Share

6. Kejutan

Tak lama, sekuriti hotel sudah tiba di meja resepsionis. Anita pun sudah mendapatkan nomor kamar di mana Andi dan Tania berada saat ini.

“Pak, tolong dampingi Ibu dan Mas ini ke atas. Mereka mau menyelesaikan masalah keluarga. Tolong supaya nanti nggak mengganggu tamu yang lain,” ucap resepsionis, yang diangguki oleh sekuriti.

“Baik, Mbak,” sahut pria berbadan tinggi tegap itu. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Suami Ibu berselingkuh, ya?”

“Bukan, Pak. Itu papanya keponakan saya ini,” sahut Anita dengan menepuk pelan bahu Rafi.

Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap Rafi seraya berkata, “Mas, meskipun emosi, tapi nanti tolong dijaga supaya nggak baku hantam dengan papanya. Cekcok mulut boleh lah karena kan kesal terhadap ulah papanya. Cuma kalau saling pukul sebaiknya dihindari, supaya nggak mengundang perhatian orang. Saya akan mendampingi Mas supaya keadaan bisa kondusif nanti, yang penting kan bisa mendapatkan bukti kalau papanya selingkuh.”

Rafi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, terima kasih atas sarannya, Pak. Saya juga sebisa mungkin akan mengendalikan emosi saya nanti. Saya juga nggak mau ribut-ribut di sini. Saya nggak mau kalau Mama saya tahu tentang perbuatan papa saya. Jadi sebisa mungkin, saya akan menyelesaikan masalah ini dengan papa nanti.”

“Baiklah, sekarang kita naik, yuk!” ajak sekuriti itu.

“Iya, mari,” sahut Rafi. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Tante sebaiknya nggak usah ikut. Tante ke ballroom saja. Om pasti cari Tante karena terlalu lama meninggalkan ballroom.”

“Ya sudah deh kalau begitu. Tapi, nanti kamu kabari Tante ya, Rafi. Maksud Tante, berhasil atau nggak kamu selesaikan masalah dengan papa kamu. Semoga saja berhasil,” sahut Anita.

“Iya, Tan, semoga saja,” sahut Rafi lirih, karena dia pun tak tahu apakah bisa menyelesaikan masalah ini, atau malah memperburuk hubungan dengan sang papa.

Sebelum meninggalkan lobi, Anita dan Rafi bertukar nomor telepon. Selanjutnya, mereka pun bergerak meninggalkan lobi menuju ke arah yang berbeda. Rafi dan yang lainnya menuju ke lift yang akan membawa mereka ke lantai di mana Andi memesan kamar, sedangkan Anita menuju ke ballroom.

Tak lama, Rafi dan dua orang sahabatnya serta sekuriti hotel telah tiba di depan kamar yang dipesan Andi. Sekuriti hotel mengetuk pintu itu. Namun, pintu itu tak kunjung dibuka hingga kira-kira lima menit lamanya.

“Eh, busyet. Mereka kayaknya asyik banget sampai nggak mau buka pintu. Apa lagi tanggung, ya?” celetuk Reza, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rudy. Sedangkan Rafi hanya menundukkan kepalanya sambil mengepalkan kedua tangan.

Sekuriti hotel kembali mengetuk pintu, dan kali ini lebih kencang dari ketukan yang sebelumnya. Tak lama, pintu itu pun terbuka. Menampilkan sosok Andi dengan wajah yang tampak lelah, dan rambut yang acak-acakan.

Kedua bola mata Andi membuka sempurna kala dilihatnya Rafi berdiri tegak di depan pintu. Dia segera menutup pintu kembali, tapi dengan sigap Rafi menahan pintu itu agar tetap terbuka. Dalam sekejap, terjadilah aksi saling dorong pintu kamar hotel. Andi mendorong pintu agar pintu kamar hotel kembali tertutup. Sedangkan Rafi, mendorong pintu kamar hotel itu agar pintu tetap terbuka. Akhirnya, Andi menyerah karena dia kalah tenaga oleh anak sulungnya yang masih muda. Hingga pintu itu terbuka lebar dan Andi yang terdorong dua langkah ke belakang.

Rafi dan yang lainnya masuk ke dalam kamar hotel. Pintu kamar hotel langsung ditutup oleh sekuriti.

Rafi menatap papanya dengan tatapan tajam. Dia tersenyum sinis pada pria yang berstatus ayah kandungnya itu.

“Kenapa mau menutup pintunya kembali, Pa? Nggak mau ketemu sama aku, iya? Nggak mau mendapat kejutan dari aku, begitu? Malu ya ketahuan berselingkuh sama perempuan yang sebaya dengan anak Papa? Benar-benar keterlaluan Papa ini. Aku sangat kecewa sama Papa, yang tega mengkhianati Mama. Bilang tadi pagi mau ketemu sama rekan bisnis. Jadi rekan bisnis Papa itu sekarang si Tania, iya? Bisnis apa sama Tania, Pa? Bisnis selakangan?”

Andi gelagapan ditatap begitu tajam oleh anak sulungnya, dan dicecar dengan berbagai pertanyaan.

“Bu-bukan begitu, Raf. Kamu tenang dulu. Papa akan jelasin ke kamu. Duduk dulu, ya.”

“Halah, nggak usah banyak alasan deh, Pa. Mau mengelak, iya. Sudah tertangkap basah juga masih saja mau mengelak,” cetus Rafi geram.

Rafi mengalihkan tatapannya pada kedua sahabatnya. “Kalian tolong seret Tania kemari! Dia kayaknya ada di kamar mandi.”

Andi langsung menghadang Rudy dan Reza. Dia merentangkan kedua lengannya, untuk menghalangi langkah dua sahabat anaknya itu yang akan bergerak ke kamar mandi.

“Apa-apaan kalian ini?! Jangan seenaknya menyerobot kamar ini! Saya sudah menyewa kamar ini. Jadi jangan melangkah terlalu jauh, paham!” hardik Andi.

Rafi yang geram dengan sikap sang papa, lantas maju dan menarik tangan kanan papanya. Dia lalu memberi kode pada dua sahabatnya itu melalui dagunya, agar Rudy dan Reza segera ke kamar mandi.

“Menyewa untuk berzina ya, Pa?” ejek Rafi, yang membuat wajah Andi semakin merah padam.

Andi menyentakkan tangannya dan secepat kilat melayangkan tangan itu ke pipi Rafi.

Plak.

“Anak kurang ajar kamu, Rafi! Berani melawan sama orang tua,” desis Andi geram.

Rafi tertawa sumbang mendengar ucapan Andi. Dia mengusap pipinya yang terasa panas. Dia mendorong tubuh sang papa hingga membentur ke dinding. Rafi juga meraih kerah kaos Andi dan menatap nyalang ke arah pria itu.

“Siapa dulu papanya? Papanya juga kurang ajar, otomatis lah anaknya juga kurang ajar. Tapi aku kurang ajarnya, sangat terhormat karena membela mama. Oh iya, sekurang ajarnya aku, nggak akan mencontoh perbuatan hina Papa ini. Aku jijik sama Papa. Kalau nggak ingat dosa, ingin aku hajar Papa hingga babak belur. Kita tanding satu lawan satu. Apakah Papa masih kuat melawan aku, setelah bergelut dengan Tania di atas ranjang?” desis Rafi penuh amarah.

Andi yang melihat amarah di kedua bola mata anak sulungnya itu, seketika ciut nyalinya. Jujur saja kalau dia takut Rafi akan menghajarnya. Andaikan itu terjadi, sudah pasti dirinya kalah dan akan babak belur. Menyadari hal itu Andi pun memegang tangan anaknya, berusaha menenangkan Rafi.

“Rafi, bisa kita ngomong baik-baik? Kita bicara berdua saja. Ini kan masalah keluarga, Raf,” bujuk Andi.

“Apa yang mau Papa jadikan alasan di pembicaraan kita? Mama yang sudah nggak enak melayani di atas ranjang karena usianya sudah kepala empat, begitu?” sahut Rafi dengan tatapan sinis.

Andi hanya bisa menghela napas panjang, dan menatap Rafi dengan tatapan canggung.

Sementara itu, Reza dan Rudy yang berdiri di depan pintu lamar mandi sudah tak sabar lagi menunggu Tania keluar dari sana.

Mereka menggedor pintu kamar mandi seraya berteriak, “Tania keluar lu dari dalam kamar mandi! Kita hitung sampai tiga. Kalau di hitungan ketiga lu masih belum mau buka pintu, terpaksa kita dobrak pintu ini. Satu...dua...ti...”

Belum sempat Reza dan Rudy menyelesaikan hitungannya, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Menampilkan sosok wanita muda dengan raut wajah ketakutan.

Rudy segera mengarahkan kamera ponselnya tepat ke wajah Tania. Membuat gadis itu gelagapan.

“Eh, apa-apaan ini? Lu rekam wajah gue ya, Rud?” ucap Tania. Dia lalu memalingkan wajahnya dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menghindari dari sorot kamera ponsel Rudy.

“Lu mau tenar kan, Tania? Kita bantu lu viral di media sosial. Eh, nggak dulu deh. Viral di grup kampus saja dulu sebagai permulaan,” sahut Rudy kalem.

Tania seketika panik. Apalagi setelah dia melihat Andi tak berdaya di depan Rafi.

“Om bagaimana ini? Mereka mau viralkan saya,” teriak Tania panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status