Aku terdiam mematung mendengar seluruh sikap maupun ucapan Freza pada Rista. Perasaanku senang, Freza berarti memang benar peka. Tak perlu lagi aku khawatir, karena Freza membantuku.
Rista menundukan kepalanya, wajahnya murung. Tangan kanannya terkepal kuat, aku tersenyum sinis melihatnya. Bisa dipastikan sekarang Rista sangat marah besar. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa."Ba baik, Tuan," ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Freza berdua di kamar.Kutatap Rista sampai pintu benar-benar membuatnya hilang dari pandangan. Aku merasa sedikit jahat sekarang, tetapi itu lebih baik untuknya. Karena Freza tak menyukai Rista, jadi ku berusaha menyadarkannya untuk segera melupakan Freza."Ngapa lo? Seneng ya, tinggal kita berdua di sini?" Ucapan Freza berhasil membuyarkan lamunanku.Aku tak menjawabnya, lebih baik sekarang menatapnya. Apakah pria itu akan merasa tidak nyaman jika kutatap seperti ini? Dan jawabannya tidak!"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak. Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku. "Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku. Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku. "Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi. Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar. Aku yang melihatnya menjadi bingung. "Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk memba
Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku. Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari. Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza. Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku. Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor. Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku. Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak mengham
"Apakah aku peduli?" tanyaku sambil memasang wajah datar menatap Freza. Sebenarnya diriku sedikit takut, tetapi aku merasa tertantang karena sikap Freza sudah cukup berbeda dari biasanya. Mungkin, ini akan menjadi hal yang sangat menarik bagiku. Freza berdecih kesal, "Baiklah, karena kamu istriku maka pijat bahu saya sekarang!" perintah Freza membuatku memelotot tajam. "Aku istrimu bukan pembantumu yang bisa seenaknya disuruh!" bantahku tidak terima. Akan tetapi bukan Freza namanya, dia menarik lenganku dan menyimpannya di bahu dirinya sendiri. "Ayo!" Aku mendengus kesal, kuturuti apa keinginannya. Sambil berpikir ada sesuatu hal yang berbeda di antara kami berdua. "Za, sejak kapan lo jadi ngomong formal gini sama gue?" tanyaku spontan ketika menyadari Freza menjadi lebih formal dari biasanya. "Suka hati lah, emang buat rugi kamu?" tanya Freza balik membuatku berdecih kesal. "Aneh tau gak? Lo biasanya gak bisa formal sekarang malah formal, dan ngapain juga lo nyuruh gue dateng
"Kalian berdua cukup hentikan!" pintaku menatap ke arah Freza dan Kak Alvian bergiliran. "Fiona, Kakak hanya ingin mengatakan padamu kalau Kakak suka sama kamu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tetapi Kakak benar-benar dengan perasaan Kakak terhadapmu," ucap Kak Alvian membuatku menatapnya tidak percaya. "Be benarkah?" tanyaku dibalas dengan anggukan dan senyuman tulus dari Kak Alvian. Freza menggertak gigi kesal, dia sampai memukul meja membuatku terkejut karena ulahnya yang tiba-tiba menjadi ganas seperti itu. "Saya akui keberanian anda menyatakan cinta pada istri saya di hadapan saya sendiri, tetapi anda perlu mengingat jika anda tengah menyatakan pada seorang istri atasan anda sendiri," tutur Freza membuat Kak Alvian menatapnya datar. Persaingan ini tiba-tiba sekali, mengapa mereka berdua memperebutkanku? Dan juga, aku baru mengetahui perasaan Kak Alvian yang sebenarnya. "Aku harus membawamu pergi dari sini, mari Sayang kita pergi dari sini. Ada banyak hal yang perlu kita
Aku tengah mencari bajuku di lemari, sedari tadi Freza memperhatikan kegiatanku. Membuatku menjadi salah tingkah dibuatnya. Setengah jam yang lalu kami telah menghabiskan makan malam berdua, orang tua Freza tengah pergi ke suatu tempat. Sehingga di rumah yang luas ini hanya kami berdua yang menghuni selain para pekerja di sini. "Za, jangan natap gue kayak gitu. Gak enak banget tau," ucapku yang telah menemukan pakaian tidurku malam ini. "Kenapa? Gak boleh emangnya? Gue nungguin Lo jelasin sesuatu," balas Freza santai membuatku menjadi gelisah. "Jelasin apaan sih? Gak jelas banget lo," ujarku dengan nada ketus. Aku mencoba untuk tidak mengingat kembali kejadian sebelumnya. Namun, Freza bersikeras membuatku kembali mengingatnya. "Mandi dulu sana, lo bau!" ucap Freza yang kemudian mendorong kursi rodanya menuju meja kerjanya. Aku tercengang mendengar ucapan Freza, hal itu berhasil membuatku malu setengah mati. Segera aku berlari ke kamar mandi, malu sekali mendapat cacian bau dari
Kakiku bergerak tidak nyaman, aku menunggu nomor urut giliranku tiba. Pagi ini aku berencana untuk mengecek tubuhku, aku baru sadar jika waktu datang bukankah sedikit terlambat. Aku khawatir jika sesuatu yang paling kutakuti sudah tiba waktunya. Sedari tadi aku merapalkan doa untuk diriku sendiri. Ketika nomor urutanku dipanggil, aku segera masuk ke dalam. Kulihat seorang dokter wanita muda tersenyum menatapku. "Ayo berbaringlah," perintahnya segera aku turuti. Dia memeriksaku sebentar kemudian menyuruhku untuk duduk di matras. "Bagaimana keadaan saya dok? Ap apakah benar kalau saya hamil?" tanyaku dengan nada khawatir. Dokter itu tersenyum kemudian mengangguk, "Benar sekali ibu, ibu tengah mengandung sudah dua minggu ini," balasnya membuatku terdiam membatu. Bagai tersambar petir di siang hari, aku terdiam mematung di tempatku sendiri. Hal yang paling aku takutkan kini terjadi, hanya dengan satu malam saja berhas
Kutarik nafas panjang, rasanya begitu berat sekarang. Kuputuskan untuk berjalan tidak tahu harus kemana. Kuikuti kakiku melangkah kemana dia mau. Hingga ketika tengah berjalan, sebuah mobil berhenti tepat di sampingku. "Fiona Sayang?" Suara itu membuatku membatu dengan sempurna. Perlahan kutatap wajah seorang wanita paruh baya yang mendekatiku. "Mama? Kapan Mama pulang ke sini?" tanyaku terkejut ketika melihat ibunya Freza sudah pulang dari perjalanan dinas ayahnya Freza. Mama tersenyum melihatku, dia mengelus lembut kepalaku. "Nak, kamu kenapa sendirian di sini? Ayo pulang, Mama akan memarahi Freza karena tidak menjemputmu pulang!" ucapnya sambil menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku terkejut sekali ketika melihat ada Papa di sana juga. Dia hanya mengulas senyumnya kepadaku dengan lembut. Situasiku tidak terduga sekarang, mengapa aku harus pulang ke rumah di saat suasanaku dengan Freza tidak baik? Dan mengapa tiba-tiba
"Lo serius?" tanyaku dengan lirih. Aku tak mengharapkan Freza akan menceraikanku secepat ini. Kupikir, kita bisa mengobrol dari hati ke hati, karena Freza sudah menyukaiku. Akan tetapi, sepertinya rasa simpati pun tidak ada padanya. Freza menatapku dengan tatapan tajam, aura mengintimidasinya begitu kuat dan mencekam. "Apa wajah gue keliatan gak serius? Mama gak bakal pernah terima menantunya lebih sampah daripada wanita mal–" Ucapan Freza terhenti karena aku segera menamparnya begitu keras. Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaran dibuatnya. "Cukup! Lo siapa berani bandingin gue sama wanita malam, hah!?" Sekuat tenaga aku menahan tangisku, Freza benar-benar tak punya hati. Menghinaku, padahal dirinya tidak tahu situasiku seperti apa. "Gue udah cukup sabar ya, kalo emang lo mau cerai gak usah pake hina segala. Gue gak pernah buat rugi lo selama ini," tuturku dengan nada yang sedikit merendah.