Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.
“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.
“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.
“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.
Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”
Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tania. Sedangkan Tania, wajahnya semakin pucat.
“Om, tolong saya,” rengek Tania, yang membuat Rafi muak.
“Rafi!” bentak Andi dengan napas yang memburu karena tersulut emosi akibat penuturan Rafi pada Tania.
“Kenapa? Papa keberatan kalau aku memberi pelajaran pada perempuan ja lang ini?” sahut Rafi dengan nada tinggi.
Plak.
Sekali lagi tamparan mendarat mulus di pipi Rafi. Namun, tak membuat Rafi gentar. Hilang sudah rasa hormatnya pada pria yang sampai kapan pun menyandang status sebagai ayah kandungnya.
“Papa minta supaya kamu dan teman-teman kamu itu, juga sekuriti ini keluar dari kamar ini! Papa sudah menyewa kamar ini sesuai prosedur. Jangan ganggu privasi Papa, paham!” hardik Andi yang membuat darah Rafi semakin mendidih.
Rafi tersenyum sinis seraya berkata, “Mau melanjutkan zina lagi ya, Pa? Dasar otak mesum. Lelaki nggak ada hati. Pikirannya hanya sebatas pusar dan selakangan. Sama sekali nggak mikir perasaan pasangan halalnya. Nggak mikir perasaan anak-anaknya. Bagaimana kalau sampai Gilang dan Amel tahu kalau Papa yang selama ini kita hormati, ternyata bejat kelakuannya? Aku malu menyandang gelar sebagai anak kandung Papa. Bahkan Papa membawa dan menggauli teman kuliahku di hotel ini. Aku sangat malu, Andi Sanjaya!”
Rafi mengepalkan tinjunya dan mengarahkan ke wajah Andi. Namun, sebelum sampai tinjunya mendarat di wajah pria itu, Rafi segera tersadar kalau pria yang ada di hadapannya adalah ayah kandungnya. Dia akhirnya meninju dinding di samping Andi sebagai pelampiasannya.
Bugh.
“Argh!”
Andi yang terkejut kalau sang putra sulung akan memukulnya, segera memejamkan mata dan menjerit tertahan. Dia baru membuka matanya setelah tak dirasakan tinju Rafi mengenai wajahnya. Dia terkejut ketika melihat punggung tangan Rafi berlumuran darah, karena buku tangan pemuda itu terluka akibat meninju dinding.
“Rafi...”
Andi yang semula masih berusaha garang di depan anaknya, agar Rafi dan yang lainnya segera pergi dari tempat itu, kini menatap nanar punggung tangan anaknya yang terluka.
“Ya, aku terluka, Papa. Tapi, luka di tangan ini nggak seberapa dibandingkan dengan luka yang ada di sini.” Rafi berkata sambil mengarahkan telunjuk di dadanya.
Andi tertunduk antara malu dan sedih. Tatapannya tertuju pada lantai kamar hotel yang kini ada bercak merah, akibat darah anak sulungnya menetes di sana.
“Hentikan kegilaan ini, Pa, kalau Papa masih sayang dan cinta sama kami. Mama pasti akan sangat terluka kalau tahu perbuatan Papa di sini. Makanya aku berbuat ini supaya Papa sadar diri dan menghentikan semua ini,” imbuh Rafi dengan suara lebih pelan dari sebelumnya.
Andi bergeming. Dia tetap tertunduk dan tatapannya terus terarah ke lantai. Jujur, kalau saat ini dia sangat malu.
Melihat Papanya yang diam seribu bahasa, Rafi lalu mengalihkan tatapannya pada Tania yang masih tampak ketakutan.
“Hei, Tania! Ini terakhir kali lu berhubungan sama papa gue. Kalau sampai nanti gue tahu lu masih berhubungan dengan papa gue, jangan salahin gue yang suruh preman untuk kerjai lu,” ancam Rafi.
Tania yang dari tadi sudah ketakutan akibat ulah Rudy yang merekam dirinya, kini semakin ketakutan karena ancaman Rafi yang mengerikan.
“I-iya, Raf. Gue janji nggak akan berhubungan dengan papa lu lagi. Serius gue janji. Tolong jangan kirim preman untuk mengerjai aku ya, Raf,” sahut Tania dengan tatapan memelas.
“Gue pegang kata-kata lu, Tania. Sekarang lu pergi dari sini, cepat! Oh iya, hapus nomor telepon papa gue dari kontak lu, cepat. Lakukan sekarang juga,” titah Rafi, yang diangguki oleh Tania. Dia lalu menoleh pada Reza dan memberi kode melalui matanya, agar sahabatnya itu memperhatikan Tania dari dekat.
Reza yang paham dengan kode itu, segera mendekati Tania dan memperhatikan gadis itu yang kini tengah menghapus nomor Andi. Reza mengacungkan ibu jarinya pada Rafi, kode kalau Tania sudah menghapus nomor telepon Andi.
Rafi mengangguk, dan mengalihkan tatapannya pada sang papa yang masih bergeming.
“Sekarang giliran Papa yang menghapus nomor telepon Tania!” titah Rafi dengan tatapan tajam pada Andi.
Andi menghela napas dan melangkah ke arah meja, di mana ponselnya berada. Rafi pun mengekor langkah sang papa.
“Kamu lihat sendiri sekarang, kalau Papa sudah menghapus nomor telepon Tania. Sekarang lekas pergi dari sini. Papa mau istirahat dulu sebelum pulang ke rumah.” Andi menitah dengan suara datar dan dingin. Tampak jelas kalau dia marah dengan anak sulungnya itu. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena sudah tertangkap basah berselingkuh.
“Ok, aku akan pergi dari sini, setelah Tania juga pergi dari sini!” tegas Rafi.
“Tania, lu sekarang pergi deh dari sini. Muak dan jijik gue lihat lu,” ucap Rafi dengan tatapan tajam pada teman kuliahnya itu.
Tania mengangguk dan bergegas mengemasi barang-barangnya. Selanjutnya, dia segera melangkah keluar dari kamar itu tanpa menoleh lagi pada Andi maupun Rafi.
***
Rafi tiba di rumah ketika hari menjelang sore. Dirinya merasa lelah saat ini. Lelah pikiran dan tenaga tentunya. Namun, dia berusaha menyunggingkan senyuman ketika sudah memasuki rumah. Semua itu dia lakukan agar sang mama tak curiga.
“Assalamualaikum,” sapa Rafi ketika sudah tiba di ruang tengah. Di sana lihatnya sang mama tengah menonton TV bersama dengan Amelia.
“Wa’ alaikumsalam,” sahut Hanum. Dia menoleh ke arah sumber suara, dan melihat wajah tampan Rafi yang tampak kusut meski pemuda itu tengah tersenyum.
Hanum tersenyum kala Rafi mencium punggung tangannya dengan takzim. Dia lalu mengelus pucuk kepala anak sulungnya dengan lembut.
“Kamu kenapa, Sayang? Lagi ada masalah, ya? Ada masalah apa? cerita dong ke Mama, barangkali saja Mama bisa bantu carikan solusi,” ucap Hanum lembut.
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada masalah apa-apa kok, Ma. Aku capek saja.”
“Syukurlah kalau begitu. Kalau ada masalah, jangan sungkan cerita ke Mama, ya,” tawar Hanum dengan suara lembutnya.
“Papa sudah pulang belum, Ma?” tanya Rafi kalem.
Hanum menggeleng seraya berkata, “Belum, Sayang. Papa bilang, katanya pulang agak malam sekitar jam tujuh atau jam delapan. Ada perlu penting katanya.”
Rafi tersentak mendengar penuturan sang mama. Diam-diam kedua tangannya terkepal menahan amarah.
‘Ke mana lagi itu si papa? Apa iya ke tempat Tania? Kebangetan si papa ini. Aku harus selidiki,’ ucap Rafi dalam hati.
“Rafi, kamu kenapa jadi bengong begitu sih?” tegur Hanum lembut, yang membuyarkan lamunan Rafi.“Eh, nggak kok, Ma. Aku cuma capek saja kayaknya. Aku mandi dulu ya, Ma. Sudah lengket ini karena keringat,” elak Rafi.“Iya sudah sana kamu mandi. Sudah bau keringat soalnya.” Hanum berkata sambil menutup hidungnya, menggoda anak sulungnya.Rafi yang merasa digoda oleh sang mama, lantas mendusel ke bahu Hanum. Membuat wanita itu tertawa lepas.“Kak Rafi jorok ih!” ucap Amelia yang ikutan menutup hidungnya.“Biarin dong, Mel. Sama Mama ini, weee,” celetuk Rafi. Dia lantas berpindah pada Amelia dan memberikan aroma keringat pada adik bungsunya itu.Suasana di ruang keluarga itu seketika jadi ramai oleh mereka bertiga. Bahkan Rafi sedikit melupakan pertikaian dengan papanya di hotel siang tadi. Dia larut oleh suasana kebersamaan keluarga, meski kurang dengan kehadiran Gilang dan tentu saja Andi.“Kak...stop! Sudah dong, Kak. Jangan dikasih keringat terus aku-nya. Bau ini tahu, Kak,” omel Amel
Esok harinya.Andi dan Hanum sarapan seperti biasanya. Mereka bercengkerama dengan kedua anak mereka, Gilang dan Amelia. Sedangkan Rafi hanya membisu. Hal itu membuat tanda tanya besar di diri Hanum.“Kamu sedang nggak enak badan, Sayang?” tanya Hanum. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Rafi, lalu memegang keningnya. “Normal kok.”“Ih, Mama, sampai segitunya periksa aku. Tenang saja, Ma. Aku ini sehat kok,” celetuk Rafi.“Serius? Tapi, kamu kayak nggak semangat begitu,” tutur Hanum dengan kening yang berkerut.“Serius lah, buat apa aku bohong. Aku ini orang yang jujur. Jadi yang ada di hati, itu juga yang terucap di bibir.” Rafi berkata sambil melirik ke arah Andi. Dia melihat sang papa yang pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan sarapannya, sesekali berbicara pada Amelia.Hanum terkekeh mendengar penuturan putra sulungnya. Dia sama sekali tak menyadari kalau ucapan Rafi tadi adalah sebuah sindiran untuk Andi.“Ya sudah deh kalau kamu nggak apa-apa. Mama kan tenang j
Sepanjang acara makan malam, Hanum sama sekali tak menikmati acara tersebut. Dia lebih banyak diam sambil memikirkan perihal kalung indah berliontin permata biru safir. Dia hanya memaksakan tersenyum agar suami dan anak-anaknya tak mengetahui kegundahan hatinya.Sikap Hanum yang lebih banyak diam, rupanya mencuri perhatian Rafi. Pemuda itu selalu melirik ke arah sang mama, di saat dia sedang menikmati hidangan makan malam.‘Ada apa dengan Mama, ya? Kok agak beda sikapnya, meski nggak terlalu kelihatan,’ ucap Rafi dalam hati.Acara makan malam pun bergulir dengan penuh canda dan tawa, bagi Andi dan kedua anaknya. Hal itu tak berlaku bagi Hanum dan Rafi. Kedua orang itu hanya sesekali menimpali. Selebihnya hanya banyak diam pura-pura menikmati hidangan makan malam.Mereka akhirnya kembali ke rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak banyak obrolan di mobil, karena Amelia yang biasanya banyak berceloteh kini tertidur. Sedangkan Rafi dan Gilang sibuk dengan ponsel masing-ma
Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir
Tania yang melihat amarah di wajah Rafi, lantas meletakkan telunjuknya di bibir. Mengkode agar Rafi tak bersuara karena emosi.“Ya sudah kalau begitu, Om. Sekarang saya mau siap-siap dulu, supaya nanti bisa cetar saat ketemu sama Om Andi,” cetus Tania.“Ok, Cantik. Tunggu Om, ya. Sekarang ditutup dulu teleponnya ya, bye,” sahut Andi di seberang sana dengan suaranya yang masih lembut mendayu-dayu.Setelah itu, sambungan telepon Tania dan Andi pun berakhir. Tania lalu menatap Rafi sambil tersenyum canggung, dan salah tingkah.“Maaf ya, Raf. Gue harus berperan seperti tadi supaya bokap lu nggak curiga,” ucap Tania.Rafi mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Sudah risikonya sakit hati mendengar percakapan Tania dan papanya, karena dirinya lah yang membuat Tania menghubungi Andi kembali.“Memang seperti itu ya biasanya kalian berinteraksi?” sahut Rafi dengan helaan napas panjang.“Hu’um. Jujur saja sih kalau gue terbuai oleh papa lu, Raf. Dia cowok yang romantis,” aku Tania te
Bukan hanya Rafi saja yang tubuhnya seketika membeku setelah mendengar suara itu, tapi hal yang sama juga dirasakan oleh Andi. Pria itu lalu menoleh dan tersenyum pada si pemilik suara.“Lho, kamu ada di sini juga? Sama siapa, Num? Gabung saja sini, yuk!” ucap Andi berusaha setenang mungkin, meski dalam hatinya sudah ketar-ketir karena terpergok sedang bersama dengan Tania.“Iya, aku tadinya ada janji ketemuan sama Anita di sini. Tapi di saat aku sudah sampai di sini, Anita membatalkan janji karena ada kabar kalau orang tuanya sakit. Aku yang sudah ada di sini dan sudah lapar, langsung saja masuk dan berniat makan di sini. Tapi, aku akhirnya mendapat kejutan di sini.” Hanum berkata sambil menghela napas panjang dan menatap suaminya serta Tania secara bergantian.“Ya sudah, makan bareng sama aku saja di sini. Ini kenalkan Tania. Dia teman sekampus Rafi,” ucap Andi dengan senyuman.Kening Hanum berkerut cukup dalam. Belum selesai dia menduga mengenai gadis cantik yang duduk di hadapan s
Andi melangkah masuk ke dalam kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Di kepalanya sudah tercipta berbagai macam kata yang akan dia ucapkan, dan tentu saja permohonan maaf pada sang istri atas kesalahan yang dia ciptakan.Hanum masih saja duduk di kursi rias dan menatap tajam suaminya, yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik pada Andi. Rasa cintanya yang semula begitu besar pada pria itu, kini perlahan mulai terkikis. Apalagi kini teringat tentang kalung yang berliontin permata biru safir. Hatinya panas karena menduga kalung itu diberikan oleh Andi pada Tania.“Hanum, tolong jangan curiga yang macam-macam. Aku dan Tania nggak ada hubungan apa-apa, sungguh!” ucap Andi ketika sudah berada di hadapan sang istri. Dia duduk bersimpuh di kaki Hanum dengan tatapan memelas.Hanum menatap sebal pada pria yang sedang memainkan sandiwara di hadapannya kini. Dia tepis tangan Andi yang menyentuh kakinya. Jijik rasanya bersentuhan dengan pria itu, meski hanya kak
Andi dan Hanum pun terkesiap melihat Amelia. Rupanya putri bungsu mereka telah menguping pembicaraan kedua orang tuanya.Amelia berlari menghambur ke pelukan Hanum. Di dekapan sang bunda, gadis yang masih duduk di bangku kelas satu SMA itu menangis tersedu-sedu.Hanum menghela napas panjang dan mengusap rambut Amelia dengan lembut. Dia tahu yang dirasakan oleh putrinya saat ini. Namun dia pura-pura tak tahu, dan ingin agar Amelia mengatakan di hadapannya serta Andi.“Ada apa, Sayang?” bisik Hanum.“Mama mau bercerai sama Papa, iya?” ucap Amelia dengan suara parau.“Oh nggak, Sayang! Itu nggak akan terjadi. Papa jamin itu. Jadi kamu tenang saja, ya,” sahut Andi cepat.Hanum menatap tajam suaminya tanpa sepengetahuan Amelia. Dia tampak geram sekali pada pria itu, yang sepertinya mencari kesempatan agar dia luluh.Amelia lalu mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Hanum dengan tatapan penuh tanya.“Betul, Ma?”“Kamu mulai menguping di bagian yang mana? Apa dari awal atau setengah-seten