Share

Bisikan Aneh

Penulis: Erl
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-07 22:26:10

Aku terus memikirkan keanehan-keanehan yang baru saja terlihat, tubuh ini masih sedikit gemetar.

Demi Kamu, Sinna, aku masih bertahan merapikan meja makan ini!

“Sudah kubilang, aku baru saja bertemu dengan gadis itu, Mora,” sahut laki-laki itu sambil berjalan memasuki sebuah ruangan.

Sepertinya itu kamar tidur, dari tempat aku berdiri, terlihat sedikit sudut ranjang yang indah.

“Di situ anehnya, baru bertemu, tapi sudah dapat perlakuan istimewa darimu,” rajuk wanita berkulit pucat itu sambil mengejar laki-laki itu, suara high heel-nya bercetak-cetok nyaring.

“Apanya yang istimewa?” sahut laki-laki tinggi tegap itu santai.

Dari belakang, benang coklat tua itu masih sibuk bergerak ke sana ke mari.

Tunggu!

Apa orang-orang di ruangan ini merasa hal itu bukan satu keanehan?

Aku menoleh ke arah laki-laki muda yang masih berdiri mematung, tetapi sepertinya ia tertegun karena mengikuti gerak-gerik perempuan berkulit pucat yang cantik itu.

Paduan kulit pucat dan rambut pirangnya, memang bakal membuat laki-laki mana saja yang memandangnya tertegun seperti itu.

Tetapi, apa murni karena itu?

Sepertinya, laki-laki muda anak buah Sinna itu terlihat terpisah dari kenyataan.

Pandangannya seolah melayang-layang.

Apa itu disebabkan karena ia memang sedang mengkhayalkan wanita cantik berkulit pucat itu? Atau karena hal lain?

“Kenapa harus memberinya minyak itu? Bukannya itu minyak istimewa untuk kalangan kita saja?” protes wanita itu tanpa basa-basi.

Laki-laki itu menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu ruangan itu.

“Sadar Mora! Kamu menamparnya di tempat ini dan gadis itu, kalau mau, bisa memperkarakan mu di pengadilan. Lebih baik memberinya sedikit obat untuk melunakkan hatinya,” ucap laki-laki itu terdengar jujur.

“Aku tidak takut,” seru wanita berkulit pucat itu pongah.

“Bukan masalah takut atau tidak, aku tak mau tempat ini menjadi TKP. Minta maaflah segera!” seru laki-laki itu sambil memasuki ruangan.

“Apa? Maaf? Huh!” teriak wanita itu angkuh sambil menoleh ke arahku.

“Daffar!” seru wanita itu sambil berlari menyusul laki-laki itu ke dalam ruangan.

“Ugh!” seruku sambil berpegangan pada tepi meja makan besar ini.

“Apa baik-baik saja?” seru laki-laki muda anak buah Sinna.

Ia seolah baru sadar kalau masih ada aku di sini setelah perempuan berambut pirang itu hilang dari pandangan.

“Nggak apa, hanya sedikit pusing,” jawabku sambil berusaha terlihat baik-baik saja.

Aku memikirkan ucapan wanita berkulit pucat itu, apa ada sejenis minyak untuk kalangan tertentu?

“Apa karena tamparan tadi?” sahutnya sambil memperhatikan pipiku, mungkin ada bekas merah di sana.

“Em ... mungkin,” jawabku singkat.

“Kalau begitu, aku akan membantumu di sini, agar cepat selesai. Kalau jam makan malam tiba, beberapa anggota tim yang di atas bakal turun kok,” jelasnya sambil mengambil handphone lalu mengetikkan pesan.

Aku mengangguk dan bersyukur dengan informasi itu.

Kemudian, dengan cekatan, laki-laki muda ini membantuku.

Dan dalam waktu yang relatif singkat, meja makan ini selesai dihias dan di tata. Kursinya yang sudah cantik itu pun sudah tertutup dengan kain satin warna emas dengan pita-pita warna coklat mengkilat yang diikatkan di bagian belakang sandaran kursi.

“Istirahatlah di sudut itu!” pinta laki-laki muda itu sambil menunjuk sebuah sudut dengan kursi cantik yang tampak nyaman.

Aku mengangguk dan segera menuju tempat yang ditunjuk laki-laki muda anak buah sahabatku itu.

Lalu, ia membawakan satu botol air mineral, kopi dalam kemasan kaleng dan satu bungkus kecil biskuit.

Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi nyaman itu, kemudian menempelkan dua minuman yang baru keluar dari kulkas itu ke pipi yang tadi terkena tamparan.

Pikiran ini kembali sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Sekaligus juga penasaran dengan apa yang ada di badan laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar itu.

Dan minyak itu?

Ah! Rasa sakit kepala yang telah mereda kini kembali muncul.

Aku menekan-nekan pelipis untuk kembali meredakan rasa sakit.

Beberapa saat kemudian bel berbunyi dan laki-laki muda itu bergegas ke pintu.

Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan muda terlihat turun dari tangga melingkar yang mewah di ruangan ini, mereka juga bergegas menuju pintu.

Sekelompok laki-laki dan perempuan dengan baju-baju yang indah nampak memasuki ruangan.

Tak lama kemudian laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar, yang mungkin adalah pemilik dari tempat ini, nampak keluar dari ruangan dengan mengenakan tuxedo hitam.

Sementara itu, wanita berkulit pucat itu bagaikan satelit yang selalu mengikuti gerak bumi, terus menempel pada laki-laki itu.

Acara ramah tamah terjadi beberapa saat lamanya, aku menyaksikan dari sini hingga laki-laki muda anggota tim Sinna memintaku mendekat.

“Apa Kamu nanti bisa mengawasi makanan yang dihidangkan? Makanan dari chef akan dihidangkan oleh beberapa orang, Kamu bisa mengecek kesesuaian menu dengan jadwal waktunya,” jelasnya dengan serius.

Aku mengangguk.

Kemudian, aku diperintahkan untuk berdiri di antara meja makan dengan sebuah meja di balik sekat indah yang ternyata tempat untuk meletakkan makanan setelah platting.

Beberapa saat kemudian, para tamu dipersilahkan duduk di meja makan dan pemilik rumah duduk di kursi paling tengah.

Makan malam dimulai dan satu persatu hidangan disajikan.

“Ayah, aku tidak mau minta maaf,” rajuk wanita itu manja.

Aku berusaha tetap konsentrasi pada tugasku.

“Dengan?” sahut sebuah suara yang terdengar berat.

“Tuh!” seru suara wanita itu terdengar manja.

Aku yakin, saat ini akulah yang sedang ditunjuk oleh wanita berkulit pucat itu.

Mungkin juga, saat ini, beberapa kepala ikut menoleh ke arahku.

“Nona!” seru suara laki-laki yang terdengar berat.

Suara langkah kaki mendekat dan kemudian memberitahukan panggilan yang ditujukan untukku.

Seorang perempuan muda anak buah Sinna kini menggantikan tugasku.

“Ya?” ucapku ketika mendekat pada laki-laki yang memanggil itu.

Ia adalah laki-laki berbadan besar dengan kulit gelap. Laki-laki ini menatapku tajam.

“Ini orangnya?” ucapnya sambil menoleh ke arah wanita muda berkulit pucat yang menggelendot manja di sebelahnya.

Aku berpikir, apa itu benar ayahnya?

Bagaimana kulitnya bisa tak sama? Wanita berambut pirang itu mengerucutkan mulutnya.

“Benar ini?” tanya laki-laki berbadan besar itu pada pemilik penthouse yang duduk di sebelahnya.

Laki-laki itu mengangguk sambil menatapku tak berkedip.

Ketiga orang itu kini memandangku yang sedang berdiri di dekat pemilik penthouse.

Ekspresi pemilik tempat ini berbeda.

“Apa Kamu menyukai laki-laki tampan di sebelahku ini, Nona?” tanya laki-laki dengan suara berat itu tanpa mengedipkan mata.

“Hah!” seruku refleks.

Pemilik penthouse yang menawan itu tampak tertawa terbahak-bahak, sedangkan orang-orang yang duduk di meja itu, serentak menolehkan kepala ke arahku.

“Siapa namamu, Nona?” ucap suara berat laki-laki itu padaku.

“Sa-ya ....” Ucapanku terhenti.

Mendadak, terdengar bisikan di telinga ini.

“Jangan sebutkan namamu!”

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi, tak seorang pun ada di sampingku.

Hah!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Project Darah Malaikat   Rahasia Ardasyr

    Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it

  • Project Darah Malaikat   Ikrar Cinta

    Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa

  • Project Darah Malaikat   Penuturan Azadzbah

    “Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia

  • Project Darah Malaikat   Si Pencari Jejak

    Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga

  • Project Darah Malaikat   Mencari Jejak Anbar

    “Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri

  • Project Darah Malaikat   Tanpa Petunjuk

    Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status