"Jadi, Seika nggak cerita apa-apa sama kamu?" tanya Kama dengan rasa khawatir yang semakin memuncak. Rongga dadanya benar-benar terisi oleh badai yang bergemuruh sekarang. Berpuluh-puluh pertanyaan berselirweran dalam benak. Di antaranya, 'Benarkah Seika kecewa karena sikapnya semalam? Apakah Seika marah? Seingatnya, belum pernah sampai libur kerja sebesar apa pun masalah yang dihadapi." "Nggak, Kama." sahut Welas sedikit menurunkan level kepanikan dalam diri Kama, "Bahkan tadi pagi pun dia hanya bilang kalau nggak bisa berangkat ke kantor. Dia juga minta sama aku buat mimpin apel motivasi. Ya hanya itu, Kama." Di tempat duduknya, Kama mendesah berat. Penyesalan bercampur dengan pembenaran dan sedikit menyayangkan kedatangan Seika bergumul di hati kecilnya. Ya, kalau tidak menghilang seperti ini sih, tidak masalah baginya. "Oke, Welas." itu yang akhirnya terlontar dari mulut Kama, setelah menghela napas panjang. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku langsung pamit pulang saja
"Oh Papa, maaf …!" seru Welas penuh sesal karena sudah berbohong. "Emh, nggak apa-apa kok, Papa. Mata Welas nggak sakit, kok. Nggak perlu pergi ke Dokter …." Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Papa, sesegera mungkin Welas melesat ke kamar. Sekarang hatinya dipenuhi oleh perasaan sedih, bingung dan takut. Sedihnya karena sudah membohongi Papa sekaligus dirinya sendiri. Kenapa sih, dia harus mengatakan kalau matanya sedih? Kenapa juga harus menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya rasa cinta pada Kama semakin bertumbuh subur di pelataran hati? "Ya Tuhan, ampunilah aku?" Welas bergumam lirih. "Aku tak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin terus-menerus mencintai Kama sedangkan aku tahu kalau dia sudah terikat hubungan cinta dengan Seika? Takut, Ya Tuhan. Aku benar-benar takut dan hanya kepada-Mulah aku berlindung." Tok, tok, tok! "Welas, beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Papa di depan pintu kamarnya. "Papa khawatir ini, Welas." Welas yang masih bersand
"Derya, saya ada tugas untuk kamu sore ini!" cakap Menir Hank dengan ketegasan yang mencapai puncaknya. "Bisa, kamu ke rumah sebentar?" Mendengar percakapan malaikat kecilnya di telepon tadi, beberapa menit yang lalu membuat kesabaran Menir Hank tergerus habis. Meskipun suara Kama tak begitu jelas terdengar tapi Menir Hank bukanlah seorang ayah yang bodoh. Dia tahu, kalau sebentar lagi Seika akan berangkat ke Green Garden Resto untuk bertemu dengan Kama, tentu saja. "Baik Menir, saya segera ke sana." sahut Derya sambil terus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Meraba-raba dia seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung. Bukan apa-apa. Suara Menir Hank terdengar seperti orang murka, cukup membuat gentar. "Bagus, saya tunggu di rumah ya Derya?" "Baik, Menir. Tapi maaf sebelumnya Menir, kira-kura tugas apa yang akan Menir berikan kepada saya?" "Ah Derya … Seperti itu saja kamu tak tahu? Ck, yang jelas ini ada kaitannya dengan Kama. Sampai di sini kamu paham?" "Oh ba
"Derya, bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Seika begitu turun dari mobil dan melihat Derya sedang berjalan cepat menuju meja nomor empat yang berarti meja yang sudah dia pesan untuknya dan Kama. "Apa jangan-jangan selama ini Derya memata-matai kami? Oh, apakah dia bekerja untuk Papa? Ugh, sial!" Secepat kilat, Seika menutup pintu mobil lalu menguncinya. Meninggalkan area parkir dengan meminjam kecepatan cahaya. Prinsipnya, dia harus lebih dulu sampai di meja nomor empat. Titik. Oleh karena itu, dia melepas sepatu high heels cantik yang dipakai demi bisa berlari ke sana. Bukan apa-apa. Masalahnya, untuk apa Derya menemui Kama? Pertanyaan itulah yang mendesak masuk ke dalam benaknya. "Kama emh selamat malam, apa kabar?" Beruntung Seika sampai di tempat Kama menunggunya terlebih dahulu dari pada Derya. Tidak sia-sia dia sampai melepaskan sepatu, menyingkapkan gaun malam berwarna merah maroon polos dengan renda merah jambu di bagian bawah, pinggang, depan dada dan pergelangan tang
Message From: Hiranur [Bang Derya, maaf Hira ganggu] [Abang sudah istirahat?] Secepat kilat Derya membalas pesan Hiranur, berharap penuh semoga dia benar-benar bisa dijadikan rangkaian bom untuk menghancurkan hubungan Seika dan Kama. Boleh saja Hiranur menolak dengan alasan kemanusiaan dan perasaan cinta tapi Derya yakin, lama kelamaan Hiranur akan luluh juga. Cinta akan selalu berjuang demi mendapatkan kerajaannya, bukan begitu? Message to: Hiranur [Belum] [Ada apa, Hira?] [Ada yang bisa Abang bantu?] Untuk beberapa saat lamanya, ponselnya senyap. Tak ada lagi balasan pesan dari Hiranur. Jadi, Derya memutuskan untuk pulang. Siapa tahu setelah tiba di rumah nanti, ada banyak pesan penting dari Hiranur. Intinya dia takkan pernah menyerah. Terlepas dari kemungkinan besar Menir Hank akan memberhentikan pekerjaannya di Real Publishing atau hal yang lebih mengerikan dari pada itu tapi semangat Derya masih hangat. Masih ada baranya meski tak banyak. Tinggal disiramkan bensin lalu
"Bedank je, Kama!" (Terima kasih, Kama!) ungkap Seika malu-malu tapi bahagia sekaligus tersanjung, saat Kama membukakan pintu mobil untuknya, "Tot ziens!" (Sampai jumpa!) Kama mengangguk kecil. Menyibakkan poni ke belakang, melepaskan senyum paling manis dari yang dia miliki. "Tot ziens, Seika!" Penuh perasaan cinta, Kama menutup pintu mobil. Legalah sudah seluruh perasaan karena semua permasalahan dengan Seika sudah selesai. Kesalahpahaman itu sudah sirna, berganti dengan kebahagiaan yang baru. Mereka sudah sama-sama berjanji, ke depan akan lebih hati-hati dan waspada lagi. Jangan sampai lengah sehingga mudah luluh lantak oleh emosi. "Janji ya Seika, kalau ada apa-apa sama kamu langsung kasih tahu aku, ya? Nggak perlu malu, sungkan atau apa. Ya? Aku nggak akan marah kok, sungguh." pinta Kama setelah Seika mengungkapkan dengan terbuka dan jujur tentang masalah yang sempat terjadi. "Seika ingat ya, kita kan sudah berkomitmen untuk jangan ada rahasia di antara kita. No secret between
"Papa jahat!" jerit Seika tertahan. Air matanya meleleh hangat di pipi. Napas terengah-engah oleh karena amarah yang berdesakan di rongga dada. Bingung, kecewa sekaligus sakit hati oleh karena sikap Menir Hank yang semakin aneh. Tempo hari, meminta bantuannya untuk menerima William bekerja di Seikamara Publishing. Kenapa tidak dipekerjakan di Real Publishing saja? Nah, malam ini? Tidak ada isyarat apa pun tahu-tahu menugaskan Pak Raka untuk memeriksa mobilnya. Apa itu, apa? Belum lagi tentang keberadaan Derya di Green Garden Resto tadi. Itu sungguh memeras otak sekaligus menggerus segenap perasaan Seika. "Mama, Papa jahat!" bisik Seika lirih di antara air mata yang terus melinang. "Papa sudah berubah, Mama. Apa salah Kama? Bahkan sekarang ini Kama sudah menjadi orang yang sukses. Bukan hanya di Seikamara Publishing tetapi juga di usaha kuliner yang dibangunnya sendiri. Mungkin Papa belum tahu tapi kenapa harus seperti ini, Mama? Serendah itu berpikir tentang kami. Papa pikir, Seik
"Emh Derya, aku turun di sini saja, ya?" Welas meminta dengan segenap konflik melanda jiwa. "Ini sudah malam, Papa sudah pulang dari rumah sakit. Aku takut." Jelas Welas berbohong, karena alibi yang sebenarnya adalah keberadaan Seika di rumahnya. Tak perlu takut dengan Papa. Dia pasti bangga, akhirnya anak gadis introvert-nya ini bisa berteman baik dengan anak manusia berjenis kelamin pria. Satu hal yang selama ini dikhawatirkannya, tentu saja. Berbeda dengan Sekar yang bisa dengan mudah bergaul dengan siapa saja. "Ha, serius nih Las?" Derya memasang wajah terkejut, bingung sekaligus khawatir. Dia sampai menelisik wajah Welas yang mendadak bersemburat merah muda. "Kalaupun kamu serius, aku yang nggak bisa dong Las. Ya ampun, ini kan sudah malam? Nanti kalau ada apa-apa sama kamu, gimana? Apa papamu nggak tambah ngamuk sama aku nanti? Kan, aku yang udah ngajakin kamu makan malam sampai pulang kemalaman? Aduh Las, Las. Jangan gitu lah, aku anterin sampai rumah saja, ya?" Jauh di das