Aku tertegun, seketika pertanyaan tentang diriku sendiri menyeruak.Apa yang terjadi di lift aneh itu kembali terbayang.Jadi, rasa yang seperti ditarik-tarik itu nyata, dan karena aku manusia yang tidak ‘biasa’, makanya aku bisa melalui kejadian di lift itu hingga selamat sampai ke Anbar ini.Tapi ....Yang nggak ‘biasa’ dari aku apa?Aku mengangkat kedua tanganku dan mengamatinya dengan jeli, juga men-scan dari dada ke bawah.Kayaknya aku baik-baik saja.Aku mengangkat pandang dan melemparkan sorot penuh pertanyaan pada Kayla.“Apa Kamu melihat satu em ... keanehan yang ‘tak biasa’ di tubuhku?” tanyaku dengan penuh penekanan.Aku juga menggerakan dua jari dari tangan kanan dan kiri untuk membuat isyarat tanda petik pada kata “tak biasa”.Kayla menatapku tajam, tapi sejurus kemudian wanita cantik ini menggeleng.“Tidak, aku tidak melihatnya, Kamu seperti penduduk Shrim yang lain, hem ... tapi, bisa jadi Kamu sejenis dengan Daffar,” tebaknya datar.Sejenis Daffar?Maksudnya punya bena
Waktu berlalu dengan cepat.Walaupun perpindahan waktu antara siang dan malam sangat membingungkan, aku perkirakan ini sudah masuk waktu pagi, mungkin ....Yang jelas, ketika aku baru saja membuka mata, di tepi ranjang sudah duduk Daffar yang tengah memandangiku.“Tidurmu nyenyak, Anneth?” sapanya begitu melihatku membuka mata.Aku menyahut, mengiyakan dengan suara parau.“Aku bawakan baju ganti,” lanjutnya sambil sedikit menggerakan kepala ke arah samping.Pandangan mata ini mengikuti arah isyarat itu dan menemukan dua tas besar tergeletak di lantai. Di bagian samping tas kertas itu tertera sebuah nama butik besar yang ada di kota Shrim.Ah ... rupanya barang ini import dari kotaku sendiri.Aku beranjak, lalu duduk bersandar di tumpukan bantal.“Apa Kamu merasakan sakit di bagian tubuh tertentu?” tanyanya lembut.Aku menggeleng.Daffar mengembuskan napas lega.“Menurutmu, aku ini apa?” celetukku masih dengan suara khas orang bangun tidur.Daffar menatapku tajam, tapi beberapa detik k
Kereta kuda yang bergerak auto pilot ini makin mendekati gedung besar berkubah itu.Dari kejauhan pilar-pilar penyangga bulat dengan ukuran besar itu terlihat makin membuat bangunan itu menunjukkan vibe magisnya.Egh!Sesaat aku merasa ada sesuatu yang mendekat di atasku. Dan ketika aku mendongak, patung mengambang itu membungkuk. Dan kepalanya kini tepat berada beberapa jengkal di depan wajahku.Ihh!Matanya yang merah menyala itu seolah hendak mengambil apa yang ada dalam mataku.Kening ini berkeringat.Aku mengepalkan kedua tangan dan menggigit bibirku agar tak meloloskan satu teriakan.“Anneth,” ucap Daffar lirih.“Em.” Aku menelan ludah.“Kamu nggak papa?” tanyanya pelan.“Oh,” sahutku singkat.Tiba-tiba Daffar mengenggam tanganku. Dan bersamaan dengan itu, patung bergerak yang mengambang itu menjauhkan wajahnya dari wajahku.Aku merasakan satu aliran yang terasa hangat keluar dari tangan Daffar.Kemudian, aku melihat patung itu bergerak pelan ke posisinya semula.Sekuat tenaga,
Aku hanya bisa tercekat menyaksikan kilatan pedang yang terhunus ke arahku. Embusan angin akibat kibasan benda tajam itu menerpa wajah ini.Sesaat lagi pedang itu bakal menebas leherku.Tring!Tiba-tiba satu pedang menahan kibasan pedang milik Mazdak.Daffar!Laki-laki ini dengan kecepatan yang tak dapat kuindra dengan mata, menggerakkan tangannya untuk menahan pedang itu.Dan entah dari mana datangnya pedang yang ada di tangan Daffar itu. Yang jelas, pedang itu menahan serangan kilat Mazdak.Kini dua pedang bersilang itu berada tepat di wajahku.“Bukankah sudah jelas peraturan? Di gedung ini manusia dilarang mendekat. Bahkan, itu juga berlaku bagi jenis manusia dari penduduk Anbar!” tegur Mazdak tegas.Mata laki-laki tinggi besar berjubah itu menyorot tajam ke arahku.“Aku tahu, tapi Anneth beda, aku berharap Kamu dan semua yang ada di sini mendengarkan aku,” bela Daffar dengan tenang.“Manusia menodai kesakralan gedung utama Anbar ini!” sanggah Mazdak dengan suara mengguntur.Aku me
Ini sangat menyakitkan!"Aghh!"Aku memaksa diri untuk menggerakkan kaki-kaki ini, aku ingin berlari. Tapi, kaki-kaki ini kaku, seolah sudah disemen dengan lantai di gedung aneh ini.Mungkin Daffar tahu, atau hanya menebak apa yang sedang terjadi padaku. Laki-laki ini kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.Agrh!Tarikan ini makin kuat.Tiba-tiba aku merasakan satu kemarahan yang kuat menyembul dalam hatiku.Menurutmu, aku akan begitu saja menampilkan orang-orang yang ingin Kamu lihat? Juga tempat-tempat yang berarti untukku?Tidak!Tidak sedikit pun.Entah!Intuisiku seolah menyingkap apa yang ada di hati Ghassan, walaupun laki-laki ini hanya diam dan terus menatapku tajam.Tarikan itu makin meningkatkan rasa sakit.Akhirnya, otak ku pelan-pelan menayangkan satu memori. Ingatan tentang bagaimana aku bekerja di Omega Lab. Juga rutinitas sehari-hari dengan gelas-gelas, tabung-tabung dan semua pernak-pernik laboratorium.Tapi, kemudian aku mengunci ingatan ini.Aku juga ngg
Eh!Sepertinya kejadian di lantai teratas gedung tempat kerja Daffar terulang.Dinding yang berubah seperti ini yang membuat aku bisa menyaksikan pertarungan antara Mazdak dan Daffar.Dan yang kuingat dari kejadian itu, mereka berdua tidak tahu bahwa aku bisa menyaksikan pertarungan itu.Aku beranjak dari bangku panjang ini, mendekat ke arah dinding yang sudah berubah. Lalu, aku menyentuh dengan sangat pelan dinding ini.Ini benar-benar nyata!Dinding ini memang lenyap.Tak puas dengan menyentuh dengan telunjuk, aku mengibas-ngibaskan telapak tangan ke kiri dan ke kanan, tapi sama juga-Kosong.Hanya ruang kosong!Dinding itu seolah memang benar-benar dicabut dari lantai ini.Aku mundur beberapa langkah dan kembali duduk dengan setenang mungkin.“Mari kita mulai pertemuan ini, kita kesampingkan dulu keanehan yang terjadi dengan manusia yang datang dari Kota Shrim itu,” ucap seseorang yang berdiri di samping kanan Ghassan.Laki-laki yang kini telah kembali berdiri di tempatnya semula i
“Kamu ingin Anbar berperang dengan Ardasyr?” sahut salah seorang penolak ide pengujian langsung itu.“Kita bisa bersiap untuk itu. Demi Anbar dan demi Ketua Agung!” balas salah seorang yang pro pengujian langsung itu antusias.Kemudian, salah satu dari mereka meminta semua yang dalam aula itu untuk tenang.Ghassan berdehem.“Tolong jangan gegabah! Dibawah ketua Agung Yarim, Ardasyr bisa menjadi lawan yang sulit untuk dikalahkan,” tegur Ghassan penuh penekanan.“Ghassan, haruskan kita menunggu hingga Penjaga Agung lumpuh dan Anbar huru-hara? Tak ada salahnya kita menguji langsung penduduk Shrim untuk mencari Darah Malaikat. Perintahkan saja! Tim khusus akan menjaga Anbar dari Ardasyr,” sahut Mazdak tegas.Hampir separo dari isi aula ruang pertemuan yang sepikiran dengan Mazdak bersahut-sahutan mendukung laki-laki tinggi besar dengan rambut sebahu itu.“Daffar,” ujar Ghassan tegas.Laki-laki tua dengan mata menyala itu menunggu pendapat Daffar.Daffar mengembuskan napas panjang dan dala
Aku melangkah dengan pelan dan sangat hati-hati, waspada dan tetap masih dengan jantung dag dig dug.Akhirnya, beberapa anak tangga terlalui.Kaki ini berdiri di ambang pintu ruangan yang tinggi.Itu ....Mata ini segera terfokus pada sebuah benda yang sepertinya pernah kulihat dalam buku-buku kuno yang pernah kubaca di perpustakaan umum Kota Shrim.Sebuah isar berada di tengah ruangan luas dengan langit-langit berbentuk kubah. Isar itu disangga oleh patung-patung tangan yang terbuka.Benarkah itu adalah isar yang disebut-sebut sebagai bejana tempat darah dalam buku yang kubaca ketika masih sekolah dulu?Dengan sangat pelan aku mendekat ke arah isar itu.Aku berjinjit untuk melihat apa isi isar itu. Kemudian, menggerak-gerakkan cuping hidung untuk mengesan bau isi isar yang terlihat seperti benda cair.Aku menghirup bau yang mungkin terdeteksi sebagai bau darah. Tapi, hidungku tak menemukan bau itu.Sejenak aku mengedarkan pandangan ke langit-langit ruangan yang sangat tinggi. Langit-