Hanum memegang dadanya yang kini berdetak cukup kencang, seolah sentuhan tangannya bisa meredakan dentuman keras di hatinya. Ah, Hanum seperti orang yang tak memiliki semangat lagi. Punggungnya dia sandarkan di sandaran kursi sambil terus menekan dadanya. Dirinya juga heran dengan sikapnya ini. Aneh memang, dia tak mengenal Larasati. Namun kenapa dia tampak lunglai ketika mendengar Larasati dilamar seseorang. Bukankah wajar karena Larasati berstatus single? Hal itu juga bisa terjadi pada siapa saja, bukan?‘Kenapa aku ini? Kenapa aku kayak orang frustrasi begini? Ah, Hanum coba deh jangan begini! Jangan karena melihat kalung itu, kamu beranggapan kalau Mas Andi yang memberikannya pada Larasati. Lagi pula Mas Andi punya skandal dengan temannya Rafi, bukan dengan Larasati. Mungkin saja tunangan Larasati adalah seorang pria yang berstatus duda, bukan suami orang. Sudahlah Hanum, jangan berburuk sangka,’ ucap Hanum dalam hati, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Anita yang rupanya mempe
“Mencari tahu? Apa nggak berlebihan ini namanya, Nit?” sahut Hanum balas bertanya.Anita tersenyum seraya berkata, “Memang berlebihan sih, Num. Apalagi Larasati kan seorang selebriti. Kalau ada apa-apa pasti langsung jadi konsumsi publik. Em, maaf, kalau bener Andi terlibat dengan dia, posisi kita ada di atas angin karena mereka yang salah. Tapi, kalau nggak ada hubungan apa-apa, dia pasti akan menuntut kita.”“Nah, itu yang membuat aku ragu, Nit,” cetus Hanum dengan helaan napas panjang. Tampak jelas kalau hati wanita itu sangat gundah gulana.Anita terdiam beberapa saat. Dia mengerutkan keningnya, berpikir jalan terbaik untuk membantu sahabatnya itu. Tak lama, wajah Anita tampak berseri-seri. Jari tengah dan jempol dia adu hingga menimbulkan bunyi. Dia sepertinya mendapat sebuah ide cemerlang.“Aku ada ide ini, Num,” ucap Anita dengan sorot mata berbinar.“Ide apa?” tanya Hanum antusias.“Kita lupakan dulu si Larasati ini. Kita fokus dulu ke temannya si Rafi. Bisa jadi kan kalung it
Hanum melangkah mendekati Gilang dengan tatapan nanar, karena kelopak matanya telah berembun.“Kamu sudah sejak kapan mendengarkan percakapan kami?” tanya Hanum dengan suara bergetar.Gilang terdiam. Dia hanya merengkuh tubuh Hanum ke dalam pelukannya. Memberikan perlindungan dari sang Mama, dan juga ketenangan untuk wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini.“Nggak penting soal sejak kapan aku mendengarkan percakapan Mama dengan Kak Rafi. Yang terpenting, aku sudah tahu kalau Papa ternyata seorang pengkhianat, dan aku benci pada seorang pengkhianat. Aku berjanji akan membalaskan sakit hati Mama ini. Jangan sebut aku Gilang, kalau nggak bisa membuat seorang pria bernama Andi Sanjaya kelabakan nantinya,” bisik Gilang, yang masih terdengar oleh Rafi yang berada tak jauh dari sang adik.Rafi terkejut mendengar ucapan Gilang yang terdengar sebagai ancaman untuk papanya. Adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, memang cukup tempramen sikapnya. Apalagi Gilang memiliki keah
“Kamu mungkin lupa taruh kunci mobilnya, Mas. Coba diingat-ingat dulu, terakhir menaruh kuncinya di mana?” ucap Hanum yang sudah terdengar jelas oleh Rafi dan Gilang.“Ya aku bawa ke kamar dan aku letakkan di laci nakas, seperti biasanya. Tapi, tadi aku cari di laci nakas ternyata nggak ada. Makanya aku coba cek ke mobil, barangkali ketinggalan di dalam mobil,” sahut Andi, yang kini sudah ada di ambang pintu garasi mobil.“Lagiannya tiba-tiba terbangun di tengah malam begini, kamu mau ke mana kok langsung cari kunci mobil? Mau pergi ke tempat selingkuhan kamu, iya? Terus kamu kaget saat kunci mobil nggak ada. Lebih kaget lagi saat aku belum tidur, begitu?” cecar Hanum ketus.Andi terkesiap mendengar omelan Hanum di tengah malam begini. Dia langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Dia menatap Hanum dengan tatapan frustrasi.“Aduh, Num, kamu jangan suudzon begitu dong sama aku. Tadi itu terbangun karena perutku mulas, mungkin karena makan sambal tadi saat makan malam. Terus setelah dari
Andi baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Dia langsung mengangkat panggilan telepon itu, karena melihat nama Hanum terpampang di layar.“Halo, Num.”“Halo, Mas. Kamu sekarang ke sekolah Gilang, karena aku nggak bisa. Aku sekarang ada di sekolah Amelia, ada rapat wali murid di sini.”“Lho, memangnya Gilang kenapa, Num?” tanya Andi mulai panik. Dia khawatir anak keduanya punya masalah di sekolah, karena watak yang keras dan tempramen Gilang. Pun Gilang memiliki keahlian bela diri, membuat Andi menduga ke hal yang buruk telah dilakukan anaknya itu.“Gilang memukul temannya di sekolah sampai babak belur. Cepat kamu ke sana, Mas!” titah Hanum di seberang sana yang juga sama paniknya seperti sang suami.Andi menghela napas panjang karena dugaannya benar tentang Gilang.“Ok, aku ke sana sekarang.”Setelah sambungan telepon mereka berakhir, Andi melangkah keluar dari ruangannya, kembali menuju mobil bersiap ke sekolah Gilang.Setibanya di sekolah Gilang, Andi langsung menuju k
Gilang menatap lekat wajah Andi. Namun, tiba-tiba akal sehatnya kembali berfungsi dan mengingat kalau Andi adalah orang tuanya. Dia menurunkan tangannya dan memejamkan mata, agar tak melihat wajah Andi yang kini sangat dia benci. Dia khawatir kalau melihat wajah papanya, emosinya akan timbul kembali dan dia tak bisa mengendalikannya.Tubuh Gilang pun luruh dan terduduk di lantai. Tak terasa bulir air mata membasahi kelopak matanya. Selama dia beranjak remaja hingga di usia ke tujuh belas ini, Gilang tak pernah menangis. Tapi, kali ini berbeda. Sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh orang tuanya, orang yang sangat dia kagumi dan hormati. Hari ini seorang pemuda bernama Gilang Sanjaya, telah mengalami kekecewaan yang sangat besar pada sang papa. Gilang memukul lantai marmer ruang tamu dengan cukup keras, hingga buku-buku tangannya terluka.“Papa sadar nggak sih, kalau perbuatan Papa itu telah menghancurkan kami. Papa sangat egois! Keluarga kita yang harmonis, kini berada di ujung tand
‘Dari mana Hanum tahu mengenai apartemen itu, ya? Atau dia menyuruh orang untuk memata-matai aku?’ tanya Andi dalam hati.“Num, bisa kita bicarakan hal ini baik-baik dan hanya berdua, tanpa melibatkan anak-anak,” ucap Andi sambil merapikan kemejanya yang berantakan akibat ulah Amelia yang memukulinya.Hanum menggeleleng seraya berkata, “Sekarang situasinya sudah nggak kondusif. Kami, terutama anak-anak sudah nggak nyaman kalau ada di dekat kamu. Jadi tolong pengertiannya ya, Mas. Lagi pula bukankah kamu malah senang tinggal dengan gun dik kamu itu?”Perasaan bersalah seketika mengambil alih perasaan Andi. Tidak seharusnya anak-anaknya mengetahui tentang perselingkuhannya. Dia menatap Amelia dan Gilang yang kini menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.“Sepertinya kita perlu orang untuk menjadi penengah pada persoalan kita ini, Num. Bisa juga menjadi penasihat bagi kita berdua. Jujur kalau aku nggak mau kita pisah,” ucap Andi lirih.“Kalau nggak mau pisah, kenapa cari gara-gara, Mas?
Gilang tersenyum sinis dan geleng-geleng kepala. “Apa lelaki kalau mengalami puber kedua seperti itu ya, Kak? Nggak cukup hanya satu wanita saja di hidupnya. Tiga sekaligus, keren banget si Papa. Satu saja nggak akan habis, tapi dia ternyata serakah. Ingin lebih dari satu, ck.”“Ya, kita sebagai kaum lelaki, jangan sampai seperti itu. Perilaku Papa adalah sebuah contoh, tapi contoh bukan untuk ditiru. Kita harus jadi diri kita sendiri, Lang. Menjadi lelaki sejati,” sahut Rafi serius.Yasmin yang mendengarkan perbincangan kakak dan adik itu, mengulum senyuman. Dia terharu juga mendengar kedua pemuda itu yang saling menguatkan satu sama lain.“Ehem, boleh menimpali?” ucap Yasmin tiba-tiba menginterupsi perbincangan Rafi dan Gilang.“Silakan, Mbak!” Rafi dan Gilang menyahut secara bersamaan.“Saya hanya mengingatkan, apabila kalian mau bertindak nanti tolong jangan bawa-bawa saya, ya. Saya nggak mau ikut campur urusan orang lain. Kalau tadi saya memberi informasi, itu karena saya pernah