satu minggu berlalu. Namun, paket misterius itu tak berhenti datang. Setiap hari, selalu ada paket di bawah pintu. Semua orang yang ada di mansion itu mencoba tidak menggubris. Namun, tampaknya si pengirim paket itu tak mau menyerah dan terus menerus mengirim paket berisi barang-barang milik Ara dulu. Entah dari mana pengirim paket itu mendapatkan semua barang Ara, yang pasti ada seseorang yang telah mengambilnya di tempat Diana dulu menyimpan barang-barang itu. "Kenapa setiap hari selalu ada paket misterius seperti ini? Apakah kalian memiliki musuh diluar sana?" tanya Ara yang sudah frustasi, karena gangguan paket itu. "Ara, tenang dulu. Kau jangan pikirkan paket itu, karena itu hanya orang iseng saja," ucap Mars menenangkan Ara. "Orang iseng? Jika memang ia iseng, lalu mengapa setiap hari mengirimnya? Apakah dia tidak capek mengirim barang-barang aneh ini pada kita?" tanya Ara. "Sudah jangan dipikirkan, aku dan Om akan mencari tahu siapa orang yang sudah mengirim paket ini pada
Ara terus melangkahkan kakinya menuju lantai dua. Namun, saat dipertengahan jalan, Ara terpaksa menghentikan langkahnya saat sebuah suara memanggilnya. "Ara," suara bariton itu berasal dari atas tangga, Ara mendongak dan menemukan Mars sedang berdiri menatapnya. Ara tersenyum, lalu melangkah lebih cepat untuk menghampiri Omnya. "Ada apa?" tanya Ara setelah berada di dekat Mars. "Kau habis darimana?" tanya Mars pura-pura tidak tahu. "Bukannya sudah Ara bilang, kalau Ara pergi keluar sebentar.""Darimana?" tanya Mars kembali. "Beli ini," Ara menunjukkan sebuah es krim pada Mars. "Aku sedang ngidam es krim, Om. Karena itu tadi aku pergi sebentar keluar," lanjut Ara. "Kenapa kau tidak minta saja pada Hasbi untuk membelikannya?""Hasbi sedang menelpon rekan kerjanya, dan membahas tentang pekerjaan. Jadi, Ara tidak enak mengganggunya hanya untuk membeli sebuah es krim," jawab Ara. Mars tersenyum, mengagumi kepintaran Ara dalam menutupi kebohongan."Ya sudah, istirahat lah. Kau pasti
Bandara Soekarno-Hatta. Hasbi menapakkan kakinya ke tanah kelahirannya itu, ia mengedarkan pandangannya menatap bandara itu. Tidak ada yang berubah, karena Hasbi hanya meninggalkannya satu bulan, bukan satu tahun. Senyum terlukis indah dibibir itu, saat melihat keberadaan orang tuanya. Namun, senyum itu seketika luntur saat melihat ada sosok wanita muda yang ikut bersama mereka. Angel, mantan tunangannya. Wanita itu tampak berjalan disamping kiri Mamanya, dan mulai berjalan mendekatinya. Sesampainya di depannya, mereka berpelukan melepas rindu yang mereka tahan selama sebulan. "Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Gina. "Baik," balas Hasbi. "Kenapa kau tidak memberitahu kami, kalau kau akan datang ke sini?" tanya Gina kembali. "Aku hanya ingin membuat suprise untuk Mama."Gina hanya tersenyum mendengar jawaban dari putra satu-satunya itu. Namun, senyum itu Seketika hilang dari bibirnya, saat Yuda bertanya. "Bagaiamana kabar menantu Ayah dan cucu Ayah?" tanya Yuda. "Mereka baik-baik s