Share

7. Ancaman Rafi

Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.

“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.

“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.

“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.

Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”

Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tania. Sedangkan Tania, wajahnya semakin pucat.

“Om, tolong saya,” rengek Tania, yang membuat Rafi muak.

“Rafi!” bentak Andi dengan napas yang memburu karena tersulut emosi akibat penuturan Rafi pada Tania.

“Kenapa? Papa keberatan kalau aku memberi pelajaran pada perempuan ja lang ini?” sahut Rafi dengan nada tinggi.

Plak.

Sekali lagi tamparan mendarat mulus di pipi Rafi. Namun, tak membuat Rafi gentar. Hilang sudah rasa hormatnya pada pria yang sampai kapan pun menyandang status sebagai ayah kandungnya.

“Papa minta supaya kamu dan teman-teman kamu itu, juga sekuriti ini keluar dari kamar ini! Papa sudah menyewa kamar ini sesuai prosedur. Jangan ganggu privasi Papa, paham!” hardik Andi yang membuat darah Rafi semakin mendidih.

Rafi tersenyum sinis seraya berkata, “Mau melanjutkan zina lagi ya, Pa? Dasar otak mesum. Lelaki nggak ada hati. Pikirannya hanya sebatas pusar dan selakangan. Sama sekali nggak mikir perasaan pasangan halalnya. Nggak mikir perasaan anak-anaknya. Bagaimana kalau sampai Gilang dan Amel tahu kalau Papa yang selama ini kita hormati, ternyata bejat kelakuannya? Aku malu menyandang gelar sebagai anak kandung Papa. Bahkan Papa membawa dan menggauli teman kuliahku di hotel ini. Aku sangat malu, Andi Sanjaya!”

Rafi mengepalkan tinjunya dan mengarahkan ke wajah Andi. Namun, sebelum sampai tinjunya mendarat di wajah pria itu, Rafi segera tersadar kalau pria yang ada di hadapannya adalah ayah kandungnya. Dia akhirnya meninju dinding di samping Andi sebagai pelampiasannya.

Bugh.

“Argh!”

Andi yang terkejut kalau sang putra sulung akan memukulnya, segera memejamkan mata dan menjerit tertahan. Dia baru membuka matanya setelah tak dirasakan tinju Rafi mengenai wajahnya. Dia terkejut ketika melihat punggung tangan Rafi berlumuran darah, karena buku tangan pemuda itu terluka akibat meninju dinding.

“Rafi...”

Andi yang semula masih berusaha garang di depan anaknya, agar Rafi dan yang lainnya segera pergi dari tempat itu, kini menatap nanar punggung tangan anaknya yang terluka.

“Ya, aku terluka, Papa. Tapi, luka di tangan ini nggak seberapa dibandingkan dengan luka yang ada di sini.” Rafi berkata sambil mengarahkan telunjuk di dadanya.

Andi tertunduk antara malu dan sedih. Tatapannya tertuju pada lantai kamar hotel yang kini ada bercak merah, akibat darah anak sulungnya menetes di sana.

“Hentikan kegilaan ini, Pa, kalau Papa masih sayang dan cinta sama kami. Mama pasti akan sangat terluka kalau tahu perbuatan Papa di sini. Makanya aku berbuat ini supaya Papa sadar diri dan menghentikan semua ini,” imbuh Rafi dengan suara lebih pelan dari sebelumnya.

Andi bergeming. Dia tetap tertunduk dan tatapannya terus terarah ke lantai. Jujur, kalau saat ini dia sangat malu.

Melihat Papanya yang diam seribu bahasa, Rafi lalu mengalihkan tatapannya pada Tania yang masih tampak ketakutan.

“Hei, Tania! Ini terakhir kali lu berhubungan sama papa gue. Kalau sampai nanti gue tahu lu masih berhubungan dengan papa gue, jangan salahin gue yang suruh preman untuk kerjai lu,” ancam Rafi.

Tania yang dari tadi sudah ketakutan akibat ulah Rudy yang merekam dirinya, kini semakin ketakutan karena ancaman Rafi yang mengerikan.

“I-iya, Raf. Gue janji nggak akan berhubungan dengan papa lu lagi. Serius gue janji. Tolong jangan kirim preman untuk mengerjai aku ya, Raf,” sahut Tania dengan tatapan memelas.

“Gue pegang kata-kata lu, Tania. Sekarang lu pergi dari sini, cepat! Oh iya, hapus nomor telepon papa gue dari kontak lu, cepat. Lakukan sekarang juga,” titah Rafi, yang diangguki oleh Tania. Dia lalu menoleh pada Reza dan memberi kode melalui matanya, agar sahabatnya itu memperhatikan Tania dari dekat.

Reza yang paham dengan kode itu, segera mendekati Tania dan memperhatikan gadis itu yang kini tengah menghapus nomor Andi. Reza mengacungkan ibu jarinya pada Rafi, kode kalau Tania sudah menghapus nomor telepon Andi.

Rafi mengangguk, dan mengalihkan tatapannya pada sang papa yang masih bergeming.

“Sekarang giliran Papa yang menghapus nomor telepon Tania!” titah Rafi dengan tatapan tajam pada Andi.

Andi menghela napas dan melangkah ke arah meja, di mana ponselnya berada. Rafi pun mengekor langkah sang papa.

“Kamu lihat sendiri sekarang, kalau Papa sudah menghapus nomor telepon Tania. Sekarang lekas pergi dari sini. Papa mau istirahat dulu sebelum pulang ke rumah.” Andi menitah dengan suara datar dan dingin. Tampak jelas kalau dia marah dengan anak sulungnya itu. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena sudah tertangkap basah berselingkuh.

“Ok, aku akan pergi dari sini, setelah Tania juga pergi dari sini!” tegas Rafi.

“Tania, lu sekarang pergi deh dari sini. Muak dan jijik gue lihat lu,” ucap Rafi dengan tatapan tajam pada teman kuliahnya itu.

Tania mengangguk dan bergegas mengemasi barang-barangnya. Selanjutnya, dia segera melangkah keluar dari kamar itu tanpa menoleh lagi pada Andi maupun Rafi.

***

Rafi tiba di rumah ketika hari menjelang sore. Dirinya merasa lelah saat ini. Lelah pikiran dan tenaga tentunya. Namun, dia berusaha menyunggingkan senyuman ketika sudah memasuki rumah. Semua itu dia lakukan agar sang mama tak curiga.

“Assalamualaikum,” sapa Rafi ketika sudah tiba di ruang tengah. Di sana lihatnya sang mama tengah menonton TV bersama dengan Amelia.

“Wa’ alaikumsalam,” sahut Hanum. Dia menoleh ke arah sumber suara, dan melihat wajah tampan Rafi yang tampak kusut meski pemuda itu tengah tersenyum.

Hanum tersenyum kala Rafi mencium punggung tangannya dengan takzim. Dia lalu mengelus pucuk kepala anak sulungnya dengan lembut.

“Kamu kenapa, Sayang? Lagi ada masalah, ya? Ada masalah apa? cerita dong ke Mama, barangkali saja Mama bisa bantu carikan solusi,” ucap Hanum lembut.

Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada masalah apa-apa kok, Ma. Aku capek saja.”

“Syukurlah kalau begitu. Kalau ada masalah, jangan sungkan cerita ke Mama, ya,” tawar Hanum dengan suara lembutnya.

“Papa sudah pulang belum, Ma?” tanya Rafi kalem.

Hanum menggeleng seraya berkata, “Belum, Sayang. Papa bilang, katanya pulang agak malam sekitar jam tujuh atau jam delapan. Ada perlu penting katanya.”

Rafi tersentak mendengar penuturan sang mama. Diam-diam kedua tangannya terkepal menahan amarah.

‘Ke mana lagi itu si papa? Apa iya ke tempat Tania? Kebangetan si papa ini. Aku harus selidiki,’ ucap Rafi dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status