LOGINUdara malam itu masih hangat, meskipun angin lembut sesekali menyapa dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Farhan duduk di tepi tempat tidur, menggulung lengan bajunya sambil memandangi ponsel di tangannya. Pesan dari Arman belum juga dibalas. Padahal, tadi siang Arman bilang ada sesuatu yang penting ingin dibicarakan. Tapi, malam ini bukan itu yang mengganggu pikiran Farhan.
Aisyah duduk di ujung ruangan, punggungnya bersandar di sofa kecil dekat meja rias. Wajahnya muram. Kesedihan jelas terlihat di matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Farhan melirik istrinya dengan hati-hati. Dia tahu, akhir-akhir ini Aisyah sering seperti ini. Diam, murung, lalu tiba-tiba meluapkan emosi. Semua itu membuat Farhan bingung, tapi dia mencoba bersabar."Aisyah," panggil Farhan pelan, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian. "Kamu kenapa? Kok dari tadi diam aja?"Aisyah menghela napas panjang. Dia tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk memainkan ujung jilbabnya"Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha
"Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.
"Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku
"Mas, kamu serius mau ambil tawaran itu?" Aisyah membuyarkan keheningan di ruang makan kecil mereka, suaranya bergetar. Tatapannya menembus pandang ke arah Farhan yang sedang memotong-motong ayam goreng di piringnya. Farhan menghela napas berat, lalu meletakkan pisau dan garpu di atas meja. "Aku nggak punya pilihan, Sayang. Kamu tahu sendiri kondisi kita sekarang. Tabungan makin menipis, bayi kita akan lahir kurang dari dua bulan lagi. Aku nggak bisa terus-terusan begini." "Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir, menahan desakan air mata. "Itu jauh. Kalau kamu ambil pekerjaan ini, kita harus pindah ke Jakarta. Gimana keluargamu di sini? Gimana aku nanti?" Farhan menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Kamu nggak sendirian, Sayang. Aku selalu ada buat kamu. Pindah ke Jakarta mungkin berat, tapi ini kesempatan besar. Gajinya cukup buat kita hidup lebih layak, buat persiapan anak kita. Aku nggak mau anak kita nanti kekurangan."
"Mas, aku tanya ... apa kamu siap kehilangan aku?" Pertanyaan Aisyah itu menggema di ruangan yang sunyi. Farhan, yang masih berdiri di dekat jendela, terdiam. Ia menatap ke luar, mencoba mencari jawaban di tengah derasnya hujan yang jatuh. "Aku nggak mau kehilangan kamu," jawabnya akhirnya, suaranya rendah. Ia berbalik, menatap Aisyah yang duduk di sofa dengan mata yang masih sembab. "Tapi aku juga nggak tahu gimana caranya supaya kita bisa tetap jalan tanpa aku harus pergi." Aisyah menggeleng pelan. "Mas, kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak coba cari jalan. Semua ini bisa kita atasi kalau kita mau bicara, kalau kita mau cari solusi bersama." Farhan mendekat, duduk di samping Aisyah. Ia tahu, Aisyah benar. Tapi rasa bersalah dan keraguannya membuatnya sulit untuk berpikir jernih. "Baiklah," ucap Farhan akhirnya. "Kita coba bicara. Kita duduk, kita pikirin baik-baik. Kalau kamu mau, kita bikin da







