Share

Perubahan Wujud

Author: Erl
last update Last Updated: 2022-12-07 22:49:55

Aku bergidik.

Kepala ini menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak kunjung menemukan sumber suara. Demikian juga, ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Semua orang dalam ruangan ini masih berada di posisinya. Para tamu duduk di kursi menyantap hidangan dan anggota tim Sinna juga sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.

“Halo!"

"Nona! Apa bisa jawab pertanyanku?” ucap laki-laki dengan badan besar itu sekali lagi.

Dan pertanyaan itu membuatku harus kembali menolehkan kepala ke tempat di mana laki-laki berbadan besar itu duduk.

“Sa-y ...,” ucapku tergagap.

Bisikan itu kembali terdengar dan otomatis kepala ini langsung celingukan.

Seketika kulitku meremang karena memang tak ada seorang pun yang berada di dekatku, tetapi bisikan itu seolah terasa orang tersebut berada di dekat kuping ini.

Apa tamparan itu membuatku halusinasi?

Perasaan bukan baru sekali ini aku mendapatkan tamparan atau pukulan, tetapi efeknya biasanya enggak seperti ini.

Aku jadi lebih sibuk dengan pikiranku sendiri daripada berusaha menjawab bertanyaan laki-laki yang berkulit gelap dan berbadan besar ini.

Aku termenung dan hanya menatap kosong ke depan.

“Jangan menyusahkannya lagi, ia tadi sudah ditampar anakmu,” sahut laki-laki yang dipanggil Daffar tadi. Ia duduk di sebelah laki-laki berbadan gelap ini.

Laki-laki tampan rupawan itu menyuapkan makanan ke mulut dan menatapku sambil mengunyah.

“Ah! Rupanya ini karena perebutan laki-laki tertampan sejagat raya, Kamu memang bisa menyebabkan masalah seperti ini. Jadi, jangan salahkan anakku yang juga tergila-gila padamu,” bela laki-laki berbadan besar ini, lalu terkekeh.

“Ini tidak bisa dikatakan sebagai perebutan, gadis ini baru saja melihatku beberapa saat tadi, dia nggak mengenalku,” timpal laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar ini, kemudian ikut terkekeh.

Laki-laki berbadan besar itu terdiam.

“Em ... jadi ini murni karena cinta buta putriku,” ucapnya dengan nada riang.

“Aeh! Itulah resiko orang ganteng. Kamu sih terlalu menarik!” lanjut laki-laki itu sambil menoleh ke pemilik penthouse.

Pria tampan yang duduk di tengah meja makan itu hanya tertawa sambil sesekali melihat ke arahku.

Gadis yang tadi menamparku melirik sinis ke arahku.

“Pokoknya aku tidak mau minta maaf, Ayah!” rajuk wanita berkulit pucat itu lagi, beberapa tamu tampak menggeleng-gelengkan kepala.

“Kalau begitu, Kamu gak boleh ke sini lagi, Mora!” larang pemilik penthouse itu dengan tenang.

“Ayah!” seru gadis itu sambil memukul-memukul lengan ayahnya.

Laki-laki berkulit hitam itu mengembuskan napas panjang.

“Itu sebuah cara penyiksaan yang bagus, Daffar,” sahut ayah gadis itu. Lalu, ia berusaha membujuk anak manjanya itu.

“Itu cara mendidik yang baik, Millian,” balas laki-laki tampan itu sambil kembali menyuapkan makanan ke mulut.

Aku berdiri sambil tetap mengamati ketiga orang yang tengah berbicara itu.

“Ah!” jeritku tertahan.

Mata ini melotot, dengan cepat aku membekap mulut dengan telapak tangan.

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Millian itu tampak mengalami perubahan.

Laki-laki berbadan besar yang sedang memiringkan badan untuk membujuk anaknya itu terlihat tidak seperti semestinya.

Dari punggung laki-laki itu tampak keluar sesuatu seperti ... em sirip? Apa itu benar-benar sirip? Entah, benda seperti itu biasa kulihat di punggung hewan-hewan purbakala yang telah punah.

Dan entah sejak kapan, di dekat punggung yang sekarang bersirip itu melambai-lambai benda yang seperti ekor.

Ya. Benda yang menjulur itu lebih tepat disebut ekor, walaupun dari tempatku berdiri hanya terlihat bagian atasnya.

Ujung ekor itu seperti berusaha mengetahui keberadaanku dengan bergerak mendekat, tetapi dalam jarak setengah meter, ekor itu bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu kembali ke posisi semula seolah kehilangan jejak.

Hoek!

Mendadak perut ini terasa mual. Samar-samar indra penciuman ini mengenali bau asing yang tak sedap.

Pemilik Penthouse tampat itu menghentikan gerakan tangannya.

“Apa bentuk badan Ayah Mora ini terlalu besar menurutmu? Ini juga pertama kali Kamu melihat badan sebesar itu?” ucap laki-laki tampan ini dengan suara lembut, mungkin ia memperhatikan perubahan wajahku.

Aku mengibaskan tangan sebagai ganti kata tidak. Lalu, dengan cepat membungkuk dan membalikkan badan.

Laki-laki muda anggota tim Sinna sepertinya menangkap gerak-gerikku dan langsung mendekat.

“Kamar mandi?” ucapnya melihat ketika satu tangan ku membekap mulut dan tangan lain memegang perut.

Aku mengangguk dengan cepat. Lalu, dengan langkah cepat, kaki ini mengikuti arah yang ditunjuk oleh laki-laki muda ini.

“Jangan sampai diperkarakan, Mora?” Sayup-sayup terdengar suara lembut laki-laki tampan pemilik penthouse ini dari tempat mereka bicara.

Mulut ini hanya memuntahkan air di wastafel ketika sampai di kamar mandi.

Rasa sakit kepala yang tadi sempat pergi, kini datang lagi.

“Ah!” desahku kesal.

Apa sih yang sedang terjadi pada mataku?

Aku membasuh muka dan mengusapnya dengan gulungan handuk kecil yang tersedia di dekat wastafel. Setelah itu, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan laki-laki muda itu tengah berdiri sambil memegangi secangkir teh.

“Istirahatlah dulu!” pintanya lirih.

Anak buah Sinna itu meletakkan cangkir di meja kecil yang tak jauh dari kamar mandi.

Aku mengikuti sarannya dan duduk di kursi empuk yang ada di samping meja kecil itu.

“Mungkin jiwamu terguncang karena tamparan dari gadis cantik tadi,” komentarnya dengan ekspresi wajah prihatin.

“Hah?” seruku ternganga.

Darimana datangnya kesimpulan itu?

Aku hanya bisa menatap anak buah Sinna ini dengan sedih.

Jiwa terguncang?

Mungkin jika tidak dalam keadaan ini, aku pasti tertawa terbahak-bahak.

Bagaimana dia langsung melompat pada keputusan ngawur itu, ya?

Akhirnya aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Hei! Tunggu!

Apa tidak ada satu pun anak buah Sinna yang melihat apa yang kulihat pada laki-laki dengan badan besar itu?

Eh! Apa benar jiwa ini terguncang?

Haduh!

Dering handphone membuatku terlonjak.

Ah! Aku lupa membuat handphone ini dalam mode silent.

Nama Sinna muncul di layar.

"Katanya Kamu sakit, Neth?" Tanpa salam pembuka, apalagi pemanis kata, seperti biasa, pertanyaan dengan mode langsung pada sasaran terdengar.

"Anneth!"

Hanya beberapa detik aku terdiam dan suara panggilan dengan nada suara lebih tinggi terdengar.

“Mungkin hanya masuk angin,” jawabku mencoba menenangkan, cepat juga laporan sang anak buah.

"Gini, Kamu kalau alergi sama orang-orang kaya itu, jangan mendekat ke meja itu! Cukup berdiri di dekat meja platting aja ya! Pastikan tidak ada yang kurang atau salah dalam sajian! Bertahan sebentar lagi! setelah acara makan malam itu, Kamu bisa pulang. Hanya sebagian anggota yang akan menunggu acara itu selesai untuk membereskan ruangan, oke. Dah, istirahat saja dulu! Bentar ... tuh anakmu nangis. Daa." Cerocosan Sinna tak berjeda.

Hah! Alergi orang kaya?

Penyakit apa lagi yang dituduhkan padaku?

Benar-benar, saat ini, aku ingin tertawa terbahak-bahak, hanya saja takut disangka gila.

Telepon itu diakhiri sebelum aku menjawab kalimat terakhir itu.

“Agh!”

Aku menjerit ketika mendadak ada seseorang mendekat.

Entah kapan ia datang, tiba-tiba saja sesosok perempuan sudah berdiri tepat di depanku.

Aku mengenalinya sebagai salah satu dari tamu-tamu yang duduk di meja makan itu.

Wanita ini mengenakan gaun putih yang tampak mahal. Rambutnya disanggul modern dan terlihat sangat serasi dengan gaun dan wajahnya.

Aku mengangguk hormat sebagai ganti sapaan.

“Hah!” jeritku kembali tertahan.

Wanita di depanku ini juga pelan-pelan berubah.

“Ah!” pekikku pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Project Darah Malaikat   Rahasia Ardasyr

    Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it

  • Project Darah Malaikat   Ikrar Cinta

    Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa

  • Project Darah Malaikat   Penuturan Azadzbah

    “Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia

  • Project Darah Malaikat   Si Pencari Jejak

    Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga

  • Project Darah Malaikat   Mencari Jejak Anbar

    “Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri

  • Project Darah Malaikat   Tanpa Petunjuk

    Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status