“Puas kamu mempermalukan Ayah Ibu seperti ini! Puas kamu membuat keluarga kita malu!! Lihat Ayahmu! Dia sampai jatuh sakit!" Sang ibu menunjuk ke arah kamar, yang didalamnya tergeletak Pak Maja yang masih tak sadarkan diri.
“Kami kecewa padamu! Entahlah, ibu pikir kamu sudah mulai menerima takdir. Tapi nyatanya, kamu masih mempertahankan egomu! Terlalu mengikuti perasaanmu tanpa memikirkan perasaan kami. Padahal harus kamu tahu kami melakukan ini demi kebaikanmu!” Ucap Sumarni kecewa dengan mata memerah. Sikap lemah lembutnya kini hilang, berganti dengan rasa marah dan kecewa.
Ia pergi kebelakang rumah untuk menenangkan diri.
Setelah penolakan itu, keluarga Pak Nurdin langsung undur diri dari rumah Naima. Wajah Pak Nurdin terlihat kecewa, dengan tatapan mata berkaca-kaca. Sementara Dewa menanggapinya cuek dengan tatapan wajah kosong, entahlah apa yang dirasa. Dia seperti orang linglung yang tak memiliki gairah hidup. Lain lagi dengan Niken bibirnya tersungging senyum sinis.
Pak Maja sangat kecewa dengan keputusan Putrinya, ia tak bisa mengendalikan diri. Darah tinggi yang dideritanya tiba-tiba naik, ia langsung jatuh tak sadarkan diri.
“Maaf bu, Nana tak bermaksud membuat Ayah sakit. Nana hanya mengikuti kata hati Nana. Tapi Nana tak tahu dampaknya seperti ini!” Ucap Naima menangis memegang tangan Sumarni. Ia menyesal telah gegabah mengambil keputusan. Melihat ayahnya sakit jiwanya pun ikut sakit, mungkin itu yang dinamakan ikatan kuat antara ayah dan anak.
Sumarni melepas genggaman tangan Naima, dan menatap tajam matanya.
“Asal kamu tahu! Kami berhutang budi besar kepada keluarga Pak Nurdin. Kamu harus tau Naima! Selain dia membantu membayar hutang ayahmu kepada Juragan Karsa, Pak Nurdin dengan rela mendonorkan mata anaknya untukmu!! Mata yang bisa melihat itu ialah mata Meira Na mata sahabatmu!! Meira dengan suka rela mendonornya untukmu! Meira melakukan ini agar Pak Nurdin tak merasa kesepian dan kehilangan. Walaupun raganya mati, tapi dia dapat hidup dengan harapan bisa melihat ayahnya setiap hari. Dan Pak Nurdin merasakan sosok anaknya hidup di ragamu. Inilah salah satu alasan kenapa Pak Nurdin menginginkanmu menjadi menantunya!" Sumarni berbicara penuh penekanan dengan bercucuran air mata. Suaranya sengaja di pelankan, agar tak terdengar sang suami ataupun orang lain.
“Kamu bukan saja menyakiti hati Ayah dan Ibu! Tapi kamu juga menyakiti hati Pak Nurdin dan juga Meira Na!” ucap Sumarni dengan suara yang tersengal.
“Ibu tidak bohong kan??” Tanya Naima dengan wajah shock. Ia tak menyangka yang mendonorkan mata untuknya adalah Meira sahabatnya, yang sudah pergi menghadap Ilahi karena sebuah kecelakaan yang menimpah mereka bersamaan.
“Tidak! Ibu tidak berbohong padamu! Ini kenyataannya!!” Jawab Sumarni dengan menggelengkan kepala
“Dan maaf, kami merahasiakannya darimu. Atas permintaan Meira! Seharusnya kamu memikirkan resiko jika menolaknya, bukan malah mengikuti egomu!” Jawab Sumarni seraya masuk ke dalam rumah.
Naima menangis putus asa dengan menangkupkan tangan kedua matanya.
“Meira.. mata mu.. ini mata mu.. Ternyata kamu menepati janji, untuk selalu bersamaku.” Naima menangis dengan menangkup wajahnya.
-
Naima terdiam mengingat kejadian 2 tahun lalu,
-
Meira gadis cantik yang beruntung, dia terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya pemilik perkebunan teh dan perkebunan karet yang luasnya berhektar-hektar, semua perkebunan karet yang ada di desa Ci Jangkar adalah milik Ayahnya.
Meira berteman dengan Nana sedari kecil. Ia mengenal Nana karena sering ikut ayahnya berkunjung ke rumah sahabatnya yaitu Pak Maja, yang tempat tinggalnya hanya berbeda kecamatan saja. Meira kecil memiliki sifat humble dan mudah bergaul. Ia bisa membaur dengan kalangan manapun.
Dan kejadian naas itu terjadi 2 tahun lalu, ketika Meira mengajak Naima berbelanja ke pusat kota.
-
“Hallo Nana, apa kabar?” Sapa Meira mengagetkan Naima yang sedang membaca buku.
“Meira ngagetin aja! Ucap salam kek, main nyelonong aja, kebiasaan!” Sungut Naima berdiri. Walaupun kesal, ia langsung memeluk Meira. Sahabat baik yang sangat dirindukannya
“Hehehe kan suprise Na.. Kamu sehat?? Tumben gak kerja?" Tanya Meira membalas pelukannya.
“Sekarang libur Ra. Pak Agus pulang ke rumahnya yang ada di kota. Orang tuanya sakit, makanya tokonya tutup. Jadi aku libur deh." Terang Naima dengan mata berbinar.
Naima bekerja di toko sembako milik Pak Agus yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Pak agus merupakan pria rantauan dari kota, yang lebih memilih tinggal di perkampungan, mengikuti jejak istrinya yang berasal dari desa tersebut.
“Kamu tumben udah ada di rumah? Emang libur kuliahnya?” Tanya Naima menarik tangan Meira untuk duduk di kursi yang terlihat sudah lapuk.
Biasanya Naima berjumpa Meira antara akhir tahun dan hari raya. Mereka jarang bertemu karena kesibukan Meira yang sedang melanjutkan studi di ibu kota.
“Aku belum libur kuliah Na, tapi pengen pulang. Jadi pulang aja. Tugas mah gampang, nanti nyusul aja." Sahut Meira sambil merapihkan rambut sebahunya.
Naima heran dengan ucapan Meira, biasanya Meira paling anti menunda tugas-tugas kuliah.
“Tumben-tumbenan kamu Ra. Kesambet dimana? Biasanya juga kamu paling anti numpuk tugas!” ujar Naima sambil meletakkan air minum di atas meja
“Aku pengen refresh otak dulu Na. Mumet kuliah mulu. Besok kita jalan-jalan yuk! Kamu masih liburkan?”
“Libur kayaknya. Pak Agus sampai sekarang belum ngasih kabar, gak tau dia pulang kesini kapan. Emang jalan-jalan kemana?”Tanya Naima duduk anteng di samping Meira.
“Aku mau ngajakin kamu ke kota, kita belanja-belanja gitu. Di rumah aku males ketemu Niken mulu, paling kesel itu harus nanggepin si Niken ngomong. Udah tau Bang Dewa gak suka sama dia, dia tetep aja datang ke rumah. Mau ngusir gak enak. Menurut aku si Niken spesies wanita yang gak punya urat malu deh!” Ujar Meira dengan bersungut-sungut.
Dia paling tidak menyukai Niken, teman kerja sang abang yang menaruh rasa pada abangnya.
“Dari raut wajahmu, aku bisa lihat kamu tak menyukai Niken. Kenapa? Padahal dia cantik loh!” Kelakar Naima memancing emosi Meira.
“Cantik darimananya? Cantikan akulah.. Entahlah perasaan aku mengatakan Niken punya niat terselubung sama keluargaku. Entah kepada papa ataupun pada Bang Dewa!" Meira menjawab dengan mimik wajah serius.
“Jangan soudzon sama orang, gak ada yang bisa tau hati seseorang. Mungkin itu perasaan kamu aja Ra." ucap Naima memegang tangan Meira memberikan kekuatan.
“Bisa jadi sih, tapi ya tetap aja aku gak suka sama dia. Kalau bisa jangan sampe keluargaku punya hubungan sama keluarga si Niken itu!”
“Gimana kalau Bang dewa berjodoh sama Niken, hayoo." Godanya. Meira langsung mendelik menatap kesal ke arah temannya itu.
“Aku harap jangan sampe Na! Aku gak ridho jika Bang Dewa punya hubungan sama si Niken! Apalagi sampe nikah, Ihhh amit-amit deh!" jawab meira mengepal tangan menggetok ke kepalanya sendiri berulang-ulang.
“Jangan gitu, jodohkan sudah di atur sama Tuhan. Jadi kalau mereka berjodoh ya kamu harus bisa menerima! Menerima Niken jadi kakak ipar kamu hahaha." Tawa keras Naima yang mendapat pelototan tajam dari Meira.
“No no no! Lebih baik kamu jadi kakak iparku! Nanti aku bantu comlangin deh sama Bang Dewa!" Goda Meira membalas kejahilan Naima.
“Gak mau ah, mending nyari pacar sendiri aja hahaha.”
-
-
“Ra, seriusan kamu bawa mobil sendiri? Kamu udah punya SIM, Kan?” Tanya Naima setelah berpamitan dengan ayah ibunya.
“Seriusanlah! Lagian kuliah aku bawa mobil sendiri Na, jadi udah biasa. Niih kamu bisa liat SIM aku” Meira membuka dompetnya dan menunjukkan SIM-nya kearah Naima
“Yaudah, kalau udah punya. Jadi aku tenang. Soalnya ini perdana aku dibawa kamu." ujar Naima sambil memasang sabuk pengaman.
“Tenang, bersamaku kamu aman terkendali!"
Lambat laun mobil yang dikendarai mereka meninggalkan perkampungan menuju perkotaan. Kondisi perjalanan cukup lengang, sehingga Meira pun menaikan kecepatan mobilnya.
“Ra jangan ngebut-ngebut aku takut! Biar lambat, asal selamat!” Naima ketakutan memegang erat sabuk pengaman. Sementara Meira malah tertawa dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu tenang aja! Asal pake sabuk pengaman, aman kok."
“Ra, turunin kecepatannya itu ada ibu-ibu yang mau nyebrang!" ucap Naima kaget menunjuk ke arah depan.
Meira menginjak rem, tapi rem tak berfungsi. Ia mulai panik,
“Ra, gak papa, Kan? Kenapa wajah kamu panik?" Tanya Naima dengan wajah tak kalah panik.
“Mobilnya gak bisa di rem Na! Rem nya blongg! Padahal dua hari lalu baru aku ganti, malem juga dipake masih baik-baik aja." Jawab Meira dengan wajah pucat.
“Sepertinya ada yang menyabotase rem mobil aku..”
“Meira awassssssss”
Meira berusaha mengendalikan mobil agar tidak menabrak ibu ibu yang sedang menyeberang jalan. Tapi naas, mobil Meira malah menabrak bis yang sedang melaju kencang dari arah berlawanan. Mobil mereka terpental menubruk pembatas jalan.
“Na..na..na..na.. “ suara pelan Meira memanggil Naima yang sudah tak sadarkan diri dengan darah mengalir dikepalanya, suara Meira semakin lemah dan ia menyusul Naima tak sadarkan diri.
-
“Na, Aku mohon jaga Papa untukku!”Suara itu menggema di telinga Naima, membangunkannya dari tidur lelap. Suara itu seperti nyata, tapi di kamar itu hanya ada dirinya sendiri.Meira kau kah itu?Guman Naima pelan.Naima tanpa rasa takut, bangun untuk melihat keadaan sekeliling. Tapi nihil, tak ada seorang pun. Hanya ada hembusan angin yang masuk melalui ventilasi udara diatas jendela kamarnya.Suasana kembali hening, kesunyian menghinggapi hatinya.Aku tidak janji untuk menjaga ayahmu, tapi aku akan berusaha untuk menjaganya. Karena untuk berjanji aku takut tak bisa menepati.--“Nana tumben kamu kesini Nak, ada perlu apa?” Tanya Pak Nurdin ramah. Ia tak memperlihatkan rasa kecewanya atas kejadian beberapa hari lalu.Naima mencium tangan Pak Nurdin. Setelah dipersilakan, ia duduk di sofa yang berseberangan dengan posisinya.“Nana hanya berkunjung saja Pak, kabar Bapak sehat?” Tanya Naima dengan wajah tertunduk. Ia malu untuk mengangkat wajahnya, karena rasa bersalah yang begitu besar
Setelah kejadian itu, hubungan Pak Nurdin dan Naima semakin dekat. Mereka bagaikan Ayah dan anak. Nana sering berkunjung ke rumah Pak Nurdin untuk bermain atau hanya sekedar ingin memastikan bahwa ayah dari sahabatnya itu baik-baik saja. Dia ingin menjaga Pak Nurdin sesuai permintaan sahabat terbaiknya.Hubungan kedua keluarga itu kini semakin erat, tidak ada sekat penghalang menyatunya kedua keluarga tersebut, walaupun tanpa sebuah ikatan yang diharapkan.Kondisi ayah Naima sudah membaik, ia bahagia melihat kondisi putrinya kini sudah kembali ceria, tidak seperti minggu-minggu lalu. Beban dipikirannya pun berkurang, ternyata kejadian menolak lamaran itu tak sesuai dengan pikiran buruknya. Dan sekarang malah berbuah manis, hubungan ia dengan sahabatnya itu malah semakin erat.-“Hallo ... Assalamualaikum Pak,” ujar Naima menjawab panggilan telpon yang berasal dari Pak Nurdin.“Waalaikumsalam Nana. Gimana kabarmu Nak? Ayah Ibumu sehat?” Tanya Pak Nurdin di sebrang sana.“Alhamdulillah
Naima terus berlari menghindari 4 preman yang terus mengejarnya. Perasaannya kalut setelah melihat Reza tergeletak bersimbah darah akibat di keroyok preman tak dikenal tersebut. Ia tak mungkin menyia-nyiakan pengorbanan Reza yang rela mempertaruhkan nyawa agar dirinya bisa selamat.Tanjakan-tanjakan terjal Naima lewati tanpa melihat kearah belakang. Nafasnya memburu dengan air mata yang bercucuran. Ia menghentikan pijakan kaki nya setelah sadar terlalu jauh berlari masuk ke dalam hutan. Pandangan nya langsung menyapu ke sekeliling, ke tempat asing yang baru pertama kali dipijaknya. Tangisnya semakin nyaring, dengan dada yang berdetak cepat. Alas kaki yang ia kenakan entah terlepas kemana, tapak kakinya kini bersemu merah bercampur darah, akibat tusukan ranting-ranting tajam di sepanjang perjalanan.“Ibu... Ayah ... Tolong Nana...” Rintihan pelan Naima seraya menyandarkan tubuhnya di bawah pohon yang berumur tua. Akarnya yang menjuntai besar menjadi pegangan agar dirinya tidak jatuh te
“Apa kau tidak papa?” Naima tidak bisa merespons ucapan seorang lelaki bersuara tegas yang kini berjongkok sambil menahan sebelah bahunya. Lidahnya kelu, dahinya berkeringat menahan rasa sakit dengan dada yang semakin sesak. Ia melihat samar-samar seorang lelaki berbaju bangsawan yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia kembali merasakan goncangan pelan di tubuhnya sebelum kesadaran kembali merenggutnya.Pria berparas tampan dengan perawakan gagah itu mengusap wajahnya, ia merenungi apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin meninggalkan wanita yang tengah terluka itu sendirian. Karena bagaimanapun, wanita itu terluka akibat kecerobohannya. Dan jika ia membawa ke tempatnya, apa alasan yang harus diutarakan kepada kedua orang tuanya. Tidak mungkin mereka akan menerima wanita itu dengan begitu saja. Karena bagaimanapun, wanita itu tetaplah orang asing.Pria itu pun mendesah frustasi. Setelah yakin dengan keputusan yang diambil, dengan sekali entakkan ia mem
Srett.. Dug.. dug.. Brugghhh“Sudah seminggu ini Pangeran kehilangan fokus, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya pria muda berpakaian serba hitam dengan iket dikepalanya. Ia membantu seorang pria yang tersungkur disampingnya. Ia kemudian memapah pria yang memiliki postur tinggi itu menepi ke pinggir lapangan tempat mereka latihan.“Aku tidak papa Cakra. Jangan khawatir. Kau latih saja prajurit, aku tidak papa sendiri.” Jawabnya singkat seraya menekuk kedua lututnya. Ia mendongakkan kepala ke langit biru, melihat kearah awan yang bergerak mengikuti tiupan angin. Benaknya kembali memikirkan kejadian satu minggu lalu, ketika ia membawa seorang wanita asing yang terluka ke rumah salah satu mantan abdi dalem nya ketika kecil.Apa kamu baik-baik saja disana? Semoga kamu sudah sehat seperti semula. Aku yakin Abah Arya dan Nyai Ratna pasti menerimamu dengan baik. Maafkan aku yang tak sengaja memanahmu, aku terlalu terkejut malam itu.
Di Keraton kerajaan, malam ini cukup ramai. Di halaman keraton, kereta kencana silih berganti datang mengantarkan para bangsawan yang akan menghadiri acara perjamuan. Mereka menggunakan pakaian terbaik, agar mendapatkan kesan baik sekaligus menjadi pusat perhatian di acara malam ini.Di Keputren, Sagara sedang mematung memandang tampilannya di depan cermin. Pakaian kerajaan yang melekat ditubuhnya nampak gagah penuh wibawa, tak lupa ia melapisinya dengan jubah berwarna abu-abu yang sangat kontrak dengan kulit kuning Langsatnya. Ia mengusap wajah lembut, lalu mengingat rapi rambut sebahunya ke belakang. Tak lupa ia mengenakan iket kepala yang dilapisi mahkota, menandakan bahwa ia merupakan penerus satu-satunya kerajaan besar itu.Sagara lebih nyaman mengenakan pakaiannya sendiri, tanpa perlu bantuan Kasim kerajaan yang sudah menunggunya di luar kamar.“Semoga malam ini cepat berlalu!” Gumamnya pelan seraya berjalan kearah pintu keluar. Di halaman Kepu
“Assalamualaikum.”Naima terlonjak kaget mendengar suara salam dari belakang tubuhnya. Ia yang masih berjongkok pun membalikkan tubuh lalu berdiri.“Waalaikumsalam.” Jawabnya lirih menatap aneh kearah seorang lelaki yang menggunakan tudung kepala dengan jubah putih ditubuhnya. Ia yakin di balik tudung kepala itu adalah seorang laki-laki, karena dilihat dari posturnya yang tinggi dan tegap.Di balik tudung kepala, seorang lelaki tertegun menatap wanita cantik yang berada di depannya. Walaupun tak menggunakan polesan, kecantikan wanita itu sangat memesona.Hatinya sedikit ragu, apakah wanita yang ada di hadapannya ini adalah wanita yang dibawanya beberapa hari lalu. Karena malam itu, ia tak mengingat jelas wajah wanita yang dibopongnya karena hari sudah malam. Ia pun tak menyangka, wanita yang dibopongnya itu benar-benar wanita cantik.“Maaf, mau cari siapa ya Mas?” Lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya tanpa membuka
Nyai Ratna, namun ia kembali heran ketika orang tua angkatnya yang tiba-tiba berdiri menyambut lelaki itu, seraya sedikit membungkukkan tubuhnya hormat. Naima mematung memperhatikan mereka yang kini duduk di lantai yang beralaskan papan.Siapa lelaki itu sebenarnya? Abah dan Ibu sangat menaruh hormat padanya. Lelaki itu nampak sangat di segani.“Nak duduk sini! Jangan berdiri disana!” Perintah Abah Arya yang menyandarkan kebingungan Sagara terus menggerakkan kanvasnya dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya. Perasaannya tiba-tiba berbunga-bunga setelah mengunjungi desa Buaran tadi pagi. Ia menggerakkan tangannya dengan lihai dengan tatapan mata yang berbinar. Ia tak tahu akan melukis apa, tapi ia hanya mengikuti instingnya saja.“Selesai!” Ia tertegun sebentar, mengamati objek lukisannya. Ya, lukisan seorang wanita dengan surai rambut tergerai dengan senyum yang merekah. Untuk pertama kalinya ia melukis wajah seorang wanita.
Ketika masuk ke dalam ruang tengah, Naima tertegun melihat lelaki yang duduk tegap di depan abahnya. Lelaki itu sangat tampan dan memesona dengan iket yang melingkar dikepalanya. Baru pertama kali ini ia melihat wajah lelaki yang nyaris sempurna. Ternyata wajah di balik tudung kepala itu sangat mempesona.Sadar dengan kehadiran orang lain di tempat itu, Sagara menolehkan kepalanya ke samping. Ia pun diam mematung ketika tatapan matanya bertemu dengan mata jernih naima yang sedang menatapnya, ia tak mampu lama memandang mata itu. Ia langsung mengalihkannya dengan wajah yang sedikit memanas. Untung saja cahaya di ruang itu mampu menyamarkan wajah merah di pipinya.Naima kembali menundukkan pandangannya, ia meletakkan teko di tengah-tengah mereka lalu memundurkan sedikit tubuhnya ke belakang.“Nak, Pangeran ini yang membawamu kesini untuk Abah obati. Dia yang menolong mu!” ujar Abah Arya sembari tersenyum. Naima membulatkan mata menatap sebentar kearah
Nyai Ratna, namun ia kembali heran ketika orang tua angkatnya yang tiba-tiba berdiri menyambut lelaki itu, seraya sedikit membungkukkan tubuhnya hormat. Naima mematung memperhatikan mereka yang kini duduk di lantai yang beralaskan papan.Siapa lelaki itu sebenarnya? Abah dan Ibu sangat menaruh hormat padanya. Lelaki itu nampak sangat di segani.“Nak duduk sini! Jangan berdiri disana!” Perintah Abah Arya yang menyandarkan kebingungan Sagara terus menggerakkan kanvasnya dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya. Perasaannya tiba-tiba berbunga-bunga setelah mengunjungi desa Buaran tadi pagi. Ia menggerakkan tangannya dengan lihai dengan tatapan mata yang berbinar. Ia tak tahu akan melukis apa, tapi ia hanya mengikuti instingnya saja.“Selesai!” Ia tertegun sebentar, mengamati objek lukisannya. Ya, lukisan seorang wanita dengan surai rambut tergerai dengan senyum yang merekah. Untuk pertama kalinya ia melukis wajah seorang wanita.
“Assalamualaikum.”Naima terlonjak kaget mendengar suara salam dari belakang tubuhnya. Ia yang masih berjongkok pun membalikkan tubuh lalu berdiri.“Waalaikumsalam.” Jawabnya lirih menatap aneh kearah seorang lelaki yang menggunakan tudung kepala dengan jubah putih ditubuhnya. Ia yakin di balik tudung kepala itu adalah seorang laki-laki, karena dilihat dari posturnya yang tinggi dan tegap.Di balik tudung kepala, seorang lelaki tertegun menatap wanita cantik yang berada di depannya. Walaupun tak menggunakan polesan, kecantikan wanita itu sangat memesona.Hatinya sedikit ragu, apakah wanita yang ada di hadapannya ini adalah wanita yang dibawanya beberapa hari lalu. Karena malam itu, ia tak mengingat jelas wajah wanita yang dibopongnya karena hari sudah malam. Ia pun tak menyangka, wanita yang dibopongnya itu benar-benar wanita cantik.“Maaf, mau cari siapa ya Mas?” Lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya tanpa membuka
Di Keraton kerajaan, malam ini cukup ramai. Di halaman keraton, kereta kencana silih berganti datang mengantarkan para bangsawan yang akan menghadiri acara perjamuan. Mereka menggunakan pakaian terbaik, agar mendapatkan kesan baik sekaligus menjadi pusat perhatian di acara malam ini.Di Keputren, Sagara sedang mematung memandang tampilannya di depan cermin. Pakaian kerajaan yang melekat ditubuhnya nampak gagah penuh wibawa, tak lupa ia melapisinya dengan jubah berwarna abu-abu yang sangat kontrak dengan kulit kuning Langsatnya. Ia mengusap wajah lembut, lalu mengingat rapi rambut sebahunya ke belakang. Tak lupa ia mengenakan iket kepala yang dilapisi mahkota, menandakan bahwa ia merupakan penerus satu-satunya kerajaan besar itu.Sagara lebih nyaman mengenakan pakaiannya sendiri, tanpa perlu bantuan Kasim kerajaan yang sudah menunggunya di luar kamar.“Semoga malam ini cepat berlalu!” Gumamnya pelan seraya berjalan kearah pintu keluar. Di halaman Kepu
Srett.. Dug.. dug.. Brugghhh“Sudah seminggu ini Pangeran kehilangan fokus, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya pria muda berpakaian serba hitam dengan iket dikepalanya. Ia membantu seorang pria yang tersungkur disampingnya. Ia kemudian memapah pria yang memiliki postur tinggi itu menepi ke pinggir lapangan tempat mereka latihan.“Aku tidak papa Cakra. Jangan khawatir. Kau latih saja prajurit, aku tidak papa sendiri.” Jawabnya singkat seraya menekuk kedua lututnya. Ia mendongakkan kepala ke langit biru, melihat kearah awan yang bergerak mengikuti tiupan angin. Benaknya kembali memikirkan kejadian satu minggu lalu, ketika ia membawa seorang wanita asing yang terluka ke rumah salah satu mantan abdi dalem nya ketika kecil.Apa kamu baik-baik saja disana? Semoga kamu sudah sehat seperti semula. Aku yakin Abah Arya dan Nyai Ratna pasti menerimamu dengan baik. Maafkan aku yang tak sengaja memanahmu, aku terlalu terkejut malam itu.
“Apa kau tidak papa?” Naima tidak bisa merespons ucapan seorang lelaki bersuara tegas yang kini berjongkok sambil menahan sebelah bahunya. Lidahnya kelu, dahinya berkeringat menahan rasa sakit dengan dada yang semakin sesak. Ia melihat samar-samar seorang lelaki berbaju bangsawan yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia kembali merasakan goncangan pelan di tubuhnya sebelum kesadaran kembali merenggutnya.Pria berparas tampan dengan perawakan gagah itu mengusap wajahnya, ia merenungi apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin meninggalkan wanita yang tengah terluka itu sendirian. Karena bagaimanapun, wanita itu terluka akibat kecerobohannya. Dan jika ia membawa ke tempatnya, apa alasan yang harus diutarakan kepada kedua orang tuanya. Tidak mungkin mereka akan menerima wanita itu dengan begitu saja. Karena bagaimanapun, wanita itu tetaplah orang asing.Pria itu pun mendesah frustasi. Setelah yakin dengan keputusan yang diambil, dengan sekali entakkan ia mem
Naima terus berlari menghindari 4 preman yang terus mengejarnya. Perasaannya kalut setelah melihat Reza tergeletak bersimbah darah akibat di keroyok preman tak dikenal tersebut. Ia tak mungkin menyia-nyiakan pengorbanan Reza yang rela mempertaruhkan nyawa agar dirinya bisa selamat.Tanjakan-tanjakan terjal Naima lewati tanpa melihat kearah belakang. Nafasnya memburu dengan air mata yang bercucuran. Ia menghentikan pijakan kaki nya setelah sadar terlalu jauh berlari masuk ke dalam hutan. Pandangan nya langsung menyapu ke sekeliling, ke tempat asing yang baru pertama kali dipijaknya. Tangisnya semakin nyaring, dengan dada yang berdetak cepat. Alas kaki yang ia kenakan entah terlepas kemana, tapak kakinya kini bersemu merah bercampur darah, akibat tusukan ranting-ranting tajam di sepanjang perjalanan.“Ibu... Ayah ... Tolong Nana...” Rintihan pelan Naima seraya menyandarkan tubuhnya di bawah pohon yang berumur tua. Akarnya yang menjuntai besar menjadi pegangan agar dirinya tidak jatuh te
Setelah kejadian itu, hubungan Pak Nurdin dan Naima semakin dekat. Mereka bagaikan Ayah dan anak. Nana sering berkunjung ke rumah Pak Nurdin untuk bermain atau hanya sekedar ingin memastikan bahwa ayah dari sahabatnya itu baik-baik saja. Dia ingin menjaga Pak Nurdin sesuai permintaan sahabat terbaiknya.Hubungan kedua keluarga itu kini semakin erat, tidak ada sekat penghalang menyatunya kedua keluarga tersebut, walaupun tanpa sebuah ikatan yang diharapkan.Kondisi ayah Naima sudah membaik, ia bahagia melihat kondisi putrinya kini sudah kembali ceria, tidak seperti minggu-minggu lalu. Beban dipikirannya pun berkurang, ternyata kejadian menolak lamaran itu tak sesuai dengan pikiran buruknya. Dan sekarang malah berbuah manis, hubungan ia dengan sahabatnya itu malah semakin erat.-“Hallo ... Assalamualaikum Pak,” ujar Naima menjawab panggilan telpon yang berasal dari Pak Nurdin.“Waalaikumsalam Nana. Gimana kabarmu Nak? Ayah Ibumu sehat?” Tanya Pak Nurdin di sebrang sana.“Alhamdulillah
“Na, Aku mohon jaga Papa untukku!”Suara itu menggema di telinga Naima, membangunkannya dari tidur lelap. Suara itu seperti nyata, tapi di kamar itu hanya ada dirinya sendiri.Meira kau kah itu?Guman Naima pelan.Naima tanpa rasa takut, bangun untuk melihat keadaan sekeliling. Tapi nihil, tak ada seorang pun. Hanya ada hembusan angin yang masuk melalui ventilasi udara diatas jendela kamarnya.Suasana kembali hening, kesunyian menghinggapi hatinya.Aku tidak janji untuk menjaga ayahmu, tapi aku akan berusaha untuk menjaganya. Karena untuk berjanji aku takut tak bisa menepati.--“Nana tumben kamu kesini Nak, ada perlu apa?” Tanya Pak Nurdin ramah. Ia tak memperlihatkan rasa kecewanya atas kejadian beberapa hari lalu.Naima mencium tangan Pak Nurdin. Setelah dipersilakan, ia duduk di sofa yang berseberangan dengan posisinya.“Nana hanya berkunjung saja Pak, kabar Bapak sehat?” Tanya Naima dengan wajah tertunduk. Ia malu untuk mengangkat wajahnya, karena rasa bersalah yang begitu besar