Share

Cairan Hidup

Author: Erl
last update Last Updated: 2022-12-07 22:15:33

"Hah! Itu apa?" jeritku dalam hati.

Aku pernah mendengar tentang tanam benang di dunia kecantikan, tetapi apa yang sedang kusaksikan ini bukan jenis dari benang itu.

Terlebih lagi, mana ada tanam benang yang benangnya hidup.

Laki-laki itu makin dekat dan tubuh ini bergetar halus.

Keringat mulai bermunculan di dahi dan telapak tangan.

Benang itu tampak berwarna coklat tua, dan ia terus bergerak melingkar di dada kanan laki-laki itu.

Laki-laki itu berdiri sejajar dengan perempuan berkulit pucat yang baru saja menamparku.

Dan tubuh ini makin terasa gemetar.

Benang coklat tua itu kini bergerak dan membentuk sudut-sudut.

Mata ini mengikuti setiap gerakan benang coklat itu yang nampaknya hidup di antara bawah kulit dan atas daging.

Beberapa saat setelah gerakan-gerakan benang coklat itu terjalin, terbentuklah satu wujud yang dapat dicerna oleh pikiran.

Gerakan benang itu akhirnya berhenti.

Ternyata, setelah sempurna, jalinan benang itu membentuk gambar sebuah bintang yang rumit.

“Hei! Kau tak perlu melihat pangeranku hingga air liurmu keluar!” teriak wanita berkulit pucat itu terdengar kencang.

Uh!

Aku kembali menarik napas dan mengembuskannya, setelah beberapa saat lupa bagaimana bernapas dengan baik.

Bintang yang terbuat dari benang hidup warna coklat itu kini warnanya memudar, berubah warna dan makin lama makin terang hingga menjadi putih keperakan.

“Aaa.”

Bintang itu kemudian bersinar dengan terang dan itu membuat kepalaku sakit.

Aku ingin memejamkan mata untuk menghindari sinarnya, tetapi kelopak mata ini tak mau menurut, bersikeras untuk tetap membuka dan bahkan melebarkan ukurannya.

“Dasar lancang!” umpat wanita itu dan merangsek untuk mendaratkan tamparan... lagi.

“Hei!” seru laki-laki itu sambil menahan tangan wanita berkulit pucat itu.

“Lihat! Sampai seperti itu wanita lancang ini melihatmu. Jadi, benar wanita ini berusaha mendapatkanmu. Aku gak percaya seleramu serendah itu. Lihat! Apa yang ia pakai! Baju seperti itu!” rajuk wanita itu manja.

“Amora, ini pertama kali aku melihat gadis ini,” ucap laki-laki itu dengan tenang.

“Aku nggak percaya! Aku nggak percaya!” teriak wanita itu berulang-ulang dengan nada merengek.

“Sebentar, Mora!” perintah laki-laki itu sambil mendekat ke arahku yang masih ternganga.

Aku segera menutup mulut menggunakan telapak tangan.

“Hei, Apa Kamu baik-baik saja?” ucap laki-laki itu lembut.

Aku tersadar ketika cahaya bintang itu pudar lalu padam.

Aku mengembuskan napas dalam.

“I-i-ya, Pe-pak,” sahutku tergagap.

“Kamu pucat sekali seperti habis melihat hantu, apa aku tampak seperti hantu?” lanjutnya berseloroh.

Satu senyum tersungging dan itu menjadikan wajah laki-laki ini dua ratus lima puluh pesen sempurna, tampan hakiki.

“Eh ... em ... dua meter?” celetukku sambil mengarahkan pandangan dari atas ke bawah.

Syukurlah, kesadaran sudah mulai normal, rasa sakit yang muncul di kepala berkurang. Demikian juga tubuh yang gemetar ini.

“Hahaha,” tawa laki-laki itu terdengar merdu, bahu bidangnya yang berguncang-guncang ketika tertawa tampak begitu menarik.

“Seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter, lebih tepatnya,” lanjut laki-laki ini masih dengan tertawa kecil.

“Oh,” sahutku pendek.

“Jadi, karena belum pernah melihat orang setinggi aku, terkejutnya sampai mulutnya ternganga begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah geli.

Aku mengangguk.

Sejenak, aku mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan rasa malu.

Laki-laki tampan ini terus menatapku.

“Kamu akan terkejut jika melihat yang lain,” lanjutnya tanpa menjelaskan arti kata “yang lain” itu.

Laki-laki tampan itu menoleh ke arah anak buah Sinna yang tadi menjemputku.

“Kamu ...?” tanyanya pada laki-laki muda yang berdiri membeku.

“D-di-a datang bersama saya, P-pak,” sahut laki-laki muda yang sejak dari tadi berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Oh, lihat Mora! Dia anggota tim mereka, Kamu salah paham,” ucap laki-laki itu tanpa menoleh pada wanita berkulit pucat itu.

Wanita ini hanya melengos menanggapi ucapan laki-laki itu dan tetap menampakkan wajah kesal yang tak berkurang sedikit pun seperti sejak pertama kali dia masuk ke ruangan ini.

Laki-laki itu kemudian tertegun dan melihatku dengan sedikit memicingkan mata.

“Kamu benar-benar baik-baik saja?” ucapnya khawatir.

Ia berjalan ke arah salah satu lemari indah dengan tinggi sekitar satu meter yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri.

Laki-laki itu berjongkok dan membuka pintu lemari indah itu.

Kali ini, aku benar-benar mengalihkan pandangan mata.

Aku mengangguk menjawab pertanyaan itu dengan kata oh saja, lalu kembali melanjutkan meletakkan alat-alat makan sesuai yang diajarkan Sinna ... em ... apa disebutnya ... table manner, ya table manner.

Langkah kaki terdengar mendekat, kemudian satu tangan terlihat menyodorkan sesuatu.

Aku melirik dan melihat sebuah botol kecil berada di antara ibu jari dan telunjuk laki-laki ini.

Aku menengadah untuk melihat wajahnya dengan ekspresi bertanya.

Sementara, bintang itu kini menggelap kembali ke warna semula, lalu benda itu bergerak hingga wujudnya kembali menjadi benang.

Benang coklat tua itu kini bergerak ke belakang menuju punggung laki-laki ini.

“Obati pipimu!” jelasnya sambil tersenyum.

Mungkin para gadis bakal meleleh ketika melihat senyum semaut itu dalam jarak sedekat ini, termasuk aku.

Namun, apa yang ada dalam botol kecil  kaca itu lebih menarik perhatianku.

Dari luar, cairan dalam botol itu terlihat seperti cairan berwarna kuning pada minyak-minyak untuk mengobati memar biasa.

Tapi, setelah beberapa detik minyak itu terlihat normal, mulai terlihat asap samar yang muncul dari dalam minyak itu.

Asap itu kian lama kian pekat, lalu membentuk wujud yang serupa dengan akar ginseng.

“Hah!” seruku tertahan.

Aku mendekatkan wajah ke arah botol yang masih dipegangnya.

Akar ginseng itu memiliki mata, hidung dan mulut seperti manusia, lalu wajah itu tersenyum menyeringai ke arahku.

“Wah!” seruku terkejut.

Sudah lama aku berkecimpung dengan berbagai cairan kimia, tetapi belum pernah kutemukan satu pun cairan kimia yang berisi benda hidup dengan emosi seperti emosi milik manusia seperti itu.

“Ya?” seru laki-laki itu dengan ekspresi bertanya.

“Em ... em ... enggak, Pak. Pipi saya sudah ... sudah sembuh kok?” kilahku menghindar.

“Kamu nggak mau?” ucapnya heran.

Ia memandang botol kecil itu yang kini isinya kembali menjadi cairan kuning biasa setelah wujud itu memudar dan menghilang.

“Em ... kayaknya bau ‘kan, Pak. Seperti minyak gosok gitu ‘kan? Takutnya nanti bakal mengganggu selera makan para tamu,” kilahku dengan lincah.

Laki-laki ini tersenyum sambil beranjak dari tempat ia berdiri.

“Minyak gosok yang ini beraroma lavender, entah bagaimana caranya, di hidung cantikmu itu, aromanya berubah menjadi bau minyak seperti minyak gosok pada umumnya,” ujarnya masih dengan cara yang memikat.

Laki-laki ini berjalan ke arah lemari indah tadi dan meletakkan botol kecil itu di atasnya.

“Jika masih sakit, Kamu tahu di mana mengambil obatnya,” lanjut laki-laki itu, lalu berjalan ke arah dari mana ia datang tadi.

“Kenapa Kamu mengistimewakannya?” teriak wanita berkulit pucat itu membahana.

Dan itu mengejutkan ku.

“Mengistimewakan?” tanyaku dalam hati, heran.

Mungkin begitulah kira-kira pandangan dari mata seorang wanita yang cemburu dengan membabi buta.

Tetapi, ngomong-ngomong apa yang sebenarnya terjadi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Project Darah Malaikat   Rahasia Ardasyr

    Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it

  • Project Darah Malaikat   Ikrar Cinta

    Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa

  • Project Darah Malaikat   Penuturan Azadzbah

    “Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia

  • Project Darah Malaikat   Si Pencari Jejak

    Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga

  • Project Darah Malaikat   Mencari Jejak Anbar

    “Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri

  • Project Darah Malaikat   Tanpa Petunjuk

    Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status