Tak lama, sekuriti hotel sudah tiba di meja resepsionis. Anita pun sudah mendapatkan nomor kamar di mana Andi dan Tania berada saat ini.
“Pak, tolong dampingi Ibu dan Mas ini ke atas. Mereka mau menyelesaikan masalah keluarga. Tolong supaya nanti nggak mengganggu tamu yang lain,” ucap resepsionis, yang diangguki oleh sekuriti.
“Baik, Mbak,” sahut pria berbadan tinggi tegap itu. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Suami Ibu berselingkuh, ya?”
“Bukan, Pak. Itu papanya keponakan saya ini,” sahut Anita dengan menepuk pelan bahu Rafi.
Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap Rafi seraya berkata, “Mas, meskipun emosi, tapi nanti tolong dijaga supaya nggak baku hantam dengan papanya. Cekcok mulut boleh lah karena kan kesal terhadap ulah papanya. Cuma kalau saling pukul sebaiknya dihindari, supaya nggak mengundang perhatian orang. Saya akan mendampingi Mas supaya keadaan bisa kondusif nanti, yang penting kan bisa mendapatkan bukti kalau papanya selingkuh.”
Rafi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, terima kasih atas sarannya, Pak. Saya juga sebisa mungkin akan mengendalikan emosi saya nanti. Saya juga nggak mau ribut-ribut di sini. Saya nggak mau kalau Mama saya tahu tentang perbuatan papa saya. Jadi sebisa mungkin, saya akan menyelesaikan masalah ini dengan papa nanti.”
“Baiklah, sekarang kita naik, yuk!” ajak sekuriti itu.
“Iya, mari,” sahut Rafi. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Tante sebaiknya nggak usah ikut. Tante ke ballroom saja. Om pasti cari Tante karena terlalu lama meninggalkan ballroom.”
“Ya sudah deh kalau begitu. Tapi, nanti kamu kabari Tante ya, Rafi. Maksud Tante, berhasil atau nggak kamu selesaikan masalah dengan papa kamu. Semoga saja berhasil,” sahut Anita.
“Iya, Tan, semoga saja,” sahut Rafi lirih, karena dia pun tak tahu apakah bisa menyelesaikan masalah ini, atau malah memperburuk hubungan dengan sang papa.
Sebelum meninggalkan lobi, Anita dan Rafi bertukar nomor telepon. Selanjutnya, mereka pun bergerak meninggalkan lobi menuju ke arah yang berbeda. Rafi dan yang lainnya menuju ke lift yang akan membawa mereka ke lantai di mana Andi memesan kamar, sedangkan Anita menuju ke ballroom.
Tak lama, Rafi dan dua orang sahabatnya serta sekuriti hotel telah tiba di depan kamar yang dipesan Andi. Sekuriti hotel mengetuk pintu itu. Namun, pintu itu tak kunjung dibuka hingga kira-kira lima menit lamanya.
“Eh, busyet. Mereka kayaknya asyik banget sampai nggak mau buka pintu. Apa lagi tanggung, ya?” celetuk Reza, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rudy. Sedangkan Rafi hanya menundukkan kepalanya sambil mengepalkan kedua tangan.
Sekuriti hotel kembali mengetuk pintu, dan kali ini lebih kencang dari ketukan yang sebelumnya. Tak lama, pintu itu pun terbuka. Menampilkan sosok Andi dengan wajah yang tampak lelah, dan rambut yang acak-acakan.
Kedua bola mata Andi membuka sempurna kala dilihatnya Rafi berdiri tegak di depan pintu. Dia segera menutup pintu kembali, tapi dengan sigap Rafi menahan pintu itu agar tetap terbuka. Dalam sekejap, terjadilah aksi saling dorong pintu kamar hotel. Andi mendorong pintu agar pintu kamar hotel kembali tertutup. Sedangkan Rafi, mendorong pintu kamar hotel itu agar pintu tetap terbuka. Akhirnya, Andi menyerah karena dia kalah tenaga oleh anak sulungnya yang masih muda. Hingga pintu itu terbuka lebar dan Andi yang terdorong dua langkah ke belakang.
Rafi dan yang lainnya masuk ke dalam kamar hotel. Pintu kamar hotel langsung ditutup oleh sekuriti.
Rafi menatap papanya dengan tatapan tajam. Dia tersenyum sinis pada pria yang berstatus ayah kandungnya itu.
“Kenapa mau menutup pintunya kembali, Pa? Nggak mau ketemu sama aku, iya? Nggak mau mendapat kejutan dari aku, begitu? Malu ya ketahuan berselingkuh sama perempuan yang sebaya dengan anak Papa? Benar-benar keterlaluan Papa ini. Aku sangat kecewa sama Papa, yang tega mengkhianati Mama. Bilang tadi pagi mau ketemu sama rekan bisnis. Jadi rekan bisnis Papa itu sekarang si Tania, iya? Bisnis apa sama Tania, Pa? Bisnis selakangan?”
Andi gelagapan ditatap begitu tajam oleh anak sulungnya, dan dicecar dengan berbagai pertanyaan.
“Bu-bukan begitu, Raf. Kamu tenang dulu. Papa akan jelasin ke kamu. Duduk dulu, ya.”
“Halah, nggak usah banyak alasan deh, Pa. Mau mengelak, iya. Sudah tertangkap basah juga masih saja mau mengelak,” cetus Rafi geram.
Rafi mengalihkan tatapannya pada kedua sahabatnya. “Kalian tolong seret Tania kemari! Dia kayaknya ada di kamar mandi.”
Andi langsung menghadang Rudy dan Reza. Dia merentangkan kedua lengannya, untuk menghalangi langkah dua sahabat anaknya itu yang akan bergerak ke kamar mandi.
“Apa-apaan kalian ini?! Jangan seenaknya menyerobot kamar ini! Saya sudah menyewa kamar ini. Jadi jangan melangkah terlalu jauh, paham!” hardik Andi.
Rafi yang geram dengan sikap sang papa, lantas maju dan menarik tangan kanan papanya. Dia lalu memberi kode pada dua sahabatnya itu melalui dagunya, agar Rudy dan Reza segera ke kamar mandi.
“Menyewa untuk berzina ya, Pa?” ejek Rafi, yang membuat wajah Andi semakin merah padam.
Andi menyentakkan tangannya dan secepat kilat melayangkan tangan itu ke pipi Rafi.
Plak.
“Anak kurang ajar kamu, Rafi! Berani melawan sama orang tua,” desis Andi geram.
Rafi tertawa sumbang mendengar ucapan Andi. Dia mengusap pipinya yang terasa panas. Dia mendorong tubuh sang papa hingga membentur ke dinding. Rafi juga meraih kerah kaos Andi dan menatap nyalang ke arah pria itu.
“Siapa dulu papanya? Papanya juga kurang ajar, otomatis lah anaknya juga kurang ajar. Tapi aku kurang ajarnya, sangat terhormat karena membela mama. Oh iya, sekurang ajarnya aku, nggak akan mencontoh perbuatan hina Papa ini. Aku jijik sama Papa. Kalau nggak ingat dosa, ingin aku hajar Papa hingga babak belur. Kita tanding satu lawan satu. Apakah Papa masih kuat melawan aku, setelah bergelut dengan Tania di atas ranjang?” desis Rafi penuh amarah.
Andi yang melihat amarah di kedua bola mata anak sulungnya itu, seketika ciut nyalinya. Jujur saja kalau dia takut Rafi akan menghajarnya. Andaikan itu terjadi, sudah pasti dirinya kalah dan akan babak belur. Menyadari hal itu Andi pun memegang tangan anaknya, berusaha menenangkan Rafi.
“Rafi, bisa kita ngomong baik-baik? Kita bicara berdua saja. Ini kan masalah keluarga, Raf,” bujuk Andi.
“Apa yang mau Papa jadikan alasan di pembicaraan kita? Mama yang sudah nggak enak melayani di atas ranjang karena usianya sudah kepala empat, begitu?” sahut Rafi dengan tatapan sinis.
Andi hanya bisa menghela napas panjang, dan menatap Rafi dengan tatapan canggung.
Sementara itu, Reza dan Rudy yang berdiri di depan pintu lamar mandi sudah tak sabar lagi menunggu Tania keluar dari sana.
Mereka menggedor pintu kamar mandi seraya berteriak, “Tania keluar lu dari dalam kamar mandi! Kita hitung sampai tiga. Kalau di hitungan ketiga lu masih belum mau buka pintu, terpaksa kita dobrak pintu ini. Satu...dua...ti...”
Belum sempat Reza dan Rudy menyelesaikan hitungannya, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Menampilkan sosok wanita muda dengan raut wajah ketakutan.
Rudy segera mengarahkan kamera ponselnya tepat ke wajah Tania. Membuat gadis itu gelagapan.
“Eh, apa-apaan ini? Lu rekam wajah gue ya, Rud?” ucap Tania. Dia lalu memalingkan wajahnya dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menghindari dari sorot kamera ponsel Rudy.
“Lu mau tenar kan, Tania? Kita bantu lu viral di media sosial. Eh, nggak dulu deh. Viral di grup kampus saja dulu sebagai permulaan,” sahut Rudy kalem.
Tania seketika panik. Apalagi setelah dia melihat Andi tak berdaya di depan Rafi.
“Om bagaimana ini? Mereka mau viralkan saya,” teriak Tania panik.
Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tan
“Rafi, kamu kenapa jadi bengong begitu sih?” tegur Hanum lembut, yang membuyarkan lamunan Rafi.“Eh, nggak kok, Ma. Aku cuma capek saja kayaknya. Aku mandi dulu ya, Ma. Sudah lengket ini karena keringat,” elak Rafi.“Iya sudah sana kamu mandi. Sudah bau keringat soalnya.” Hanum berkata sambil menutup hidungnya, menggoda anak sulungnya.Rafi yang merasa digoda oleh sang mama, lantas mendusel ke bahu Hanum. Membuat wanita itu tertawa lepas.“Kak Rafi jorok ih!” ucap Amelia yang ikutan menutup hidungnya.“Biarin dong, Mel. Sama Mama ini, weee,” celetuk Rafi. Dia lantas berpindah pada Amelia dan memberikan aroma keringat pada adik bungsunya itu.Suasana di ruang keluarga itu seketika jadi ramai oleh mereka bertiga. Bahkan Rafi sedikit melupakan pertikaian dengan papanya di hotel siang tadi. Dia larut oleh suasana kebersamaan keluarga, meski kurang dengan kehadiran Gilang dan tentu saja Andi.“Kak...stop! Sudah dong, Kak. Jangan dikasih keringat terus aku-nya. Bau ini tahu, Kak,” omel Amel
Esok harinya.Andi dan Hanum sarapan seperti biasanya. Mereka bercengkerama dengan kedua anak mereka, Gilang dan Amelia. Sedangkan Rafi hanya membisu. Hal itu membuat tanda tanya besar di diri Hanum.“Kamu sedang nggak enak badan, Sayang?” tanya Hanum. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Rafi, lalu memegang keningnya. “Normal kok.”“Ih, Mama, sampai segitunya periksa aku. Tenang saja, Ma. Aku ini sehat kok,” celetuk Rafi.“Serius? Tapi, kamu kayak nggak semangat begitu,” tutur Hanum dengan kening yang berkerut.“Serius lah, buat apa aku bohong. Aku ini orang yang jujur. Jadi yang ada di hati, itu juga yang terucap di bibir.” Rafi berkata sambil melirik ke arah Andi. Dia melihat sang papa yang pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan sarapannya, sesekali berbicara pada Amelia.Hanum terkekeh mendengar penuturan putra sulungnya. Dia sama sekali tak menyadari kalau ucapan Rafi tadi adalah sebuah sindiran untuk Andi.“Ya sudah deh kalau kamu nggak apa-apa. Mama kan tenang j
Sepanjang acara makan malam, Hanum sama sekali tak menikmati acara tersebut. Dia lebih banyak diam sambil memikirkan perihal kalung indah berliontin permata biru safir. Dia hanya memaksakan tersenyum agar suami dan anak-anaknya tak mengetahui kegundahan hatinya.Sikap Hanum yang lebih banyak diam, rupanya mencuri perhatian Rafi. Pemuda itu selalu melirik ke arah sang mama, di saat dia sedang menikmati hidangan makan malam.‘Ada apa dengan Mama, ya? Kok agak beda sikapnya, meski nggak terlalu kelihatan,’ ucap Rafi dalam hati.Acara makan malam pun bergulir dengan penuh canda dan tawa, bagi Andi dan kedua anaknya. Hal itu tak berlaku bagi Hanum dan Rafi. Kedua orang itu hanya sesekali menimpali. Selebihnya hanya banyak diam pura-pura menikmati hidangan makan malam.Mereka akhirnya kembali ke rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak banyak obrolan di mobil, karena Amelia yang biasanya banyak berceloteh kini tertidur. Sedangkan Rafi dan Gilang sibuk dengan ponsel masing-ma
Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir
Tania yang melihat amarah di wajah Rafi, lantas meletakkan telunjuknya di bibir. Mengkode agar Rafi tak bersuara karena emosi.“Ya sudah kalau begitu, Om. Sekarang saya mau siap-siap dulu, supaya nanti bisa cetar saat ketemu sama Om Andi,” cetus Tania.“Ok, Cantik. Tunggu Om, ya. Sekarang ditutup dulu teleponnya ya, bye,” sahut Andi di seberang sana dengan suaranya yang masih lembut mendayu-dayu.Setelah itu, sambungan telepon Tania dan Andi pun berakhir. Tania lalu menatap Rafi sambil tersenyum canggung, dan salah tingkah.“Maaf ya, Raf. Gue harus berperan seperti tadi supaya bokap lu nggak curiga,” ucap Tania.Rafi mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Sudah risikonya sakit hati mendengar percakapan Tania dan papanya, karena dirinya lah yang membuat Tania menghubungi Andi kembali.“Memang seperti itu ya biasanya kalian berinteraksi?” sahut Rafi dengan helaan napas panjang.“Hu’um. Jujur saja sih kalau gue terbuai oleh papa lu, Raf. Dia cowok yang romantis,” aku Tania te
Bukan hanya Rafi saja yang tubuhnya seketika membeku setelah mendengar suara itu, tapi hal yang sama juga dirasakan oleh Andi. Pria itu lalu menoleh dan tersenyum pada si pemilik suara.“Lho, kamu ada di sini juga? Sama siapa, Num? Gabung saja sini, yuk!” ucap Andi berusaha setenang mungkin, meski dalam hatinya sudah ketar-ketir karena terpergok sedang bersama dengan Tania.“Iya, aku tadinya ada janji ketemuan sama Anita di sini. Tapi di saat aku sudah sampai di sini, Anita membatalkan janji karena ada kabar kalau orang tuanya sakit. Aku yang sudah ada di sini dan sudah lapar, langsung saja masuk dan berniat makan di sini. Tapi, aku akhirnya mendapat kejutan di sini.” Hanum berkata sambil menghela napas panjang dan menatap suaminya serta Tania secara bergantian.“Ya sudah, makan bareng sama aku saja di sini. Ini kenalkan Tania. Dia teman sekampus Rafi,” ucap Andi dengan senyuman.Kening Hanum berkerut cukup dalam. Belum selesai dia menduga mengenai gadis cantik yang duduk di hadapan s
Andi melangkah masuk ke dalam kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Di kepalanya sudah tercipta berbagai macam kata yang akan dia ucapkan, dan tentu saja permohonan maaf pada sang istri atas kesalahan yang dia ciptakan.Hanum masih saja duduk di kursi rias dan menatap tajam suaminya, yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik pada Andi. Rasa cintanya yang semula begitu besar pada pria itu, kini perlahan mulai terkikis. Apalagi kini teringat tentang kalung yang berliontin permata biru safir. Hatinya panas karena menduga kalung itu diberikan oleh Andi pada Tania.“Hanum, tolong jangan curiga yang macam-macam. Aku dan Tania nggak ada hubungan apa-apa, sungguh!” ucap Andi ketika sudah berada di hadapan sang istri. Dia duduk bersimpuh di kaki Hanum dengan tatapan memelas.Hanum menatap sebal pada pria yang sedang memainkan sandiwara di hadapannya kini. Dia tepis tangan Andi yang menyentuh kakinya. Jijik rasanya bersentuhan dengan pria itu, meski hanya kak