Langit pagi itu tampak cerah, namun hati Aisyah terasa seperti diselimuti kabut tebal. Ia duduk di teras rumah dengan secangkir teh hangat yang sudah mendingin, menatap kosong ke arah taman kecil di depannya. Di benaknya, berbagai pikiran bertumpuk, sulit diredakan.
Suara langkah kaki ibunya terdengar dari belakang. "Aisyah, kamu sudah dari tadi di sini?" Ibunya duduk di kursi sebelah, membawa kain yang sedang dijahitnya.Aisyah tersenyum tipis. "Cuma ingin menghirup udara pagi, Bu."Namun, ibunya tidak mudah tertipu. "Kelihatannya lebih seperti sedang melamun. Apa ini tentang Farhan lagi?"Aisyah terdiam sejenak. "Aku bingung, Bu. Aku tahu dia tulus, aku bisa merasakannya. Tapi ... aku juga takut. Bagaimana kalau aku salah membaca niatnya?"Ibunya menatap putrinya dengan penuh kasih. "Aisyah, tidak ada manusia yang sempurna. Kalau kamu merasa dia tulus, mungkin itu adalah pertanda dari Allah. Tapi jika hatimu masih ragu, teruslah berFarhan berbalik dengan cepat, matanya membelalak saat melihat sosok yang muncul dari balik asap pertempuran. Yadi. Tapi bukan itu yang membuat Farhan terkejut. Di tangan Yadi, ada sebuah tas hitam yang Farhan kenali sebagai tempat dokumen penting yang baru saja ditemukan Adnan. "Lo ngapain, Yadi?" suara Farhan rendah, tapi penuh tekanan. Matanya menatap tajam ke arah pria itu. Yadi tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh arti. "Gue cuma ngambil apa yang seharusnya jadi milik gue, Han." Adnan, yang berdiri tak jauh dari Farhan, langsung mengarahkan senjatanya ke Yadi. "Gue udah bilang, kan? Gue nggak pernah percaya sama pengkhianat ini!" "Tenang, Dan," balas Yadi santai, meskipun senjata Adnan sudah terarah ke kepalanya. "Gue nggak di sini buat cari masalah sama lo. Gue cuma mau keluar dari sini hidup-hidup." Farhan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Adnan untuk menurunkan senjatanya. "Lo pikir lo bisa kabur begitu aja, Yadi? Lo tahu dokumen itu penting buat kita."
Semua orang langsung menoleh ke arah Yadi. Wajah Adnan berubah masam, seperti baru saja mencium bau busuk yang tak tertahankan. "Lo? Bantu? Jangan bikin gue ketawa," katanya dengan nada mengejek."Gue serius," balas Yadi, suaranya datar tapi tegas. "Gue bisa bantu lo jagain bagian belakang. Gue tahu cara pikir anak buah Rodres. Gue bisa kasih lo waktu buat kabur."Adnan menyipitkan matanya, tatapannya penuh curiga. "Dan lo pikir kita bakal percaya sama lo?""Gue nggak peduli lo percaya atau nggak," jawab Yadi dingin. "Gue cuma mau nebus kesalahan gue."Farhan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan. "Cukup. Kita nggak punya waktu buat ribut. Yadi, lo ikut jaga bagian belakang. Tapi ingat, gue nggak bakal segan buat nembak lo kalau lo coba-coba."Yadi mengangguk pelan. "Gue ngerti."Adnan mendengus, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya melirik Farhan dengan tatapan seolah b
Langkah kaki itu semakin mendekat, hingga akhirnya suara pintu gudang terbuka lebar. Di sana, berdiri seorang pria dengan senyum dingin di wajahnya. "Yadi," gumam Farhan dengan nada tajam. Pria itu tertawa kecil. "Lama nggak ketemu, Farhan. Gue nggak nyangka lo masih hidup." Arman maju selangkah, wajahnya sudah dipenuhi emosi. "Apa yang lo mau, Yadi?" Yadi mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata. "Gue cuma mau dokumen itu. Lo kasih ke gue, dan mungkin gue bakal biarin lo hidup." Farhan menyipitkan matanya, menatap Yadi tanpa sedikit pun gentar. "Lo pikir gue bakal percaya omongan lo?" Yadi tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Oh, Farhan, gue suka lo yang kayak gini. Tegas, keras kepala. Tapi lo lupa satu hal ... gue selalu ada satu langkah di depan lo." "Jangan terlalu percaya diri ... pengkhianat," Arman menyela, suaranya menggeram. "Kita udah tahu semua gerakan lo. Lo pikir lo bisa ngatur ki
Aisyah menelan ludah, mencoba menahan air matanya. "Nggak, Nak. Om Farhan, Papa, dan Tante bakal pastiin kamu aman."Safira memeluk bonekanya erat. "Aku cuma mau kita semua bahagia lagi, Tante. Kayak dulu."Aisyah tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. "Tante juga mau, Nak. Tante janji, kita bakal bahagia lagi."Di luar gudang tua, seorang pria berdiri di bawah bayangan tembok, mengamati dari kejauhan. Wajahnya dingin, dan di tangannya ada ponsel dengan layar yang menyala. Di layar itu, terlihat foto Farhan dan keluarganya."Peta perang sudah terbuka," gumam pria itu pelan. "Kita lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir."Safira duduk di lantai ruang persembunyian mereka yang sederhana, memegangi flashdisk kecil di tangannya. Matanya menatap benda itu dengan penuh rasa penasaran sekaligus khawatir. Di sebelahnya, Aisyah duduk sambil sesekali melirik ke arah pintu, memastikan semuanya aman."Tante," panggil Safira lemb
Farhan berdiri di depan jendela, menatap kosong ke arah halaman rumah yang kini terlihat begitu sunyi. Pikirannya masih penuh dengan penjelasan Haris tentang organisasi Rodres yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Di tangannya, amplop cokelat itu tergenggam erat. Tulisan di balik foto Ratna terus berputar di pikirannya. "Aku nggak akan biarkan mereka menang," gumam Farhan pelan, mengulang janjinya pada Aisyah tadi malam. Langkah kaki terdengar dari belakang. Adnan masuk ke ruang tamu dengan ekspresi serius. "Han," panggil Adnan sambil melirik amplop di tangan Farhan. "Lo yakin mau terusin ini semua? Gue serius nanya."Farhan menoleh, menatap sahabatnya itu dengan tatapan tajam. "Lo pikir gue punya pilihan lain, Dan? Mereka nggak akan berhenti. Kalau gue diem aja, keluarga gue bakal jadi korban."Adnan berjalan mendekat, lalu duduk di sofa. "Gue ngerti. Tapi lo tahu sendiri, ini bukan cuma soal lo lagi. Kita ini udah masuk ke da
Farhan berdiri di ruang tamu, amplop cokelat itu masih tergenggam erat di tangannya. Foto-foto yang tersebar di meja kecil di depannya membawa kenangan yang bercampur aduk. Wajah Ratna yang tersenyum sambil memeluk Safira kecil terasa seperti hantaman keras di dadanya. Namun, tulisan di balik salah satu foto itu yang benar-benar membuat pikirannya berputar."Permainan baru dimulai. Apa yang kau temukan hanyalah awal dari semuanya."Farhan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Matanya menatap tajam ke arah jendela, di mana Safira berdiri memandang ke luar. Gadis kecil itu tampak begitu rapuh, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat."Safira," panggil Farhan lembut.Safira menoleh perlahan, matanya yang besar tampak berkaca-kaca. "Om, ada orang di luar tadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.Farhan langsung menegakkan tubuhnya. "Orang? Siapa, Nak?"Safira menggeleng. "Aku nggak tahu, Om. Tapi dia berd
Langit malam di atas markas organisasi bayangan tampak kelam, seolah ikut menyembunyikan rahasia gelap yang selama ini mereka lindungi. Suara tembakan masih terdengar bersahutan, memecah keheningan malam. Farhan dan Arman berlari di lorong sempit, napas mereka memburu. Di belakang mereka, beberapa anggota organisasi terus mengejar, tak memberi ruang untuk berhenti."Han, kita nggak bisa terus lari!" teriak Arman sambil menembak ke arah musuh yang mendekat. Peluru-peluru itu memantul di dinding logam, menciptakan percikan api kecil.Farhan menoleh sekilas ke arah Arman, wajahnya penuh peluh. "Kita harus bertahan, Man! Aisyah dan Safira sedang menyelesaikan tugas terakhir mereka. Kita harus beri mereka waktu!"Arman mengangguk, meski tubuhnya mulai terasa lelah. "Tapi mereka makin banyak, Han. Kita nggak bisa terus begini."Farhan berhenti sejenak di balik sebuah pilar besar, menarik napas dalam-dalam. Ia memeriksa peluru di senjatanya-hanya tersisa
Mereka semua mulai berjalan keluar dari markas, menuju kendaraan yang akan membawa mereka ke lokasi misi. Ketegangan terasa di udara, tapi tidak ada yang mundur.Di rumah, Safira duduk di kamarnya sambil memandang keluar jendela. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu apa. Di kejauhan, suara sirene terdengar samar-samar, membuat hatinya semakin gelisah."Ayah ... Om Farhan ...," bisiknya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.Di dalam kendaraan yang melaju cepat, Farhan duduk di kursi depan bersama Adnan yang mengemudi. Arman duduk di belakang, memeriksa senjata dan perlengkapan mereka. Wajah mereka semua tegang, tapi tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat."Han," panggil Arman akhirnya, memecah keheningan. "Kamu yakin kita bisa masuk tanpa ketahuan?"Farhan menoleh sedikit, menatap adiknya. "Man, kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak coba sekarang, mereka akan terus memburu kita. Dan Safira... dia ngga
Arman terkejut. "Kamu yakin, sayang?"Safira mengangguk. "Iya, Ayah. Aku ingat Ibu bilang itu sangat penting."Farhan dan Arman saling bertukar pandang. Informasi ini bisa menjadi kunci untuk langkah mereka berikutnya."Safira," kata Farhan dengan suara lembut. "Kamu sudah membantu kami lebih dari yang kamu tahu. Terima kasih."Safira tersenyum kecil, meskipun matanya masih menyimpan kesedihan.Malam itu, Farhan dan Arman duduk di ruang kerja kecil di rumah Farhan. Di atas meja, laptop terbuka dengan layar penuh data yang baru saja mereka dapatkan dari Safira. Farhan mengetik cepat, sementara Arman berdiri di belakangnya, memandang layar dengan cemas."Han, kamu yakin ini semua cukup untuk menyerang mereka?" tanya Arman, suaranya rendah tapi penuh tekanan.Farhan berhenti mengetik sejenak, lalu menatap adiknya. "Man, ini bukan soal cukup atau nggak. Ini soal kita harus bertindak sekarang. Kalau kita tunggu lebih lama, me