Hujan deras masih mengguyur di luar. Suaranya menghantam atap genting, menciptakan irama yang monoton tetapi menenangkan. Di ruang tamu, Farhan masih terjaga di atas sofa. Pikirannya kalut, seperti benang kusut yang sulit diurai. Ia memandang gelas teh yang kini sudah dingin di atas meja. Matanya kosong, tapi dadanya terasa penuh-penuh dengan rasa bersalah, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.Sementara itu, di kamar, Aisyah duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air hujan. Tangannya menggenggam erat selembar selimut. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia-satu dunia yang memintanya untuk bertahan, dan dunia lain yang terus-menerus menggoda untuk menyerah."Aku salah, ya, Mas?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang menemaninya.Esok paginya, suasana rumah masih sunyi. Farhan terbangun lebih awal dari biasanya. Ia masuk ke dapur, membuat kopi, lalu duduk di
Hujan masih mengguyur deras di luar. Farhan masih duduk di sofa, pikirannya melayang-layang. Ia memejamkan mata, mencoba mendengar suara hujan yang biasanya menenangkan. Tapi kali ini, suara itu seperti menyuarakan kekacauan yang ada di dalam hatinya. Apa yang salah? Kenapa semuanya jadi begini? Ia menghela napas panjang, lalu menatap ponselnya yang tergeletak di meja. Sudah lama ia tidak menyentuhnya sejak Aisyah masuk kamar.Di dalam kamar, Aisyah berbaring dengan mata sembab. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus bekerja keras. Ia mencoba mencari alasan untuk perasaannya, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan. Apa aku terlalu menuntut? Atau memang Mas Farhan yang berubah?Aisyah bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke jendela, melihat ke luar. Tetesan hujan membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang anehnya terasa seperti cerminan hatinya. Ia memejamkan mata, mengingat pertemuan mereka dulu. Semua terasa begitu indah, penuh cinta. Tapi kenapa sekar
Langit sore memancarkan semburat jingga yang lembut, menyelimuti halaman rumah mereka dengan kehangatan. Aisyah duduk di beranda, memandangi tanaman hias yang baru saja ia rawat pagi tadi. Tangannya memegang cangkir teh hangat, tetapi pikirannya melayang jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang sulit ia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri.Saat itu, suara langkah Farhan terdengar dari dalam rumah. Ia baru saja selesai mandi setelah pulang kerja. Dengan kaus oblong dan celana pendek, Farhan keluar ke beranda, membawa ponselnya. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di kursi di sebelah Aisyah sambil membuka layar ponsel.Aisyah melirik sekilas. Hatinya mengerut. Kenapa selalu begitu? pikirnya. Tidak ada sapaan lembut atau sekadar basa-basi. Semua terasa ... datar. Ia meneguk teh perlahan, mencoba meredam perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya. Tapi, semakin ia berusaha, semakin terasa sesak."Mas," Aisyah akhirnya membuka suara, memecah ke
Malam itu, suasana rumah Farhan dan Aisyah terasa lebih hangat dari biasanya. Hanya lampu gantung di ruang tamu yang menyala, menciptakan pantulan cahaya lembut di dinding ruangan. Di atas meja, dua cangkir teh hangat mengepul, mengisi udara dengan aroma jahe yang menenangkan. Farhan duduk di sofa, bersandar sambil memainkan ponselnya. Aisyah duduk di sebelahnya, memandangi suaminya dengan senyum kecil di wajahnya."Mas," panggil Aisyah lembut.Farhan menoleh, meletakkan ponselnya di meja. "Hm? Ada apa, Sayang?"Aisyah menarik napas dalam. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan sejak tadi, tapi ia menunggu momen yang tepat. Dan, malam ini terasa seperti waktu yang pas. "Aku mau ngomongin sesuatu. Tapi jangan kaget, ya."Farhan mengangkat alis, penasaran. "Kamu ngomong gitu, aku malah jadi deg-degan, loh. Ada apa, Sayang?"Aisyah tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku cuma kepikiran aja ... soal kita punya anak. Kamu
Farhan duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya. Pesan-pesan misterius itu masih terngiang di kepalanya, tapi ia mencoba mengesampingkan rasa gelisah itu. Ia tahu, jika terus memikirkannya, ia hanya akan semakin jauh dari Aisyah. Dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.Ia menoleh ke arah kamar, melihat pintu yang sedikit terbuka. Aisyah sudah tertidur, seperti biasa, setelah seharian sibuk dengan pekerjaannya. Farhan menghela napas panjang. Ia sadar, selama ini ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ia ingin berubah. Ia ingin menjadi suami yang lebih baik, yang benar-benar ada untuk Aisyah.****Keesokan paginya, Farhan bangun lebih awal dari biasanya. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan. Tidak banyak yang bisa ia masak, tapi ia ingat Aisyah suka roti panggang dengan selai stroberi dan secangkir teh hangat. Ia tersenyum kecil saat mengoleskan selai ke roti, membayangkan wajah Aisyah yang akan terkejut melihat usahanya pagi ini.
Malam itu, setelah membaca pesan misterius di ponselnya, Farhan mencoba mengabaikan rasa gelisah yang terus menghantui pikirannya. Ia memutuskan untuk tidak membahasnya dengan Aisyah, setidaknya untuk saat ini. Ia tidak ingin merusak suasana yang baru saja mereka bangun bersama. Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang terus mengganjal. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa maksudnya dengan "Rahasia yang dia sembunyikan darimu?"Farhan menghela napas panjang. Ia menatap Aisyah yang sudah tertidur di sofa, wajahnya terlihat damai. Ia tidak ingin mencurigai istrinya, tapi pesan itu terus berputar di kepalanya seperti rekaman yang tidak bisa dihentikan.****Keesokan harinya, rutinitas kembali berjalan seperti biasa. Farhan tenggelam dalam pekerjaannya, seperti biasa. Laptopnya terbuka di meja kerja, dengan tumpukan dokumen yang harus ia selesaikan sebelum tenggat waktu. Ia tahu, pekerjaannya sering kali menyita waktu yang seharusnya ia habiskan bersama Ais